Beranda / CEO / Bukan Istri Pilihan Ibumu / Delapan Tahun Kemudian

Share

Delapan Tahun Kemudian

Penulis: Syifa Safaah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Tuan Andra. Saya minta maaf, karena belum berhasil menemukan di mana Alana berada.” Rian—salah satu orang suruhan Andra kini berdiri menghadap Andra dengan wajah tegangnya.

Tatapan mata Andra menajam. “Kamu gagal? Dan masih berani menghadap kepadaku?” 

Delapan tahun berlalu Andra telah berubah menjadi lelaki tegas yang tak berperasaan. Ia tak segan menghardik semua orang yang tak bisa menjalankan tugasnya dengan benar. 

Kedua kaki Andra juga sudah bisa berdiri dan berjalan dengan normal berkat terapi yang rutin ia jalani. Tetapi luka di hatinya tak kunjung samar.

Sampai saat ini, dia bahkan masih mencari di mana perempuan yang sudah memberinya luka itu berada? Tentu saja Andra tidak akan puas sebelum bisa menemukan Alana, dan memberikan pelajaran pada wanita itu. 

“Maaf, Tuan. Saya akan berusaha mencari Alana sampai ketemu. Saya akan pastikan itu, Tuan. Saya janji.”  

“Aku tidak percaya,” kata Andra dengan nada dingin. “Sekarang juga kamu akan ku pecat. Keluarlah dari ruanganku dan jangan berani hadapkan wajahmu lagi padaku!” 

Bola mata Rian melebar. Ia menatap Andra penuh harap, kemudian menggelengkan kepalanya dengan cepat.

Rian tidak ingin dipecat. Menjadi orang suruhan Andra untuk mencari Alana adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa menjamin hidupnya. Sebab Andra tak segan membayar orang-orang suruhannya dengan jumlah besar. 

Untuk itu, Rian akan sangat malang jika ia harus kehilangan pekerjaanya ini.

“Saya mohon jangan pecat saya, Tuan Andra. Saya akan pastikan jika saya bisa menemukan Alana dan membawanya pada anda. Tolong berikan saya kesempatan satu kali lagi. Saya tidak ingin dipecat—“

Andra tak menggubrisnya meski Rian memohon hingga mulut lelaki itu berbusa. Jemari tangan Andra yang keras kini bergerak menekan sebuah tombol yang ada di atas meja kerjanya. 

Tak lama kemudian, dua orang keamanan datang untuk menghadap Andra.

“Bawa dia keluar! Dia sudah mengganggu pekerjaanku!” suruh Andra pada kedua keamanan itu. Mereka mengangguk patuh pada Andra, lantas dengan cepat meringkus Rian yang berontak tak ingin ditarik keluar. Ia masih ingin memohon pada Andra agar tidak memecatnya.

“Tidak, Pak! Saya tidak mau. Tuan Andra, tolong jangan pecat saya—“

Andra mendengus, melihat punggung ketiga orang itu yang kini menghilang dari balik pintu ruang kerjanya. 

Setelah bisa berjalan dengan normal, Darma memang langsung memberikan kepemimpinan perusahaannya pada Andra. Karena ia tahu, jika Andra bisa mengembangkan perusahaannya dengan baik. 

Terbukti dengan banyaknya proyek besar dan berjumlah fantastis yang berhasil Andra taklukan. Hingga Andra bisa membawa bisnis ayahnya jauh lebih maju dari sebelumnya. 

Sementara Darma memilih diam di rumah. Sebab usianya yang semakin menghadap senja, membuat kondisi tubuhnya mudah jatuh sakit. Jadi ia membiarkan Andra yang mengendalikan semuanya.

“Di mana kamu bersembunyi, Alana?” Andra bertanya sinis. Di dalam ruang kerjanya yang sepi. sunyi. Tidak ada satu orang pun di sana kecuali dirinya.

“Jangan harap kamu bisa lepas dari aku semudah itu. Karena sampai kapanpun, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kamu harus membayar apa yang kamu lakukan padaku delapan tahun yang lalu. Wanita murahan sepertimu, harus mendapatkan balasannya!” kecam Andra dengan gigi yang mengeletuk. 

Tatapan matanya sarat akan benci dan kemarahan. Sementara tangannya terkepal dengan erat di atas meja, hingga jari-jemarinya nampak memutih.

Alana telah menorehkan luka di hatinya terlalu dalam. Hingga luka itu berbekas dan menyisakan kebencian.

*** 

Di sisi lain, Alana mengerjap saat merasakan sinar matahari mengusik tidurnya. Perlahan ia membuka kelopak matanya yang masih terasa berat. Ia masih ngantuk.

Bantal dan selimut yang hangat membuatnya merasa nyaman.  

Namun Alana terkejut, saat seorang anak kecil tiba-tiba mengagetkannya dengan muncul dari samping tempat tidur. 

“Duarr!!”

“Aaakhh..” jerit Alana bergerak duduk. “Rehan!” pekik Alana melotot saat tahu jika yang mengejutkannya adalah Rehan, anak laki-lakinya yang sudah berumur tujuh tahun.

Rehan tertawa melihat wajah bantal Alana yang melotot padanya.

“Selamat pagi, Mama!” 

Tapi akhirnya Alana luluh juga. Ia tersenyum melihat Rehan melompat ke tempat tidur, lalu memeluknya hangat.

“Selamat pagi,” sahut Alana. “Tumben. Kamu sudah mandi pagi-pagi sekali. Rambutnya juga sudah rapi. Nenek yang sisirkan, ya?” tanya Alana.

Rehan yang duduk di pangkuannya menggeleng. “Bukan, Ma. Nenek sedang pergi ke pasar.”

“Lalu siapa? Mama tidak percaya kalau kamu bisa menyisir serapi ini sendirian,” Alana memainkan rambut Rehan membuat anak itu protes dengan kesal.

“Ih, Mama. Jangan diberantakin. Rehan ‘kan sudah ganteng. Kasihan Ayah nanti harus bantu sisirin rambutku lagi.”

Kening Alana berkerut bingung saat mendengar Rehan menyebut nama Ayah. Tapi kebingungan Alana terjawab sudah, saat seorang lelaki berparas tampan, dengan perawakan jangkung dan tegap. Kini berdiri menjulang di ambang pintu kamar Alana.

“Good morning Mama Alana yang masih bau iler,” sapa lelaki itu sambil terkekeh memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Alana terhenyak.

 “Danu!” pekiknya kaget. Lalu dengan cepat Alana mengusap kedua sudut bibirnya. Memeriksa apakah yang Danu katakan tadi benar kalau ada iler di wajah Alana.

Tetapi Danu dan Rehan malah tertawa. Mereka menertawakan tingkah Alana yang polos dan mau saja dibohongi.

“Haha.. Mama lucu. Ayah ‘kan bohong. Tapi Mama malah percaya. Aduh, Mama.. mama..” Rehan menepuk keningnya seraya menggelengkan kepala.

Sementara Alana memajukan bibirnya.

“Kamu masih belum mandi, Alana. Apa kamu tidak malu dengan Rehan. Dia sudah wangi, tapi mama-nya masih bau kecut. Ayo cepat mandi. Hari ini ‘kan kita akan pergi ke restaurant yang baru buka itu. Kamu lupa, ya?” kata Danu.

Dan Alana merutuki dirinya yang pelupa. Pantas saja Danu datang ke rumah dan Rehan sudah rapi pagi-pagi sekali. Hari ini mereka akan pergi ke restaurant baru yang sedang viral di jogja. Tentu saja semua itu atas keinginan Rehan. Dan Danu adalah orang pertama yang paling tidak bisa menolak permintaan si kecil nakal itu.

Seperti saat Rehan sakit dan sedih karena Alana melarangnya makan es krim. Tetapi Danu malah membelikanya es krim rasa cokelat kesukaan Rehan. Hingga anak itu bersorak dan memeluknya. Padahal Danu sendiri adalah seorang dokter.   

Tentu saja Alana marah pada Danu. Tetapi jawabannya selalu sama.  

‘Aku tidak bisa melihatnya bersedih, Alana. Jika aku membuatnya senang, maka dia akan langsung memelukku dengan erat. Dan aku sangat suka Rehan memelukku.’

Alana paham. Selama ini, Danu selalu menjadikan Rehan hidupnya. Sedangkan Rehan melihat Danu sebagai sosok seorang ayah yang selalu menjaga dan memenuhi keinginannya. 

Danu tak sedikit pun merasa terganggu dengan panggilan Rehan yang memanggilnya dengan sebutan ‘Ayah’. Sebab ia sendiri senang mendengarnya. 

Pertama kali Alana bertemu Danu adalah pada saat Alana mengalami pendarahan di usia kehamilannya yang ketujuh. Hingga mengharuskannya dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. 

Tapi setelah kondisinya membaik, Alana tidak bisa pulang karena ia belum melunasi biaya perawatannya yang ternyata cukup mahal. Beruntung pada saat itu Danu datang seperti sosok penolong untuk Alana dan Winarti. Tanpa berpikir lagi, Danu mengeluarkan uangnya untuk membayar semua tagihan rumah sakit Alana.

Sejak saat itu, Danu sering sekali membantu Alana dan Winarti. Rupanya dia adalah salah satu dokter di rumah sakit tempat Alana di rawat. Mengetahui Alana tidak memiliki suami, juga kondisi keuangan wanita itu yang pas-pasan. Membuat hati Danu tergerak untuk memberikan akses check-up kandungan gratis pada Alana. Tentu saja Danu lah yang membayarnya.

Belum cukup sampai di sana kebaikan lelaki itu, Danu bahkan menemani Alana saat hendak melahirkan. Danu lah lelaki pertama yang menggendong bayi Rehan dan mendekap hangat di dadanya. Hingga saat ini, Danu tetap menjaga Rehan dan Alana.

“Mama kok melamun? Bukannya cepat-cepat mandi?” protes Rehan merengut pada Alana. Lalu ia menoleh pada Danu yang kini sudah berdiri lebih dekat dari ranjang. “Duh, Ayah. Mama malas mandi. Mungkin Mama mau dimandiin juga, seperti ayah tadi mandiin aku,” ceplos Rehan dengan wajah polosnya.

“Rehan!” Alana memekik. Sementara Danu tertawa mengepalkan tangannya di depan mulut. 

“Memangnya kamu mau aku mandiin juga, Alana?” goda Danu menaik-turunkan alisnya. Tapi Alana melemparkan pelototan pada lelaki itu. Membuat Danu semakin terkikik geli.

“Mimpi kamu!” Alana bangkit berdiri dari ranjangnya. Kemudian ia turun dan menghilang ke kamar mandi.

Menyisakan Rehan dengan wajah polosnya. Rehan menatap Danu yang berjalan menghampirinya lalu mendudukan diri di sampingnya.

“Mama tetap cantik ‘kan, Yah. Meski baru bangun tidur dan rambutnya acak-acakan seperti singa?” tanya Rehan memperagakan rambut Alana yang memang agak berantakan.

Danu mengangguk sambil tersenyum. Ia mencubit pelan pipi Rehan yang mungil dan lembut. 

“Iya, Rehan. Mama kamu memang selalu cantik dalam kondisi apapun. Itu sebabnya Ayah sayang,” ucap Danu lalu mengatupkan bibirnya dengan cepat. Ia keceplosan.

Tapi nampaknya telinga Rehan terlanjur mendengar apa yang Danu ucapkan.

“Jadi Ayah sayang sama Mama?”

Pertanyaan Rehan seketika membuat Danu terkejut. "I--itu..."

Bab terkait

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Masih dianggap Sahabat

    Danu menggigit bibirnya. Bohong jika Danu tidak menyayangi Alana. Bahkan mungkin rasa itu lebih dari sayang. Danu sudah jatuh hati pada Alana saat pertama kali ia melihatnya. Danu semakin semangat ketika tahu Alana membesarkan anaknya seorang diri. Tanpa ada suami. Hanya Winarti yang membantunya. Alana nampak kuat dan tegar di mata Danu. Sosok Alana yang lembut dan penyayang, juga penuh cinta pada Rehan. Membuat Danu semakin yakin, jika Alana adalah wanita yang sangat tepat untuk hidupnya. Tetapi sangat disayangkan, dua kali Danu menyatakan cinta pada Alana. Dan dua kali pula ia ditolak. Alasannya tetap sama. ‘Aku masih belum bisa membuka hati untuk orang lain. Jangan terlalu berharap padaku, Danu. Karena aku tidak bisa memberimu kepastian apapun.’ itulah yang selalu Alana katakan saat Danu ingin serius padanya. Meski sudah ditolak, tak lantas membuat kegigihan Danu untuk mendapatkan hati Alana luntur begitu saja. Ia akan tetap berusaha, hingga wanita itu jatuh hati padanya.

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Pertemuan Kembali

    Tanpa terasa, hari ini Alana, Rehan dan Winarti–ibu kandung Alana telah sampai di Jakarta. Seorang teman Alana yang tinggal di Jakarta, membantu mencari rumah sewa untuk mereka tinggali. “Al, sorry ya. Cuman ada rumah ini yang bisa aku sewakan untuk kamu dan keluarga kamu. Ini sudah harga yang paling murah. Tapi letaknya tak terlalu jauh ke kantor.” Virny berkata sambil membukakan pintu rumah untuk Alana. Alana dan keluarganya melangkah masuk. Dan melihat sekeliling ruangan yang ada di rumah itu. “Tidak apa-apa, Vir. Rumah ini sudah cukup untuk kami. Terimakasih sudah membantuku mencari rumah sewa. Maaf sudah banyak merepotkanmu,” ujar Alana dengan raut tidak enak. Sementara Rehan sudah diajak oleh Winarti untuk masuk ke dalam kamar. Membereskan baju-baju mereka ke dalam lemari kecil yang ada di kamar itu. “Kamu ini seperti bicara dengan siapa saja. Aku ini ‘kan temanmu. Sudah pasti akan membantu saat kamu perlu bantuan. Oh iya, besok datang ke kantornya jam sembilan pagi ya.

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Sekretaris Mantan Suami

    Pantas saja Alana tak asing saat mendengar suaranya. Di sisi lain, Andra tersenyum menyeringai. "Wah, ternyata kamu masih ingat namaku," kata Andra pura-pura antusias. "Apa kabar, mantan istri?" lanjutnya lagi.Alana sendiri masih mencoba menormalkan detak jantungnya. Saat ini ia melihat sosok Andra yang terlihat berbeda di hadapannya. Tatapannya tak lagi selembut dulu. Tentu saja! Bukankah Alana sudah meninggalkannya? Maka wajar saat Alana kini hanya bisa melihat tatapan benci dan penuh hinaan yang dilayangkan oleh Andra padanya. "Kenapa kamu diam saja, Alana? Apa kamu terkejut melihatku yang ternyata adalah boss mu saat ini? Heum?" Andra bangkit dari duduknya. Kaki panjangnya melangkah mendekati Alana. Hati Alana merasa bahagia, saat ia melihat pada kedua kaki Andra yang sudah bisa berjalan dengan baik. Tapi Andra mendengus menyadari Alana menatap pada kakinya. "Kenapa dengan kakiku, Alana? Kamu heran ternyata aku tidak lumpuh? Kamu terkejut melihatku bisa berdiri da

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Rasa Cemburu

    Sekeluarnya dari perusahaan Andra, Alana berlari sambil mengusap air matanya. Ucapan Andra begitu tajam, seperti sebilah pisau yang siap menusuk dadanya. Semua hinaan, tuduhan, serta sikap ketus Andra padanya, telah mematahkan hati Alana. Laki-laki itu sungguh menjelma menjadi sosok Andra yang berbeda. Alana tak lagi kenal dengan perangainya. Begitu naik ke dalam minibus, segera Alana duduk menyandarkan punggungnya di kursi yang kosong. Air mata kembali meluruh selaras dengan relung hatinya yang terasa diremas oleh tangan tak kasat mata. 'Kamu tidak tahu apapun, Ndra. Kamu tidak tahu apapun. Yang kamu tahu, hanya setiap kebohongan yang diumbar oleh kedua orang tua kamu tentang aku. Mereka berdua yang memaksaku pergi. Mereka lah yang paling berperan atas luka yang kamu derita delapan tahun yang lalu,' desah Alana dalam batinnya. Manik matanya berlari keluar jendela, menatap pada jalanan yang tampak sedikit lenggang. Kaca minibus sedikit terbuka, membuat rambut Alana yan

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Dendam

    Alana tersenyum miris.Laki-laki itu ternyata sudah kembali menjatuhkan hati pada wanita lain dan melupakan pernikahan mereka. Dengan berusaha tetap tenang, Alana berbalik dan melangkah menuju tempat dimana Andra masih memangku wanita itu dengan mesra. Maka dengan cepat Alana memilih keluar dari ruangan itu. Sedikit berlari, lantas menutup pintunya dengan segera. BRAK! Kini Alana mempercepat larinya. Ia tak bisa lagi menahan tangis. Alana butuh ruangan yang senyap untuk menumpahkan isakannya. Kakinya yang ramping berhenti di sebuah kamar kecil khusus karyawan. Alana mematut dirinya pada sebuah cermin besar yang memantulkan bayanganya sendiri. "Ya Tuhan! Rasanya hatiku sakit melihat Andra bercumbu dengan wanita lain. Aku tahu dia sudah bukan suamiku. Tapi rasa cinta di hatiku masih tetap sama. Aku masih mencintainya sebesar dulu." Alana mendesah sambil menangis di depan cermin. Air mata sudah meluruh membasahi kedua belah pipinya yang seputih pualam. Hari ini, Andra betu

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Jangan Sampai Andra Bertemu Rehan

    Tak terasa, jam kantor sudah habis. Alana kini menunggu sebuah taksi di pinggir jalan. Namun jam sembilan malam begini, angkutan umum sudah tidak ada. Terpaksa Alana harus merogoh kocek lebih agar bisa pulang menggunakan taksi. Namun, lagi-lagi tak ada!Sementara itu, Andra yang baru akan pulang dengan mobilnya, menaikkan sebelah alis saat mendapati tubuh ramping Alana hanya berdiri resah di samping jalan. "Kenapa dia belum pulang? Pasti dia sedang menunggu taksi. Ah! Untuk apa aku peduli! Terserah, mau dia berdiri selama berjam-jam pun di sana. Itu bukan lagi urusanku!" ujar Andra sambil mengangkat dagunya. Ia lalu kembali menjalankan mobil, mencoba tak peduli terhadap Alana yang dilewatinya begitu saja. Tentu saja melihat mobil Andra yang berlalu di hadapannya membuat hati Alana sakit. Alana menunduk saat langit mulai muram dan menjatuhkan titik-titik airnya yang menderas. "Aku lupa kalau saat ini kamu sudah menjadi orang asing, Ndra. Seharusnya aku sadar dengan siapa

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Siksaan untuk Alana

    "Pasti Sherly 'kan yang sudah memberitahu Mama tentang Alana yang bekerja di perusahaanku?" tebak Andra. Tapi, Nita mengibaskan sebelah tangannya di udara. "Tidak penting Mama tahu dari siapa. Yang penting sekarang adalah kamu harus tendang dia dari perusahaan! Titik!" tegas Nita tak mau ada tawar-menawar. Andra hanya mengusap wajah. Lalu menggeleng sebagai jawaban. "Maaf, Ma. Aku tidak akan memecat Alana dari kantor." Bola mata Nita membeliak mendengar ucapan Andra. "Kenapa, Ndra? Kenapa kamu tidak bisa?" tuntut Nita penuh tanya. "Karena aku sendiri yang sengaja mempekerjakan Alana. Aku hanya ingin sedikit bermain-main dengannya yang sudah menorehkan banyak luka dalam hidupku. Aku ingin membalas rasa sakit yang kualami delapan tahun yang lalu. Setelah aku puas, maka aku berjanji pada Mama, kalau aku akan memecatnya. Dan menendangnya keluar dari perusahaan seperti yang Mama minta," jelas Andra sedikit berbisik sambil menekankan suaranya. Mulut Nita terbuka, tampak raut te

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Telepon Mesra

    "Huftt.. Jika aku lembur sampai jam dua belas malam, lalu bagaimana dengan Rehan? Dia pasti tak akan bisa tidur dan akan terus menungguku pulang." Alana mendesah lemah. Sembari jemarinya berkutat dengan keyboard di hadapannya. Tetapi benak Alana melayang memikirkan Rehan. Semoga saja anak semata wayangnya itu tidak akan menanti kepulangannya malam ini. Alana kembali memusatkan pikirannya pada setumpuk pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Hingga tanpa terasa, waktu terus bergulir dan jarum jam terus berputar. Alana menghela melirik kearah jam yang menempel di dinding kantor. "Aku harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku. Setengah jam lagi pukul sepuluh malam, sebentar lagi aku harus mengantarkan kopi ke ruangan Andra," gumam Alana sembari melakukakan sedikit peregangan pada pinggang-pinggangnya yang malam ini terasa diremukkan. Setelah itu, tangan Alana kembali sibuk berjibaku dengan kertas-kertas dan komputer. Hingga suara ponselnya yang berdering, membuat Ala

Bab terbaru

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   TAMAT- Aku Tetap Milikmu

    Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan. Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra.Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Rindu Alana

    Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini usia Alin sudah memasuki bulan ketiga. Alin sudah pintar mengoceh dan mengemut tangannya sendiri. Kadang ia akan menjambak pelan rambut Andra dan Rehan saat Papa dan kakaknya itu menciumi wajahnya.“Alin! Sayang! Berapa kali Papa bilang, berhenti mengemuti tanganmu seperti ini. Tadi ‘kan sebelum berangkat ke taman, kamu sudah minum susu yang banyak dari Mama Alana. Perut kamu pasti sudah kenyang ‘kan? Jadi sekarang hentikan mengemut tangannya ya!” Andra menarik tangan Alin yang mengepal dan masuk ke dalam mulutnya.Andra tidak ingin Alin terbiasa melakukan itu. Tapi yang namanya bayi berusia tiga bulan. Tentu saja dia tidak akan mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.Berulang kali Andra menarik tangan Alin dari mulut mungilnya, berulang kali pula Alin tetap memasukan tangannya itu ke dalam mulut lagi.Hingga akhirnya Andra menyerah. Ia menghembuskan napasnya pelan.“B

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Alindra

    Kening Alana berkerut menatap pada suaminya."Alindra?" ulang Alana.Dan Andra langsung mengangguk mantap."Ya. Alindra. Alindra Wijaya. Dia akan menjadi seorang perempuan yang kuat dan berhati lembut. Dia akan pintar dan berwawasan luas. Dia juga akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Alin!" ujar Andra menuturkan.Membuat Alana yang mendengarnya kini menarik kedua sudut bibirnya ke samping.Hingga membentuk sebuah senyuman."Alindra Wijaya? Aku setuju. Nama yang sangat indah," ucap Alana.Kemudian ia mengelus pipi mungil Alin yang masih sibuk menyusu--di dadanya."Hei, Alin! Ini Mama! Kata Papa, mulai sekarang nama kamu adalah Alin, ya. Nanti kamu akan bertemu dengan kakak Rehan. Juga dengan kedua nenek kamu. Kakak Rehan pasti akan senang saat melihat kamu yang secantik ini!" ujar Alana.Ya. Rehan adalah salah

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Kelahiran Bayi Kedua

    “Emhh.. Maaf Pak Andra! Mr. Steve! Saya mau pamit ke kamar kecil dulu sebentar. Boleh?” tanya Vani dengan wajah sungkan.Yang kemudian langsung diangguki oleh Andra dan Mr. Steve.“Tentu saja boleh. Silakan Vani!”Vani mengangguk. Lalu ia bangkit berdiri sambil meraih ponselnya. Kaki Vani terus bergerak menjauhi meja itu. Lantas ia berhenti ketika berada di dekat kamar kecil.Vani segera saja mengangkat panggilan dari Nita.“Hallo Nyonya Nita! Mohon maaf saya baru mengangkat telpon Anda. Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Vani setelah menempelkan ponselnya di telinga kanan.‘Kenapa ponsel Andra tidak aktif? Sejak tadi saya menghubungi ponsel Andra sampai berpuluh-puluh kali. Tapi tidak satu pun yang tersambung. Jadi saya menghubungimu. Mana Andra?! Saya mau bicara dengannya?’ tanya Nita dari seberang telpon.Pertanyaan Nita itu seketika membuat Vani menggigit bibirnya. Ia tergugu dan

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Tak Perlu Bahas Masa Lalu

    Sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan, Andra menatap Alana dengan alis yang bertaut.“Kenapa kepalaku dijitak?” tanya Andra dengan memasang wajah sok polos.Alana berkaca pinggang di hadapannya. “Aku melakukan itu agar isi otak suamiku tetap waras. Ini sudah malam ‘kan? Kalau aku yang mandikan, bisa-bisa kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi itu. Karena aku sudah tahu betul dengan apa yang ada di dalam pikiranmu!” Alana berkata dengan tegas. Dan dagunya terangkat kearah Andra.Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu matanya menatap Alana lurus.“Hhh.. padahal aku sudah membelikanmu bunga. Tapi aku tidak mendapatkan balasan apa-apa,” gumam Andra pelan.Namun gumaman itu masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Alana. Hingga membuat kedua bola mata Alana melebar dan ia mendelik kearah suaminya.“Oh! Jadi kamu sengaja membe

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Suami Genit

    Membuat Alana dan Rehan sama-sama tersenyum mendengarnya.“Oh iya. Apa PR-nya Rehan sudah selesai?” tanya Andra yang melemparkan tatapanya ke arah buku tulis milik Rehan.“Sudah, Pa. Kalau untuk PR-nya, aku sudah mengerjakannya tadi. Sekarang hanya tinggal belajar membaca saja. Karena besok ada tes membaca oleh Ibu Guru,” sahut Rehan menjawab. Dan Andra mengangguk-anggukan kepalanya.“Oh begitu. Baiklah. Berhubung sekarang Papa sudah pulang ke rumah. Jadi bagaimana kalau Papa saja yang membantu kamu belajar membaca? Kamu mau?” Andra menaruh tas kerjanya di atas tempat tidur Rehan. Kemudian ia bertanya pada bocah kecil itu.“Mau Pa! Rehan mau!” seru Rehan dengan senang. Sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Andra terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.Namun Alana menatap Andra dengan mengerutkan keningnya.“Tapi, Andra. Kamu ‘kan baru pulang dari kantor. Pasti k

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Mengajari Berbohong

    “Apa pensil warnanya sudah? Jangan sampai ada yang tertinggal, Rehan!” Alana sedang mengecek perlengkapan sekolah Rehan yang ada di tas anak itu.“Sudah Rehan masukan semuanya, Ma? Isi tasku sudah lengkap, ‘kan?” Rehan balas bertanya pada Alana yang duduk di tepi ranjang sambil meneliti isi tas anak lelakinya itu.Pagi ini Alana memang langsung mendatangi Rehan ke kamarnya. Hal yang selalu menjadi kebiasaan Alana. Ia selalu memeriksa PR Rehan dan isi tas bocah itu. Alana takut jika sampai ada yang tertinggal di rumah.Merasa semuanya sudah lengkap, Alana menganggukan kepalanya lalu ia memberikan tas itu kembali ke tangan Rehan.“Ternyata semuanya sudah lengkap. Kalau begitu kemarikan sisirnya. Biar Mama yang sisirkan rambut kamu!” pinta Alana menengadahkan tangannya pada Rehan.Namun Rehan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak usah, Ma. Rehan sudah besar sekarang. Mama tidak perlu lagi menyisiri rambut R

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Ingin seperti Papa

    Malam ini, Andra sedang duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Tampak kaki kanannya tertumpang di kaki kiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, Andra mengamati lamat-lamat buku-buku tebal yang ia pangku di atas—paha.Yang sedang Andra baca itu tentu saja sebuah buku bisnis.Ketika itu Rehan datang dengan membawa snack di tangannya. Bocah kecil itu melangkah mendekati Papanya yang langsung menoleh dan tersenyum begitu melihat Rehan.“Hei! Papa pikir kamu sudah tidur?” Andra tersenyum pada Rehan sembari melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja.“Belum, Pa. Rehan tidak bisa tidur.” Rehan kini menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan Andra.“Kenapa kamu tidak bisa tidur? Apa kamu sudah minum susu hangatnya dari Bik Sumi?” tanya Andra kemudian ia menaruh buku tebalnya juga di atas meja. Untuk bergabung dengan kacamatanya.Rehan mengangguk sebagai j

  • Bukan Istri Pilihan Ibumu   Istri yang Manis

    Kini Andra dan Alana sudah ada di mobil. Alana mengerutkan keningnya menatap kearah jendela di sampingnya, benaknya berpikir kemana Andra akan menjalankan mobilnya ini?Andra bilang, mereka akan pergi jalan-jalan. Tapi Andra belum memberitahunya kemana tujuan mereka sebenarnya.Sementara Andra sendiri tampak fokus menyetir sembari tatapannya tajam ke depan sana.“Andra!”“Hmm?” Andra berdeham, melirik sekilas kearah Alana yang duduk di sampingnya. Sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya ke jalanan.“Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?” Alana tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia sungguh penasaran.Tapi Andra hanya menahan senyumnya. Melihat Alana yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya, membuat Andra merasa geli.“’Kan sudah ku bilang, kalau aku mau membawamu ke sebuah tempat yang akan membuatmu senang melihatnya. Karena it

DMCA.com Protection Status