“Aku tidak ingin mendengar penolakan, Alana! Jika kamu merasa keberatan menerimanya, aku memberikannya bukan untuk kamu. Tapi untuk kedua anakku. Jadi tolong terimalah,” ucap Andra meraih telapak tangan kanan Alana dan mengepalkan kedua kartu itu di sana.
“Sandinya tanggal lahirmu. Kamu bisa menggunakan itu untuk memenuhi semua kebutuhan hidupmu, ibu dan juga anak-anak kita. Pokoknya aku mau kamu berhenti bekerja di restoran itu, Alana. Sudah cukup kamu bekerja keras selama ini.” Andra menuturkan.Membuat Alana tertegun menatapnya. Winarti juga tersenyum melihat mata Andra dan Alana yang saling berserobok satu sama lain. Winarti merasa, jika sepertinya Alana sudah bisa memaafkan Andra. Atau mungkin bahkan Alana sudah kembali membuka hatinya lebar-lebar untuk mantan suaminya itu.Berbeda dengan Winarti, Rehan justru menunduk terdiam. Dalam hatinya yang terdalam, Rehan membenarkan kalau Andra bersikap sangat baik sekarang.“Bagaimana, Alana?” tanya Andra lagi. Dan Alana mengerjapkan matanya.Alana menghembuskan napasnya pelan. Lalu berkata. “Aku mau menikah lagi denganmu. Jika Rehan sudah mau menerimamu. Karena aku tidak mau egois. Aku mau Rehan sudah bisa membuka dirinya untukmu setelah kita menikah nanti. Aku tidak mau pernikahan kita membuat Rehan tertekan. Kamu paham ‘kan maksudku, Andra?”Andra bergeming sesaat. Kemudian ia mengangguk-anggukan kepalanya membenarkan ucapan Alana.“Ya. Kamu benar. Aku juga setuju, Alana. Aku akan berusaha mencuri perhatian anak sulungku itu, agar dia mau menerimaku sebagai papanya. Aku mau membangun sebuah keluarga yang bahagia. Hanya ada cinta di dalamnya. Tanpa ada benci dan tanpa ada yang terluka. Jadi aku akan sabar menunggu Rehan.” Andra berkata sambil tersenyum simpul.Ia menarik pundak Alana ke pelukannya dan mendekap wanitanya itu dengan erat.Alana sempat terkejut dengan apa yang Andr
Tapi Rehan tidak menjawab. Dia hanya menutup buku tulisnya dan bergerak bangkit dari kursi. Lantas pergi begitu saja ke kamarnya tanpa memerdulikan Andra.“Rehan!” Alana mengerutkan keningnya. Ia baru saja keluar dari kamar dan berpapasan dengan Rehan yang masuk ke dalamnya. Karena mereka memang tidur di kamar yang sama.KLEK!Rehan menutup pintu kamar itu dengan rapat. Membuat Andra menarik napasnya dalam. Mengambil hati Rehan memang bukanlah sesuatu yang mudah untuk ia lakukan.“Andra. Aku minta maaf atas sikap Rehan. Dia—““Jangan meminta maaf, Alana. Kamu dan Rehan tidak salah. Tidak apa-apa. Aku hanya harus berusaha lebih keras lagi untuk meluluhkan hati anak kita yang satu itu,” kekeh Andra tapi Alana tahu kalau Andra menyembunyikan rasa miris di hatinya.“Duduklah. Apa kamu juga tidak mau memakan kue cokelat yang kita beli?” goda Andra sambil menaikan sebela
“Nenek. Rehan sudah siap. Ayo kita berangkat, Nek!” setelah mengenakan sepatunya di ruang tengah, Rehan berlari ke kamar Winarti. Tapi kening Rehan berkerut saat melihat Winarti sedang duduk melipat pakaian di samping tempat tidur. Bahkan Winarti masih mengenakan baju daster rumahannya. Padahal ini waktunya Rehan berangkat sekolah. Biasanya ‘kan Winarti sudah siap dengan pakaian yang rapi jika akan mengantar Rehan.Tapi..“Rehan? Kamu belum berangkat?” tanya Winarti. Menghentikan sejenak aktivitas melipat pakaiannya. Alisnya terangkat sebelah menatap pada Rehan yang berjalan kearahnya.“Rehan nunggu nenek. Hari ini nenek antar Rehan ke sekolah, ‘kan?” tanya Rehan. Tapi Winarti malah menggelengkan kepalanya.“Hari ini Nenek tidak akan antar Rehan ke sekolah,” sahut Winarti. Menyentuh sebelah pundak Rehan.Mendengar itu, tentu saja membuat kerutan di kening Rehan makin dalam. Tumben
Tapi kepala Rehan menggeleng dengan tegas.“Ayahku hanya Ayah Danu! Sebaiknya om pergi saja dan tidak usah datang ke rumah lagi. Karena aku bisa jaga Mama Alana dan adik bayi!” teriak Rehan pada Andra sebelum kemudian bocah kecil itu berlari meninggalkan Andra. Dan segera memasuki gerbang sekolahnya.Hati Andra mencelos melihat punggung Rehan. Perkataannya serasa meremukan hati Andra hingga hancur berkeping-keping.Andra bangkit berdiri. Lalu ia menyugar rambutnya dengan gusar.“Ya Tuhan. Hukumanku seberat ini? Rehan sulit sekali dijangkau. Dia bahkan begitu membanggakan Danu,” lirih Andra tersenyum miris.“Tapi kamu salah Rehan. Jika kamu berpikir dengan semua yang kamu ucapkan maka Papa akan berhenti berusaha untuk meluluhkan hati kamu. Maka kamu salah besar. Justru Papa akan menunjukan sama kamu, kalau Papa juga pantas untuk mendapatkan cinta kamu.” Andra bergumam.Menghembuskan napasnya kas
Danu memang bisa datang kapan saja untuk menjenguk Rehan yang sudah seperti anaknya sendiri. Tapi semua itu tentu harus ada batasannya. Dan menjamin hidup Alana serta Rehan, bukanlah merupakan kewajiban Danu.“Tidak! Kamu tidak perlu melakukan itu, Danu. Sampai saat ini aku masih bisa membiayai hidup kami. Meski aku tidak bekerja sekalipun,” sahut Alana. Yang kemudian membuat kedua alis Danu saling bertaut heran.Alana yakin. Saat ini dalam benak lelaki itu pasti sedang berkecamuk bingung. Mungkin Danu berpikir, darimana Alana bisa membiayai keluarganya padahal Alana sendiri tidak bekerja.“Tapi..” Danu hendak menyela.Gelengan tegas Alana membungkam bibirnya hingga kembali menutup rapat.“Tolong Danu. Aku tahu kamu baik. Tapi kamu tidak usah khawatirkan kehidupan kami,” kata Alana. Dan Danu berubah diam seribu bahasa.‘Aku tidak mungkin mengatakan jika Andra lah yang sudah menjamin biay
Jantung Winarti serasa dipukul oleh sesuatu yang keras. Tubuhnya mendadak lunglai begitu mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Danu.Katanya dia ingin menikahi Alana? Bagaimana bisa? Padahal Winarti tahu sekali jika Alana sudah mulai membuka hatinya lagi untuk Andra. Dan Winarti juga tahu kalau Alana sama sekali tidak pernah mencintai Danu.Selama ini Danu hanya dianggap sebagai sahabat. Danu selalu datang sebagai Ayahnya Rehan. Tidak lebih.“Dan aku ingin meminta restu dari Ibu,” tutur Danu lagi. “Berkali-kali aku berusaha untuk melamar Alana dan menyatakan cintaku padanya. Tapi hasilnya selalu sama. Alana selalu menolakku dengan alasan kalau dia tidak pantas untukku. Percayalah, Bu. Aku mencintai Alana dengan sangat tulus. Bagiku dia adalah wanita yang sangat sempurna. Aku tidak peduli dengan statusnya yang akan menjadi janda beranak dua. Aku tetap ingin menjadikan Alana sebagai istriku. Dan aku meminta restu Ibu..”Wi
Andra hanya terdiam. Ia memerhatikan Nita yang kemudian berbalik menuju kamar mandi. Mungkin Nita mau membersihkan lap bekas muntahannya.Tak berapa lama kemudian, Nita kembali lagi dan menarik kursi untuk duduk di samping ranjang Andra.“Mama bawakan makan malam untuk kamu. Setelah itu kamu minum obat,” ucap Nita sambil meraih piring berisi bubur yang tadi ia bawa. “Mau Mama suapi?” tawar Nita yang langsung dijawab Andra dengan menggelengkan kepalanya.“Aku bisa makan sendiri, Ma. Simpan saja dulu di atas nakas, Ma. Nanti pasti aku makan. Mama jangan khawatir, aku juga akan meminum obatnya.” “Tapi kamu masih lemas, Ndra.”“Ma.. Aku bisa makan sendiri nanti,” keukeuh Andra.Dan Nita hanya bisa menghembuskan napasnya pelan. Ia mengalah. Andra memang terkadang bisa sekeras kepala ini. Nita menaruh kembali piring itu di atas nakas seperti yang Andra pinta.Padahal Nita tahu jika
Tapi Alana segera menahan kedua pundak Nita.“Tidak, Nyonya Nita. Jangan lakukan itu!” tolak Alana. Nita kembali berdiri. Kali ini matanya mengembun menatap Alana.“Ayo masuk dulu. Kita duduk dan bicara di dalam!” Alana mempersilakan Nita untuk masuk ke dalam rumah sewanya.Mereka lantas duduk saling berseberangan. Nita melepas tas selempangnya dan meletakannya di sisi kiri.“Aku sudah mendengar dari Andra. Tentang kabar kematian Tuan Darma. Aku turut berduka cita untuk itu,” ucap Alana kembali membuka suara.Nita mengangguk. Sambil mengusap air matanya yang menetes di pipi.“Dia sempat meminta maaf sama kamu melalui Andra. Sebelum dia menutup mata untuk yang terakhir kalinya. Tuhan telah menghukum kami, Alana. Kami baru menyadari bahwa kami adalah orang tua yang sangat egois. Hanya demi kepuasan—semata, kami tega menghancurkan rumah tangga kalian.” Nita menunduk. Menyeka air
Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan. Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra.Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini usia Alin sudah memasuki bulan ketiga. Alin sudah pintar mengoceh dan mengemut tangannya sendiri. Kadang ia akan menjambak pelan rambut Andra dan Rehan saat Papa dan kakaknya itu menciumi wajahnya.“Alin! Sayang! Berapa kali Papa bilang, berhenti mengemuti tanganmu seperti ini. Tadi ‘kan sebelum berangkat ke taman, kamu sudah minum susu yang banyak dari Mama Alana. Perut kamu pasti sudah kenyang ‘kan? Jadi sekarang hentikan mengemut tangannya ya!” Andra menarik tangan Alin yang mengepal dan masuk ke dalam mulutnya.Andra tidak ingin Alin terbiasa melakukan itu. Tapi yang namanya bayi berusia tiga bulan. Tentu saja dia tidak akan mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.Berulang kali Andra menarik tangan Alin dari mulut mungilnya, berulang kali pula Alin tetap memasukan tangannya itu ke dalam mulut lagi.Hingga akhirnya Andra menyerah. Ia menghembuskan napasnya pelan.“B
Kening Alana berkerut menatap pada suaminya."Alindra?" ulang Alana.Dan Andra langsung mengangguk mantap."Ya. Alindra. Alindra Wijaya. Dia akan menjadi seorang perempuan yang kuat dan berhati lembut. Dia akan pintar dan berwawasan luas. Dia juga akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Alin!" ujar Andra menuturkan.Membuat Alana yang mendengarnya kini menarik kedua sudut bibirnya ke samping.Hingga membentuk sebuah senyuman."Alindra Wijaya? Aku setuju. Nama yang sangat indah," ucap Alana.Kemudian ia mengelus pipi mungil Alin yang masih sibuk menyusu--di dadanya."Hei, Alin! Ini Mama! Kata Papa, mulai sekarang nama kamu adalah Alin, ya. Nanti kamu akan bertemu dengan kakak Rehan. Juga dengan kedua nenek kamu. Kakak Rehan pasti akan senang saat melihat kamu yang secantik ini!" ujar Alana.Ya. Rehan adalah salah
“Emhh.. Maaf Pak Andra! Mr. Steve! Saya mau pamit ke kamar kecil dulu sebentar. Boleh?” tanya Vani dengan wajah sungkan.Yang kemudian langsung diangguki oleh Andra dan Mr. Steve.“Tentu saja boleh. Silakan Vani!”Vani mengangguk. Lalu ia bangkit berdiri sambil meraih ponselnya. Kaki Vani terus bergerak menjauhi meja itu. Lantas ia berhenti ketika berada di dekat kamar kecil.Vani segera saja mengangkat panggilan dari Nita.“Hallo Nyonya Nita! Mohon maaf saya baru mengangkat telpon Anda. Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Vani setelah menempelkan ponselnya di telinga kanan.‘Kenapa ponsel Andra tidak aktif? Sejak tadi saya menghubungi ponsel Andra sampai berpuluh-puluh kali. Tapi tidak satu pun yang tersambung. Jadi saya menghubungimu. Mana Andra?! Saya mau bicara dengannya?’ tanya Nita dari seberang telpon.Pertanyaan Nita itu seketika membuat Vani menggigit bibirnya. Ia tergugu dan
Sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan, Andra menatap Alana dengan alis yang bertaut.“Kenapa kepalaku dijitak?” tanya Andra dengan memasang wajah sok polos.Alana berkaca pinggang di hadapannya. “Aku melakukan itu agar isi otak suamiku tetap waras. Ini sudah malam ‘kan? Kalau aku yang mandikan, bisa-bisa kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi itu. Karena aku sudah tahu betul dengan apa yang ada di dalam pikiranmu!” Alana berkata dengan tegas. Dan dagunya terangkat kearah Andra.Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu matanya menatap Alana lurus.“Hhh.. padahal aku sudah membelikanmu bunga. Tapi aku tidak mendapatkan balasan apa-apa,” gumam Andra pelan.Namun gumaman itu masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Alana. Hingga membuat kedua bola mata Alana melebar dan ia mendelik kearah suaminya.“Oh! Jadi kamu sengaja membe
Membuat Alana dan Rehan sama-sama tersenyum mendengarnya.“Oh iya. Apa PR-nya Rehan sudah selesai?” tanya Andra yang melemparkan tatapanya ke arah buku tulis milik Rehan.“Sudah, Pa. Kalau untuk PR-nya, aku sudah mengerjakannya tadi. Sekarang hanya tinggal belajar membaca saja. Karena besok ada tes membaca oleh Ibu Guru,” sahut Rehan menjawab. Dan Andra mengangguk-anggukan kepalanya.“Oh begitu. Baiklah. Berhubung sekarang Papa sudah pulang ke rumah. Jadi bagaimana kalau Papa saja yang membantu kamu belajar membaca? Kamu mau?” Andra menaruh tas kerjanya di atas tempat tidur Rehan. Kemudian ia bertanya pada bocah kecil itu.“Mau Pa! Rehan mau!” seru Rehan dengan senang. Sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Andra terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.Namun Alana menatap Andra dengan mengerutkan keningnya.“Tapi, Andra. Kamu ‘kan baru pulang dari kantor. Pasti k
“Apa pensil warnanya sudah? Jangan sampai ada yang tertinggal, Rehan!” Alana sedang mengecek perlengkapan sekolah Rehan yang ada di tas anak itu.“Sudah Rehan masukan semuanya, Ma? Isi tasku sudah lengkap, ‘kan?” Rehan balas bertanya pada Alana yang duduk di tepi ranjang sambil meneliti isi tas anak lelakinya itu.Pagi ini Alana memang langsung mendatangi Rehan ke kamarnya. Hal yang selalu menjadi kebiasaan Alana. Ia selalu memeriksa PR Rehan dan isi tas bocah itu. Alana takut jika sampai ada yang tertinggal di rumah.Merasa semuanya sudah lengkap, Alana menganggukan kepalanya lalu ia memberikan tas itu kembali ke tangan Rehan.“Ternyata semuanya sudah lengkap. Kalau begitu kemarikan sisirnya. Biar Mama yang sisirkan rambut kamu!” pinta Alana menengadahkan tangannya pada Rehan.Namun Rehan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak usah, Ma. Rehan sudah besar sekarang. Mama tidak perlu lagi menyisiri rambut R
Malam ini, Andra sedang duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Tampak kaki kanannya tertumpang di kaki kiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, Andra mengamati lamat-lamat buku-buku tebal yang ia pangku di atas—paha.Yang sedang Andra baca itu tentu saja sebuah buku bisnis.Ketika itu Rehan datang dengan membawa snack di tangannya. Bocah kecil itu melangkah mendekati Papanya yang langsung menoleh dan tersenyum begitu melihat Rehan.“Hei! Papa pikir kamu sudah tidur?” Andra tersenyum pada Rehan sembari melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja.“Belum, Pa. Rehan tidak bisa tidur.” Rehan kini menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan Andra.“Kenapa kamu tidak bisa tidur? Apa kamu sudah minum susu hangatnya dari Bik Sumi?” tanya Andra kemudian ia menaruh buku tebalnya juga di atas meja. Untuk bergabung dengan kacamatanya.Rehan mengangguk sebagai j
Kini Andra dan Alana sudah ada di mobil. Alana mengerutkan keningnya menatap kearah jendela di sampingnya, benaknya berpikir kemana Andra akan menjalankan mobilnya ini?Andra bilang, mereka akan pergi jalan-jalan. Tapi Andra belum memberitahunya kemana tujuan mereka sebenarnya.Sementara Andra sendiri tampak fokus menyetir sembari tatapannya tajam ke depan sana.“Andra!”“Hmm?” Andra berdeham, melirik sekilas kearah Alana yang duduk di sampingnya. Sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya ke jalanan.“Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?” Alana tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia sungguh penasaran.Tapi Andra hanya menahan senyumnya. Melihat Alana yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya, membuat Andra merasa geli.“’Kan sudah ku bilang, kalau aku mau membawamu ke sebuah tempat yang akan membuatmu senang melihatnya. Karena it