Putra yang sedari tadi memperhatikan Wailea dan Rezo akhirnya menyadari jika ucapan Helix memang ada benarnya. Sikap Rezo kepada Wailea seolah tidak menunjukkan jika dia adalah suami yang mencintai istrinya. Bagaimana tidak, sepanjang Wailea berbicara di depan, Rezo sama sekali tidak memperhatikannya. Bahkan disepanjang acara, Rezo hanya sibuk dengan ponsel di tangannya. Yang paling mencolok mata Putra yaitu, tidak ada ucapan selamat dengan wajah berseri-seri saat Wailea mendapatkan bingkisan dari owner perusahaan. Seperti memang tidak terjadi apapun di depan matanya.
Saat Wailea dan Rezo tidak terlihat lagi di dalam lokasi acara, Putra mengambil ponselnya lalu menghubungi nomor Helix. Dia berjalan menuju rooftop untuk mengintai Wailea dan Rezo, dia sangat penasaran.
“Sepertinya ucapan lo memang benar tentang Wailea” kata Putra saat telah terhubung dengan Helix.
“Maksud lo?” tanya Helix kebingungan.
Putra menjelaskan tentang apa ya
Hati Helix terasa sakit saat melihat beling itu melukai kaki Wailea. Ditambah lagi Wailea yang lemas dan pucat membuat Helix panik dan kebingungan. "Hel, kita cari penjambretnya ya" pinta Wailea dengan suara yang lemas. "Tidak, kita harus ke rumah sakit dulu!" tegas Helix. "Tidak, Hel. Semua barang di dalam tas ku itu penting!" kata Wailea lagi dengan suara mengeras. "Kamu lebih perduli pada barang-barang itu daripada kaki kamu sendiri?" tanya Helix terheran-heran. Wailea hanya terdiam. "Penjambret itu berapa orang dan lari ke arah mana?" tanya Helix. "Mereka mengendarai motor, jumlahnya dua orang" jawab Wailea. "Sudah tahu itu motor kenapa masih dikejar?" tanya Helix lagi dengan nada meninggi. Wailea hanya menatapnya sebentar dengan tatapan kesal. Helix merasa aneh dengan kejadian ini. Belum pernah ada kejadian penjambretan di daerah itu sebelumnya. Hatinya kesal, kenapa harus Wailea? "Kamu ingat plat mot
Sesampainya di klinik, Wailea langsung dibawa ke IGD. Perawat meminta agar Helix menunggu di luar untuk sementara waktu. Dari kaca pintu Helix memandangi ke arah dalam ruangan. Terlihat Wailea yang masih terus mengerang kesakitan. Dokter pun mulai menyiapkan beberapa hal, mulai dari suntikan bius hingga alat-alat kecil yang akan digunakan untuk menarik beling itu keluar dari kakinya. Hal ini cukup membuat Helix merasa ngilu. Sambil menunggu, Helix memutuskan untuk pergi ke suatu tempat. Usai mendapat tindakan, Wailea di bawa ke ruang pemulihan. Kondisi Wailea memang masih dalam keadaan sadar. Ini karena dia hanya di bius lokal, artinya biusan itu hanya untuk menghilangkan rasa sakit pada bagian yang akan ditindak lanjuti dan tidak menyebabkan pasien tertidur. “Bapak Helix, silahkan istrinya sudah bisa ditemui” kata seorang suster dengan senyum yang sangat ramah. Apa kata suster tadi, istri? tanya Helix dalam hatinya dengan kegirangan. Hanya dengan kata itu sa
“Rumah kamu yang mana, Lea?” tanya Helix sambil terus fokus menatap ke arah kiri. “Sedikit lagi” jawab Wailea. “Yak.. sampai” Helix membawa mobil masuk ke dalam halaman. Dilihatnya rumah yang cukup minimalis dengan pilihan warna hitam, putih dan abu-abu. Namun, halamannya begitu luas. Walaupun memang tertata rapi dan banyak pohon bunga yang membuat kesan hidup, tetapi mengapa rumahnya di design begitu sempit sedangkan halamannya seluas lapangan bola? “Design rumah macam apa ini? Ini rumah apa taman kota?” tanya Helix bingung. Wailea menaikan bahunya tanda dia pun tidak mengerti. “Pak satpamnya dimana?” tanya Helix lagi yang semakin penasaran. “Tidak ada pak satpam, tidak ada mbak asisten rumah tangga, tidak ada mas tukang kebun, tidak ada ibu tukang masak dan tidak ada om tukang bersih kolam” jawab Wailea santai. Helix melongo menatap Wailea. “Ya. Tepat seperti apa yang kamu pikirkan. Semuanya aku lakukan sendiri. Ya kecuali kola
Handphone itu memang barang yang diinginkan Wailea senjak pertama dia melihat iklannya di sosial media. Mencoba menabung tetapi disaat sudah terkumpul, Wailea malah enggan membelinya. Katanya saat itu, kasian uangnya habis hanya untuk satu barang. Helix yang diam-diam ternyata memperhatikan apa yang menjadi keinginan Wailea. Bukan itu saja, dia juga sering mencari tahu apa yang menjadi kesukaan maupun apa yang sedang dibutuhkan Wailea. Helix memang sangat ingin menjadi orang yang berguna bagia Wailea, walaupun dia tahu perasaannya itu hanyalah kesia-siaan yang tidak akan pernah mendapat balasan. “Ketika seseorang mencitai, dia akan berusaha semampunya untuk membuat orang yang dia cintai tersenyum bahagia. Dia juga akan berusaha sekuatnya untuk melindungi dan menjaga. Walaupun perasaannya itu tidak terbalaskan, namun semua itu akan dilakukan dengan kerelaan hati” kata Helix. “Aku tidak mengharapkan apapun saat memberikan kamu sesuatu. Aku pun tidak pernah menginginkan
“Halo, Hel” sapa Wailea. Disaat yang sama, pintu utama terdengar sedang di ketuk oleh seseorang dengan sangat keras dan gaduh. “Hel, sebentar ya. Sepertinya papa mertuaku datang” kata Wailea sembari berjalan keluar dari kamar. Dari seberang telepon terdengar Helix yang terus memanggil nama Wailea dengan nada panik, namun suaranya saru di dengar karena ponsel itu digenggam oleh Wailea di tangan kirinya. “Sebentar Helix. Aku susah jalan nih” kata Wailea. “Jangan buka pintu itu, Lea!” Helix berteriak. Langkah Wailea terhenti saat mendengar teriakan itu. Bersamaan dengan langkahnya yang terhenti, dua orang pria dengan baju serba hitam beserta topi dan masker masuk dan berlari kearah Wailea. Wailea berteriak memanggil nama Helix dengan sangat kencang. Saat dia membalikkan badan hendak berlari menuju kamar, tongkatnya terjatuh. Ini membuat dirinya terpaksa menginjakkan kaki yang terluka itu agar dapat berlari. Dengan rasa sakit yang begitu m
“Hel, apa jangan-jangan ada yang tidak suka dengan pengangkatanku ya?” tanya Wailea menerka-nerka. Helix terdiam sejenak memikirkan hal tersebut. Namun nalurinya berkata lain, dia merasa jika Rezo lah dalang dari semua ini. Mengingat dengan apa yang pernah dia lakukan dulu pada Wailea soal sopir taksi. Helix menggelengkan kepala dan berkata “aku tidak tahu, tetapi aku berjanji akan menemukan penjahat itu dan bertanya apa sebenarnya yang dia inginkan dari kamu”. Saat Wailea menghapus air mata dengan tangan kirinya, terlihat dengan sangat jelas garis memar dan luka di tangannya. Helix bereaksi dengan sangat spontan. “Wailea!” bentaknya. Teramat jarang didengar oleh Wailea ketika namanya disebutkan lengkap oleh Helix. Wailea tercengang menatap Helix. “Kamu kenapa sih? Jangan karena handphone itu adalah mimpi kamu sampai-sampai kamu rela mengorbankan tangan kamu demi menyelamatkan benda itu!” kata Helix dengan nada kesal. Sebenarnya dia seperti ini hanya karena k
Helix sontak kaget mendengar pertanyaan Wailea, ekspresi wajahnya terlihat sangat lucu. "Kamu baru sadar sudah langsung tanya soal makanan?" tanya Helix heran. Wailea tersipu malu. "Aku pikir infus saja sudah cukup membuatmu merasa kenyang" kata Helix mengejek. Wailea menatapnya sadis. "Okay. Kamu mau makan apa permaisuri?" tanya Helix dengan senyuman yang begitu menggemaskan. Tahan Wailea tahan, katanya dalam hati. Sesungguhnya ingin sekali rasanya dia menarik hidung Helix yang panjang dan menggigitnya hingga pria itu menangis. Tetapi lagi-lagi dia harus menahan dirinya agar terlihat biasa saja dan seolah tidak terbawa perasaan. "Aku mau cupcake" kata Wailea girang. "Itu sudah pasti akan kubelikan. Selain itu apa lagi?" tanya Helix. "Alpokat kocok, boleh?" tanya Wailea berharap. "Boleh saja, tapi dengan sedikit es ya?" tegas Helix. Wailea pun mengangguk tanda setuju. Helix bertanya lagi, makanan apa lagi yang dia
“Senang bisa bertemu lagi dengan anda, pak” kata Helix yang kini telah berdiri tepat di hadapan Ruben. Cara pandang Ruben pada Helix telah berubah. Awalnya dia begitu bangga bisa berkenalan langsung dengan pelukis hebat dan berbakat ini, tetapi sekarang malah perasaan bangganya mendadak berubah menjadi kekhawatiran yang tidak terarah. Meski pun begitu, Ruben masih tetap berusaha untuk tersenyum kepada Helix. “Terima kasih telah menyelamatkan menantu saya” kata Ruben. Helix menepuk bahu Ruben sambil tersenyum. “Tapi bagaimana bisa, anda berada di sana tepat waktu?” tanya Ruben yang masih penasaran. “Saya pun tidak mengerti mengapa bisa demikian. Tapi yang lebih membuat saya tidak mengerti yaitu mengapa bapak tidak bertanya pada anak bapak, kemana dia disaat genting seperti ini?” Helix membalikkan situasi. Ruben terdiam, entah apa yang harus dia jawab. Ruben berhenti menatap pria di depannya itu dan melirik plastik belanjaan yang di jinjing Helix. Terli