Aku berdiri menatap langit senja dari balik jendela ruanganku. Musim panas kali ini terasa indah. Ini sudah hari ke empat sejak pertama kali aku dirawat di sini. Ben masih selalu mendatangiku dengan alasan sekalian menjenguk karena ada urusan di sekitar rumah sakit. Ia mengunjungiku setiap hari dan membawakanku bermacam-macam makanan yang tentunya di bawah pengawasan Dokter.
Jam di dinding menunjukkan pukul 8.15 PM. Artinya lima belas menit lagi, Ben akan datang menjumpaiku. Aku sampai hafal jam besuk yang ia lakukan.
Aku merasa bosan. Sebetulnya aku sudah merasa sembuh. Bahkan aku sudah bisa berjalan mondar mandir tanpa pening di kepala.
Ketika aku mencoba melakukan gerakan pemanasan karena aku merasa ototku kaku, seseorang masuk ke dalam ruanganku dan memanggilku.
"Milly."
Ternyata itu adalah Ben. Tangan kirinya membawa paper bag. Dan tangan kanannya menggenggam sebuah buket bunga mawar berwarna putih.
"Eh, Ben. Tumben kamu datang lebih awal," sambutku.
"Begitu ya?"
"Iya."
"Kamu ngapain ngelakuin pemanasan gitu? Kamu belum pulih. Ayo tiduran lagi."
Aku menuruti perkataannya sementara Ben meletakan bingkisan itu."Aku bawain kamu tiramisu greentea cake, ucapnya sambil mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam cokelat."
Aku duduk manis memperhatikan Ben, "Kamu bawain aku makanan hampir setiap hari, Ben."
Ben menahan tangannya untuk membuka kotak yang berukuran sekitar 6 inci itu, "Kenapa? Kamu nggak suka, ya?""Eh, bukan, bukan ...." Aku menggerakan kedua tangan sebagai tanda bahwa aku menyangkalnya, "Aku cuma ngerasa nggak enak sama kamu," sambungku.
"Kalo soal itu, nggak perlu kamu pikirin."
Ben membuka kotak tersebut dan memberikannya padaku.
Kue itu telah membentuk menjadi potongan-potongan kecil. Bagian atasnya berwarna hijau, dan memiliki lapisan putih di dalamnya. Aku melahapnya tanpa ragu. Teksturnya sangat lembut.
"Ini enak banget!"
"Oh, ya?"
"Iya! Coba buka mulut kamu!"
Aku menyuapi sepotong kue itu kepada Ben. Namun Ben malah terdiam dan mengunyah kue itu dengan ragu.
"Nggak enak ya, Ben?" ucapku yang sedikit takut kalau ternyata Ben tidak menyukainya.
"Enak."
"Serius?"
Ben mengangguk. Dan wajahnya terlihat seperti ... gugup?
Bunga yang tergeletak di meja mengalihkan perhatianku, "Itu bunga buat siapa, Ben?"
Ben menoleh ke arah bunga dan meraihnya, "Oh ... ini dari Rose sahabat aku. Dia kasih aku ini," jawab Ben. Ia tak menjelaskan lebih detail.
Aku tak menyahut.
Aku baru tahu kalau Ben memiliki sahabat. Apalagi seorang perempuan. Apa Ben sudah berubah menjadi lebih terbuka dengan orang lain? Tapi, menurutku sikapnya masih sama saja seperti dulu. Diam dan datar.
Tiba-tiba aku sudah tidak bersemangat untuk memakan tiramisu greentea cake ini. Aku meletakkannya di atas meja, dan meminum segelas air.
"Kenapa nggak dihabiskan?" tanya Ben.
"Kenyang," jawabku yang menyembunyikan rasa malasku.
"Mau jalan-jalan sekitar sini? Siapa tahu kamu suntuk."
Ide bagus!Ben seolah mengerti diriku. Aku memang merasa sangat bosan. Ingin segera keluar dari rumah sakit, namun aku juga tidak ingin pulang karena pasti akan bertemu Tante Annette.
Aku langsung mengiyakan tawaran Ben. Ia meminta sebuah kursi roda kepada Perawat. Menurutnya, aku harus duduk di sana sampai aku diperbolehkan untuk pulang.Kalian lihat? Dia terkesan peduli padaku, kan? Tapi dia sangat tidak bisa ditebak!
Ben berjalan mendorong kursi rodaku perlahan melalui koridor rumah sakit, dan turun menggunakan lift ke lantai dasar. Ben terus berjalan membawaku ke taman yang berada di sebelah parking lot.Sesampainya di taman, aku menghirup dalam-dalam udara segar yang sejuk. Langitnya sangat cantik. Angin sepoi menerpa poni dari rambut hitamku yang panjangnya sekitar sebahu. Aku sangat menyukai suasana ini. Tidak pernah aku merasa sedamai ini.
Ben memutuskan untuk membawaku duduk di bangku taman rumah sakit. Kurasa, ini waktu yang tepat untuk membahas soal pernikahan."Ben ..." panggilku.
"Iya?"
"Aku mau membahas soal pernikahan kita."
"Boleh," jawabnya singkat.
"Apa nggak masalah kamu nikah sama aku?"
"Kenapa kamu nanya begitu?"
"Ya ... kita dijodohkan."
"Lalu?"
"Jujur aku masih belum bisa terima perjodohan ini. Meski aku mengenal kamu dan kuanggap kamu sebagai kakakku sendiri, aku ragu sama perasaan aku," jelasku menunduk. Aku tidak bisa menatap mata Ben.
"Perasaan gimana maksudnya?"
"Cinta."
"Cinta?"
"Iya."
"Oh ...." Ben menghela napas, "Apa semua pernikahan harus dilandasi rasa cinta?"
"Maksudnya?"
"Jangan terlalu dipikirkan, Milly. Lagipula, aku yang seharusnya nanya begitu."
Ben meluruskan pandangannya ke depan, "Aku tahu kamu berharap pernikahan ini nggak pernah terjadi. Dan kamu juga tahu harapan kamu itu nggak akan pernah terjadi," sambungnya lagi.Aku menghela napas. Kurasakan mataku menghangat karena genangan di dalamnya.
"Benar yang kamu bilang. Untuk apa aku memikirkan semua ini ketika orang-orang di sekitarku nggak pernah memikirkanku?"
Ben tidak membuka mulutnya lagi. Lalu suasananya menjadi dingin. Ia menyuruhku tak memikirkan dan bertingkah seolah tak ingin membebaniku. Tapi bahkan perjodohan ini telah memberikanku banyak beban. Aku senang dengan perlakuan Ben. Namun, belum tentu aku bisa mencintainya. Pertanyaan Ben tadi lebih terdengar seperti pernyataan. Tentang sebuah pernikahan yang terjadi tanpa landasan cinta sedikit membuatku miris. Betapa tragisnya hidupku yang tak mendapatkan cinta dari siapa pun.
Di tengah-tengah keheningan, sepasang suami istri mendatangi kami. Ternyata, itu adalah Tante Olive dan Om Jackson—orang tua Ben.
"Milly? Ben? Kalian sedang apa di sini?" ucap Tante Olive.
Ben bangkit dari duduknya, "Eh, Papa Mama. Aku lagi nemenin Milly. Papa dan Mama kenapa ada di rumah sakit ini?"
"Loh, pertanyaan macam apa itu? Papa dan Mama jelas mau menjenguk calon menantu kami!" sahut Om Jackson sambil tersenyum ke arahku.
Telingaku kurang nyaman dengan perkataan itu.
Calon menantu.
"Hai Om, Tante. Apa kabar?" tanyaku tanpa menghiraukan perkataan Om Jackson.
"Baik. Seperti kelihatannya. Meski sudah di atas setengah abad, kami masih segar bugar, kok! Ya kan, Ma?" jawab Om Jackson.
"Papa ini, jaga sikap dong di depan Milly. Sudah tua nggak boleh banyak tingkah!" Tante Olive mencolek tangan Om Jackson.Kami semua tertawa. Sedangkan Ben hanya tersenyum.
Keluarga ini terlihat hangat. Aku iri dengan Ben yang memiliki kedua orang tua yang lengkap dan mendukung apa pun yang dilakukan oleh Ben.
Kalau ada ranking untuk para Papa terbaik di dunia, mungkin Om Jackson akan menjadi urutan kedua setelah Papaku. Orang lain yang tak mengenal Om Jackson, mungkin akan mengira beliau adalah sosok yang tegas dan galak karena beberapa otot ditubuhnya memang belum menyusut.
Om Jackson mengelola perusahaan bidang furnishing terbaik dan terlaris yang kini diteruskan oleh Ben. Perusahaannya telah memiliki ratusan cabang diberbagai kota di negaraku ini. Bahkan hingga ke mancanegara. Beliau berusia 55 tahun. Kalau Papa masih hidup, usianya akan sama dengan Om Jackson. Mereka bersahabat sejak mereka duduk di bangku kuliah.
Sedangkan istrinya—yaitu Tante Olive—memiliki kebun dan toko bunga yang sukses. Usianya 5 tahun di atas Mama. Maksudku, Tante Annette. Dari segi sifat, mereka berdua sangat jauh berbeda. Bagai langit dan bumi.
Perlakuan Om Jackson dan Tante Olive pun sangat baik padaku meski aku bukan anak mereka. Mereka memperlakukanku lebih baik daripada perlakuan Tante Annette padaku.
Tiba-tiba aku rindu Papa. Akan tambah menyenangkan jika di sini ada Papa. Selera humor Papa dan kedua orang tua Ben sangat bagus. Namun mereka akan menjadi sangat serius ketika membahas tentang perusahaan mereka."Milly. Gimana keadaan kamu?" Pertanyaan Tante Olive membuyarkan pikiranku.
"Aku udah ngerasa nggak kenapa-kenapa, Tante. Tapi Ben bilang, aku tetap perlu istirahat sesuai perintah dokter," jawabku.
"Annette kemana? Apa dia sibuk sampai nggak bisa merawat kamu?"
Aku terkejut dan kebingungan menjawab pertanyaan Tante Olive, "Mama ... um ...."
"Bukankah sebaiknya kita ngobrol di dalam?" Ben mengusulkan.
Lagi-lagi Ben membantuku.
Terima kasih, Ben! batinku.
Akhirnya kami kembali ke ruang perawatanku. Di sana kami mengobrol banyak hal. Tentang Om Jackson yang mau pensiun, pengalaman Tante Olive berlibur bersama teman-temannya ke Seattle, dan juga hal-hal tentang Ben saat merantau ke luar kota untuk kuliah.
Ben cenderung diam dan hanya menimpali ketika ia rasa perlu. Selebihnya hanya tersenyum dan tertawa. Ekspresi yang baru aku lihat meski beberapa hari ini kami selalu bertemu.Tak terasa malam tiba. Dokter mendatangiku untuk check-up dan mengatakan bahwa aku boleh kembali ke rumah esok hari.
Aku senang, namun aku benci karena harus kembali melihat Tante Annette lagi.
"Katanya aku perlu seminggu dirawat di sini, Dok?" tanyaku.
"Iya. Tadinya begitu. Tapi masa pemulihan kamu sangat cepat perkembangannya," jawab Dokter.
"Kenapa bisa?"
"Suasana hati yang baik bisa menjadi pengaruh yang besar untuk kesembuhan seseorang," Dokter itu tersenyum.
Benar kata Dokter. Suasana hatiku baik karena ada Ben. Ditambah lagi kehadiran kedua orang tuanya yang menepis rasa sepiku.
"Terima kasih banyak atas bantuannya, Dokter," ucap Om Jackson.
Dokter berlalu, disusul dengan Ben dan kedua orang tuanya yang berpamitan untuk pulang.
Keesokan paginya, aku dijemput Ben. Kebetulan saat itu adalah weekend sehingga ia bisa menyempatkan waktunya untuk menjemputku.Sesampainya di rumah, Tante Annette menyambut kami, "Hai, Milly. Sudah membaik?"Baru saja sembuh, sudah harus berhadapan dengan wanita ini."Sudah, Ma," jawabku ragu."Terima kasih ya, Ben karena kamu selalu meluangkan waktu untuk menjaga Milly," ucapnya kepada Ben."Iya, Tante. Sama-sama. Aku mau izin bantuin Milly buat beresin barang-barangnya ya, Tan. Boleh?""Silahkan. Dengan senang hati."Tante Annette mempersilahkan kami untuk masuk."Tante panggil pelayan dapur dulu, ya. Untuk nyiapin camilan buat kalian," lanjutnya.Sementara Tante Annette berlalu meninggalkan aku dan Ben, kami naik ke lantai atas menuju kamarku."Kamar kamu masih sama kaya yang dulu?" tanya Ben."Iya."Aku mempersilahkan Ben untuk masuk ke kamarku."Ternyata nggak berubah, ya ...." Ben mengelilingi kamarku yang berbentuk kubus berukuran 8x8 meter."Iya. Tapi ada beberapa hal yang be
Pagi ini, aku menghirup udara sejuk. Suara debur ombak meriuhkan suasana meski tidak terlalu banyak orang di sini bersama aku, Ben, Fotografer, dan Make-up Artist yang akan merias sesi pemotretan pra-wedding pernikahanku. Aku dan ben memutuskan untuk melakukannya dengan tema pantai di pulau yang berada di sebelah kota kami. Lokasinya memang tidak dikunjungi oleh banyak orang karena sebagian besar yang datang ke sini adalah orang-orang yang akan berselancar. Setelah kepulanganku dari rumah sakit, aku memutuskan untuk mempercepat seluruh persiapan pernikahan. Awalnya Ben bertanya padaku apa tak mengapa jika aku melakukan semua ini segera. Karena menurutnya, aku baru saja sembuh dari masa pemulihanku setelah kecelakaan yang menimpa. Namun aku berkata tak apa. Aku merasa harus cepat menyelesaikan seluruhnya oleh diriku sendiri daripada harus mendengar ocehan Tante Annette. Ben berkata tidak keberatan lalu mengosongkan beberapa jadwal untuk persiapan pernikahan kami dan menyewa vila yang
"Milly, kenapa kamu kaku begitu? Ayo kita ulang. Kalian kan sepasang kekasih. Kenapa begini?" ucap Lewis kesal karena berulang kali mengambil jepretan foto, namun hasilnya sangat buruk karena sikapku. Aku bisa melihat wajahnya yang letih. Aku merasa tidak enak, namun juga aku tidak bisa merasa nyaman karena ini pertamakalinya seseorang mengecupku. Terlebih itu adalah Ben. "Hanya berpose, tersenyum, lalu aku tekan tombol ini. Tidak begitu sulit, kan?" sambung Lewis. Aku menggerutu di dalam hati. Semudah itu katanya? Jika bukan karena aku harus memaklumi kalau Lewis tidak tahu fakta sebenarnya, mungkin kamera seharga C$4000 yang ada di tangannya itu sudah terombang-ambing di lautan sana. "Maaf ... aku akan benar-benar melakukannya kali ini," ujarku. Ben menghela nafasnya, "Lewis, sorry to say, but would you give us a minute?" "With pleasure," Lewis melangkah menjauh dari kami. Ben menyentuh bahuku dengan kedua telapak tangannya, "Mil, aku minta maaf, ya." "Maaf? Untuk apa?" "M
Aku terjaga dan menyadari tubuhku terbalut selimut tebal. Aku terheran karena aku tidak merasa beranjak dari mobil dan melangkah menuju kamar ini. Kuperiksa ponselku dan jam menunjukkan pukul 10 malam. Ternyata aku tidur berjam-jam lamanya. Aku bolak-balik membenarkan posisi tidurku untuk mencoba terlelap lagi. Namun tidak bisa. Kuputuskan untuk pergi keluar kamar untuk minum dan membasuh wajahku. Kudapati Ben tengah duduk membelakangiku di mini bar. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang lebar dan gagah itu. Ia sudah mengganti bajunya menjadi kaos biasa berwarna putih dan celana pendek selutut. "Kamu belum tidur, Ben?" aku menyapanya. Ben menoleh padaku, "Eh, Milly ...." sahutnya sembari membereskan beberapa helai kertas di laptopnya. "Kok aku nggak sadar ya, Ben, pas pindah dari mobil ke kamar?" tanyaku sembari menarik kursi yang ada di hadapan Ben lalu duduk di sana. "Aku yang pindahin kamu," jawabnya. "Kamu? Gimana caranya?" "Aku gendong." "EH?!" Ben menoleh terkejut ka
“Mill .. kita sudah sampai,” ucap Ben sambil mengguncang pelan tubuhku.Aku terbangun dan melihat ke sekeliling. Sepertinya sudah malam. Ben telah memarikirkan mobilnya di garasi sebuah rumah yang berdiri kokoh di hadapanku. Rumah yang nantinya akan kutinggali bersama Ben.“Masih ngantuk, ya? Beresin barangnya mau nanti dulu?” ucapnya yang melihatku masih menguap .Aku menggeleng, “Nggak, kok. Nanti kan bisa istirahat di dalam,” jawabku.Ben mengangguk dan keluar dari dalam mobil, lalu membukakan pintu dan mempersilahkanku untuk keluar. Ben selalu memperlakukanku seperti ini. “Thanks,” ujarku.“Kamu bukain pintu rumah. Biar aku yang bawain koper. Kodenya 090422,” Ben berlalu mennggalkanku dan berjalan menuju bagasi mobil.Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju pintu. Setelah yakin kalau password tersebut benar, aku mendorong pintu dan melangkah ke dalam.Aku memas
Aku berdiam di kamar sementara Rose kubiarkan sendirian di ruang tamu. Kudengar suara mobil Ben dari luar sana. Aku tidak berniat keluar kamar saat Ben membuka password rumah karena Ben pasti akan berpapasan dengan Rose. Beberapa waktu kemudian, Ben mengetuk pintu, “Milly?” panggilnya. Aku tak menggubris. Ben masih terus-terusan mengetuk, “Milly, aku bawa makanannya. Tolong buka dulu,” ucapnya lagi. “Kamu ngobrol sama Rose saja dulu. Nanti aku menyusul,” balasku. Ben tidak menjawab. Sepertinya ia langsung bergegas menemui Rose. Saat kukira itu adalah kedatangan Ben, aku mematung dan terkejut karena ternyata itu adalah Rose. Begitu melihatnya, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Rose memanggilku. Kukatakan padanya kalau Ben tengah keluar sebentar dan ia akan kembali beberapa menit lagi. Aku tidak tahu pasti di mana Rose menunggu. Sepertinya di ruang tamu karena aku mendengar langkah sepatunya menjauh dar
Ben memberikanku sweater tebal saat ia melihatku menggigil kedinginan di tepi danau dekat pondok yang kudatangi sejak satu jam yang lalu.“Maaf hanya ini tempat yang bisa kuberikan padamu sebagai tanda malam pertama pernikahan kita,” ucap Ben membuka obrolan.“Aku suka tempatnya,” ujarku.Ben menghela napas dan tersenyum, “Nggak perlu berpura-pura untuk menyenangkan hatiku,” sahutnya.“Siapa yang menyenangkan hatimu?”“Barusan kamu memuji tempat ini bagus.”“Aku memang menyukainya. Karena di sini hening dan aku bisa melihat langit dengan luas.”Ben mengangguk. Sepertinya ia ragu kalau ucapanku barusan benar-benar terus terang apa adanya.“Pondok ini kamu yang bangun sendiri?” Aku mencoba mencari topik.“Iya. Papa dan Mama pun nggak tahu.”“Kenapa kamu rahasiakan?”“Aku butuh ruang dan w
Sore ini aku selesai melaksanakan hari pertama ospek. Aku senang karena akhirnya aku kuliah di fakultas yang kumau. Yaitu jurusan seni musik. Sebetulnya aku tidak bisa bernyanyi. Namun aku bisa memainkan beberapa alat musik seperti piano, gitar, biola, dan sedikit drum. Aku menguasai itu karena sebelumnya papa mengizinkanku untuk ikut les alat musik sewaktu aku masih kecil. Aku menghubungi Ben untuk segera menjemputku. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendirian dengan mengendarai mobilku atau naik kendaraan umum. Namun sesuai ketentuan yang diberikan oleh Ben, aku harus di antar jemput olehnya, mengharuskannya mengantar dan menjemputku walau ia sibuk bekerja. Ben merasa perlu memastikan keadaanku untuk tetap baik-baik saja. Seharusnya tidak perlu terlalu khawatir begitu, kan? Ya … bukannya aku merasa risih padanya. Tetapi aku bukan lagi anak kecil. Lagi pula aku malas menunggu kalau Ben terlambat sampai ke kampus. Dan benar saja. Ini adalah hari pertama, namun Ben belum juga
[Milly. Aku mendadak perlu mengadakan rapat di perusahaan. Mungkin tidak lama. Aku mengabari kamu untuk antisipasi kalau saja aku tidak bisa menjemputmu. Kalau memang kamu pulang lebih dulu daripada aku, naik taksi saja ya dengan Kylie. Tak apa, kan? Aku minta maaf, ya ….] Aku terenyuh membaca pesan itu. Meski sibuk, Ben tetap berusaha memberi kabar dan peduli denganku. [Nggak pa-pa. Aku pulang naik taksi saja. Semangat Pak Bos!] Aku membalas pesan dari Ben sambil tersenyum lebar. Suamiku ini memperbaiki suasana hatiku yang buruk. Tak apa kalau aku merasa seperti ada kupu-kupu yang mau terbang di perutku ini, kan? “Milly? Kenapa senyam-senyum begitu?” ucap Kylie mendapatiku tersenyum menatap layar ponsel. Aku menggeleng, “Nggak pa-pa. Nanti pulang pakai taksi denganku, ya?” “Kamu ini … belum juga sampai di mall, tapi sudah membicarakan pulang!” ucapnya sambil melipat kedua tangan di dadanya. Aku mendengus dan
“Hari ini kamu pulang jam berapa?” tanya Ben saat ia baru saja keluar dari kamarnya. Ia berpakaian rapi dengan setelan kemeja putih, jas dan celananya satu warna yakni abu-abu cerah. “Hm, mungkin sekitar jam tiga sore,” jawabku sambil meletakkan sepiring sandwich dan segelas susu untuk Ben. Tercium aroma sampo dari rambut Ben yang masih terlihat basah itu. “Thanks,” ucapnya. Wajah kami berdekatan dan entah mengapa aku merasa Ben terlihat tampan. Diam-diam aku menjadi grogi sendiri karenanya. Sambil menyantap makanan kami, aku coba memberanikan diri untuk meminta izin pada Ben perihal rencanaku dan Kylie, “Nanti selepas kelas terakhir selesai, aku boleh pergi bersama Kylie?” “Kemana?” “Mencari buku sejarah dan sedikit refreshing, hehe ….” “Hanya berdua?” Aku mengangguk, “Boleh, ya? Aku janji nggak akan pulang larut malam,” ucapku dengan mata berbinar yang penuh harapan. Ben sempat menatapku rag
Sore ini aku selesai melaksanakan hari pertama ospek. Aku senang karena akhirnya aku kuliah di fakultas yang kumau. Yaitu jurusan seni musik. Sebetulnya aku tidak bisa bernyanyi. Namun aku bisa memainkan beberapa alat musik seperti piano, gitar, biola, dan sedikit drum. Aku menguasai itu karena sebelumnya papa mengizinkanku untuk ikut les alat musik sewaktu aku masih kecil. Aku menghubungi Ben untuk segera menjemputku. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendirian dengan mengendarai mobilku atau naik kendaraan umum. Namun sesuai ketentuan yang diberikan oleh Ben, aku harus di antar jemput olehnya, mengharuskannya mengantar dan menjemputku walau ia sibuk bekerja. Ben merasa perlu memastikan keadaanku untuk tetap baik-baik saja. Seharusnya tidak perlu terlalu khawatir begitu, kan? Ya … bukannya aku merasa risih padanya. Tetapi aku bukan lagi anak kecil. Lagi pula aku malas menunggu kalau Ben terlambat sampai ke kampus. Dan benar saja. Ini adalah hari pertama, namun Ben belum juga
Ben memberikanku sweater tebal saat ia melihatku menggigil kedinginan di tepi danau dekat pondok yang kudatangi sejak satu jam yang lalu.“Maaf hanya ini tempat yang bisa kuberikan padamu sebagai tanda malam pertama pernikahan kita,” ucap Ben membuka obrolan.“Aku suka tempatnya,” ujarku.Ben menghela napas dan tersenyum, “Nggak perlu berpura-pura untuk menyenangkan hatiku,” sahutnya.“Siapa yang menyenangkan hatimu?”“Barusan kamu memuji tempat ini bagus.”“Aku memang menyukainya. Karena di sini hening dan aku bisa melihat langit dengan luas.”Ben mengangguk. Sepertinya ia ragu kalau ucapanku barusan benar-benar terus terang apa adanya.“Pondok ini kamu yang bangun sendiri?” Aku mencoba mencari topik.“Iya. Papa dan Mama pun nggak tahu.”“Kenapa kamu rahasiakan?”“Aku butuh ruang dan w
Aku berdiam di kamar sementara Rose kubiarkan sendirian di ruang tamu. Kudengar suara mobil Ben dari luar sana. Aku tidak berniat keluar kamar saat Ben membuka password rumah karena Ben pasti akan berpapasan dengan Rose. Beberapa waktu kemudian, Ben mengetuk pintu, “Milly?” panggilnya. Aku tak menggubris. Ben masih terus-terusan mengetuk, “Milly, aku bawa makanannya. Tolong buka dulu,” ucapnya lagi. “Kamu ngobrol sama Rose saja dulu. Nanti aku menyusul,” balasku. Ben tidak menjawab. Sepertinya ia langsung bergegas menemui Rose. Saat kukira itu adalah kedatangan Ben, aku mematung dan terkejut karena ternyata itu adalah Rose. Begitu melihatnya, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Rose memanggilku. Kukatakan padanya kalau Ben tengah keluar sebentar dan ia akan kembali beberapa menit lagi. Aku tidak tahu pasti di mana Rose menunggu. Sepertinya di ruang tamu karena aku mendengar langkah sepatunya menjauh dar
“Mill .. kita sudah sampai,” ucap Ben sambil mengguncang pelan tubuhku.Aku terbangun dan melihat ke sekeliling. Sepertinya sudah malam. Ben telah memarikirkan mobilnya di garasi sebuah rumah yang berdiri kokoh di hadapanku. Rumah yang nantinya akan kutinggali bersama Ben.“Masih ngantuk, ya? Beresin barangnya mau nanti dulu?” ucapnya yang melihatku masih menguap .Aku menggeleng, “Nggak, kok. Nanti kan bisa istirahat di dalam,” jawabku.Ben mengangguk dan keluar dari dalam mobil, lalu membukakan pintu dan mempersilahkanku untuk keluar. Ben selalu memperlakukanku seperti ini. “Thanks,” ujarku.“Kamu bukain pintu rumah. Biar aku yang bawain koper. Kodenya 090422,” Ben berlalu mennggalkanku dan berjalan menuju bagasi mobil.Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju pintu. Setelah yakin kalau password tersebut benar, aku mendorong pintu dan melangkah ke dalam.Aku memas
Aku terjaga dan menyadari tubuhku terbalut selimut tebal. Aku terheran karena aku tidak merasa beranjak dari mobil dan melangkah menuju kamar ini. Kuperiksa ponselku dan jam menunjukkan pukul 10 malam. Ternyata aku tidur berjam-jam lamanya. Aku bolak-balik membenarkan posisi tidurku untuk mencoba terlelap lagi. Namun tidak bisa. Kuputuskan untuk pergi keluar kamar untuk minum dan membasuh wajahku. Kudapati Ben tengah duduk membelakangiku di mini bar. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang lebar dan gagah itu. Ia sudah mengganti bajunya menjadi kaos biasa berwarna putih dan celana pendek selutut. "Kamu belum tidur, Ben?" aku menyapanya. Ben menoleh padaku, "Eh, Milly ...." sahutnya sembari membereskan beberapa helai kertas di laptopnya. "Kok aku nggak sadar ya, Ben, pas pindah dari mobil ke kamar?" tanyaku sembari menarik kursi yang ada di hadapan Ben lalu duduk di sana. "Aku yang pindahin kamu," jawabnya. "Kamu? Gimana caranya?" "Aku gendong." "EH?!" Ben menoleh terkejut ka
"Milly, kenapa kamu kaku begitu? Ayo kita ulang. Kalian kan sepasang kekasih. Kenapa begini?" ucap Lewis kesal karena berulang kali mengambil jepretan foto, namun hasilnya sangat buruk karena sikapku. Aku bisa melihat wajahnya yang letih. Aku merasa tidak enak, namun juga aku tidak bisa merasa nyaman karena ini pertamakalinya seseorang mengecupku. Terlebih itu adalah Ben. "Hanya berpose, tersenyum, lalu aku tekan tombol ini. Tidak begitu sulit, kan?" sambung Lewis. Aku menggerutu di dalam hati. Semudah itu katanya? Jika bukan karena aku harus memaklumi kalau Lewis tidak tahu fakta sebenarnya, mungkin kamera seharga C$4000 yang ada di tangannya itu sudah terombang-ambing di lautan sana. "Maaf ... aku akan benar-benar melakukannya kali ini," ujarku. Ben menghela nafasnya, "Lewis, sorry to say, but would you give us a minute?" "With pleasure," Lewis melangkah menjauh dari kami. Ben menyentuh bahuku dengan kedua telapak tangannya, "Mil, aku minta maaf, ya." "Maaf? Untuk apa?" "M
Pagi ini, aku menghirup udara sejuk. Suara debur ombak meriuhkan suasana meski tidak terlalu banyak orang di sini bersama aku, Ben, Fotografer, dan Make-up Artist yang akan merias sesi pemotretan pra-wedding pernikahanku. Aku dan ben memutuskan untuk melakukannya dengan tema pantai di pulau yang berada di sebelah kota kami. Lokasinya memang tidak dikunjungi oleh banyak orang karena sebagian besar yang datang ke sini adalah orang-orang yang akan berselancar. Setelah kepulanganku dari rumah sakit, aku memutuskan untuk mempercepat seluruh persiapan pernikahan. Awalnya Ben bertanya padaku apa tak mengapa jika aku melakukan semua ini segera. Karena menurutnya, aku baru saja sembuh dari masa pemulihanku setelah kecelakaan yang menimpa. Namun aku berkata tak apa. Aku merasa harus cepat menyelesaikan seluruhnya oleh diriku sendiri daripada harus mendengar ocehan Tante Annette. Ben berkata tidak keberatan lalu mengosongkan beberapa jadwal untuk persiapan pernikahan kami dan menyewa vila yang