"Kalau memang kamu tidak mau merasa konyol, aku bisa saja lakukan itu denganmu saat ini juga" Rezo menantang Wailea.
Perasaan yang tidak wajar itu muncul di dalam diri Wailea. Seharusnya sebagai istri, jantungnya akan berdebar saat suaminya mulai mendekatinya. Tetapi ini berbeda, jantungnya berdebar karena rasa takut yang tidak bisa dijelaskan.
Dengan tatapan yang sangat tajam, Rezo menggapai tengkuk Wailea lalu mencium bibirnya dengan sangat kasar. Ciuman pertama yang dirasakan Wailea bukannya membuat suatu kenangan yang indah melainkan trauma yang menyakitkan. Dia mencoba berontak dan berusaha melepaskan dirinya dari rangkulan pria yang sepertinya memang tidak memiliki hati dan perasaan itu.
Akibat terlalu memaksakan diri, Wailea harus merasakan darah pada bibirnya. Bersamaan dengan itu, seseorang dari arah belakang menarik kerah baju Rezo dan memukul tepat mengenai ujung bibirnya. Siapa lagi pria itu kalau bukan Helix yang ternyata sedari tadi berada di lu
Rezo tetap saja membela diri dan juga pacarnya itu. Dia mengatakan pada Helix jika hal itu sangat tidak mungkin. Ketty belum pernah datang ke Jakarta apalagi ke rumahnya, jadi mana mungkin dia yang melakukannya. Helix menggelengkan kepala seolah merasa Rezo memang sangatlah bodoh. "Dia memang tidak pernah ke rumah lo, tapi bukan berarti tidak tahu alamat rumah lo kan?" pertanyaan Helix membuat Rezo terdiam dan memikirkannya. Ketty memang pernah mengirimkan barang Rezo yang tertinggal beberapa waktu lalu tepat ke alamat rumahnya. Rezo yang angkuh masih saja mengelak dan membela dirinya dan juga kekasihnya. "Kalau lo memang yakin tidak akan pernah jatuh cinta pada Wailea, kasih dia kesempatan yang dia minta! Dengan begitu setelah dua minggu lo dan Wailea akan berpisah. Kecuali kalau lo memang merasa sebenarnya ada kemungkinan jatuh cinta padanya, ya lo tidak akan berani. Kalau menurut gua, Wailea lebih dalam segala hal daripada selingkuhan lo itu. Jadi itu sebabnya lo
Suasana sore sangat sepi dan Wailea hanya berada di dalam kamar seorang diri tanpa melakukan kegiatan apapun. Ini sungguh membuatnya merasa bosan dan berharap agar bisa segera pulang. Kira-kira pukul lima sore usai dokter memeriksa kondisi kakinya, Wailea pun meminta dokter agar mengizinkannya pulang. Karena dokter melihat kaki Wailea sudah cukup baik dibanding hari kemarin, maka dokter mengizinkannya untuk pulang namun tetap harus rutin kontrol ke rumah sakit hingga sembuh total. Seperti biasa dokter memberikan nasehat dan juga pesan agar Wailea tetap beristirahat dan jangan banyak melakukan kegiatan yang memaksa kakinya untuk bergerak. Tak lama suster Novita pun masuk ke dalam ruangan bergantian dengan dokter Ratna. "Wah, bu Lea terlihat sangat bersemangat untuk pulang" suster Novita menggoda.Wailea hanya tersenyum memandang suster Novita. Suster Novita dengan sangat telaten dan berpengalaman menggantikan perban pada kaki Wailea. Dia juga melepa
"Lama sekali sih jalannya, aku lapar" baru sampai mobil Wailea sudah terkena semprotan Rezo. Wailea hanya diam dan dengan sekuat tenaga masuk ke dalam mobil lalu mengatur posisi duduk. Disepanjang jalan mereka hanya diam dan tidak ada satu topik pun yang mereka bahas. Sepertinya Rezo memang sedang terus berusaha membuat Wailea semakin kikuk dan tidak nyaman saat bersama dengannya. Setibanya di rumah, Rezo dengan sangat santai turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam. Sedangkan Wailea dengan perjuangan turun dari mobil dan berjalan tertatih-tatih. Saat berada di ruang tamu, Wailea sudah membayangkan akan kasurnya yang empuk dan kamarnya yang sudah tidak asing lagi. Tetapi saat dia tiba di kamar bukannya ketenangan yang ia dapatkan melainkan kalimat yang menghujam dadanya. "Berhubung kamu sudah tahu semua, jadi lebih baik kita tidur terpisah saja. Kamu bisa bawa semua barang-barang kamu dan pindah ke kamar sebelah" kata Rezo dengan sangat santai. Wail
Tokk,, tookk,, tookkk. Wailea mengetuk pintu. Rezo membuka pintu dan bertanya ada apa. Wailea memberikan paket itu padanya. "Kamu pesan makanan?" tanya Wailea. "Iya, kamu masak lama sekali. Aku hampir pingsan karena lapar" jawab Rezo santai. "Lalu kenapa tidak tadi sekalian kamu beli sewaktu perjalanan pulang?" tanya Wailea lagi kesal. "Tadi laparku hilang karena kesal menunggumu lama. Sampai di rumah rasa laparku menggebu-gebu" jawabnya lagi dengan nada yang masih sama. Wailea hanya menatap wajah Rezo dengan tatapan yang terlihat sangat kesal. "Kamu tidak perlu menatapku seperti itu. Makanan itu kan bisa kamu makan sendiri. Kalau memang kamu tidak suka, kamu bisa kok menceraikan aku" kata Rezo. "Aku tahu memang itu mau kamu. Tapi yang perlu kamu tahu, seberapa pun kerasnya kamu mencoba membuatku tidak nyaman atau bahkan kamu siksa aku, tidak akan mengubah pikiranku. Kecuali kamu mau kasih kesempatan itu padaku dan dengan jujur
"Kamu jebak saja dia dengan sahabat laki-laki yang kamu pernah ceritakan padaku itu. Kamu foto mereka saat sedang berdua. Bilang sama papa kamu kalau mereka ada sesuatu dibelakangmu. Dengan begitu namanya akan buruk dan papa kamu pasti tidak akan melarang untuk berpisah dengannya, Zo" kata Ketty menghasut. Ide Ketty ini bukan membuat Rezo setuju namun malah memuat Rezo berfikir lain. "Jangan bilang kalau yang mencelakai Wailea itu adalah ulah orang bayaran kamu!" Rezo menebak dengan lantang. Ketty gelagapan dan sempat terdiam, seolah memang dialah dalangnya. "Kenapa kamu jadi menuduh aku?" tanya Ketty kesal. "Ini bukan tuduhan, tapi fakta kan? Kamu mau jujur atau...?" tanya Rezo lagi menekan Ketty. "Ya, itu memang aku. Tapi tujuanku bukan untuk benar-benar mencelakainya tetapi hanya untuk menggeretaknya saja, agar dia takut dan menyerah" jelas Ketty dengan suara mengecil kerena takut. Hal ini membuat Rezo memandang buruk Ketty. Dia memang pern
Wailea membeku, semua keyakinan yang sudah dia kumpulkan sedari tadi seolah terseret arus ombak dan kini hilang entah kemana. Rezo yang melihat Wailea menatapnya dengan tatapan kosong lalu menepuk bahu Wailea dan bertanya apakah kesempatan itu masih berlaku atau tidak. Wailea kehilangan arah, bingung harus bersikap seperti apa. Haruskah dia senang atau malah sedih. Dengan berat hati, Wailea menganggukkan kepala tanda jika kesempatan itu memang masih ada. "Oke kalau begitu, itulah hal yang ingin aku sampaikan. Lalu kamu mau bilang apa tadi?" tanya Rezo. "Ahh itu, lupakan saja! Bukan sesuatu yang penting" jawab Wailea. Wailea tidak tahu apa penyebabnya Rezo bisa berubah pikiran dalam waktu yang sangat cepat. Baru saja dia bersikap begitu dingin dan kini malah dia meminta kesempatan itu. Apa karena tadi dia hanya sekedar menguji kesabaran Wailea atau karena ada hal lainnya. Setelah bersepakat, Rezo mengambil secarik kertas dan menulis s
"Thank you, Zo. Aku turun ya" kata Wailea saat sampai di halaman depan kantor. Dia membuka puntu mobil dan menurunkan kaki dan tongkatnya dengan sangat hati-hati. Sambutan pertama yang Wailea dapatkan bukanlah orang-orang yang baik padanya, melainkan dua orang yang selalu mencari-cari celah untuk menjatuhkan dan meremehkan Wailea. Siapa lagi kalau bukan Vins dan juga Lola, pasangan sahabat yang sama sekali tidak ada nilai baiknya. Mereka yang sedang asik merokok di depan halaman kantor menatap Wailea dari kejauhan dengan tatapan menyebalkan. "Wah, GM baru kita akhirnya datang. Tapi datangnya kok lebih lambat dari staff biasa ya, Lol?" sindir Vins dengan sangat gemulainya. Wailea terus saja berjalan tanpa memperdulikan. "Jangan begitu Vins, kamu tidak lihat dia berjalan dengan tertatih-tatih? Tapi dengan penuh tanggung jawab tetap hadir untuk bekerja loh" sahut Lola dengan nada bicara yang sangat menjengkelkan. Wailea masih saja terus berjalan menaiki anak tan
Sore harinya saat jam pun sudah menunjukkan waktunya untuk pulang, Wilea bergegeas merapikan mejanya dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Bersamaan dengan Helix mereka beriringan berjalan ke halaman kantor. Rezo terlihat sudah berdiri di depan mobilnya sambil menatap layar ponsel. Wailea melirik Helix seolah hatinya merasa tidak enak dengan situasi ini. Rezo memasukkan ponsel ke dalam saku celananya kemudian memandang ke arah Wailea dengan senyuman dibibir. Helix pun menyadari posisinya kemudian berjalan agak lambat agar Wailea mendahuluinya. "Kupikir aku yang akan menunggumu, ternyata malah kamu yang menungguku" kata Wailea saat sudah berada tepat di hadapan Rezo. "Ayo pulang!" ajak Rezo sembari membukakan Wailea pintu mobil. Wailea kembali melirik ke arah Helix lalu memasuki tubuhnya ke dalam mobil. Helix terlihat sangat santai dan tidak menoleh ke arah mereka sama sekali. Dia sibuk memakai helm dan juga menghidupkan motor besarnya. Disaat mobi