🍁 Tiara 🍁
Hampa. Itulah yang kurasakan beberapa hari ini semenjak kematian Mamah. Meski aku masih membencinya, tapi jauh di lubuk hatiku, aku sungguh menyayanginya.
Kami sudah kembali ke Purwokerto pada hari kedelapan setelah kematian Mamah. Aku masih belum bekerja, pikiran dan tenagaku sungguh tak tersisa. Tiga hari ini aku hanya bergelung di kasur tanpa melakukan apapun. Papah, Gilang, dan Mamah Gita sering sekali menghiburku. Namun, aku masih dirundung kesedihan. Aku masih belum mampu untuk lepas dari kesedihanku.
Gilang dan Papah semakin protektif padaku, terutama Gilang. Semenjak dia tahu aku mengkonsumsi pil penenang, dia semakin posesif. Aku sungguh membencinya tapi sisi hatiku yang lain menyukainya.
“Tiar.”
“Pah.”
Papah mendekatiku dan duduk di tepi ranjang.
“Kamu jangan seperti ini Tiar. Bagaimana pun kamu harus terus hidup. Papah tahu kamu menyayangi mamah kamu terlepas apapun kesalahan yang d
Kamu mau makan apa?” Suara Gilang terdengar lembut sekali. Aku menggeleng.“Ngemil ya. Kamu mau buah atau apa?”Aku menatap Gilang yang juga menatapku dengan binar mata yang tak bisa kudefinisikan.“Mau soto Mbah Man,” sahutku lirih.“Oke. Tunggu ya.”Gilang mengecup keningku lama lalu segera pergi mencari makanan yang kuinginkan. Tak kurang dari setengah jam, Gilang sudah kembali dengan dua mangkok soto.“Makan ya? Aku suapin.”“Gak. Aku bisa sendiri.”“Baiklah.”Aku mulai makan dengan pelan, alhamdulillah ternyata perutku gak mual. Kulirik Gilang yang juga tengah melahap sotonya. Entah kenapa air liurku jadi menetes.“Kenapa?” tanyanya.“Tukeran.”“Hah?”“Tukeran,” rengekku manja.Meski heran Gilang manut saja dan akhirnya aku menghabiskan soto milik Gilang den
🍁 Gilang 🍁Aku masih mengusap lembut kepala Tiara, tak lupa menyanyikan lagu nina bobo dengan suara sumbang. Aku sama sekali tak punya bakat menyanyi namun entah kenapa semenjak hamil Tiara tak pernah bisa tidur tanpa kehadiranku. Ya Allah, kamu gemesin banget Dek.Meski aku tahu ini pengaruh hormon kehamilan tapi aku senang. Setidaknya kehamilan Tiara membuat kami dekat. Jujur, aku sangat bahagia mengetahui Tiara hamil. Rupanya apa yang kami lakukan setiap malam melahirkan benih di rahim Tiara.Semenjak pulang dari Semarang, Tiaraselalu murung, hampir setiap hari aku dan Papah memberinya semangat hingga tanpa sengaja keadaan membuat kami harus menyatu lagi. Dan setelahnya hampir setiap malam kami selalu menyatu. Tentu aku yang memulainya. Meski sedikit memaksa toh akhirnya Tiara mau juga bahkan menikmatinya. Hahaha.Alhamdulillah, hanya butuh waktu satu bulan Tiara hamil juga. Hem ... andai pernikahan kami bukan karena perjodohan mungkin Tiara su
🍁 Tiara 🍁Kehamilanku sudah menginjak usia lima bulan. Meski terkadang masih mual tapi sudah mendingan. Ngidam? Masihlah. Mumpung aku hamil jadi manfaatkan saja. Lagian Papah dan Gilang juga gak masalah kok menuruti semua aksi ngidamku.Satu hal yang aneh, semenjak hamil aku jadi sensitif sekali. Aku mudah sekali menangis. Kata Gilang, anakku pasti cewek karena aku terlalu baperan. Bicara tentang Gilang, ah sungguh membuatku merindukannya. Aku yakin ini pasti karena hormon kehamilanku. Kalau enggak mana mau aku deket-deket sama dia. Tapi ... entahlah. Aku bingung. Hubungan kami sekarang terasa aneh, aku merasa kami seperti suami istri pada umumnya bahkan sekarang aku tak bisa tidur tanpa mencium bau keteknya.Sebuah rengkuhan menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh dan kulihat Gilang yang sepertinya baru saja mandi. Bau tubuhnya harum. Dan aku suka. Ada hasrat dalam diriku yang tak bisa kupahami. Aku sungguh merindukan sentuhannya. Pasti karena hormon ini lagi
“Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?”Salah satu pegawai tokoku seperti biasa bertingkah ramah pada pembeli. Aku yang tengah duduk santai di kursi yang disediakan untuk pengunjung menoleh ke arah si pembeli.“Hai, Mbak Tiara.”“Oh hai, apa kabar Mbak Amanda? Ada yang bisa kami bantu?”“Saya mau membeli brownis cokelat.”“Oh, Keisya tolong layani Mbak ini.”“Baik Mbak. Mari Mbak saya antar.”Dalam hati aku mencebik. Dulu sebelum hubunganku dengan Gilang terlalu jauh. Aku berharap Amanda segera memainkan peran antagonisnya sebagai pelakor. Tapi sekarang? Entahlah, ambigu. Ada sisi hatiku yang berharap Gilang tetap jadi suamiku. Sisi lainnya, aku ingin segera berpisah dari Gilang.“Sudah dapat Mbak Amanda?” tanyaku dengan tetap memasang wajah ceria dan senyum manis.“Sudah. Boleh aku duduk di sini gak?”“Boleh.
🍁 Gilang 🍁Aku menatap lalu lalang kendaraan bermotor melalui jendela ruang kerjaku, sesekali mengembuskan napas panjang. Sungguh lelah rasanya. Aku sudah tak tahu lagi bagaimanacaranya menghadapi sikap dingin Tiara. Hatinya sungguh begitu beku. Aku pikir kehadiran calon anak kami akan mencairkan kebekuan hati Tiara secara perlahan. Namun aku salah. Tiara semakin menjauh dan sangat susah kugapai.“Ngelamun lagi, Bro.”“Eh, kamu Yu. Baru datang?”“Iya.”“Duduk, Yu.”“Makasih. Kamu kenapa? Kucel amat.”“Aku bingung, Wahyu. Sampai hari ini aku belum bisa mencairkan kebekuan istriku.”Wahyu tersenyum, kemudian menepuk pundakku dengan cukup keras.“Aku gak bisa kasih nasehat apapun cuma satu yang mau aku kasih tahu ke kamu.”“Apa?”“Minumlah kopi.”Aku mengernyit, tak paham maksud d
🍁 Tiara 🍁Bodoh!Satu kata yang mewakiliku saat ini. Entah apa yang kupikirkan saat itu. Sejak pertemuanku dengan Amanda di toko, aku memang menghindari Gilang. Pikiranku menyuruhku untuk jangan terlalu dekat dengan Gilang karena suatu saat cepat atau lambat Gilang akan kembali pada Amanda.Namun, sisi hatiku sangat merindukannya. Sungguh aku bingung. Ada apa denganku? Terbiasa memendam luka sejak kecil membuatku tak bisa mengekspresikan suasana hatiku. Mungkin aku ramah pada setiap orang tetapi aku tak pernah bisa menunjukkan kasih sayangku pada orang lain selain Papah. Bagiku hanya Papah lah yang mencintaiku tulus tak ada yang lain. Sehingga saat Gilang menjadi suamiku dan terlihat menunjukkan cintanya, aku tak tahu harus berbuat apa? Aku dilema dengan hatiku sendiri. Aku tak yakin. Jika ini adalah cinta. Tapi? Melihatnya murung beberapa hari ini membuat sudut hatiku sedih. Meski kusadari sumber kemurungan Gilang justru aku sendiri.Tanpa sadar malam
🍁 Gilang 🍁Aku terus menatap layar monitor di depanku. Calon anakku tengah bergerak-gerak rupanya. Apa kubilang? Anakku cewek. Akhirnya jenis kelaminnya terlihat di usia 32 minggu.“Bisa dilihat Pak Gilang dan Bu Tiara, ini cewek. Semua organnya juga lengkap insya Allah, air ketubannya juga masih bagus. Letak plasenta juga masih bagus. Posisi kepala bayi juga sudah di bawah dan Bu Tiara bisa melahirkan normal.”“Jadi kapan kira-kira anak saya lahir?”“Prediksi saya sekitar tanggal 10 bulan depan Pak Gilang. Bisa maju atau mundur. Sekarang kontrolnya seminggu sekali ya Pak, Bu.”“Baik, Dok.”Aku membantu Tiara berdiri dan kami pun berpamitan. Belakangan ini Tiara lebih banyak senyum dan aku menyukainya. Meski sikapnya padaku masih ketus tapi yang penting jatah malamku aman. Hahaha. Walau itu bukan yang utama sih.Intinya aku senang Tiara kini lebih ekspresif jika bersamaku. Meski jarang
🍁 Tiara 🍁Prang!!!“Mbak Tiar! Mbak gak papa? Sini Mbak biar aku aja.”Aku masih diam. Aneh, tadi aku seperti mendengar suara Gilang yang kesakitan. Makanya aku kaget dan tanpa sengaja menjatuhkan gelas yang kupegang.“Mbak. Mbak gak papa?”Aku masih diam, guncangan pada bahuku menyadarkanku dari lamunan.“Ya, Lin. Gimana?”“Mbak kenapa? Mbak baik-baik aja 'kan?”“Iya, Lin.”“Mbak duduk aja deh. Jangan berdiri terus. Nanti Mas Gilang tahu, Lina yang diomelin.”“Ck. Gak usah ikutan lebay kayak Gilang deh Lin?”“Hahaha. Mas Gilang gak lebay Mbak. Justru itu tanda Mas Gilang cinta sama Mbak. Semua orang juga tahu.”“Tahu apa?”“Tahu kalau Mas Gilang itu cinta mati sama Mbak Tiara.”“Ngawur kamu!”“Eh ... dibilangin gak percaya. Sorot ma
Menjalani kehidupan berumah tangga itu bagaikan naik roller coaster. Kadang naik, kadang turun, kadang landai lintasannya. Namun, semua itu selalu disyukuri oleh pasangan Shaka dan Safa. Meski terkadang keributan selalu ada tetapi mereka bersyukur, rasa cinta yang awalnya tak ada kini begitu tersemai membuat masing-masing tak pernah menyalahkan masa lalu mereka.Ya, meski pertemuan keduanya tidak baik hingga melakukan kesalahan fatal. Tetapi keduanya bertekad untuk menjalani rumah tangga dengan lebih baik. Safa yang selama ini selalu menganggap jika kisah percintaannya selalu berakhir tragis, akhirnya menemukan muara cintanya. Dia adalah Shaka. Lelaki baik yang mampu menjadikannya ratu di rumah. Meski kadang suaminya sedikit menyebalkan tetapi Safa tetap cinta. Orang kan gak ada yang sempurna termasuk dirinya. Asal dia jangan diduakan, itu sudah jadi harga mati.Dan Shaka yang selalu dibayangi kesalahan sang ayah, kini menemukan cintanya. Dia adalah Safa. Safa yang telah membuatnya ja
Hampir dua minggu Shaka dirawat setelah sadar dari komanya. Kini Shaka mulai berlatih berjalan dengan bantuan tongkat kruk. Selama seminggu sekali dia harus kontrol hingga pada bulan ketiga setelah dia sadar, Shaka sudah bisa berjalan dengan lancar meski kadang-kadang masih merasakan nyeri pada kaki yang pernah terluka.Hari ini, adalah hari persidangan akhir dari Firman untuk kasus pembunuhan berencana terhadap Amanda dan calon suaminya. Shaka datang bersama Safa, Ajeng, Ari, Revan, Gilang, Erik dan Radit.Sidang berjalan lancar karena Firman sepertinya sudah pasrah. Setelah pembacaan putusan sidang, hakim kepala mengetuk palu sebagai tanda berakhirnya sidang. Shaka menemui Firman. Firman menatap Shaka dengan penuh amarah."Puas kamu. Puas kalian?!" teriaknya dari balik kursi roda. Cedera kaki Firman lebih parah dari Shaka sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk penyembuhan.Firman terus mengumpati Shaka namun balasan Shaka adalah sebuah pelukan. Membuat Firman terdiam. Bahk
Shaka membuka matanya. Ternyata dia berada di sebuah taman yang indah. Shaka mengelilingi taman guna mencari seseorang yang bisa dia tanyai. Shaka merasa heran. Dia merasa asing dengan tempat yang dia datangi saat ini."Aku dimana? Bukannya aku kecelakaan. Safa mana?"Shaka terus saja berkeliling hingga tatapannya tertuju pada sosok lelaki yang sedang duduk di bawah pohon rindang dengan memangku seorang gadis kecil. Shaka berjalan ke arahnya. "Pak maaf. Apa Ba—"Lelaki yang dipanggil oleh Shaka mendongakkan wajah lalu tersenyum. Shaka sendiri hanya bisa mengatupkan bibirnya. Cukup lama Shaka berada dalam keterdiaman pun lelaki tua di depannya dan sosok gadis cilik yang dengan santai bergelayut manja pada pangkuan sang kakek."Kakek, aku rindu Mamah.""Iya sayang, ayok kita temui ibumu."Lelaki itu berdiri, dia menggenggam tangan si gadis cilik, bersama-sama keduanya berbalik. Baru tiga langkah kedua pasangan itu melangkah namun dicegah oleh Shaka."Tunggu. Kalian mau kemana?"Lelaki
Revan menatap sinis pada Bayu dan Farhan. Mereka semua dipanggil ke kantor polisi terkait peristiwa tabrak lari yang dialami Shaka dan Safana. Polisi sudah menindaklanjuti laporan Revan, bahkan bukti-bukti sudah sampai di hadapan penyidik. Revan tentu saja tersenyum puas. Sudah bisa dipastikan dua orang itu akan di penjara setelah keluar dari rumah sakit. Revan sudah mendapatkan kabar jika Firman sudah sadar. Dan itu bagus. Polisi jadi bisa langsung menindak si biang onar."Jadi begitulah, Pak Farhan dan Pak Bayu. Semua bukti mengarah pada Saudara Firman terkait kecelakaan yang dialami Saudara Shaka dan istrinya. Dan satu hal lagi. Pihak kepolisian Surabaya sudah berhasil menangkap Saudara Hari. Saudara Hari sudah memberikan keterangan sejelas-jelasnya perihal kematian Saudari Amanda dan calon suaminya. Dan tentu saja, Pak Farhan pasti paham maksud saya."Sang penyelidik berhenti bicara. Dia sengaja menjeda kalimatnya. Farhan hanya bisa menunduk pasrah."Iya Pak.""Kami akan terus me
Ajeng sedang menangis di bahu sang suami. Pun dengan Andini. Dia bahkan sempat pingsan saat mendengar anak dan menantunya mengalami musibah.Revan yang baru datang bersama Alif langsung menuju TKP. Kini, keduanya sedang mendengarkan kronologi kejadian yang menimpa adiknya dari salah satu petugas."Tabrak lari?" tanya Revan."Iya, Pak. Berdasarkan rekaman CCTV, di sekitar jalan yang dilewati Ibu Safa dan Pak Shaka, terekam jelas jika mobil sempat berhenti lalu tiba-tiba melaju kencang saat kedua korban hendak menyeberang.""Kurang ajar. Plat nomernya bisa dilacak?""Sedang dilacak, Pak. Kebetulan plat nomernya terbaca di CCTV. Beberapa korban yang lain juga sempat memotretnya."Revan manggut-manggut. Sang polisi pamit untuk kembali bertugas. Sementara Revan dan Alif segera masuk ke rumah sakit dan segera menuju ruang IGD rumah sakit Bunda Kasih."Pah, Mah. Om, Tante. Gimana Safa sama Shaka?"Andini langsung memeluk putranya. Dia menceritakan kondisi Safa dan Shaka."Keponakanku gimana?
Firman melempar ponselnya dengan keras. Beruntung ponselnya adalah ponsel mahal sehingga tahan banting. Dia marah karena lagi-lagi akan masuk ke dalam penjara. Pasal yang ditujukan padanya saat ini adalah pencemaran nama baik, pelaku video mesum dan penyebarnya. Sementara Diana yang duduk di sofa apartemennya hanya bisa menunduk. Dia pun akan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik dan pelaku video mesum."Argh. Pengacara yang disewa kamu itu kenapa bisa kalah? Kamu bilang dia salah satu pengacara terbaik. Kenapa bisa kalah?""A-aku gak tahu.""Arghhhh!"Firman membanting apa saja yang ada di apartemennya. Diana sendiri lebih memilih diam. Sesekali mengelus perutnya. Ponsel Firman kembali berdering. Dengan malas-malasan dia berjalan menuju dimana ponselnya tergeletak. Nama yang tertera di layar membuat Firman mengernyit, dia segera mengangkat ponselnya."Hai, Bro. Ada a—""Polisi sudah menemukan bukti keterlibatan kamu dalam kematian Amanda dan calon suaminya. Oran
Safa kaget ketika membuka pintu. Tampaklah Diana yang tersenyum sendu ke arah Safa."Diana.""Hai, Fa. Boleh aku masuk?"Sebelum Safa berkata terdengar suara sang ibu mertua yang menanyakan siapa yang datang."Siapa Fa?"Ajeng mendekat ke arah pintu. Saat tahu siapa tamu yang datang, wajah Ajeng yang awalnya terlihat ceria menjadi berubah. Ada rasa tak suka yang tak bisa dia sembunyikan."Hai, Tante Ajeng. Apa kabar?" Diana berusaha berbasa-basa."Baik. Ada keperluan apa kamu ke sini, Diana?" Ajeng langsung bertanya to the point."Diana cuma mau minta maaf, Tante.""Kami sudah melupakan semuanya, jadi kamu tak perlu minta maaf lagi.""Tapi Diana sungguh menyesal, Tante. Diana merasa belum lega kalau belum meminta maaf.""Tidak perlu. Cukup kamu jangan lagi muncul dalam kehidupan kami, terutama kehidupan Shaka dan Safa. Itu sudah lebih dari cukup. Kami tak meminta lebih."Diana hanya bisa tersenyum sendu. Tatapannya mengarah pada Safa yang berdiri tak jauh dari dia."Maafkan aku, Fa.
Safa berhenti, dia membungkuk untuk mengambil botol susu milik seorang anak yang terjatuh."Ini, Mbak botol susunya.""Iya, makasih Mbak. Maaf tadi saya— Safa."Mariana menatap kaget ke arah Safa, pun dengan Safa. Keduanya tak sengaja bertemu di sebuah mall. Semenjak hamil besar, Safa memang sering bolak balik ke toilet. Pun kali ini. Namun, dalam perjalanan kembali dari toilet, dia melihat seorang ibu yang sedang kesusahan membawa barang belanjaan sambil menggendong anaknya. Sang bayi menangis meminta susu. Sang ibu pun memberinya dengan sedikit kesusahan karena bayinya bergerak terlalu kencang hingga botol susu yang hendak Mariana serahkan malah terjatuh.Kedua mantan sahabat hanya saling terdiam. Safa yang pertama sadar, karena mendengar suara tangisan bayi."Lapar ya? Ini."Safa membantu sang bayi dengan mengarahkan ujung dot pada mulutnya. Sebelumnya Safa sudah membersihkan ujung dot dengan tissue yang ada dalam tasnya. Sang bayi yang sudah menemukan sumber makanannya berhenti m
Plak! Sebuah tamparan keras Farhan layangkan untuk Firman. Dia menatap putranya penuh amarah. Marisa yang melihat sang anak ditampar hanya bisa menjerit sementara Firman mengelus pipinya dengan amarah pula."Mau sampai kapan kamu kayak gini hah? Belum puas kamu dulu menghamili Desty dan Amanda. Lalu ini apa? Kamu menghamili dua wanita sekaligus."Farhan membanting foto-foto Firman sedang beradegan mesra dengan dua wanita. Yang satu bernama Laila, sekretaris Firman saat ini. Sementara satunya lagi adalah Diana."Orang tua Laila, minta kamu nikahin dia. Ayah Diana juga minta kamu bertanggung jawab. Pokoknya papah gak mau tahu. Kamu harus nikahin keduanya." Farhan masih menatap putranya dengan raut murka."Kenapa marah? Firman kan ngikutin jejak Papah. Bukannya Papah juga gitu, selingkuh sama Mamah."Plak. Tamparan lagi-lagi mampir di pipi Firman."Tapi papah hanya khilaf sekali. Setelah itu, papah menyesal dan papah bertaubat. Tapi kamu! Kamu malah menjadikan Diana alat untuk memfitna