Daffin menatap wajah istrinya yang sedang tertidur. Diciumnya bibir Hana dengan sangat lembut."Sayang bangun, ini sudah hampir magrib, kita Shalat dulu."Hana mendengar ucapan suaminya dan membuka matanya. Dipandangnya wajah Daffin yang kini berbaring di depannya. "Iya.""Jadi ini perutnya buncit karena apa?" Daffin memandang istrinya dan mengusap perutnya."Ada anak," jawab Hana"Bukan cacing?" Daffin mengulum senyumnya.Hana menggelengkan kepalanya."Mami nakal ya nak, masa iya, anak sayang papi dibilangin cacing." Daffin tersenyum dan mengusap perut Hana dengan lembut."Hana nggak tahu kalau lagi hamil," jawab Hana."Terima kasih ya dek, untuk hadiahnya sore ini." "Iya.""Jaga anak kita baik-baik ya sayang." Daffin tersenyum menatap wajah istrinya."Iya, apa Abang shalat di masjid?" "Nggak dek, di rumah aja mau shalat bareng anak." Rasa bahagia tidak bisa disembunyikan. Daffin yakin Hana pasti bisa menerima kehadiran calon anak mereka.Hana tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Mata Hana terbuka lebar saat mendengar ucapan suaminya.Senyum mengembang di bibirnya ketika melihat ekspresi wajah Hana. "Mau? ""Bila Hana makan 100 sendok, berarti dikali 100.000?" Hana memandang Daffin."Iya," jawab Daffin."Enak sekali, makan 100 suap dapatnya 10 juta." Hana berkata dalam hati."Penawaran, hanya untuk jam ini saja Lewat dari jam ini, hangus."Daffin tersenyum tipis. "Hana mau," jawabnya dengan cepat. Meskipun Daffin memberikannya kartu bebas limit, yang bisa dipakainya untuk berbelanja apapun, namun tetap saja, ia sangat senang bila mendapatkan uang cash seperti ini. Sejujurnya, dirinya juga tidak terlalu pandai berbelanja dengan menggunakan kartu.Diusapnya pipi Hana dengan tersenyum. Ia sangat tahu bahwa Hana begitu sangat menyukai uang. Ternyata tidak sulit untuk mengembalikan mood istrinya yang tadi sempat buruk."Abang nasinya sedikit sekali, tambah lagi." Hana berkata dengan penuh semangat."Iya dek." Daffin tersenyum dan menambah nasi ke dalam piring."M
Ia tidak bisa berkata apa-apa, semua yang dikatakan pria itu benar. Pria itulah yang sudah menyelamatkan hidupnya ketika akan dibunuh karena tidak mampu melunasi hutang. Pria yang bernama Bian itu, memberi syarat untuk bantuannya. Ia akan melunasi semua hutang Berliana yang mencapai ratusan juta dengan, syarat Berliana harus mau bekerja untuknya. Karena alasan itu, Berliana harus membalas kebaikannya dengan menerima pekerjaan yang diberikan Bian. Apa yang menjadi alasan Bian membenci Daffin, sampai saat ini belum diketahuinya. Yang bisa ditangkapnya, hanyalah dendam di masa lalu."Aku begitu sangat menyesal, percaya kepadamu. Seharusnya aku tahu kau perempuan yang tidak bisa memakai otak, kau wanita bodoh yang tidak bisa diharapkan sama sekali. Bila tahu akan seperti ini akhir dari pekerjaanmu, aku membiarkan kau mati pada saat itu. Kau dan ibu mu sama saja. Kalian manusia yang tidak berguna. Manusia yang tidak berakal dan bodoh. Ingin punya uang banyak, ingin kaya, tapi tidak mau be
Berliana beranjak dari duduknya. Ia menangis dan bersujud di kaki pria yang saat ini duduk di sofa. "Aku mohon berikan aku kesempatan satu kali lagi." Berliana memegang kaki Bian."Aku tidak akan membiarkan kau bahagia dengan pria yang seharusnya bersamaku. Mama, aku akan kembali untuk bersama dengan mama lagi. Aku tidak akan meninggalkan Mama sendiri," tekatnya dalam hati. Ia harus kembali lagi ke Indonesia dan menyelamatkan mamanya. Berliana bertekad untuk kembali melanjutkan karirnya di dunia keartisan. Di sini tidak ada yang bisa dilakukannya. Bian benar-benar mengurungnya seperti di dalam sebuah penjara.Bian tertawa lepas ketika mendengar ucapan Berliana. Aku tidak memintamu untuk terburu-buru melakukan apa yang ingin kau lakukan. Namun sebaiknya kau tonton dulu video-video yang sudah aku siapkan." Senyum merekah di bibirnya."Aku tidak ingin lagi melihatnya." Berliana berkata dengan air mata yang terus mengalir dan membasahi pipinya."Kau tidak mendengar ucapanku." Bian menend
Mita membuka pintu kamar Hana. Ia tersenyum ketika melihat menantunya yang sudah bangun. "Sudah bangun ya?" Sambil masuk ke dalam kamar."Iya ma, baru aja," jawab Hana"Iya, tadi Mama ke sini, tapi Hana masih tidur." Mita duduk di tepi tempat tidur dan mengusap pipi menantunya."Hehehe udah jam 10.00 ternyata. Pantes bang Daffin sudah berangkat. Tapi kenapa nggak bangunin Hana, jadinya Hana tidurnya kelamaan." Hana merasa tidak enak dengan mertuanya. Bagaimana mungkin ia yang berstatus menantu, baru bangun disaat matahari sudah tinggi seperti ini. "Nggak apa-apa, namanya juga bawaan hamil." Mita tersenyum dan mengusap perut menantunya."Mama sudah tahu ya?""Ya sudahlah, Daffin dari semalam udah ngasih tahu. Kelihatan, dia bahagia sekali. Bukan hanya Daffin yang bahagia, mama, papa juga." Mita tersenyum dan mengusap perut menantunya.Hana sangat senang ketika mendengar ucapan mama mertuanya. Melihat mamanya yang begitu sangat senang seperti ini, ia juga sangat senang. "Terima kasih
Daffin duduk dengan gelisah saat terbayang wajah istrinya. Entah mengapa, ia selalu rindu, padahal hanya berpisah sebentar saja. "Kenapa sih nggak kasih kabar." Dipandangnya layar ponsel yang di atas meja.Sudah hampir jam makan siang, namun Hana belum ada menghubunginya dan memberitahu apakah datang ke kantor atau tidak. Selama Hana mengandung anaknya, Daffin selalu ingin dekat dengan istrinya. Bahkan ia merasa tidak tenang dan nyaman, ketika sendiri di dalam ruangan seperti ini. Namun ia kesal sendiri, ketika mengingat sikap istrinya yang biasa-biasa saja dan terlihat sangat cuek. "Nggak apalah aku telepon Hana." Setelah mengalahkan egonya, Daffin akhirnya menghubungi nomor ponsel milik istrinya. Cukup lama pria itu menunggu sambungan video call yang dilakukannya diangkat oleh pemilik nomor yang ditujunya. Satu kali panggilan tidak terjawab, dua kali, hingga panggilan yang ketiga kalinya. "Halo," jawab Hana dengan suara serak dan mata yang terpejam. "Adek matanya dibuka dong, in
Sudah tidak sabar rasanya untuk mengetahui kondisi calon bayi yang dikandung istrinya. Dengan sangat cepat Daffin menyelesaikan mandinya dan keluar dari kamar mandi setelah tubuhnya terasa segar dan bersih."Lagi apa dek?" tanya Daffin ketika melihat pakaian yang sudah penuh di atas tempat tidurnya."Hana lagi cari baju.""Cari baju yang seperti apa?" tanya Daffin.Hana bingung menjelaskannya. "Cari baju yang cocok untuk Hana pakai." "Semuanya cantik, cocok." Daffin memandang tumpukan baju di atas tempat tidurnya.Hana hanya diam dan bingung untuk memilih baju yang akan dipakainya."Ini cantik, mau?" Daffin mengambil long dress pendek tangan, berwarna biru pekat dan memiliki tali pita di bawah dadanya."Hana coba dulu." Hana tersenyum. Perubahan bentuk tubuhnya membuat dirinya begitu sangat tidak percaya diri. Apalagi suaminya yang begitu sangat sempurna. Baik dari postur tubuh dan juga wajah. Daffin memiliki postur tubuh yang tinggi 185 cm, kulit putih, rambut lurus dan hitam, denga
Hana tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Sudah gak sabar ini." Mita tersenyum.Daffin dengan cepat beranjak dari duduknya. Dipegangnya tangan istrinya dan berjalan ke tempat tidur."Saya hamilnya udah berapa minggu ya dok?" Hana bertanya ketika duduk di atas tempat tidur. Sejak tadi ia penasaran dengan usia kandungannya.Dokter Lusi tertawa. "Ini ibu hamil kok nggak tahu sih?" tanyanya.Hana menggelengkan kepalanya. "Saya baru telat bulan ini dok dan sewaktu dirawat di rumah sakit, saya masih datang bulan. Tapi cuman sebentar, itu juga ngeflek. Tapi kenapa perut saya sudah besar sekali ya dok?" "Sewaktu terjadinya ngeflek, itu sebenarnya bukan haid, namun pada saat itu sudah hamil."Hana diam mendengar ucapan dokter Lusi. Dipandanginya wajah dokter tersebut. Ia baru mengingat, Dokter Lusi pernah memeriksanya beberapa kali."Saya ingat, dokter pernah periksa saya." Hana mengangkat jarinya ke atas.Dokter Lusi tertawa. "Mbak Hana ini bagaimana sih, kok lupa. Perasaan saya belum ad
Hana hanya diam saat kalung indah itu melingkar di lehernya. "Abang, beneran ini?" Tanyanya yang masih tidak percaya. "Iya sayang, nanti kasih Abang bonus ya." Daffin tersenyum dan mengangkat 3 jarinya.Mata Hana terbuka lebar saat melihat tiga jari suaminya. "Maksudnya 3 ronde?" Wanita cantik itu bertanya dengan wajah serius."Iya dong sayang," jawab Daffin.Hana diam dan menelan air ludahnya. Namun wanita itu tidak mampu untuk menolak, berhubungan apa yang diberikan Daffin tidak sebanding dengan apa yang dia inginkan. "Jangankan 3, 10 aja Hana layani bang," kata Hana dengan candaan.Namun berbeda dengan tanggapan yang diberikan Daffin. Pria itu ternyata mengganggap apa yang dikatakan istrinya serius. "Kalau gitu sampai pagi ya sayang." Dengan sangat genit Daffin mengedipkan matanya.Hana diam dan menelan air ludahnya. Mengapa dia berkata seperti itu sehingga Daffin salah mengartikan. "Emang sanggup?" Dengan bodohnya Hana bertanya dan terkesan menantang sang suami. "Ya jelas sanggu
Hana begitu sangat menikmati liburnya di kota Dewata Bali. Sesuai dengan apa yang di katakan Daffin, ini merupakan perjalanan bulan madu pertama mereka setelah menikah. Ia memiliki waktu berdua dengan sang suami. Sedangkan kedua anaknya diasuh nenek, kakek dan baby sitter nya. Mama mertuanya benar-benar memberikannya waktu untuk berbulan madu. Hana tersenyum malu-malu ketika melihat Daffin menatapnya. "Kalau ada si kembar pasti lebih asik," ucapnya untuk menghilangkan rasa canggung. Meskipun sekarang mereka sudah memiliki dua bayi kembar, namun tetap saja Hana merasa canggung jika Daffin menatapnya tanpa berkedip."I love you," jawab Daffin dengan menyelisikan jari telunjuk dan jempolnya.Hana tertawa ketika melihat tingkah suaminya. "Lain yang dibilangin lain yang dijawab," ucapnya yang tersenyum malu."Emangnya tadi bilangin apa?" tanya Daffin yang mengulum senyumnya."Andaikan ada si kembar disini, pasti asik." Hana kembali mengulang ucapannya."Mana boleh si kembar datang kesini.
Udara yang tadi terasa dingin kini sudah berangsur menghangat dan matahari sudah mulai mengeluarkan panas paginya yang menyehatkan.Hana masih sangat nyaman dengan duduk di tepi pantai bersama bersama dengan Daffin. Dengan sangat manja menyandarkan kepalanya di bahu sang suami."Sayang, Abang mau ke kamar, ambil si kembar. Kalau nunggu bangun, takutnya nanti terlalu siang dan keburu panas." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya."He... He.... Tahu aja kalau Hana lagi malas berdiri," ucapnya dengan tersenyum. Sejak tadi ia begitu malas untuk beranjak dari duduknya. Duduk di tepi pantai, melihat air omba yang saling berkejaran, membuat hatinya tenang. Dalam waktu sebentar saja permasalahan yang selama ini menghimpit dadanya berangsur-angsur terlupakan."Mami si kembar malasnya level tinggi." Daffin tersenyum dan beranjak dari duduknya. Panas pagi seperti ini sangat dibutuhkan oleh kedua anaknya, karena itu mereka sudah berniat untuk menjemur si kembar setiap pagi, selama berad
Udara pagi terasa sangat segar ketika masuk ke lubang hidung dan mengisi paru-parunya. Hana berulang kali menarik napas yang panjang dan menghembuskan secara berlahan-lahan. Pagi ini dia menikmati segarnya udara pagi di tepi pantai. Matahari yang mulai terbit, menambah indahnya suasana pagi ini.Daffin menggenggam tangan istrinya. Pria berwajah tampan itu tersenyum ketika melihat rona bahagia yang terpancar di wajah ibu dua anak tersebut. "Nanti kalau si kembar sudah bangun pasti dia senang ya lihat pantai." Hana tersenyum. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Kiandra dan juga Keyzia saat melihat keindahan pantai seperti sekarang. "Pasti minta masuk ke dalam air." Daffin tertawa. Baru saja membayangkan saja sudah membuat ia gemas sendiri. Si kembar sudah sangat pintar bermain. Apalagi jika diajak bermain air. Biasanya bayi kembar itu tidak akan mau keluar dari dalam air dan mami mereka akan kesulitan ketika membujuk kedua bayi kembarnya agar mau berhenti berendam. Daffin bis
Berliana mendongakkan kepalanya ke atas dan memandang langit yang sudah semakin gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan kembali turun. Angin yang berhembus kencang, membuatnya sedikit takut. "Mama, tenanglah di sini. Mau seperti apapun mama, aku akan tetap selalu menyayangi mama. Mama, aku pamit pulang, Aku juga akan pergi meninggalkan Indonesia, dalam waktu 3 bulan ini. Jadi mungkin aku tidak datang ke sini untuk melihat mama. Tapi aku janji, aku akan langsung ke sini, setelah aku kembali dari Korea. Aku akan menuruti semua yang mama katakan. Aku juga sudah mendapatkan identitas baru. Aku sudah tidak menjadi Berliana lagi." Diusapnya air mata yang mengalir deras. Semua kisah hidupnya, semua cerita indah tentang kebersamaannya dengan sang mama, akan disimpan di dalam memori ingatannya. Berliana sudah mendapatkan kabar dari pria yang membantunya membuat identitas baru. Pria itu mengabarkan bahwa identitas barunya sudah selesai. Itu artinya, ia sudah bisa pergi meninggalkan Indonesia.
"Selamat tidur anak ganteng mami." Hana tersenyum dan mencium pipi bulat Keandra kiri dan kanan. Ia juga mencium bibir kecil bayi laki-laki tersebut.Selamat tidur sayang mami yang cantik jelita." Hana tersenyum dan mencium pipi kiri dan kanan, bayi cantiknya. Di mata ibu dua anak itu, anak-anaknya makhluk yang paling sempurna. Keandra yang terlihat begitu tampan dan Keyzia yang tampak begitu sangat cantik. "Kenapa ya, kalau cium adek nggak pernah ada puasnya. Mami ngerasa selalu aja kurang." Hana tersenyum sambil menatap wajah cantik putrinya. Meskipun kedua anaknya sudah tidur, namun Hana tetap saja berbicara, seakan kedua bayi itu mendengar apa yang dikatakannya. Ia kembali mencium kening dan juga puncak kepala bayi yang berambut tebal tersebut. "Abang Kean, jangan nakal ya sama adek. Jangan digigit kuping, jangan disedot hidung dan juga pipi adek ya." Hana tersenyum memandang Keandra. Sebenarnya ia ingin memisahkan tempat tidur kedua bayi itu, namun jika tidur ditempat tidur ter
Bian tersenyum penuh kepuasan ketika melihat hasil persidangan Susi. "Manusia iblis," ejeknya. Selama beberapa minggu ini pria itu selalu mengikuti perkembangan kasus Susi. Dan hari ini dia begitu sangat bahagia karena mendengar keputusan hakim. Wanita itu membayar perbuatannya dengan nyawanya sendiri. Diambilnya telpon genggam yang terletak di atas meja. Ia langsung menghubungi nomor ponsel yang tersimpan di kontak telepon. Nomor ponsel yang selalu akan disimpannya. Suara panggilan telepon yang dilakukannya baru di angkat di panggil yang sudah ketiga kalinya. Biasanya Bian akan marah jika panggilan telepon yang dilaksanakannya diabaikan begitu saja. Namun saat ini, ia tidak marah, mungkin karena suasana hatinya yang sangat senang. "Halo." Suara serak yang menjawab telpon darinya, menandakan si penjawab telpon sedang menangis. "Pantas saja kamu bisa seperti ini Berliana, ternyata kamu keturunan iblis, betul nggak sih." Senyum penuh kemenangan terukir di wajah tampannya.Berliana
"Hana mau dengar semuanya ma." Hana memandang punggung Susi yang membelakanginya.Saya juga pernah merencanakan agar para preman melakukan perbuatan asusila kepada Hana. Setelah mereka puas dengan tubuhnya saya meminta agar menghabisi nyawanya. Karena apa Saya ingin terkesan seperti korban kejahatan preman yang mabuk. Namun nyatanya Hana tidak pulang ke rumah karena dia menginap di rumah teman sekolahnya. Dan hal itu sudah saya lakukan berulang kali. Namun selalu saja gagal dan pada akhirnya saya membatalkan rencana tersebut.Hana memegang dada yang terasa begitu sangat sakit dan sesak. Tidak terbayang olehnya ternyata wanita yang dinikahi ayahnya memang benar-benar iblis."Saya bahkan tidak pernah menyesal karena menghilangkan nyawa suami saya yang kebetulan bodoh itu. Karena jujur, saya tidak pernah mencintainya. Saya menikah dengan dia, hanya untuk mendapatkan harta dan uangnya. Dan semua itu karena dia yang terlalu bodoh dan terlalu berharap lebih kepada saya. Karena nyatanya, say
"Mama Berliana berlari dan memeluk Susi dengan erat. Air mata kesedihan tidak bisa di tutupinya. Susi tersenyum dan mengusap punggung putrinya. Senyum yang ditunjukkan sebagai bukti bahwa dirinya baik-baik saja. "Mama baik-baik aja nak.""Mama aku sungguh tidak sanggup." Berliana berkata di tengah isak tangisnya. Menyaksikan persidangan sang mama, sungguh membuat tubuhnya lemas dan tidak sanggup untuk menerima kenyataan pahit atas hukuman yang akan diterima oleh wanita yang sudah melahirkannya. Namun yang lebih membuat hatinya terasa sakit dan juga perih, ketika tidak bisa membela mamanya sama sekali. Ribuan kata makian untuk menghakimi perbuatan Susi. Mereka terlalu pandai untuk menilai dan menghakimi kesalahan yang orang lain lakukan. Ingin rasanya Berliana marah dan menangkis semua perkataan orang-orang itu. Namun apa yang dikatakan mereka benar. Semua fakta tidak bisa di pungkiri. Pada akhirnya dia berusaha untuk tuli dan tidak mendengarkan. Meskipun kenyataannya, apa yang dikat