🍁 Tiara 🍁
Aku tengah membersihkan riasan wajahku. Selesai sudah acara pernikahan yang memuakkan ini. Jika bukan karena desakkan Papah, aku tak sudi menikah dengannya. Meski semua keluargaku dan para sahabat mengatakan dia sangat tampan. Tapi bagiku, dia biasa saja.
Suara pintu terbuka menampilkan sesosok lelaki jangkung dengan kulit yang tidak terlalu putih tapi juga tidak terlalu gelap. Kulihat lelaki yang kini bergelar suamiku mengulas sebuah senyum. Tampan. Namun, aku hanya menatapnya sekilas lalu memilih melanjutkan aktivitas untuk membersihkan wajah dan semua pernak pernik yang menempel pada tubuhku.
“Boleh aku masuk, ‘kan?”
Aku hanya mengangguk, malas bersuara.
“Aku mau numpang ke kamar mandi boleh?”
“Silakan,” sahutku dengan ekspresi muka datar.
Lelaki itu menuju ke kamar mandi, sedangkan aku melanjutkan melepaskan hiasan di kepalaku. Setelah kurang lebih lima belas menit, dia keluar dan telah mengganti bajunya dengan koko dan sarung.
“Aku tunggu disini, nanti kita salat jamaah bareng.”
Aku tak menjawab tapi segera pergi menuju ke kamar mandi. Tak pula dengan membawa pakaian ganti.
***
“Assalamu'alaikum Wr. Wb ... Assalamualaikum Wr. Wb.” Gilang membalikkan badannya ke arahku dan mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dengan enggan.
Selesai salat aku merebahkan diriku di atas sofa, kemudian mengambil salah satu novel yang aku suka dan membacanya. Sedangkan Gilang memilih duduk di sisi ranjang sebelah kiri.
“Ekhem.”
Aku meliriknya sepintas tanpa niat untuk merespon lebih.
“Dek Tiara bisa kita bicara sebentar.”
“Ngomong aja,” sahutku pendek.
“Aku tahu pernikahan kita memang hasil perjodohan tapi aku harap pernikahan ini akan berjalan dengan semestinya.” Dia mengambil nafas kemudian melanjutkan bicaranya.
“Jadi, mari kita saling mengenal dan membuka diri,” lanjutnya.
Aku menatapnya untuk beberapa saat. Kemudian mulai merespon perkataannya.
“Jangan terlalu berharap denganku, aku hanya menikah karena keinginan Papah. Terserah kamu kalau mau punya istri lagi. Aku gak masalah.”
“Maksud kamu apa?” terlihat Gilang gelisah.
“Maksudku, aku mengijinkan kamu menikah lagi. Karena pernikahan ini, bagiku sebatas status saja. Jadi, kalau kamu ingin mempersunting Amanda kekasihmu itu, gak masalah bagiku. Masalahnya toh ada pada kedua orang tuamu kok. Bukan aku,” jawabku sinis lalu melanjutkan membaca novelku.
“K-kamu tahu?”
“Tentu saja aku tahu, justru alasan aku mau nikah sama kamu karena aku tahu kamu berpotensi selingkuh atau poligami jadi itu bisa kujadikan alasan untuk bercerai,” sahutku mantap.
Kulihat raut muka Gilang memerah menahan marah. Tangannya tampak mengepal.
“Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu, Dek?” ucapnya bergetar menahan amarah.
“Kamu pikir aku lelaki brengsek begitu?” Kali ini Gilang terlihat tak bisa menahan emosinya. Suaranya dingin, rahangnya mengeras dan matanya menatapku dengan penuh amarah.
Dia pikir aku akan takut apa? Hohoho. Aku Tiara ya. Aku bukan seorang penakut apalagi hanya karena seorang Gilang.
“Gampang kok, aku menilai kamu. Karena kamu laki-laki. Laki-laki punya nafsu jadi gak mungkin lima tahun pacaran gak ngapa-ngapain. Selain itu, aku pernah melihatmu keluar dari hotel bareng Amanda. Menurutmu apa yang akan dipikirkan oleh calon istrimu melihat calon suaminya keluar dari hotel kelas melati di pagi hari?” ucapku sinis.
Dia terlihat menahan amarahnya. Kerutan di dahinya bahkan sangat terlihat nyata. Gilang terlihat akan membalas perkataanku tapi sepertinya diurungkan. Entah kenapa dia tidak mendebatku lagi? Karena dia diam, aku pun diam dan memilih fokus pada kegiatan membacaku. Masa bodoh sama Gilang meski kini dia sudah menjadi suamiku.
Malam pertama kami lewatkan hanya dengan diam. Tak ada obrolan sedikit pun diantara kami. Bahkan aku sengaja memilih tidur di ruangan kecil yang terletak di ujung kamarku. Ruangan ini sengaja kuminta sebagai ruang kerja pada Papah. Dan ternyata sangat berguna apalagi demi untuk menghindari lelaki yang kini bergelar suamiku.
Pagi harinya, interaksi yang terjadi antara kami berdua nampak canggung. Baik aku dan Gilang kompak memasang tampang baik-baik saja. Meski banyak ledekan dan juga bullyan dari keluarga kami. Baik aku dan Gilang memilih diam dan tak menanggapi.
“Cie ... pengantin baru nih ye.”
“Wuih. Pagi-pagi keramas.”
“Berapa ronde nih.”
“Hahaha.”
Begitulah godaan dari keluargaku dan keluarga Gilang. Aku memilih cuek dan fokus sarapan. Tapi dasarnya aku lagi sial, Papah dengan tegas memintaku melayani Gilang saat makan. Mau tak mau aku mengambilkan nasi beserta lauk pauknya. Karena aku dan Papah punya kebiasaan sarapan dan makan malam bareng jadilah setiap acara makan, aku harus meladeni Gilang dan memasang senyum palsu. Haish, menyebalkan!
*****
🍁 Gilang 🍁“Papah minta kamu menikah sama Tiara, dia anak sahabat papah. Papah yakin dia anak yang baik,” titah Papah penuh ketegasan.“Tapi Pah, demi Allah, Gilang gak cinta sama dia. Gilang cintanya sama Amanda. Amanda gadis yang baik Pah,” kekeuhku.“Amanda putranya Rosna? Si perebut suami orang lain, bahkan membuat suaminya sendiri mati karena menahan sakit hati? Mamah gak setuju kamu sama Amanda. Apa kamu gak lihat kakak lelakinya? Si Anton persis ibunya. Merebut istri sepupumu, Martin. Paling Amanda gak jauh beda sama ibu dan kakaknya. Paling nanti juga selingkuh bahkan jadi pelakor. Camkan omongan mamahmu ini,” sinis mamah.“Ya Allah, Mah. Amanda gak seperti itu. Amanda gadis baik. Gilang cinta sama Amanda.”“Oke nikahi dia, tapi akan mamah doakan hidup kamu gak berkah. Tak akan pernah ada kebahagiaan dalam rumah tangga kalian. Gak akan ada harta gak akan ada anak dan awas saja kalau na
🍁 Tiara 🍁Aku tengah berjalan menyusuri toko rotiku. Aku lulusan sarjana ilmu gizi dan memilih bekerja dengan membuat usahaku sendiri.Savira Cake and Bakery diambil dari nama mendiang adikku. Dia meninggal saat berusia lima bulan. Aku sangat sedih saat itu. Tujuh tahun kunantikan kehadirannya. Setelah dia lahir ternyata aku hanya diberi kebahagiaan menjadi kakak selama lima bulan. Aku pikir aku akan mempunyai adik lagi ternyata mamahku malah bercerai dengan Papah saat usiaku menginjak delapan tahun.Benci, marah sekaligus rindu berkecambuk dalam hatiku kala itu. Aku sangat membencinya. Dia bahkan menjadi lebih perhatian pada kedua anak tirinya daripada diriku, hingga saat usiaku sepuluh tahun, aku menangis memintanya datang ke acara ulang tahunku. Saat itu hujan lebat disertai petir. Aku ke sana ditemani Mbok Nem, pengasuhku.Dia menolak tegas dengan alasan sedang hamil muda, adikku katanya. Masih kuingat dengan jelasbinar wajah bahagianya
Genap tiga bulan pernikahanku dengan Gilang. Namun, hubungan kami masih dingin. Lebih tepatnya akulah yang menjarak. Gilang selalu berusaha mencairkan kecanggungan kami. Tapi aku memilih menutup mata, telinga dan hati. Masa bodoh, kalau dia lelah pasti dia akan menceraikanku. Apalagi aku tahu jika Amanda sudah kembali dan bekerja di kantor yang sama dengannya.Dan aku pun tahu, Amanda tengah berupaya merebut Gilang dariku. Baguslah, biarkan si pelakor beraksi. Sebentar lagi buaya cap badak bakalan terpikat. Dan aku akan melenggang bebas, sendiri seperti dulu.Beberapa kali Mamah memintaku mengunjunginya, namun tak pernah kugubris. Aku selalu berpikir aku tak butuh ibu seperti dia, lagian aku masih mempunyai ayah yang menyayangiku setulus hati. Suami? Halah, sebentar lagi paling juga lari ke pelukan mantannya.“Tiara?”“Mamah. Kapan datang?” ternyata Mamah mertua yang datang.“Baru saja. Wah, toko roti kamu semakin rame
🍁 Gilang 🍁Menurut kalian lebih baik memiliki raganya tapi tidak hatinya atau memiliki hatinya tapi tidak raganya? Silakan kalian pilih karena untuk saat ini aku tidak punya pilihan alias mentok tembok jadi aku belum punya jalan keluar. Apalagi memilih.Tiga bulan lamanya kami menikah, namun Tiara masih saja dingin kepadaku. Padahal aku sudah berusaha bersikap manis padanya. Yang membuatku sedih adalah sikapnya begitu hangat jika sedang bersama Mamah, Papah bahkan Hana. Dia bisa menjadi pribadi yang hangat bahkan selalu tersenyum.Senyum itu, adalah senyum terindah yang pernah kulihat. Secara fisik, baik Tiara dan Amanda sama-sama cantik. Tapi entahlah, aku tidak mengerti dengan urusan hati. Sungguh aku akui aku telah jatuh cinta pada istriku karena senyumnya. Senyum tercantik yang pernah kulihat ternyata ada padanya. Sayang senyum itu tak pernah terbit untukku.Berbagai cara kulakukan untuk membuatnya jatuh cinta, minimal menerima kehadiranku. Namun, m
🍁 Tiara 🍁Semenjak kejadian handuk, aku semakin bersikap dingin bahkan di depan Papah. Aku tak peduli, aku merasa terhina sekali. Dalam bayanganku Gilang pasti bersorak karena melihat yang harusnya tak boleh dia lihat dan dia akan membandingkannya dengan Amanda.Dalam tiga bulan pernikahan kami, mau tak mau kadang kami harus seranjang terutama jika menginap di rumah mertua. Tapi kalau di rumah, aku tidak mau seranjang lagi dengan Gilang.Aku kini selalu tidur di ruang kerjaku, masa bodoh tubuhku harus menahan rasa sakit akibat tidur di sofa yang penting aku tidak seranjang dengannya.Selama seminggu ini, kami tak pernah bertegur sapa. Bahkan saat kami sedang perjalanan ke Jogja bersama keluarga besarnya aku memilih pura-pura tidur hingga mobil sampai di tempat tujuan.“Ayok Nduk, beginilah rumah orang tua papahnya Gilang. Masih model kuno. Sengaja dipertahankan seperti ini karena rumah ini menyimpan begitu banyak kenangan, ya &lsqu
🍁 Gilang 🍁Aku senang sekali Tiara membelikanku kemeja batik. Bahkan malam harinya langsung aku pakai.“Kamu mau kemana, Lang?” tanya Budhe Narti.“Gak kemana-mana, Budhe.”“Kok pake batik?”“Gak papa kepingin aja.”“Ya ampun Mas, itu belum dicuci juga,” gerutu Hana.“Biarin.”“Mambu Mas.”“Ya gak usah cium-ciumlah. Gitu aja repot.”“Astaga! Mbak Tiara yang sabar ya sama kelakuan nyeleneh masku.”Kulihat Tiara hanya tersenyum kikuk. Ya Allah, kapan es batu dalam hati istriku mencair? Sungguh aku tersiksa.***“Baru pulang kerja, Lang?”“Iya Pah. Tiara mana?”“Tadi di depan, kayaknya beli sesuatu di warung Pak Ulin.”“Oh.”Aku tengah mencopot sepatuku ketikaPapah mengajakku bicara serius.&
🍁 Tiara 🍁Aku tersipu malu. Astaga apa yang baru kulakukan? Kenapa aku membalas ciumannya? Bodoh! Daripada memikirkan kejadian tadi aku lebih memilih mengangkat teleponku.“Ya Halo?”“Mbak Tiara?”“Kenapa Asih. Tumben nelepon?”“Budhe, Mbak Tiara. Budhe sakit. Sekarang ada di rumah sakit.”Aku kaget untuk beberapa saat kemudian menarik napasku pelan.“Ya sudah, aku akan ke sana.”“Baik, Mbak.”Aku berbalik dan kaget karena hampir saja menabrak Gilang. Ngapain tuh cowok di belakangku.“Kenapa?” tanya Gilang penasaran.“Mamahku sakit, aku harus ke Semarang malam ini juga.”“Ya udah ayuk.”“Ayuk kemana?” Aku mengernyit bingung.“Ke Semarang lah tapi sebelumnya kita pulang dulu.” Akumasih bingung. Maksudnya apa?“Tiar, ini mau dibereskan ap
Aku tengah merenung di dekat kandang ayam milik Paklik Widodo, ayahnya Asih. Aku meratapi nasibku yang sudah dibuka segelnya. Astaga! Kenapa aku diam saja? Kenapa juga aku sangat menikmatinya. Ya Tuhan Tiara, kamu kenapa?Hampir satu jam aku duduk di atas dingklik atau jengkok (kursi kecil). Setelah mengurus Mamah dan menyuapinya aku langsung bersembunyi di sini. Aku sangat malu jika harus bertemu dengan Gilang pun dengan anggota keluarga yang lain. Aku bahkan sengaja memakai sweater dengan bagian leher yang tertutup karena leherku penuh dengan tanda merah buatan Gilang.“Di sini rupanya! Aku cari-cari dari tadi loh.”Aku kaget, lalu menoleh ke sumber suara. Gilang berjongkok di depanku, kemudian menatapku dengan tatapan menghujam namun lembut. Aku gugup dan segera memalingkan muka.“Hahaha.”Gilang tertawa tapi aku memilih tetap memalingkan muka.“Terima kasih ya, beneran acara buka segel yang luar biasa. Kamu
Menjalani kehidupan berumah tangga itu bagaikan naik roller coaster. Kadang naik, kadang turun, kadang landai lintasannya. Namun, semua itu selalu disyukuri oleh pasangan Shaka dan Safa. Meski terkadang keributan selalu ada tetapi mereka bersyukur, rasa cinta yang awalnya tak ada kini begitu tersemai membuat masing-masing tak pernah menyalahkan masa lalu mereka.Ya, meski pertemuan keduanya tidak baik hingga melakukan kesalahan fatal. Tetapi keduanya bertekad untuk menjalani rumah tangga dengan lebih baik. Safa yang selama ini selalu menganggap jika kisah percintaannya selalu berakhir tragis, akhirnya menemukan muara cintanya. Dia adalah Shaka. Lelaki baik yang mampu menjadikannya ratu di rumah. Meski kadang suaminya sedikit menyebalkan tetapi Safa tetap cinta. Orang kan gak ada yang sempurna termasuk dirinya. Asal dia jangan diduakan, itu sudah jadi harga mati.Dan Shaka yang selalu dibayangi kesalahan sang ayah, kini menemukan cintanya. Dia adalah Safa. Safa yang telah membuatnya ja
Hampir dua minggu Shaka dirawat setelah sadar dari komanya. Kini Shaka mulai berlatih berjalan dengan bantuan tongkat kruk. Selama seminggu sekali dia harus kontrol hingga pada bulan ketiga setelah dia sadar, Shaka sudah bisa berjalan dengan lancar meski kadang-kadang masih merasakan nyeri pada kaki yang pernah terluka.Hari ini, adalah hari persidangan akhir dari Firman untuk kasus pembunuhan berencana terhadap Amanda dan calon suaminya. Shaka datang bersama Safa, Ajeng, Ari, Revan, Gilang, Erik dan Radit.Sidang berjalan lancar karena Firman sepertinya sudah pasrah. Setelah pembacaan putusan sidang, hakim kepala mengetuk palu sebagai tanda berakhirnya sidang. Shaka menemui Firman. Firman menatap Shaka dengan penuh amarah."Puas kamu. Puas kalian?!" teriaknya dari balik kursi roda. Cedera kaki Firman lebih parah dari Shaka sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk penyembuhan.Firman terus mengumpati Shaka namun balasan Shaka adalah sebuah pelukan. Membuat Firman terdiam. Bahk
Shaka membuka matanya. Ternyata dia berada di sebuah taman yang indah. Shaka mengelilingi taman guna mencari seseorang yang bisa dia tanyai. Shaka merasa heran. Dia merasa asing dengan tempat yang dia datangi saat ini."Aku dimana? Bukannya aku kecelakaan. Safa mana?"Shaka terus saja berkeliling hingga tatapannya tertuju pada sosok lelaki yang sedang duduk di bawah pohon rindang dengan memangku seorang gadis kecil. Shaka berjalan ke arahnya. "Pak maaf. Apa Ba—"Lelaki yang dipanggil oleh Shaka mendongakkan wajah lalu tersenyum. Shaka sendiri hanya bisa mengatupkan bibirnya. Cukup lama Shaka berada dalam keterdiaman pun lelaki tua di depannya dan sosok gadis cilik yang dengan santai bergelayut manja pada pangkuan sang kakek."Kakek, aku rindu Mamah.""Iya sayang, ayok kita temui ibumu."Lelaki itu berdiri, dia menggenggam tangan si gadis cilik, bersama-sama keduanya berbalik. Baru tiga langkah kedua pasangan itu melangkah namun dicegah oleh Shaka."Tunggu. Kalian mau kemana?"Lelaki
Revan menatap sinis pada Bayu dan Farhan. Mereka semua dipanggil ke kantor polisi terkait peristiwa tabrak lari yang dialami Shaka dan Safana. Polisi sudah menindaklanjuti laporan Revan, bahkan bukti-bukti sudah sampai di hadapan penyidik. Revan tentu saja tersenyum puas. Sudah bisa dipastikan dua orang itu akan di penjara setelah keluar dari rumah sakit. Revan sudah mendapatkan kabar jika Firman sudah sadar. Dan itu bagus. Polisi jadi bisa langsung menindak si biang onar."Jadi begitulah, Pak Farhan dan Pak Bayu. Semua bukti mengarah pada Saudara Firman terkait kecelakaan yang dialami Saudara Shaka dan istrinya. Dan satu hal lagi. Pihak kepolisian Surabaya sudah berhasil menangkap Saudara Hari. Saudara Hari sudah memberikan keterangan sejelas-jelasnya perihal kematian Saudari Amanda dan calon suaminya. Dan tentu saja, Pak Farhan pasti paham maksud saya."Sang penyelidik berhenti bicara. Dia sengaja menjeda kalimatnya. Farhan hanya bisa menunduk pasrah."Iya Pak.""Kami akan terus me
Ajeng sedang menangis di bahu sang suami. Pun dengan Andini. Dia bahkan sempat pingsan saat mendengar anak dan menantunya mengalami musibah.Revan yang baru datang bersama Alif langsung menuju TKP. Kini, keduanya sedang mendengarkan kronologi kejadian yang menimpa adiknya dari salah satu petugas."Tabrak lari?" tanya Revan."Iya, Pak. Berdasarkan rekaman CCTV, di sekitar jalan yang dilewati Ibu Safa dan Pak Shaka, terekam jelas jika mobil sempat berhenti lalu tiba-tiba melaju kencang saat kedua korban hendak menyeberang.""Kurang ajar. Plat nomernya bisa dilacak?""Sedang dilacak, Pak. Kebetulan plat nomernya terbaca di CCTV. Beberapa korban yang lain juga sempat memotretnya."Revan manggut-manggut. Sang polisi pamit untuk kembali bertugas. Sementara Revan dan Alif segera masuk ke rumah sakit dan segera menuju ruang IGD rumah sakit Bunda Kasih."Pah, Mah. Om, Tante. Gimana Safa sama Shaka?"Andini langsung memeluk putranya. Dia menceritakan kondisi Safa dan Shaka."Keponakanku gimana?
Firman melempar ponselnya dengan keras. Beruntung ponselnya adalah ponsel mahal sehingga tahan banting. Dia marah karena lagi-lagi akan masuk ke dalam penjara. Pasal yang ditujukan padanya saat ini adalah pencemaran nama baik, pelaku video mesum dan penyebarnya. Sementara Diana yang duduk di sofa apartemennya hanya bisa menunduk. Dia pun akan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik dan pelaku video mesum."Argh. Pengacara yang disewa kamu itu kenapa bisa kalah? Kamu bilang dia salah satu pengacara terbaik. Kenapa bisa kalah?""A-aku gak tahu.""Arghhhh!"Firman membanting apa saja yang ada di apartemennya. Diana sendiri lebih memilih diam. Sesekali mengelus perutnya. Ponsel Firman kembali berdering. Dengan malas-malasan dia berjalan menuju dimana ponselnya tergeletak. Nama yang tertera di layar membuat Firman mengernyit, dia segera mengangkat ponselnya."Hai, Bro. Ada a—""Polisi sudah menemukan bukti keterlibatan kamu dalam kematian Amanda dan calon suaminya. Oran
Safa kaget ketika membuka pintu. Tampaklah Diana yang tersenyum sendu ke arah Safa."Diana.""Hai, Fa. Boleh aku masuk?"Sebelum Safa berkata terdengar suara sang ibu mertua yang menanyakan siapa yang datang."Siapa Fa?"Ajeng mendekat ke arah pintu. Saat tahu siapa tamu yang datang, wajah Ajeng yang awalnya terlihat ceria menjadi berubah. Ada rasa tak suka yang tak bisa dia sembunyikan."Hai, Tante Ajeng. Apa kabar?" Diana berusaha berbasa-basa."Baik. Ada keperluan apa kamu ke sini, Diana?" Ajeng langsung bertanya to the point."Diana cuma mau minta maaf, Tante.""Kami sudah melupakan semuanya, jadi kamu tak perlu minta maaf lagi.""Tapi Diana sungguh menyesal, Tante. Diana merasa belum lega kalau belum meminta maaf.""Tidak perlu. Cukup kamu jangan lagi muncul dalam kehidupan kami, terutama kehidupan Shaka dan Safa. Itu sudah lebih dari cukup. Kami tak meminta lebih."Diana hanya bisa tersenyum sendu. Tatapannya mengarah pada Safa yang berdiri tak jauh dari dia."Maafkan aku, Fa.
Safa berhenti, dia membungkuk untuk mengambil botol susu milik seorang anak yang terjatuh."Ini, Mbak botol susunya.""Iya, makasih Mbak. Maaf tadi saya— Safa."Mariana menatap kaget ke arah Safa, pun dengan Safa. Keduanya tak sengaja bertemu di sebuah mall. Semenjak hamil besar, Safa memang sering bolak balik ke toilet. Pun kali ini. Namun, dalam perjalanan kembali dari toilet, dia melihat seorang ibu yang sedang kesusahan membawa barang belanjaan sambil menggendong anaknya. Sang bayi menangis meminta susu. Sang ibu pun memberinya dengan sedikit kesusahan karena bayinya bergerak terlalu kencang hingga botol susu yang hendak Mariana serahkan malah terjatuh.Kedua mantan sahabat hanya saling terdiam. Safa yang pertama sadar, karena mendengar suara tangisan bayi."Lapar ya? Ini."Safa membantu sang bayi dengan mengarahkan ujung dot pada mulutnya. Sebelumnya Safa sudah membersihkan ujung dot dengan tissue yang ada dalam tasnya. Sang bayi yang sudah menemukan sumber makanannya berhenti m
Plak! Sebuah tamparan keras Farhan layangkan untuk Firman. Dia menatap putranya penuh amarah. Marisa yang melihat sang anak ditampar hanya bisa menjerit sementara Firman mengelus pipinya dengan amarah pula."Mau sampai kapan kamu kayak gini hah? Belum puas kamu dulu menghamili Desty dan Amanda. Lalu ini apa? Kamu menghamili dua wanita sekaligus."Farhan membanting foto-foto Firman sedang beradegan mesra dengan dua wanita. Yang satu bernama Laila, sekretaris Firman saat ini. Sementara satunya lagi adalah Diana."Orang tua Laila, minta kamu nikahin dia. Ayah Diana juga minta kamu bertanggung jawab. Pokoknya papah gak mau tahu. Kamu harus nikahin keduanya." Farhan masih menatap putranya dengan raut murka."Kenapa marah? Firman kan ngikutin jejak Papah. Bukannya Papah juga gitu, selingkuh sama Mamah."Plak. Tamparan lagi-lagi mampir di pipi Firman."Tapi papah hanya khilaf sekali. Setelah itu, papah menyesal dan papah bertaubat. Tapi kamu! Kamu malah menjadikan Diana alat untuk memfitna