Genap tiga bulan pernikahanku dengan Gilang. Namun, hubungan kami masih dingin. Lebih tepatnya akulah yang menjarak. Gilang selalu berusaha mencairkan kecanggungan kami. Tapi aku memilih menutup mata, telinga dan hati. Masa bodoh, kalau dia lelah pasti dia akan menceraikanku. Apalagi aku tahu jika Amanda sudah kembali dan bekerja di kantor yang sama dengannya.
Dan aku pun tahu, Amanda tengah berupaya merebut Gilang dariku. Baguslah, biarkan si pelakor beraksi. Sebentar lagi buaya cap badak bakalan terpikat. Dan aku akan melenggang bebas, sendiri seperti dulu.
Beberapa kali Mamah memintaku mengunjunginya, namun tak pernah kugubris. Aku selalu berpikir aku tak butuh ibu seperti dia, lagian aku masih mempunyai ayah yang menyayangiku setulus hati. Suami? Halah, sebentar lagi paling juga lari ke pelukan mantannya.
“Tiara?”
“Mamah. Kapan datang?” ternyata Mamah mertua yang datang.
“Baru saja. Wah, toko roti kamu semakin rame ya?”
“Alhamdulilah. Masuk Mamah.”
“Iya.”
Kuajak Mamah mertuaku menuju ke ruangan pribadiku. Kami mengobrol banyak hal. Meski aku bersikap dingin pada putranya, aku selalu bersikap hangat pada kedua mertuaku dan adik iparku, Hana yang masih kuliah semester empat.
“Hahaha. Ya Allah, Tiar kamu ini ada-ada aja, Nduk.”
“Ya mau gimana lagi Mah, si pelanggan itu bilang rotiku gak enak dan kadaluarsa, pake bikin statement ini itu segala lagi. Ya udah, besoknya aku kirimin semua jenis roti dan kue yang ada di tempatku ke tempat kerjanya atas nama si pelanggan resek itu. Hahaha. Dia malu, Mah. Rupanya dia sengaja mau menjatuhkan nama aku gara-gara cemburu pacarnya bilang kue bikinannya gak seenak bikinanku. Aneh ‘kan. Mah.”
“Hahaha. Ada-ada saja. Eh, gak rugi kamu?”
“Rugi jelas ada Mah. Tapi sebanding sama pesanan hari berikut dan berikutnya lagi yang membludak,” jawabku ceria.
“Hahaha. Eh, Gilang. Baru datang, Nak?”
Aku menoleh ke belakang, ck kapan sih dia datang kok aku gak tahu. Sebal! Kenapa dia harus datang sih? Gerutuku dalam hati.
“Baru saja Mah. Mamah sudah makan?”
“Nih, makan kue buatan istri kamu enak deh.”
“Iya. Memang enak. Dek, mas minta tolong ambilin brownis sama bolen ubinya ya?”
Cih! Dia memang pandai mencari kesempatan. Bukan sekali ini saja dia seperti itu. Setiap hari di depan Papah, dia akan mencari kesempatan agar bisa memelukku, mencium pipi, kening bahkan pernah dia mencuri ciuman pertamaku. Menyebalkan sekali. Dia tahu aku tak akan banyak ulah jika di depan Papah. Kurang ajar sekali dia.
“Dek.”
“Eh. Iya, Mas.” Hoek! Dalam hati aku ingin muntah ketika memanggilnya dengan sebutan 'mas'.
Aku pun mengambilkan pesanannya dan juga membuatkan secangkir kopi untuknya. Bukan aku yang bikin kopinya sih tapi Lina.
“Makasih, Dek.” Gilang tersenyum laksana buaya yang menganga mau menerkam mangsa. Hoek. Pengen muntah lagi rasanya.
“Hem ... kok beda yah?” ucap Gilang setelah meneguk kopinya.
“Beda kenapa, Nak?”
“Rasa kopinya, Mah? Pasti bukan kamu yang bikin?”
Dasar. Kenapa dia bisa tahu?
“Aku kok Mas yang bikin,” elakku.
“Bukan. Kopi bikinan kamu gak kayak gini.”
“Terserah.”
“Ganti, bikinin mas lagi yang baru.”
Aku mendelik ke arah Gilang. Kurang ajar sekali dia. Dia sengaja mengerjaiku rupanya. Lihatlah senyum jahilnya.
Aku pun segera ke dapur membuat kopi lagi namun sengaja bukan gula yang kumasukkan tapi garam. Biarkan saja, salah siapa jahil.
“Makasih,” ucapnya dengan menampilkan senyum manis.
Gilang terkejut saat meminum kopi buatanku. Rasakan!
“Kenapa Mas? Mau dibikinin lagi?” tanyaku kalem.
“E-enggak.”
“Oh ... soalnya kalau mau minta dibikinin lagi aku gak tahu mesti bikin yang gimana lagi.”
“Gak usah ini udah pas kok.”
Hahaha. Iyalah pas. Pas asinnya. Rasakan dua sendok garam, nikmat kan? Aku sengaja semakin mengerjainya dengan membuatnya meminum kopi buatanku sampai habis dihadapan Mamah mertua. Hahaha. Sungguh bahagia sekali hatiku.
“Mamah pergi dulu ya. Jangan Lupa besok ikut nginep di rumah eyangnya Gilang di Jogja. Soalnya kita mau ngadain peringatan kematiannya.”
“Iya Mah,” jawabku.
Kami mengantar Mamah mertua sampai mobilnya tak terlihat lagi. Setelah mobil Mamah menghilang, Gilang langsung ngibrit berlari masuk ke dalam. Syukurin!
“Kamu sengaja banget ya.”
Aku hanya meliriknya sekilas lalu memilih membersihkan meja kerjaku.
“Aku ‘kan cuma minta dibuatin kopi sama kamu, Tiara. Ya Allah berapa sendok garam yang kamu kasih sih?” Gilang masih melet-melet, rasain kau.
Aku masih tak bersuara dan membawa gelas ke bagian dapur untuk dicuci.
***
Huft. Segarnya. Aku baru saja mandi dan keramas. Pun tadi aku habis luluran. Mumpung tanggal merah dan toko sedang tutup. Iya, aku meliburkan karyawanku setiap hari minggu dan tanggal merah.
Gilang sedang ada acara dengan teman-teman komunitas sepedanya. Biasanya jam 11-an dia baru pulang. Papah sendiri sedang berkumpul dengan para kawannya untuk memancing di kolam pemancingan. Sedangkan Mbak Iyem sedang pulang kampung. Praktis aku sendirian di rumah.
Aku masih menikmati mengeringkan rambutku yang basah dengan handuk. Aku mengerling ke arah jam dinding, hem ... baru jam delapan rupanya.
Aku mengambil tabir surya dan kuoleskan ke seluruh tangan, bahu dan tubuhku bagian atas lalu menaikkan sebelah kakiku ke atas sofa lalu mulai mengoleskan lagi hingga kebagian paha. Otomatis handukku sedikit tersingkap. Lalu kulakukan lagi untuk kaki sebelahanya. Selesai perawatan rumahan, aku membalikkan badanku dan ... OMG! Pandangan mataku menangkap seseorang yang menatapku tanpa berkedip, aku langsung menyilangkan tangan ke dada.
Tidak! Aku segera berlari menuju ke kamar mandi. Ya Tuhan, aku telah mempertontonkan beberapa bagian rahasiaku sama buaya cap badak. Aku melorot dan jatuh terduduk di lantai kamar mandi. Kemudian menangis lirih. Dalam hati aku terus mengumpat dan merutuki diri sendiri. Bodoh! Bodoh! Pasti dia kesenangan dan akan membandingkannya dengan Amandanya itu. Sial! Aku benci dibanding-bandingkan.
*****
🍁 Gilang 🍁Menurut kalian lebih baik memiliki raganya tapi tidak hatinya atau memiliki hatinya tapi tidak raganya? Silakan kalian pilih karena untuk saat ini aku tidak punya pilihan alias mentok tembok jadi aku belum punya jalan keluar. Apalagi memilih.Tiga bulan lamanya kami menikah, namun Tiara masih saja dingin kepadaku. Padahal aku sudah berusaha bersikap manis padanya. Yang membuatku sedih adalah sikapnya begitu hangat jika sedang bersama Mamah, Papah bahkan Hana. Dia bisa menjadi pribadi yang hangat bahkan selalu tersenyum.Senyum itu, adalah senyum terindah yang pernah kulihat. Secara fisik, baik Tiara dan Amanda sama-sama cantik. Tapi entahlah, aku tidak mengerti dengan urusan hati. Sungguh aku akui aku telah jatuh cinta pada istriku karena senyumnya. Senyum tercantik yang pernah kulihat ternyata ada padanya. Sayang senyum itu tak pernah terbit untukku.Berbagai cara kulakukan untuk membuatnya jatuh cinta, minimal menerima kehadiranku. Namun, m
🍁 Tiara 🍁Semenjak kejadian handuk, aku semakin bersikap dingin bahkan di depan Papah. Aku tak peduli, aku merasa terhina sekali. Dalam bayanganku Gilang pasti bersorak karena melihat yang harusnya tak boleh dia lihat dan dia akan membandingkannya dengan Amanda.Dalam tiga bulan pernikahan kami, mau tak mau kadang kami harus seranjang terutama jika menginap di rumah mertua. Tapi kalau di rumah, aku tidak mau seranjang lagi dengan Gilang.Aku kini selalu tidur di ruang kerjaku, masa bodoh tubuhku harus menahan rasa sakit akibat tidur di sofa yang penting aku tidak seranjang dengannya.Selama seminggu ini, kami tak pernah bertegur sapa. Bahkan saat kami sedang perjalanan ke Jogja bersama keluarga besarnya aku memilih pura-pura tidur hingga mobil sampai di tempat tujuan.“Ayok Nduk, beginilah rumah orang tua papahnya Gilang. Masih model kuno. Sengaja dipertahankan seperti ini karena rumah ini menyimpan begitu banyak kenangan, ya &lsqu
🍁 Gilang 🍁Aku senang sekali Tiara membelikanku kemeja batik. Bahkan malam harinya langsung aku pakai.“Kamu mau kemana, Lang?” tanya Budhe Narti.“Gak kemana-mana, Budhe.”“Kok pake batik?”“Gak papa kepingin aja.”“Ya ampun Mas, itu belum dicuci juga,” gerutu Hana.“Biarin.”“Mambu Mas.”“Ya gak usah cium-ciumlah. Gitu aja repot.”“Astaga! Mbak Tiara yang sabar ya sama kelakuan nyeleneh masku.”Kulihat Tiara hanya tersenyum kikuk. Ya Allah, kapan es batu dalam hati istriku mencair? Sungguh aku tersiksa.***“Baru pulang kerja, Lang?”“Iya Pah. Tiara mana?”“Tadi di depan, kayaknya beli sesuatu di warung Pak Ulin.”“Oh.”Aku tengah mencopot sepatuku ketikaPapah mengajakku bicara serius.&
🍁 Tiara 🍁Aku tersipu malu. Astaga apa yang baru kulakukan? Kenapa aku membalas ciumannya? Bodoh! Daripada memikirkan kejadian tadi aku lebih memilih mengangkat teleponku.“Ya Halo?”“Mbak Tiara?”“Kenapa Asih. Tumben nelepon?”“Budhe, Mbak Tiara. Budhe sakit. Sekarang ada di rumah sakit.”Aku kaget untuk beberapa saat kemudian menarik napasku pelan.“Ya sudah, aku akan ke sana.”“Baik, Mbak.”Aku berbalik dan kaget karena hampir saja menabrak Gilang. Ngapain tuh cowok di belakangku.“Kenapa?” tanya Gilang penasaran.“Mamahku sakit, aku harus ke Semarang malam ini juga.”“Ya udah ayuk.”“Ayuk kemana?” Aku mengernyit bingung.“Ke Semarang lah tapi sebelumnya kita pulang dulu.” Akumasih bingung. Maksudnya apa?“Tiar, ini mau dibereskan ap
Aku tengah merenung di dekat kandang ayam milik Paklik Widodo, ayahnya Asih. Aku meratapi nasibku yang sudah dibuka segelnya. Astaga! Kenapa aku diam saja? Kenapa juga aku sangat menikmatinya. Ya Tuhan Tiara, kamu kenapa?Hampir satu jam aku duduk di atas dingklik atau jengkok (kursi kecil). Setelah mengurus Mamah dan menyuapinya aku langsung bersembunyi di sini. Aku sangat malu jika harus bertemu dengan Gilang pun dengan anggota keluarga yang lain. Aku bahkan sengaja memakai sweater dengan bagian leher yang tertutup karena leherku penuh dengan tanda merah buatan Gilang.“Di sini rupanya! Aku cari-cari dari tadi loh.”Aku kaget, lalu menoleh ke sumber suara. Gilang berjongkok di depanku, kemudian menatapku dengan tatapan menghujam namun lembut. Aku gugup dan segera memalingkan muka.“Hahaha.”Gilang tertawa tapi aku memilih tetap memalingkan muka.“Terima kasih ya, beneran acara buka segel yang luar biasa. Kamu
🍁 Gilang 🍁Aku masih merengkuh istriku, Tiara. Padahal kemarin aku sangat bahagia karena bisa memiliki raganya. Aku segera menggendong Tiara dan merebahkannya di atas ranjang. Kubelai rambutnya penuh sayang dan kuhapus air matanya dengan kecupan. Aku bahkan mengecup bibirnya mesra. Hingga kurasakan kecupan balik.Entah dorongan darimana kecupan itu berubah menjadi semakin panas dan sekali lagi aku dan Tiara menyatu dalam gairah panas yang selalu didamba pasangan halal.Keesokan harinya aku terbangun dan tak kudapati Tiara di sampingku. Aku panik, takut Tiara melakukan hal-hal yang nekat. Aku langsung asal memakai baju dan segera mencari Tiara.Kegelisahanku sirna tatkala melihat Tiara dengan telaten tengah menyeka Mamah. Aku pun kembali ke kamar dan segera memutuskan mandi, tepatnya mandi junub dan melaksanakan salat subuh.***“Iya Lang?”“Papah sehat?”“Alhamdulillah. Tiara bagaimana?”
🍁 Tiara 🍁Hampa. Itulah yang kurasakan beberapa hari ini semenjak kematian Mamah. Meski aku masih membencinya, tapi jauh di lubuk hatiku, aku sungguh menyayanginya.Kami sudah kembali ke Purwokerto pada hari kedelapan setelah kematian Mamah. Aku masih belum bekerja, pikiran dan tenagaku sungguh tak tersisa. Tiga hari ini aku hanya bergelung di kasur tanpa melakukan apapun. Papah, Gilang, dan Mamah Gita sering sekali menghiburku. Namun, aku masih dirundung kesedihan. Aku masih belum mampu untuk lepas dari kesedihanku.Gilang dan Papah semakin protektif padaku, terutama Gilang. Semenjak dia tahu aku mengkonsumsi pil penenang, dia semakin posesif. Aku sungguh membencinya tapi sisi hatiku yang lain menyukainya.“Tiar.”“Pah.”Papah mendekatiku dan duduk di tepi ranjang.“Kamu jangan seperti ini Tiar. Bagaimana pun kamu harus terus hidup. Papah tahu kamu menyayangi mamah kamu terlepas apapun kesalahan yang d
Kamu mau makan apa?” Suara Gilang terdengar lembut sekali. Aku menggeleng.“Ngemil ya. Kamu mau buah atau apa?”Aku menatap Gilang yang juga menatapku dengan binar mata yang tak bisa kudefinisikan.“Mau soto Mbah Man,” sahutku lirih.“Oke. Tunggu ya.”Gilang mengecup keningku lama lalu segera pergi mencari makanan yang kuinginkan. Tak kurang dari setengah jam, Gilang sudah kembali dengan dua mangkok soto.“Makan ya? Aku suapin.”“Gak. Aku bisa sendiri.”“Baiklah.”Aku mulai makan dengan pelan, alhamdulillah ternyata perutku gak mual. Kulirik Gilang yang juga tengah melahap sotonya. Entah kenapa air liurku jadi menetes.“Kenapa?” tanyanya.“Tukeran.”“Hah?”“Tukeran,” rengekku manja.Meski heran Gilang manut saja dan akhirnya aku menghabiskan soto milik Gilang den
Menjalani kehidupan berumah tangga itu bagaikan naik roller coaster. Kadang naik, kadang turun, kadang landai lintasannya. Namun, semua itu selalu disyukuri oleh pasangan Shaka dan Safa. Meski terkadang keributan selalu ada tetapi mereka bersyukur, rasa cinta yang awalnya tak ada kini begitu tersemai membuat masing-masing tak pernah menyalahkan masa lalu mereka.Ya, meski pertemuan keduanya tidak baik hingga melakukan kesalahan fatal. Tetapi keduanya bertekad untuk menjalani rumah tangga dengan lebih baik. Safa yang selama ini selalu menganggap jika kisah percintaannya selalu berakhir tragis, akhirnya menemukan muara cintanya. Dia adalah Shaka. Lelaki baik yang mampu menjadikannya ratu di rumah. Meski kadang suaminya sedikit menyebalkan tetapi Safa tetap cinta. Orang kan gak ada yang sempurna termasuk dirinya. Asal dia jangan diduakan, itu sudah jadi harga mati.Dan Shaka yang selalu dibayangi kesalahan sang ayah, kini menemukan cintanya. Dia adalah Safa. Safa yang telah membuatnya ja
Hampir dua minggu Shaka dirawat setelah sadar dari komanya. Kini Shaka mulai berlatih berjalan dengan bantuan tongkat kruk. Selama seminggu sekali dia harus kontrol hingga pada bulan ketiga setelah dia sadar, Shaka sudah bisa berjalan dengan lancar meski kadang-kadang masih merasakan nyeri pada kaki yang pernah terluka.Hari ini, adalah hari persidangan akhir dari Firman untuk kasus pembunuhan berencana terhadap Amanda dan calon suaminya. Shaka datang bersama Safa, Ajeng, Ari, Revan, Gilang, Erik dan Radit.Sidang berjalan lancar karena Firman sepertinya sudah pasrah. Setelah pembacaan putusan sidang, hakim kepala mengetuk palu sebagai tanda berakhirnya sidang. Shaka menemui Firman. Firman menatap Shaka dengan penuh amarah."Puas kamu. Puas kalian?!" teriaknya dari balik kursi roda. Cedera kaki Firman lebih parah dari Shaka sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk penyembuhan.Firman terus mengumpati Shaka namun balasan Shaka adalah sebuah pelukan. Membuat Firman terdiam. Bahk
Shaka membuka matanya. Ternyata dia berada di sebuah taman yang indah. Shaka mengelilingi taman guna mencari seseorang yang bisa dia tanyai. Shaka merasa heran. Dia merasa asing dengan tempat yang dia datangi saat ini."Aku dimana? Bukannya aku kecelakaan. Safa mana?"Shaka terus saja berkeliling hingga tatapannya tertuju pada sosok lelaki yang sedang duduk di bawah pohon rindang dengan memangku seorang gadis kecil. Shaka berjalan ke arahnya. "Pak maaf. Apa Ba—"Lelaki yang dipanggil oleh Shaka mendongakkan wajah lalu tersenyum. Shaka sendiri hanya bisa mengatupkan bibirnya. Cukup lama Shaka berada dalam keterdiaman pun lelaki tua di depannya dan sosok gadis cilik yang dengan santai bergelayut manja pada pangkuan sang kakek."Kakek, aku rindu Mamah.""Iya sayang, ayok kita temui ibumu."Lelaki itu berdiri, dia menggenggam tangan si gadis cilik, bersama-sama keduanya berbalik. Baru tiga langkah kedua pasangan itu melangkah namun dicegah oleh Shaka."Tunggu. Kalian mau kemana?"Lelaki
Revan menatap sinis pada Bayu dan Farhan. Mereka semua dipanggil ke kantor polisi terkait peristiwa tabrak lari yang dialami Shaka dan Safana. Polisi sudah menindaklanjuti laporan Revan, bahkan bukti-bukti sudah sampai di hadapan penyidik. Revan tentu saja tersenyum puas. Sudah bisa dipastikan dua orang itu akan di penjara setelah keluar dari rumah sakit. Revan sudah mendapatkan kabar jika Firman sudah sadar. Dan itu bagus. Polisi jadi bisa langsung menindak si biang onar."Jadi begitulah, Pak Farhan dan Pak Bayu. Semua bukti mengarah pada Saudara Firman terkait kecelakaan yang dialami Saudara Shaka dan istrinya. Dan satu hal lagi. Pihak kepolisian Surabaya sudah berhasil menangkap Saudara Hari. Saudara Hari sudah memberikan keterangan sejelas-jelasnya perihal kematian Saudari Amanda dan calon suaminya. Dan tentu saja, Pak Farhan pasti paham maksud saya."Sang penyelidik berhenti bicara. Dia sengaja menjeda kalimatnya. Farhan hanya bisa menunduk pasrah."Iya Pak.""Kami akan terus me
Ajeng sedang menangis di bahu sang suami. Pun dengan Andini. Dia bahkan sempat pingsan saat mendengar anak dan menantunya mengalami musibah.Revan yang baru datang bersama Alif langsung menuju TKP. Kini, keduanya sedang mendengarkan kronologi kejadian yang menimpa adiknya dari salah satu petugas."Tabrak lari?" tanya Revan."Iya, Pak. Berdasarkan rekaman CCTV, di sekitar jalan yang dilewati Ibu Safa dan Pak Shaka, terekam jelas jika mobil sempat berhenti lalu tiba-tiba melaju kencang saat kedua korban hendak menyeberang.""Kurang ajar. Plat nomernya bisa dilacak?""Sedang dilacak, Pak. Kebetulan plat nomernya terbaca di CCTV. Beberapa korban yang lain juga sempat memotretnya."Revan manggut-manggut. Sang polisi pamit untuk kembali bertugas. Sementara Revan dan Alif segera masuk ke rumah sakit dan segera menuju ruang IGD rumah sakit Bunda Kasih."Pah, Mah. Om, Tante. Gimana Safa sama Shaka?"Andini langsung memeluk putranya. Dia menceritakan kondisi Safa dan Shaka."Keponakanku gimana?
Firman melempar ponselnya dengan keras. Beruntung ponselnya adalah ponsel mahal sehingga tahan banting. Dia marah karena lagi-lagi akan masuk ke dalam penjara. Pasal yang ditujukan padanya saat ini adalah pencemaran nama baik, pelaku video mesum dan penyebarnya. Sementara Diana yang duduk di sofa apartemennya hanya bisa menunduk. Dia pun akan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik dan pelaku video mesum."Argh. Pengacara yang disewa kamu itu kenapa bisa kalah? Kamu bilang dia salah satu pengacara terbaik. Kenapa bisa kalah?""A-aku gak tahu.""Arghhhh!"Firman membanting apa saja yang ada di apartemennya. Diana sendiri lebih memilih diam. Sesekali mengelus perutnya. Ponsel Firman kembali berdering. Dengan malas-malasan dia berjalan menuju dimana ponselnya tergeletak. Nama yang tertera di layar membuat Firman mengernyit, dia segera mengangkat ponselnya."Hai, Bro. Ada a—""Polisi sudah menemukan bukti keterlibatan kamu dalam kematian Amanda dan calon suaminya. Oran
Safa kaget ketika membuka pintu. Tampaklah Diana yang tersenyum sendu ke arah Safa."Diana.""Hai, Fa. Boleh aku masuk?"Sebelum Safa berkata terdengar suara sang ibu mertua yang menanyakan siapa yang datang."Siapa Fa?"Ajeng mendekat ke arah pintu. Saat tahu siapa tamu yang datang, wajah Ajeng yang awalnya terlihat ceria menjadi berubah. Ada rasa tak suka yang tak bisa dia sembunyikan."Hai, Tante Ajeng. Apa kabar?" Diana berusaha berbasa-basa."Baik. Ada keperluan apa kamu ke sini, Diana?" Ajeng langsung bertanya to the point."Diana cuma mau minta maaf, Tante.""Kami sudah melupakan semuanya, jadi kamu tak perlu minta maaf lagi.""Tapi Diana sungguh menyesal, Tante. Diana merasa belum lega kalau belum meminta maaf.""Tidak perlu. Cukup kamu jangan lagi muncul dalam kehidupan kami, terutama kehidupan Shaka dan Safa. Itu sudah lebih dari cukup. Kami tak meminta lebih."Diana hanya bisa tersenyum sendu. Tatapannya mengarah pada Safa yang berdiri tak jauh dari dia."Maafkan aku, Fa.
Safa berhenti, dia membungkuk untuk mengambil botol susu milik seorang anak yang terjatuh."Ini, Mbak botol susunya.""Iya, makasih Mbak. Maaf tadi saya— Safa."Mariana menatap kaget ke arah Safa, pun dengan Safa. Keduanya tak sengaja bertemu di sebuah mall. Semenjak hamil besar, Safa memang sering bolak balik ke toilet. Pun kali ini. Namun, dalam perjalanan kembali dari toilet, dia melihat seorang ibu yang sedang kesusahan membawa barang belanjaan sambil menggendong anaknya. Sang bayi menangis meminta susu. Sang ibu pun memberinya dengan sedikit kesusahan karena bayinya bergerak terlalu kencang hingga botol susu yang hendak Mariana serahkan malah terjatuh.Kedua mantan sahabat hanya saling terdiam. Safa yang pertama sadar, karena mendengar suara tangisan bayi."Lapar ya? Ini."Safa membantu sang bayi dengan mengarahkan ujung dot pada mulutnya. Sebelumnya Safa sudah membersihkan ujung dot dengan tissue yang ada dalam tasnya. Sang bayi yang sudah menemukan sumber makanannya berhenti m
Plak! Sebuah tamparan keras Farhan layangkan untuk Firman. Dia menatap putranya penuh amarah. Marisa yang melihat sang anak ditampar hanya bisa menjerit sementara Firman mengelus pipinya dengan amarah pula."Mau sampai kapan kamu kayak gini hah? Belum puas kamu dulu menghamili Desty dan Amanda. Lalu ini apa? Kamu menghamili dua wanita sekaligus."Farhan membanting foto-foto Firman sedang beradegan mesra dengan dua wanita. Yang satu bernama Laila, sekretaris Firman saat ini. Sementara satunya lagi adalah Diana."Orang tua Laila, minta kamu nikahin dia. Ayah Diana juga minta kamu bertanggung jawab. Pokoknya papah gak mau tahu. Kamu harus nikahin keduanya." Farhan masih menatap putranya dengan raut murka."Kenapa marah? Firman kan ngikutin jejak Papah. Bukannya Papah juga gitu, selingkuh sama Mamah."Plak. Tamparan lagi-lagi mampir di pipi Firman."Tapi papah hanya khilaf sekali. Setelah itu, papah menyesal dan papah bertaubat. Tapi kamu! Kamu malah menjadikan Diana alat untuk memfitna