Share

Pra-wedding (2)

Penulis: Rose Milkyway
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Milly, kenapa kamu kaku begitu? Ayo kita ulang. Kalian kan sepasang kekasih. Kenapa begini?" ucap Lewis kesal karena berulang kali mengambil jepretan foto, namun hasilnya sangat buruk karena sikapku. Aku bisa melihat wajahnya yang letih. Aku merasa tidak enak, namun juga aku tidak bisa merasa nyaman karena ini pertamakalinya seseorang mengecupku. Terlebih itu adalah Ben.

"Hanya berpose, tersenyum, lalu aku tekan tombol ini. Tidak begitu sulit, kan?" sambung Lewis.

Aku menggerutu di dalam hati. Semudah itu katanya? Jika bukan karena aku harus memaklumi kalau  Lewis tidak tahu fakta sebenarnya, mungkin kamera seharga C$4000 yang ada di tangannya itu sudah terombang-ambing di lautan sana.

"Maaf ... aku akan benar-benar melakukannya kali ini," ujarku.

Ben menghela nafasnya, "Lewis, sorry to say, but  would you give us a minute?"

"With pleasure," Lewis melangkah menjauh dari kami.

Ben menyentuh bahuku dengan kedua telapak tangannya, "Mil, aku minta maaf, ya."

"Maaf? Untuk apa?"

"Membuatmu merasa tak nyaman."

"Enggak, Ben. Aku yang seharusnya minta maaf karena aku nggak profesional," ucapku lemah.

"Profesional?" tanya Ben.

Aku mengangguk, "Berpose seperti para model di majalah. Aku nggak punya pengalaman dan tidak fotogenik. Harusnya aku latihan dulu kan, ya?"

"Pfftt ...." Ben tertawa tanpa suara. Telapak tangannya menutup mulut sementara  bahunya bergetar.

"Kok kamu ketawa?" tanyaku heran.

"Kita bukan model, Milly. Kita calon pengantin," ujar Ben santai. "Atau kamu mau aku bilang ke Lewis untuk ganti pose?"

Aku menatapnya ragu.

Ben menggenggam kedua tanganku seolah membagi energi untuk menenangkanku, "Mau kukatakan pada Lewis?"

"Nggak perlu, Ben. Aku mau."

Aku menghela nafasku seolah tiba-tiba aku mendapat energi dari Ben. Aku merasa harus bisa meyakinkan diriku akan hal ini untuk kami berdua.

"Are you sure?"

"Of course I do."

Ben kembali memanggil Lewis dan mengatakan bahwa kami telah siap kembali. Lewis terlihat ragu. Namun ketika ia melihat perkembangan dalam gayaku untuk berpose, Lewis terlihat lega karena hasilnya sangat bagus. Sangat jauh berbeda dengan yang sebelumnya kami lakukan.

"Well done!" ujar Lewis.

"Good Job, Lewis!" sahut Ben.

"Thanks! Great work, Milly!"

Aku menggangguk.

Aku, Ben, dan Lewis kembali ke lokasi tempat kami bersiap sebelum pemotretan. Rasanya melelahkan. Dan keindahan pantai ini membayar rasa lelah itu.

Dari kejauhan, terlihat seorang wanita dengan rambut blonde mengenakan pakaian formal kantoran tengah mengobrol dengan Mona. Wanita itu menyadari kehadiran kami.

"Hai, Ben!" panggil wanita itu.

Langkah Ben terhenti, "Rose?" ujarnya.

Rose? Apa dia adalah sahabat Ben yang pernah memberikan sebuket mawar kepada Ben waktu itu?

Lewis berjalan duluan sementara aku masih berdiri diam bersama Ben. Wanita itu melangkah berjalan menuju ke arah kami. Ia tersenyum padaku.

"Milly, kenalin ini sahabatku. Namanya Rose," ujar Ben.

"Halo ...." sapa Rose sembari mengulurkan tangannya.

Aku menjabat uluran tangannya sambil tersenyum, "Hai. Aku Milly. Calon istrinya Ben."

Aku merasa ekspresi Rose berubah. Tersenyum, tetapi seperti ada sesuatu di baliknya.

"Kamu duluan ke mobil, Mill. Nanti aku nyusul."

Ben langsung berlalu sambal menarik lengan Rose tanpa menunggu jawaban dariku.

Aku menatap mereka yang semakin menjauh dari pandanganku. Apa mereka harus mengobrol sejauh itu? Ah ... aku tidak boleh ikut campur. Bagaimanapun juga, itu adalah kehidupan Ben.

"Hai, Mon ...." sapaku pada Mona yang tengah membereskan peralatannya.

"Hai, Mill. Omong-omong, Ben kemana?"

"Sedang ngobrol dengan wanita tadi," jawabku sambil melihat ke arah Ben dan Rose.

Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun Ben terlihat antusias. Ia banyak tersenyum dan tertawa ketika mengobrol bersama Rose. Apa Ben yang kukenal dahulu benar-benar sudah berubah? Ia menjadi terbuka dan lebih sering tersenyum. Tapi kenapa dia begitu datar jika berbicara denganku, ya?

"Perlu aku bersihkan riasannya?"

"Nggak usah, Mon. Kamu ada urusan lain setelah ini, kan?"

Mona mengangguk, lalu berpamitan padaku karena harus segera pergi untuk merias calon pengantin lain. Begitu juga dengan Lewis. Ia berkata akan mengirimkan hasil pemotretan kepada Ben melalui surel.

Kini aku sendirian. Aku memutuskan untuk menunggu Ben sambil mengganti pakaianku ke tempat ganti pakaian yang disediakan.

Selesai berganti baju dan menghapus riasan wajah, aku melangkah kembali menuju mobil Ben. Kudapati mereka tengah cium pipi sebagai tanda perpisahan, "I'll text you later!" ucap Ben sambil melambaikan tangan pada Rose yang berlalu meninggalkannya.

Aku terkesima. Ben terlihat begitu peduli padanya. Apa benar mereka hanya berstatus sebagai sahabat?

Melihatku yang hadir, ekspresi Ben kembali seperti semula. Datar.

"Kamu ganti baju?" tanya Ben.

"Iya. Lewis dan Mona pun sudah berpamitan. Kamu mau ganti baju dulu?"

"Nggak perlu. Kita langsung kembali ke vila," jawab Ben yang membukakan pintu mobil untukku.

"Thanks, Ben."

Tidak ada obrolan di sepanjang perjalanan. Rasanya sangat melelahkan meski baru setengah hari melakukan aktifitas. Ditambah dengan kehadiran Rose di sana.

Aku tidak merasa cemburu atau tidak suka dengannya. Namun aku merasa mereka terlihat begitu dekat hingga aku merasa tidak ada celah untukku masuk ke dalam dunia Ben.

Sebentar lagi aku akan menjadi istrinya. Bagaimana ceritanya bila suamiku lebih terbuka dengan wanita lain meski memang mereka hanya bersahabat?

Tunggu ... Sial! Padahal, berulang kali aku selalu mencoba memperingatkan diriku sendiri kalau pernikahan ini bukan kemauan Ben dan juga aku. Tapi, kenapa aku malah bersikap seolah Ben adalah milikku seutuhnya? Tidak seharusnya aku bersikap begini!

Ada apa denganku?

Oh Tuhan, aku tidak ingin merasakan hal seperti ini lagi. Tak lama, aku pun memejamkan mata untuk menghentikan segala pikiranku. Semoga Ben tidak sadar bahwa aku sempat berpikir seperti tadi.

Bab terkait

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Bintang Berharga

    Aku terjaga dan menyadari tubuhku terbalut selimut tebal. Aku terheran karena aku tidak merasa beranjak dari mobil dan melangkah menuju kamar ini. Kuperiksa ponselku dan jam menunjukkan pukul 10 malam. Ternyata aku tidur berjam-jam lamanya. Aku bolak-balik membenarkan posisi tidurku untuk mencoba terlelap lagi. Namun tidak bisa. Kuputuskan untuk pergi keluar kamar untuk minum dan membasuh wajahku. Kudapati Ben tengah duduk membelakangiku di mini bar. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang lebar dan gagah itu. Ia sudah mengganti bajunya menjadi kaos biasa berwarna putih dan celana pendek selutut. "Kamu belum tidur, Ben?" aku menyapanya. Ben menoleh padaku, "Eh, Milly ...." sahutnya sembari membereskan beberapa helai kertas di laptopnya. "Kok aku nggak sadar ya, Ben, pas pindah dari mobil ke kamar?" tanyaku sembari menarik kursi yang ada di hadapan Ben lalu duduk di sana. "Aku yang pindahin kamu," jawabnya. "Kamu? Gimana caranya?" "Aku gendong." "EH?!" Ben menoleh terkejut ka

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Malam Pertama

    “Mill .. kita sudah sampai,” ucap Ben sambil mengguncang pelan tubuhku.Aku terbangun dan melihat ke sekeliling. Sepertinya sudah malam. Ben telah memarikirkan mobilnya di garasi sebuah rumah yang berdiri kokoh di hadapanku. Rumah yang nantinya akan kutinggali bersama Ben.“Masih ngantuk, ya? Beresin barangnya mau nanti dulu?” ucapnya yang melihatku masih menguap .Aku menggeleng, “Nggak, kok. Nanti kan bisa istirahat di dalam,” jawabku.Ben mengangguk dan keluar dari dalam mobil, lalu membukakan pintu dan mempersilahkanku untuk keluar. Ben selalu memperlakukanku seperti ini. “Thanks,” ujarku.“Kamu bukain pintu rumah. Biar aku yang bawain koper. Kodenya 090422,” Ben berlalu mennggalkanku dan berjalan menuju bagasi mobil.Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju pintu. Setelah yakin kalau password tersebut benar, aku mendorong pintu dan melangkah ke dalam.Aku memas

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Uninvited

    Aku berdiam di kamar sementara Rose kubiarkan sendirian di ruang tamu. Kudengar suara mobil Ben dari luar sana. Aku tidak berniat keluar kamar saat Ben membuka password rumah karena Ben pasti akan berpapasan dengan Rose. Beberapa waktu kemudian, Ben mengetuk pintu, “Milly?” panggilnya. Aku tak menggubris. Ben masih terus-terusan mengetuk, “Milly, aku bawa makanannya. Tolong buka dulu,” ucapnya lagi. “Kamu ngobrol sama Rose saja dulu. Nanti aku menyusul,” balasku. Ben tidak menjawab. Sepertinya ia langsung bergegas menemui Rose. Saat kukira itu adalah kedatangan Ben, aku mematung dan terkejut karena ternyata itu adalah Rose. Begitu melihatnya, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Rose memanggilku. Kukatakan padanya kalau Ben tengah keluar sebentar dan ia akan kembali beberapa menit lagi. Aku tidak tahu pasti di mana Rose menunggu. Sepertinya di ruang tamu karena aku mendengar langkah sepatunya menjauh dar

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Hadiah dan Perceraian

    Ben memberikanku sweater tebal saat ia melihatku menggigil kedinginan di tepi danau dekat pondok yang kudatangi sejak satu jam yang lalu.“Maaf hanya ini tempat yang bisa kuberikan padamu sebagai tanda malam pertama pernikahan kita,” ucap Ben membuka obrolan.“Aku suka tempatnya,” ujarku.Ben menghela napas dan tersenyum, “Nggak perlu berpura-pura untuk menyenangkan hatiku,” sahutnya.“Siapa yang menyenangkan hatimu?”“Barusan kamu memuji tempat ini bagus.”“Aku memang menyukainya. Karena di sini hening dan aku bisa melihat langit dengan luas.”Ben mengangguk. Sepertinya ia ragu kalau ucapanku barusan benar-benar terus terang apa adanya.“Pondok ini kamu yang bangun sendiri?” Aku mencoba mencari topik.“Iya. Papa dan Mama pun nggak tahu.”“Kenapa kamu rahasiakan?”“Aku butuh ruang dan w

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Berkatmu

    Sore ini aku selesai melaksanakan hari pertama ospek. Aku senang karena akhirnya aku kuliah di fakultas yang kumau. Yaitu jurusan seni musik. Sebetulnya aku tidak bisa bernyanyi. Namun aku bisa memainkan beberapa alat musik seperti piano, gitar, biola, dan sedikit drum. Aku menguasai itu karena sebelumnya papa mengizinkanku untuk ikut les alat musik sewaktu aku masih kecil. Aku menghubungi Ben untuk segera menjemputku. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendirian dengan mengendarai mobilku atau naik kendaraan umum. Namun sesuai ketentuan yang diberikan oleh Ben, aku harus di antar jemput olehnya, mengharuskannya mengantar dan menjemputku walau ia sibuk bekerja. Ben merasa perlu memastikan keadaanku untuk tetap baik-baik saja. Seharusnya tidak perlu terlalu khawatir begitu, kan? Ya … bukannya aku merasa risih padanya. Tetapi aku bukan lagi anak kecil. Lagi pula aku malas menunggu kalau Ben terlambat sampai ke kampus. Dan benar saja. Ini adalah hari pertama, namun Ben belum juga

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Rencana yang Kacau

    “Hari ini kamu pulang jam berapa?” tanya Ben saat ia baru saja keluar dari kamarnya. Ia berpakaian rapi dengan setelan kemeja putih, jas dan celananya satu warna yakni abu-abu cerah. “Hm, mungkin sekitar jam tiga sore,” jawabku sambil meletakkan sepiring sandwich dan segelas susu untuk Ben. Tercium aroma sampo dari rambut Ben yang masih terlihat basah itu. “Thanks,” ucapnya. Wajah kami berdekatan dan entah mengapa aku merasa Ben terlihat tampan. Diam-diam aku menjadi grogi sendiri karenanya. Sambil menyantap makanan kami, aku coba memberanikan diri untuk meminta izin pada Ben perihal rencanaku dan Kylie, “Nanti selepas kelas terakhir selesai, aku boleh pergi bersama Kylie?” “Kemana?” “Mencari buku sejarah dan sedikit refreshing, hehe ….” “Hanya berdua?” Aku mengangguk, “Boleh, ya? Aku janji nggak akan pulang larut malam,” ucapku dengan mata berbinar yang penuh harapan. Ben sempat menatapku rag

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Rencana yang Kacau (2)

    [Milly. Aku mendadak perlu mengadakan rapat di perusahaan. Mungkin tidak lama. Aku mengabari kamu untuk antisipasi kalau saja aku tidak bisa menjemputmu. Kalau memang kamu pulang lebih dulu daripada aku, naik taksi saja ya dengan Kylie. Tak apa, kan? Aku minta maaf, ya ….] Aku terenyuh membaca pesan itu. Meski sibuk, Ben tetap berusaha memberi kabar dan peduli denganku. [Nggak pa-pa. Aku pulang naik taksi saja. Semangat Pak Bos!] Aku membalas pesan dari Ben sambil tersenyum lebar. Suamiku ini memperbaiki suasana hatiku yang buruk. Tak apa kalau aku merasa seperti ada kupu-kupu yang mau terbang di perutku ini, kan? “Milly? Kenapa senyam-senyum begitu?” ucap Kylie mendapatiku tersenyum menatap layar ponsel. Aku menggeleng, “Nggak pa-pa. Nanti pulang pakai taksi denganku, ya?” “Kamu ini … belum juga sampai di mall, tapi sudah membicarakan pulang!” ucapnya sambil melipat kedua tangan di dadanya. Aku mendengus dan

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Ibu Pinjaman

    Aku melangkah menuju suatu ruangan yang hampir tak pernah kudatangi. Ruangan yang sangat mewah, yang bahkan untuk melewati depan pintunya pun aku merasa segan. Seolah memiliki sihir yang bisa merubah atmosfer dari dalamnya. Dengan satu tarikan napas, kuberanikan diri untuk mengetuk perlahan pintu itu. Pintu dengan bahan kayu jati yang diselimuti cat berwarna hitam yang terlihat sangat kokoh. Di bagian atasnya tertulis larangan untuk masuk tanpa seizin pemiliknya. Tok ... tok ... tok. Aku menahan napas dan menggigit bibir. Terdengar suara wanita dengan tegas, "Siapa?" "Ini aku Milly," sahutku. Tak ada jawaban. Sekian detik aku menunggu, aku berpaling dengan niat untuk kembali ke kamar. Beliau mungkin sedang tak ingin diganggu olehku. Namun, ketika baru mau melangkahkan kaki, kudengar jawaban dari balik sana. "Masuk!" Mendengar perintah itu, aku berbalik kembali ke hadapan pintu. Kuraih daun pintu lalu mendorongnya perlahan, lalu berjalan masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan yang

Bab terbaru

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Rencana yang Kacau (2)

    [Milly. Aku mendadak perlu mengadakan rapat di perusahaan. Mungkin tidak lama. Aku mengabari kamu untuk antisipasi kalau saja aku tidak bisa menjemputmu. Kalau memang kamu pulang lebih dulu daripada aku, naik taksi saja ya dengan Kylie. Tak apa, kan? Aku minta maaf, ya ….] Aku terenyuh membaca pesan itu. Meski sibuk, Ben tetap berusaha memberi kabar dan peduli denganku. [Nggak pa-pa. Aku pulang naik taksi saja. Semangat Pak Bos!] Aku membalas pesan dari Ben sambil tersenyum lebar. Suamiku ini memperbaiki suasana hatiku yang buruk. Tak apa kalau aku merasa seperti ada kupu-kupu yang mau terbang di perutku ini, kan? “Milly? Kenapa senyam-senyum begitu?” ucap Kylie mendapatiku tersenyum menatap layar ponsel. Aku menggeleng, “Nggak pa-pa. Nanti pulang pakai taksi denganku, ya?” “Kamu ini … belum juga sampai di mall, tapi sudah membicarakan pulang!” ucapnya sambil melipat kedua tangan di dadanya. Aku mendengus dan

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Rencana yang Kacau

    “Hari ini kamu pulang jam berapa?” tanya Ben saat ia baru saja keluar dari kamarnya. Ia berpakaian rapi dengan setelan kemeja putih, jas dan celananya satu warna yakni abu-abu cerah. “Hm, mungkin sekitar jam tiga sore,” jawabku sambil meletakkan sepiring sandwich dan segelas susu untuk Ben. Tercium aroma sampo dari rambut Ben yang masih terlihat basah itu. “Thanks,” ucapnya. Wajah kami berdekatan dan entah mengapa aku merasa Ben terlihat tampan. Diam-diam aku menjadi grogi sendiri karenanya. Sambil menyantap makanan kami, aku coba memberanikan diri untuk meminta izin pada Ben perihal rencanaku dan Kylie, “Nanti selepas kelas terakhir selesai, aku boleh pergi bersama Kylie?” “Kemana?” “Mencari buku sejarah dan sedikit refreshing, hehe ….” “Hanya berdua?” Aku mengangguk, “Boleh, ya? Aku janji nggak akan pulang larut malam,” ucapku dengan mata berbinar yang penuh harapan. Ben sempat menatapku rag

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Berkatmu

    Sore ini aku selesai melaksanakan hari pertama ospek. Aku senang karena akhirnya aku kuliah di fakultas yang kumau. Yaitu jurusan seni musik. Sebetulnya aku tidak bisa bernyanyi. Namun aku bisa memainkan beberapa alat musik seperti piano, gitar, biola, dan sedikit drum. Aku menguasai itu karena sebelumnya papa mengizinkanku untuk ikut les alat musik sewaktu aku masih kecil. Aku menghubungi Ben untuk segera menjemputku. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendirian dengan mengendarai mobilku atau naik kendaraan umum. Namun sesuai ketentuan yang diberikan oleh Ben, aku harus di antar jemput olehnya, mengharuskannya mengantar dan menjemputku walau ia sibuk bekerja. Ben merasa perlu memastikan keadaanku untuk tetap baik-baik saja. Seharusnya tidak perlu terlalu khawatir begitu, kan? Ya … bukannya aku merasa risih padanya. Tetapi aku bukan lagi anak kecil. Lagi pula aku malas menunggu kalau Ben terlambat sampai ke kampus. Dan benar saja. Ini adalah hari pertama, namun Ben belum juga

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Hadiah dan Perceraian

    Ben memberikanku sweater tebal saat ia melihatku menggigil kedinginan di tepi danau dekat pondok yang kudatangi sejak satu jam yang lalu.“Maaf hanya ini tempat yang bisa kuberikan padamu sebagai tanda malam pertama pernikahan kita,” ucap Ben membuka obrolan.“Aku suka tempatnya,” ujarku.Ben menghela napas dan tersenyum, “Nggak perlu berpura-pura untuk menyenangkan hatiku,” sahutnya.“Siapa yang menyenangkan hatimu?”“Barusan kamu memuji tempat ini bagus.”“Aku memang menyukainya. Karena di sini hening dan aku bisa melihat langit dengan luas.”Ben mengangguk. Sepertinya ia ragu kalau ucapanku barusan benar-benar terus terang apa adanya.“Pondok ini kamu yang bangun sendiri?” Aku mencoba mencari topik.“Iya. Papa dan Mama pun nggak tahu.”“Kenapa kamu rahasiakan?”“Aku butuh ruang dan w

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Uninvited

    Aku berdiam di kamar sementara Rose kubiarkan sendirian di ruang tamu. Kudengar suara mobil Ben dari luar sana. Aku tidak berniat keluar kamar saat Ben membuka password rumah karena Ben pasti akan berpapasan dengan Rose. Beberapa waktu kemudian, Ben mengetuk pintu, “Milly?” panggilnya. Aku tak menggubris. Ben masih terus-terusan mengetuk, “Milly, aku bawa makanannya. Tolong buka dulu,” ucapnya lagi. “Kamu ngobrol sama Rose saja dulu. Nanti aku menyusul,” balasku. Ben tidak menjawab. Sepertinya ia langsung bergegas menemui Rose. Saat kukira itu adalah kedatangan Ben, aku mematung dan terkejut karena ternyata itu adalah Rose. Begitu melihatnya, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Rose memanggilku. Kukatakan padanya kalau Ben tengah keluar sebentar dan ia akan kembali beberapa menit lagi. Aku tidak tahu pasti di mana Rose menunggu. Sepertinya di ruang tamu karena aku mendengar langkah sepatunya menjauh dar

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Malam Pertama

    “Mill .. kita sudah sampai,” ucap Ben sambil mengguncang pelan tubuhku.Aku terbangun dan melihat ke sekeliling. Sepertinya sudah malam. Ben telah memarikirkan mobilnya di garasi sebuah rumah yang berdiri kokoh di hadapanku. Rumah yang nantinya akan kutinggali bersama Ben.“Masih ngantuk, ya? Beresin barangnya mau nanti dulu?” ucapnya yang melihatku masih menguap .Aku menggeleng, “Nggak, kok. Nanti kan bisa istirahat di dalam,” jawabku.Ben mengangguk dan keluar dari dalam mobil, lalu membukakan pintu dan mempersilahkanku untuk keluar. Ben selalu memperlakukanku seperti ini. “Thanks,” ujarku.“Kamu bukain pintu rumah. Biar aku yang bawain koper. Kodenya 090422,” Ben berlalu mennggalkanku dan berjalan menuju bagasi mobil.Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju pintu. Setelah yakin kalau password tersebut benar, aku mendorong pintu dan melangkah ke dalam.Aku memas

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Bintang Berharga

    Aku terjaga dan menyadari tubuhku terbalut selimut tebal. Aku terheran karena aku tidak merasa beranjak dari mobil dan melangkah menuju kamar ini. Kuperiksa ponselku dan jam menunjukkan pukul 10 malam. Ternyata aku tidur berjam-jam lamanya. Aku bolak-balik membenarkan posisi tidurku untuk mencoba terlelap lagi. Namun tidak bisa. Kuputuskan untuk pergi keluar kamar untuk minum dan membasuh wajahku. Kudapati Ben tengah duduk membelakangiku di mini bar. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang lebar dan gagah itu. Ia sudah mengganti bajunya menjadi kaos biasa berwarna putih dan celana pendek selutut. "Kamu belum tidur, Ben?" aku menyapanya. Ben menoleh padaku, "Eh, Milly ...." sahutnya sembari membereskan beberapa helai kertas di laptopnya. "Kok aku nggak sadar ya, Ben, pas pindah dari mobil ke kamar?" tanyaku sembari menarik kursi yang ada di hadapan Ben lalu duduk di sana. "Aku yang pindahin kamu," jawabnya. "Kamu? Gimana caranya?" "Aku gendong." "EH?!" Ben menoleh terkejut ka

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Pra-wedding (2)

    "Milly, kenapa kamu kaku begitu? Ayo kita ulang. Kalian kan sepasang kekasih. Kenapa begini?" ucap Lewis kesal karena berulang kali mengambil jepretan foto, namun hasilnya sangat buruk karena sikapku. Aku bisa melihat wajahnya yang letih. Aku merasa tidak enak, namun juga aku tidak bisa merasa nyaman karena ini pertamakalinya seseorang mengecupku. Terlebih itu adalah Ben. "Hanya berpose, tersenyum, lalu aku tekan tombol ini. Tidak begitu sulit, kan?" sambung Lewis. Aku menggerutu di dalam hati. Semudah itu katanya? Jika bukan karena aku harus memaklumi kalau Lewis tidak tahu fakta sebenarnya, mungkin kamera seharga C$4000 yang ada di tangannya itu sudah terombang-ambing di lautan sana. "Maaf ... aku akan benar-benar melakukannya kali ini," ujarku. Ben menghela nafasnya, "Lewis, sorry to say, but would you give us a minute?" "With pleasure," Lewis melangkah menjauh dari kami. Ben menyentuh bahuku dengan kedua telapak tangannya, "Mil, aku minta maaf, ya." "Maaf? Untuk apa?" "M

  • Bukan Kesepakatan Pernikahan   Pra-wedding

    Pagi ini, aku menghirup udara sejuk. Suara debur ombak meriuhkan suasana meski tidak terlalu banyak orang di sini bersama aku, Ben, Fotografer, dan Make-up Artist yang akan merias sesi pemotretan pra-wedding pernikahanku. Aku dan ben memutuskan untuk melakukannya dengan tema pantai di pulau yang berada di sebelah kota kami. Lokasinya memang tidak dikunjungi oleh banyak orang karena sebagian besar yang datang ke sini adalah orang-orang yang akan berselancar. Setelah kepulanganku dari rumah sakit, aku memutuskan untuk mempercepat seluruh persiapan pernikahan. Awalnya Ben bertanya padaku apa tak mengapa jika aku melakukan semua ini segera. Karena menurutnya, aku baru saja sembuh dari masa pemulihanku setelah kecelakaan yang menimpa. Namun aku berkata tak apa. Aku merasa harus cepat menyelesaikan seluruhnya oleh diriku sendiri daripada harus mendengar ocehan Tante Annette. Ben berkata tidak keberatan lalu mengosongkan beberapa jadwal untuk persiapan pernikahan kami dan menyewa vila yang

DMCA.com Protection Status