Berliana beranjak dari duduknya. Ia menangis dan bersujud di kaki pria yang saat ini duduk di sofa. "Aku mohon berikan aku kesempatan satu kali lagi." Berliana memegang kaki Bian."Aku tidak akan membiarkan kau bahagia dengan pria yang seharusnya bersamaku. Mama, aku akan kembali untuk bersama dengan mama lagi. Aku tidak akan meninggalkan Mama sendiri," tekatnya dalam hati. Ia harus kembali lagi ke Indonesia dan menyelamatkan mamanya. Berliana bertekad untuk kembali melanjutkan karirnya di dunia keartisan. Di sini tidak ada yang bisa dilakukannya. Bian benar-benar mengurungnya seperti di dalam sebuah penjara.Bian tertawa lepas ketika mendengar ucapan Berliana. Aku tidak memintamu untuk terburu-buru melakukan apa yang ingin kau lakukan. Namun sebaiknya kau tonton dulu video-video yang sudah aku siapkan." Senyum merekah di bibirnya."Aku tidak ingin lagi melihatnya." Berliana berkata dengan air mata yang terus mengalir dan membasahi pipinya."Kau tidak mendengar ucapanku." Bian menend
Mita membuka pintu kamar Hana. Ia tersenyum ketika melihat menantunya yang sudah bangun. "Sudah bangun ya?" Sambil masuk ke dalam kamar."Iya ma, baru aja," jawab Hana"Iya, tadi Mama ke sini, tapi Hana masih tidur." Mita duduk di tepi tempat tidur dan mengusap pipi menantunya."Hehehe udah jam 10.00 ternyata. Pantes bang Daffin sudah berangkat. Tapi kenapa nggak bangunin Hana, jadinya Hana tidurnya kelamaan." Hana merasa tidak enak dengan mertuanya. Bagaimana mungkin ia yang berstatus menantu, baru bangun disaat matahari sudah tinggi seperti ini. "Nggak apa-apa, namanya juga bawaan hamil." Mita tersenyum dan mengusap perut menantunya."Mama sudah tahu ya?""Ya sudahlah, Daffin dari semalam udah ngasih tahu. Kelihatan, dia bahagia sekali. Bukan hanya Daffin yang bahagia, mama, papa juga." Mita tersenyum dan mengusap perut menantunya.Hana sangat senang ketika mendengar ucapan mama mertuanya. Melihat mamanya yang begitu sangat senang seperti ini, ia juga sangat senang. "Terima kasih
Daffin duduk dengan gelisah saat terbayang wajah istrinya. Entah mengapa, ia selalu rindu, padahal hanya berpisah sebentar saja. "Kenapa sih nggak kasih kabar." Dipandangnya layar ponsel yang di atas meja.Sudah hampir jam makan siang, namun Hana belum ada menghubunginya dan memberitahu apakah datang ke kantor atau tidak. Selama Hana mengandung anaknya, Daffin selalu ingin dekat dengan istrinya. Bahkan ia merasa tidak tenang dan nyaman, ketika sendiri di dalam ruangan seperti ini. Namun ia kesal sendiri, ketika mengingat sikap istrinya yang biasa-biasa saja dan terlihat sangat cuek. "Nggak apalah aku telepon Hana." Setelah mengalahkan egonya, Daffin akhirnya menghubungi nomor ponsel milik istrinya. Cukup lama pria itu menunggu sambungan video call yang dilakukannya diangkat oleh pemilik nomor yang ditujunya. Satu kali panggilan tidak terjawab, dua kali, hingga panggilan yang ketiga kalinya. "Halo," jawab Hana dengan suara serak dan mata yang terpejam. "Adek matanya dibuka dong, in
Sudah tidak sabar rasanya untuk mengetahui kondisi calon bayi yang dikandung istrinya. Dengan sangat cepat Daffin menyelesaikan mandinya dan keluar dari kamar mandi setelah tubuhnya terasa segar dan bersih."Lagi apa dek?" tanya Daffin ketika melihat pakaian yang sudah penuh di atas tempat tidurnya."Hana lagi cari baju.""Cari baju yang seperti apa?" tanya Daffin.Hana bingung menjelaskannya. "Cari baju yang cocok untuk Hana pakai." "Semuanya cantik, cocok." Daffin memandang tumpukan baju di atas tempat tidurnya.Hana hanya diam dan bingung untuk memilih baju yang akan dipakainya."Ini cantik, mau?" Daffin mengambil long dress pendek tangan, berwarna biru pekat dan memiliki tali pita di bawah dadanya."Hana coba dulu." Hana tersenyum. Perubahan bentuk tubuhnya membuat dirinya begitu sangat tidak percaya diri. Apalagi suaminya yang begitu sangat sempurna. Baik dari postur tubuh dan juga wajah. Daffin memiliki postur tubuh yang tinggi 185 cm, kulit putih, rambut lurus dan hitam, denga
Hana tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Sudah gak sabar ini." Mita tersenyum.Daffin dengan cepat beranjak dari duduknya. Dipegangnya tangan istrinya dan berjalan ke tempat tidur."Saya hamilnya udah berapa minggu ya dok?" Hana bertanya ketika duduk di atas tempat tidur. Sejak tadi ia penasaran dengan usia kandungannya.Dokter Lusi tertawa. "Ini ibu hamil kok nggak tahu sih?" tanyanya.Hana menggelengkan kepalanya. "Saya baru telat bulan ini dok dan sewaktu dirawat di rumah sakit, saya masih datang bulan. Tapi cuman sebentar, itu juga ngeflek. Tapi kenapa perut saya sudah besar sekali ya dok?" "Sewaktu terjadinya ngeflek, itu sebenarnya bukan haid, namun pada saat itu sudah hamil."Hana diam mendengar ucapan dokter Lusi. Dipandanginya wajah dokter tersebut. Ia baru mengingat, Dokter Lusi pernah memeriksanya beberapa kali."Saya ingat, dokter pernah periksa saya." Hana mengangkat jarinya ke atas.Dokter Lusi tertawa. "Mbak Hana ini bagaimana sih, kok lupa. Perasaan saya belum ad
Hana keluar dari ruangan dengan membawa foto calon kedua anaknya. Surya yang duduk di kursi tunggu dengan segera langsung berdiri ketika melihat pintu ruangan tempat Hana periksa terbuka. "Papa." Hana sedikit berteriak memanggil papanya dan mengembangkan tangannya. Ia sungguh sangat bahagia. Tidak sabar rasanya untuk memberitahu kabar ini segerah. Surya tersenyum dan mempercepat langkah kakinya. Dipeluknya menantunya dengan tersenyum. Melihat wajah Hana yang begitu bahagia, ia bisa menebak bahwa menantunya ingin memberikan kabar gembira untuknya. "Bagaimana hasil periksa nya?" Surya tersenyum. "Papa lihat, papa bakalan punya cucu kembar." Hana menunjukkan foto di tangannyaSurya tersenyum saat melihat foto tersebut. "Ini hasil USG?""Iya.""Jadi cucu papa kembar?" Surya memandang foto USG 4 dimensi di tangannya.Hana dengan cepat mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kata dokter Lusi kalau usia kandungan sudah 24 minggu, Hana akan periksa pakai USG 5 dimensi, soalnya wajah anak bakal
Daffin berdiri dengan gaya santai. Satu tangannya berada didalam saku celananya. Ia hanya diam memandang istrinya yang sedang membuka baju. "Kenapa liatin Hana?" Hana memandang suaminya. Dilihat seperti ini, membuat dirinya grogi."Lagi ingin menikmati." Daffin tersenyum."Abang jangan mesum ya." Hana menutup bagian tubuhnya yang penting, dengan kedua tangannya. "Apa yang harus ditutup sih dek? Abang udah lihat selalu, bahkan isi di bagian dalamnya aja Abang sudah tahu, sudah hafal, sudah di korek-korek juga. Apa mau Abang sebutkan, bagaimana bentuknya, warnanya, kemudian." Ucapannya terhenti ketika Hana dengan cepat menyuruh diam."Abang jangan genit-genit ya." Hana kesal.Daffin tertawa ketika mendengar ucapan istrinya. Pria itu berjalan mendekati Hana. Namun wanita yang didekatinya mundur setiap kali ia mendekat."Abang mau apa?" tanya Hana.Daffin tersenyum ketika melihat sikap istrinya. "ya mau peluklah," jawabnya."Bukannya mau perkosa?" tanya Hana.Daffin tertawa, ketika me
Daffin memandang rumah yang penuh kenangan untuk istrinya. Hatinya begitu sangat senang ketika membayangkan raut wajah bahagia Hana ketika mendapatkan rumah ini kembali. "Rumah ini sebenarnya memiliki nilai lebih tinggi dari harga yang dijual. Namun ibu Susi menjual rumah ini dengan harga yang sangat murah," jelas pria yang berstatus asisten pribadi Daffin. "Aku ingin rumah ini, bisa aku dapatkan. Masalah harga, bagiku tidak masalah." Daffin memandang rumah yang tergolong mewah. Rumah ini memiliki halaman yang luas, dengan ukuran tanah yang besar. Lokasi rumah yang berada di Jakarta pusat, sudah pasti memiliki harga jual yang tinggi. Sebagai seorang pengusaha dibilang properti dan arsitek, ia sangat tahu tentang harga jual suatu rumah.Pria menganggukkan kepalanya dan kemudian mengetuk pintu."Silahkan masuk pak, saya akan memanggil ibu dan bapak dulu." Asisten rumah tangga itu, mempersilahkan dengan sangat sopan. "Terima kasih," jawab Daffin dan asisten pribadinya yang bernama Fat