Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan.
Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra. Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti“Saya akan melunasi biaya operasi suami kamu. Tapi, dengan satu syarat," ucap wanita tua yang masih terlihat cantik itu pada Alana, “Tinggalkan Andra. Dan pergi sejauh mungkin dari kehidupannya.” Alana yang kini sudah basah kuyup akibat dibiarkan berdiri di depan pintu rumah, lantas tertegun mendengar ucapan sang ibu mertua. Meninggalkan Andra? Bagaimana mungkin? Andra adalah suaminya. Terlebih saat ini lelaki itu sedang terbaring lemah di rumah sakit. “Ma, aku tidak bisa melakukan itu, Ma. Aku tidak bisa meninggalkan Andra yang sangat membutuhkanku saat ini. Apa tidak ada syarat lain?” Mendengar itu, Nita sontak tertawa. “Alana, Andra itu anakku. Aku bisa merawatnya dengan baik,” tukasnya cepat. “Dulu aku yang membesarkannya. Tapi setelah dewasa, dia malah jatuh ke dalam jerat perempuan miskin seperti kamu dan memilih pergi dari rumah ini. Sekarang lihat apa yang terjadi pada Andra? Kamu hanya bisa membawanya hidup susah. Kamu membuat Andra menderita. Jadi sebaiknya kamu ti
Setelah membacanya, Andra meremas surat itu di tangannya.Kepalanya mendongkak menahan semua rasa sakit. Kemudian menggeleng tak menyangka.“Tidak! Kamu tidak bisa meninggalkanku, Alana. Kamu tidak boleh meninggalkanku. Aku mencintaimu. Jangan minta bercerai dariku. Tolong jangan pergi Alana! Jangan pergi..” Andra meraung-raung mengacak semua surat yang ada di atas tempat tidur itu hingga jatuh bertebaran di bawah lantai.Nita dan suster dengan cepat menenangkannya sebelum Andra semakin kalap dan memperburuk kondisinya.“Sadar, Ndra! Sadar! Alana sudah pergi! Dia sudah tidak mencintai kamu lagi. Berhenti menghabiskan air mata kamu hanya untuk menangisi wanita seperti dia!” Tapi Andra masih meraung. Seolah tak mendengarkan Nita sama sekali. Ia meremas dan mengacak sprei untuk menumpahkan tangis dan emosinya.“Kenapa kamu pergi, Alana? Kenapa? Aku memang lumpuh saat ini. Tapi kamu jangan khawatir. Kakiku akan sembuh lagi nanti. Aku masih bisa cari uang untuk kamu. Aku masih bisa bekerj
“Tuan Andra. Saya minta maaf, karena belum berhasil menemukan di mana Alana berada.” Rian—salah satu orang suruhan Andra kini berdiri menghadap Andra dengan wajah tegangnya.Tatapan mata Andra menajam. “Kamu gagal? Dan masih berani menghadap kepadaku?” Delapan tahun berlalu Andra telah berubah menjadi lelaki tegas yang tak berperasaan. Ia tak segan menghardik semua orang yang tak bisa menjalankan tugasnya dengan benar. Kedua kaki Andra juga sudah bisa berdiri dan berjalan dengan normal berkat terapi yang rutin ia jalani. Tetapi luka di hatinya tak kunjung samar.Sampai saat ini, dia bahkan masih mencari di mana perempuan yang sudah memberinya luka itu berada? Tentu saja Andra tidak akan puas sebelum bisa menemukan Alana, dan memberikan pelajaran pada wanita itu. “Maaf, Tuan. Saya akan berusaha mencari Alana sampai ketemu. Saya akan pastikan itu, Tuan. Saya janji.” “Aku tidak percaya,” kata Andra dengan nada dingin. “Sekarang juga kamu akan ku pecat. Keluarlah dari ruanganku dan
Danu menggigit bibirnya. Bohong jika Danu tidak menyayangi Alana. Bahkan mungkin rasa itu lebih dari sayang. Danu sudah jatuh hati pada Alana saat pertama kali ia melihatnya. Danu semakin semangat ketika tahu Alana membesarkan anaknya seorang diri. Tanpa ada suami. Hanya Winarti yang membantunya. Alana nampak kuat dan tegar di mata Danu. Sosok Alana yang lembut dan penyayang, juga penuh cinta pada Rehan. Membuat Danu semakin yakin, jika Alana adalah wanita yang sangat tepat untuk hidupnya. Tetapi sangat disayangkan, dua kali Danu menyatakan cinta pada Alana. Dan dua kali pula ia ditolak. Alasannya tetap sama. ‘Aku masih belum bisa membuka hati untuk orang lain. Jangan terlalu berharap padaku, Danu. Karena aku tidak bisa memberimu kepastian apapun.’ itulah yang selalu Alana katakan saat Danu ingin serius padanya. Meski sudah ditolak, tak lantas membuat kegigihan Danu untuk mendapatkan hati Alana luntur begitu saja. Ia akan tetap berusaha, hingga wanita itu jatuh hati padanya.
Tanpa terasa, hari ini Alana, Rehan dan Winarti–ibu kandung Alana telah sampai di Jakarta. Seorang teman Alana yang tinggal di Jakarta, membantu mencari rumah sewa untuk mereka tinggali. “Al, sorry ya. Cuman ada rumah ini yang bisa aku sewakan untuk kamu dan keluarga kamu. Ini sudah harga yang paling murah. Tapi letaknya tak terlalu jauh ke kantor.” Virny berkata sambil membukakan pintu rumah untuk Alana. Alana dan keluarganya melangkah masuk. Dan melihat sekeliling ruangan yang ada di rumah itu. “Tidak apa-apa, Vir. Rumah ini sudah cukup untuk kami. Terimakasih sudah membantuku mencari rumah sewa. Maaf sudah banyak merepotkanmu,” ujar Alana dengan raut tidak enak. Sementara Rehan sudah diajak oleh Winarti untuk masuk ke dalam kamar. Membereskan baju-baju mereka ke dalam lemari kecil yang ada di kamar itu. “Kamu ini seperti bicara dengan siapa saja. Aku ini ‘kan temanmu. Sudah pasti akan membantu saat kamu perlu bantuan. Oh iya, besok datang ke kantornya jam sembilan pagi ya.
Pantas saja Alana tak asing saat mendengar suaranya. Di sisi lain, Andra tersenyum menyeringai. "Wah, ternyata kamu masih ingat namaku," kata Andra pura-pura antusias. "Apa kabar, mantan istri?" lanjutnya lagi.Alana sendiri masih mencoba menormalkan detak jantungnya. Saat ini ia melihat sosok Andra yang terlihat berbeda di hadapannya. Tatapannya tak lagi selembut dulu. Tentu saja! Bukankah Alana sudah meninggalkannya? Maka wajar saat Alana kini hanya bisa melihat tatapan benci dan penuh hinaan yang dilayangkan oleh Andra padanya. "Kenapa kamu diam saja, Alana? Apa kamu terkejut melihatku yang ternyata adalah boss mu saat ini? Heum?" Andra bangkit dari duduknya. Kaki panjangnya melangkah mendekati Alana. Hati Alana merasa bahagia, saat ia melihat pada kedua kaki Andra yang sudah bisa berjalan dengan baik. Tapi Andra mendengus menyadari Alana menatap pada kakinya. "Kenapa dengan kakiku, Alana? Kamu heran ternyata aku tidak lumpuh? Kamu terkejut melihatku bisa berdiri da
Sekeluarnya dari perusahaan Andra, Alana berlari sambil mengusap air matanya. Ucapan Andra begitu tajam, seperti sebilah pisau yang siap menusuk dadanya. Semua hinaan, tuduhan, serta sikap ketus Andra padanya, telah mematahkan hati Alana. Laki-laki itu sungguh menjelma menjadi sosok Andra yang berbeda. Alana tak lagi kenal dengan perangainya. Begitu naik ke dalam minibus, segera Alana duduk menyandarkan punggungnya di kursi yang kosong. Air mata kembali meluruh selaras dengan relung hatinya yang terasa diremas oleh tangan tak kasat mata. 'Kamu tidak tahu apapun, Ndra. Kamu tidak tahu apapun. Yang kamu tahu, hanya setiap kebohongan yang diumbar oleh kedua orang tua kamu tentang aku. Mereka berdua yang memaksaku pergi. Mereka lah yang paling berperan atas luka yang kamu derita delapan tahun yang lalu,' desah Alana dalam batinnya. Manik matanya berlari keluar jendela, menatap pada jalanan yang tampak sedikit lenggang. Kaca minibus sedikit terbuka, membuat rambut Alana yan
Alana tersenyum miris.Laki-laki itu ternyata sudah kembali menjatuhkan hati pada wanita lain dan melupakan pernikahan mereka. Dengan berusaha tetap tenang, Alana berbalik dan melangkah menuju tempat dimana Andra masih memangku wanita itu dengan mesra. Maka dengan cepat Alana memilih keluar dari ruangan itu. Sedikit berlari, lantas menutup pintunya dengan segera. BRAK! Kini Alana mempercepat larinya. Ia tak bisa lagi menahan tangis. Alana butuh ruangan yang senyap untuk menumpahkan isakannya. Kakinya yang ramping berhenti di sebuah kamar kecil khusus karyawan. Alana mematut dirinya pada sebuah cermin besar yang memantulkan bayanganya sendiri. "Ya Tuhan! Rasanya hatiku sakit melihat Andra bercumbu dengan wanita lain. Aku tahu dia sudah bukan suamiku. Tapi rasa cinta di hatiku masih tetap sama. Aku masih mencintainya sebesar dulu." Alana mendesah sambil menangis di depan cermin. Air mata sudah meluruh membasahi kedua belah pipinya yang seputih pualam. Hari ini, Andra betu
Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan. Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra.Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini usia Alin sudah memasuki bulan ketiga. Alin sudah pintar mengoceh dan mengemut tangannya sendiri. Kadang ia akan menjambak pelan rambut Andra dan Rehan saat Papa dan kakaknya itu menciumi wajahnya.“Alin! Sayang! Berapa kali Papa bilang, berhenti mengemuti tanganmu seperti ini. Tadi ‘kan sebelum berangkat ke taman, kamu sudah minum susu yang banyak dari Mama Alana. Perut kamu pasti sudah kenyang ‘kan? Jadi sekarang hentikan mengemut tangannya ya!” Andra menarik tangan Alin yang mengepal dan masuk ke dalam mulutnya.Andra tidak ingin Alin terbiasa melakukan itu. Tapi yang namanya bayi berusia tiga bulan. Tentu saja dia tidak akan mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.Berulang kali Andra menarik tangan Alin dari mulut mungilnya, berulang kali pula Alin tetap memasukan tangannya itu ke dalam mulut lagi.Hingga akhirnya Andra menyerah. Ia menghembuskan napasnya pelan.“B
Kening Alana berkerut menatap pada suaminya."Alindra?" ulang Alana.Dan Andra langsung mengangguk mantap."Ya. Alindra. Alindra Wijaya. Dia akan menjadi seorang perempuan yang kuat dan berhati lembut. Dia akan pintar dan berwawasan luas. Dia juga akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Alin!" ujar Andra menuturkan.Membuat Alana yang mendengarnya kini menarik kedua sudut bibirnya ke samping.Hingga membentuk sebuah senyuman."Alindra Wijaya? Aku setuju. Nama yang sangat indah," ucap Alana.Kemudian ia mengelus pipi mungil Alin yang masih sibuk menyusu--di dadanya."Hei, Alin! Ini Mama! Kata Papa, mulai sekarang nama kamu adalah Alin, ya. Nanti kamu akan bertemu dengan kakak Rehan. Juga dengan kedua nenek kamu. Kakak Rehan pasti akan senang saat melihat kamu yang secantik ini!" ujar Alana.Ya. Rehan adalah salah
“Emhh.. Maaf Pak Andra! Mr. Steve! Saya mau pamit ke kamar kecil dulu sebentar. Boleh?” tanya Vani dengan wajah sungkan.Yang kemudian langsung diangguki oleh Andra dan Mr. Steve.“Tentu saja boleh. Silakan Vani!”Vani mengangguk. Lalu ia bangkit berdiri sambil meraih ponselnya. Kaki Vani terus bergerak menjauhi meja itu. Lantas ia berhenti ketika berada di dekat kamar kecil.Vani segera saja mengangkat panggilan dari Nita.“Hallo Nyonya Nita! Mohon maaf saya baru mengangkat telpon Anda. Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Vani setelah menempelkan ponselnya di telinga kanan.‘Kenapa ponsel Andra tidak aktif? Sejak tadi saya menghubungi ponsel Andra sampai berpuluh-puluh kali. Tapi tidak satu pun yang tersambung. Jadi saya menghubungimu. Mana Andra?! Saya mau bicara dengannya?’ tanya Nita dari seberang telpon.Pertanyaan Nita itu seketika membuat Vani menggigit bibirnya. Ia tergugu dan
Sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan, Andra menatap Alana dengan alis yang bertaut.“Kenapa kepalaku dijitak?” tanya Andra dengan memasang wajah sok polos.Alana berkaca pinggang di hadapannya. “Aku melakukan itu agar isi otak suamiku tetap waras. Ini sudah malam ‘kan? Kalau aku yang mandikan, bisa-bisa kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi itu. Karena aku sudah tahu betul dengan apa yang ada di dalam pikiranmu!” Alana berkata dengan tegas. Dan dagunya terangkat kearah Andra.Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu matanya menatap Alana lurus.“Hhh.. padahal aku sudah membelikanmu bunga. Tapi aku tidak mendapatkan balasan apa-apa,” gumam Andra pelan.Namun gumaman itu masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Alana. Hingga membuat kedua bola mata Alana melebar dan ia mendelik kearah suaminya.“Oh! Jadi kamu sengaja membe
Membuat Alana dan Rehan sama-sama tersenyum mendengarnya.“Oh iya. Apa PR-nya Rehan sudah selesai?” tanya Andra yang melemparkan tatapanya ke arah buku tulis milik Rehan.“Sudah, Pa. Kalau untuk PR-nya, aku sudah mengerjakannya tadi. Sekarang hanya tinggal belajar membaca saja. Karena besok ada tes membaca oleh Ibu Guru,” sahut Rehan menjawab. Dan Andra mengangguk-anggukan kepalanya.“Oh begitu. Baiklah. Berhubung sekarang Papa sudah pulang ke rumah. Jadi bagaimana kalau Papa saja yang membantu kamu belajar membaca? Kamu mau?” Andra menaruh tas kerjanya di atas tempat tidur Rehan. Kemudian ia bertanya pada bocah kecil itu.“Mau Pa! Rehan mau!” seru Rehan dengan senang. Sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Andra terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.Namun Alana menatap Andra dengan mengerutkan keningnya.“Tapi, Andra. Kamu ‘kan baru pulang dari kantor. Pasti k
“Apa pensil warnanya sudah? Jangan sampai ada yang tertinggal, Rehan!” Alana sedang mengecek perlengkapan sekolah Rehan yang ada di tas anak itu.“Sudah Rehan masukan semuanya, Ma? Isi tasku sudah lengkap, ‘kan?” Rehan balas bertanya pada Alana yang duduk di tepi ranjang sambil meneliti isi tas anak lelakinya itu.Pagi ini Alana memang langsung mendatangi Rehan ke kamarnya. Hal yang selalu menjadi kebiasaan Alana. Ia selalu memeriksa PR Rehan dan isi tas bocah itu. Alana takut jika sampai ada yang tertinggal di rumah.Merasa semuanya sudah lengkap, Alana menganggukan kepalanya lalu ia memberikan tas itu kembali ke tangan Rehan.“Ternyata semuanya sudah lengkap. Kalau begitu kemarikan sisirnya. Biar Mama yang sisirkan rambut kamu!” pinta Alana menengadahkan tangannya pada Rehan.Namun Rehan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak usah, Ma. Rehan sudah besar sekarang. Mama tidak perlu lagi menyisiri rambut R
Malam ini, Andra sedang duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Tampak kaki kanannya tertumpang di kaki kiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, Andra mengamati lamat-lamat buku-buku tebal yang ia pangku di atas—paha.Yang sedang Andra baca itu tentu saja sebuah buku bisnis.Ketika itu Rehan datang dengan membawa snack di tangannya. Bocah kecil itu melangkah mendekati Papanya yang langsung menoleh dan tersenyum begitu melihat Rehan.“Hei! Papa pikir kamu sudah tidur?” Andra tersenyum pada Rehan sembari melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja.“Belum, Pa. Rehan tidak bisa tidur.” Rehan kini menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan Andra.“Kenapa kamu tidak bisa tidur? Apa kamu sudah minum susu hangatnya dari Bik Sumi?” tanya Andra kemudian ia menaruh buku tebalnya juga di atas meja. Untuk bergabung dengan kacamatanya.Rehan mengangguk sebagai j
Kini Andra dan Alana sudah ada di mobil. Alana mengerutkan keningnya menatap kearah jendela di sampingnya, benaknya berpikir kemana Andra akan menjalankan mobilnya ini?Andra bilang, mereka akan pergi jalan-jalan. Tapi Andra belum memberitahunya kemana tujuan mereka sebenarnya.Sementara Andra sendiri tampak fokus menyetir sembari tatapannya tajam ke depan sana.“Andra!”“Hmm?” Andra berdeham, melirik sekilas kearah Alana yang duduk di sampingnya. Sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya ke jalanan.“Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?” Alana tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia sungguh penasaran.Tapi Andra hanya menahan senyumnya. Melihat Alana yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya, membuat Andra merasa geli.“’Kan sudah ku bilang, kalau aku mau membawamu ke sebuah tempat yang akan membuatmu senang melihatnya. Karena it