Tak terasa, jam kantor sudah habis. Alana kini menunggu sebuah taksi di pinggir jalan.
Namun jam sembilan malam begini, angkutan umum sudah tidak ada.
Terpaksa Alana harus merogoh kocek lebih agar bisa pulang menggunakan taksi.
Namun, lagi-lagi tak ada!
Sementara itu, Andra yang baru akan pulang dengan mobilnya, menaikkan sebelah alis saat mendapati tubuh ramping Alana hanya berdiri resah di samping jalan.
"Kenapa dia belum pulang? Pasti dia sedang menunggu taksi. Ah! Untuk apa aku peduli! Terserah, mau dia berdiri selama berjam-jam pun di sana. Itu bukan lagi urusanku!" ujar Andra sambil mengangkat dagunya.
Ia lalu kembali menjalankan mobil, mencoba tak peduli terhadap Alana yang dilewatinya begitu saja.
Tentu saja melihat mobil Andra yang berlalu di hadapannya membuat hati Alana sakit.
Alana menunduk saat langit mulai muram dan menjatuhkan titik-titik airnya yang menderas.
"Aku lupa kalau saat ini kamu sudah menjadi orang asing, Ndra. Seharusnya aku sadar dengan siapa diriku bagimu," bisik Alana lirih.
Hanya hujan yang mendengar bisikannya. Sebab Alana berdiri di tempat yang senyap. Dan sunyi. Tak ada seorang pun menemaninya.
Andra yang menyadari hujan kian bertambah deras, berdecak di dalam mobilnya.
"Sial! Kenapa hujannya malah semakin lebat? Alana mungkin akan kedinginan dengan pakaian seperti itu. Hhh.. Lagi pula, taksi tidak akan lewat di tempat ini jika sudah pukul delapan lewat," ucap Andra sambil menyetir tapi tangan satunya memijat kepalanya yang terasa sedikit berdenyut.
Sebab lebatnya hujan sudah meluluhlantakkan perasaan teganya terhadap Alana. Dan Andra sangat membenci hatinya yang lemah.
Meski kebencian pada Alana tetap menyatu dalam darahnya, tapi rasa iba dan sayang itu masih ada. Hanya saja Andra tidak mau menyadarinya.
"Baiklah. Aku akan putar balik. Terpaksa aku harus mengantar Alana pulang."
Andra memutar kembali mobilnya. Segelintir perasaan di hatinya, menolak untuk membiarkan Alana begitu saja.
Begitu Andra kembali, Alana masih ada di sana. Dia tetap berdiri, namun kali ini sambil menggosok-gosokan kulit lengannya yang mulai kedinginan.
Tubuh Alana makin membeku, ketika netranya melihat mobil Andra berdiri tepat di hadapannya. Alana sempat bingung karena Andra memilih kembali lagi, padahal jelas-jelas pria itu tadi sudah pulang dan mendahuluinya.
Andra menurunkan kaca mobilnya, lantas menatap Alana dengan lurus dan dalam. Tanpa senyum sedikit pun.
"Cepat masuk ke mobilku! Aku akan mengantarmu pulang!" pinta Andra yang lebih terdengar seperti perintah.
Alana segera menggeleng.
"Terima kasih. Tapi tidak perlu repot-repot. Aku akan tetap berdiri di sini saja, mungkin sebentar lagi taksi akan lewat di depanku."
Andra mendengus, lalu bibirnya melengkungkan senyum penuh ejekan.
"Taksi? Apa kamu tidak tahu, Alana? Jika taksi yang melewati tempat ini, hanya sampai pukul delapan malam. Sekarang sudah mau pukul sepuluh. Kamu masih ingin keras kepala dan bersikukuh menunggu sesuatu yang tidak akan datang? Apalagi dalam keadaan sepi juga hujan lebat seperti ini. Nanti bukannya taksi yang kamu dapat, tapi para preman kota yang malah mengganggumu," kata Andra yang membuat Alana sedikit bergidik ngeri.
Bagaimana jika para berandalan tiba-tiba saja datang dan melakukan tindakan kejahatan pada dirinya? Alana menelan ludah memikirkan itu.
Andra melirik sebentar pada arloji di tangannya. Lalu ia beralih menatap Alana.
"Terserahmu saja kalau kamu memang mau berdiri di sini sepanjang malam. Sebagai atasanmu, setidaknya aku sudah menawari tumpangan. Waktuku terlalu berharga jika hanya untuk menatapmu yang membisu seperti patung!" ketus Andra kesal, karena Alana tak juga menjawabnya.
Alana terhenyak saat Andra mulai menyalakan mesin mobil, lelaki itu hendak pergi.
Dengan segera Alana mendekat, sebelum Andra meninggalkannya seorang diri.
"Andra. Tunggu! Engh.. Aku akan pulang denganmu," putus Alana akhirnya.
Kakinya langsung berlari menerobos lebatnya hujan, lantas masuk dan duduk di sebelah Andra.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, Alana. Aku mengantarmu hanya karena kamu adalah bawahanku. Jika kamu tidak bekerja denganku, maka kamu bukan siapa-siapa. Dan mungkin aku juga tidak akan peduli padamu!" cetus Andra begitu Alana baru saja menutup pintu mobil.
Alana mengangguk pelan, sembari tersenyum miris.
"Iya, Andra. Aku tahu siapa diriku. Aku rasa kamu tidak perlu mengingatkanku tentang hal itu," balas Alana sambil meremas roknya dengan kuat.
Andra memang menolongnya dengan mengantar pulang. Namun laki-laki itu tak bisa mengunci bibirnya untuk tidak merendahkan Alana.
"Syukurlah kalau kamu sadar diri."
Andra menghentikan laju mobilnya sejenak, ketika lampu merah menyala di atas rambu-rambu lalu lintas.
Kini mereka disiksa oleh kesenyapan yang menyelimuti suasana di mobil itu. Alana memilih menatap ke arah jendela di sampingnya. Tapi kemudian bibirnya melengkungkan sebaris senyum tipis, saat matanya menangkap pemandangan seorang wanita sedang menciumi pipi gembil balitanya di dalam mobil.
Dan Alana tidak menyadari jika bola mata Andra ikut berlari ke arah yang sama.
Tapi kemudian Andra mendengkus masam.
"Kamu tahu, Alana? Apa yang membuatku bersyukur saat ini?" pertanyaan Andra memantik perhatian Alana untuk menoleh padanya.
"Aku sangat bersyukur karena kamu tidak hamil saat dulu kita masih menikah. Jadi, tidak ada anak yang akan tersakiti akibat perbuatan kamu. Coba kamu bayangkan, seandainya saat itu Tuhan memberi kita seorang anak. Akan bagaimana perasaan anak kita, jika ia tahu tentang kebusukan ibunya, yang memilih pergi meninggalkan ayahnya saat tengah sekarat di ruang operasi, hanya demi seorang laki-laki kaya?!"
Alana merapatkan bibir. Ia meneguk salivanya yang terasa berat.
Andra seakan tidak puas mengusik ketenangan hatinya. Andra seolah tidak ingin membiarkan Alana bernafas barang hanya sejenak. Kata-katanya pasti selalu terdengar menusuk ke dalam hati.
'Andai kamu tahu, Ndra. Kalau Tuhan memang telah menghadirkan seorang anak di tengah-tengah kehidupan kita. Namanya Rehan. Dia sangat tampan. Dan wajahnya nyaris mirip denganmu. Dia anak kamu, Ndra. Darah daging kamu.' Alana menjerit dalam batinnya.
Alana sangat sedih mendengar sindiran Andra, tetapi karena ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, ia menelan sendiri semua kebenaran bersamaan dengan perkataan Andra yang menyakitan itu.
"Jika mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatiku membuatmu merasa baik, maka teruskanlah. Aku harap kamu tidak akan menyesalinya,” kata Alana.
Andra tertegun. Ada perasaan asing yang menyentil hatinya setelah mendengar perkataan Alana, tetapi Andra mengabaikan perasaan itu.
Hujan sudah berhenti, namun jarak rumah Alana masih cukup jauh. Kesepian di dalam mobil membuat Alana tidak ingin berlama-lama dengan Andra. Selain itu, Alana juga tidak ingin Andra mengetahui rumahnya.
“Bisakah aku berhenti di depan?” tunjuk Alana pada jalanan di depan, yang memang sepi dan biasa dipakai penumpang untuk turun.
Andra tidak menjawab, tetapi ia tetap menjalankan mobilnya sampai tempat yang ditunjuk Alana terlewat.
Alana melebarkan matanya. Permintaannya tak didengar dan pria ini seolah-olah menganggapnya tak kasatmata.
“Kalau kamu tidak berhenti, aku akan melompat keluar sekarang."
Namun, Andra lagi-lagi mengabaikannya. Ia bahkan menaikkan sebelah alisnya, berpikir bahwa Alana tidak akan mungkin melakukan itu.
Melihat itu, Alana meremas kedua tangannya. Pikirannya takut, kalau-kalau anaknya sedang berada di luar rumah dan Andra akan bertemu dengan anaknya.
Alana membuka pintu mobil dengan paksa. Andra terkejut saat Alana melompat keluar dari mobil sambil menutup matanya.
"Alana!"
Andra langsung menginjak rem, wajahnya kini tampak muram dan menakutkan.
“Apa kamu sudah gila, Alana?!” teriak Andra.
Ia segera turun dari mobil untuk memeriksa kondisi Alana. Untungnya, kecepatan mobilnya tadi tidak terlalu cepat, jadi Alana tidak terluka dan berhasil berdiri, meski tadi dalam keadaan tersungkur.
Melihat Alana tampak baik-baik saja, Andra menyembunyikan kekhawatiran dan menatap Alana dengan kemarahan. “Apa maksudmu melakukan ini?”
"Maaf. Tapi aku mau diturunkan di sini dan kamu tidak usah mengantarku,” cicitnya.
Alana teringat akan Rehan yang terbiasa menyambutnya di depan rumah setiap kali Alana pulang bekerja.
Bila Andra melihatnya, apa yang harus dia katakan?
Andra merasa perilaku Alana mencurigakan. “Memang, di mana rumahmu?” tanyanya sembari memicingkan mata, menatap pada sekelilingnya yang terdapat banyak sekali rumah kumuh serta gang-gang sempit.
Banyaknya gang sempit, membuat Andra menduga-duga, di mana Alana tinggal.
"Rumahku letaknya jauh sekali masuk ke dalam gang yang sangat sempit. Mobilmu tidak akan bisa masuk ke dalamnya. Jadi, sebaiknya aku turun di sini saja," bohong Alana.
Rumah sewanya memang terletak di dalam sebuah gang, tetapi tidak sejauh seperti yang Alana katakan pada Andra.
"Ya sudah."
Akhirnya, Andra mengizinkannya.
Alana tersenyum lega. Meski jarak ke rumahnya masih cukup jauh, tak apa.
Demi keselamatan Rehan, Alana tak merasa keberatan jika harus berjalan sejauh apa pun.
"Terima kasih banyak atas tumpangannya, Andra."
"Hmm..." Andra hanya menjawabnya dengan dehaman malas.
Alana mengelus dadanya seraya menarik napas lega.
"Syukurlah. Andra langsung pulang tanpa banyak bertanya-tanya tentang diriku. Atau mungkin dia memang benar-benar sudah tidak peduli lagi dengan kehidupanku. Aku saja yang terlalu percaya diri." Alana menggeleng samar, mengenyahkan pikirannya tentang Andra.
Yang terpenting baginya sekarang ini adalah, Andra tidak tahu tempat tinggal Alana yang sebenarnya.
Jadi, kecil kemungkinan untuk Andra bertemu dengan Rehan!
***
Di sisi lain, Andra yang baru saja pulang ke rumah, menghela napas ketika disambut dengan senyum masam di wajah ibunya.
Nita sudah berdiri di ruang tamu dengan berpangku tangan menatapnya penuh kesal. "Andra! Kenapa kamu tidak pernah bilang sama Mama, kalau kamu sudah bertemu lagi dengan wanita murahan itu?" desak Nita dengan intonasi suara yang tinggi.
Andra tidak perlu bertanya tentang siapa wanita murahan yang Nita maksud. Sudah pasti Alana.
"Iya, Ma. Andra memang sudah bertemu lagi dengan dia."
"Dan kamu malah seenaknya memberikan dia pekerjaan? Sebagai sekretaris kamu, lagi. Ingat, Ndra. Dia itu wanita ular! Dia wanita penghianat. Dia yang sudah meninggalkan kamu saat kamu sedang berjuang untuk kembali berjalan. Kenapa kamu malah mempekerjakan dia di perusahaan?"
Andra tak langsung menjawab pertanyaan Nita yang bertubi-tubi.
Mengingat Alana, membuat Andra menjadi gerah. Ia butuh minum untuk sejenak membasahi tenggorokannya.
"Andra! Kamu mau ke mana? Mama belum selesai bicara!" Nita berdecak gemas saat Andra berjalan melewatinya begitu saja.
"Mama gak terima ya, Ndra. Kamu pekerjakan wanita ular itu di perusahaan kita. Bisa-bisa dia menjebak kamu dan menggerus semua kekayaan perusahaan!" Nita masih mengoceh, sementara kakinya mengekori Andra yang melangkah lebar di depannya.
Pria itu lalu berhenti di meja makan. Tangannya menuangkan air putih ke dalam gelas, lalu meneguknya seperti seorang musafir yang kehausan.
"Andra! Kamu dengar Mama gak, sih?"
"Aku dengar, Ma," sahut Andra malas.
"Kalau begitu, segera pecat wanita murahan itu dari perusahaan. Mama tidak sudi kalau kamu harus bertemu terus-terusan dengan Alana," perintah ibunya tegas."Pasti Sherly 'kan yang sudah memberitahu Mama tentang Alana yang bekerja di perusahaanku?" tebak Andra. Tapi, Nita mengibaskan sebelah tangannya di udara. "Tidak penting Mama tahu dari siapa. Yang penting sekarang adalah kamu harus tendang dia dari perusahaan! Titik!" tegas Nita tak mau ada tawar-menawar. Andra hanya mengusap wajah. Lalu menggeleng sebagai jawaban. "Maaf, Ma. Aku tidak akan memecat Alana dari kantor." Bola mata Nita membeliak mendengar ucapan Andra. "Kenapa, Ndra? Kenapa kamu tidak bisa?" tuntut Nita penuh tanya. "Karena aku sendiri yang sengaja mempekerjakan Alana. Aku hanya ingin sedikit bermain-main dengannya yang sudah menorehkan banyak luka dalam hidupku. Aku ingin membalas rasa sakit yang kualami delapan tahun yang lalu. Setelah aku puas, maka aku berjanji pada Mama, kalau aku akan memecatnya. Dan menendangnya keluar dari perusahaan seperti yang Mama minta," jelas Andra sedikit berbisik sambil menekankan suaranya. Mulut Nita terbuka, tampak raut te
"Huftt.. Jika aku lembur sampai jam dua belas malam, lalu bagaimana dengan Rehan? Dia pasti tak akan bisa tidur dan akan terus menungguku pulang." Alana mendesah lemah. Sembari jemarinya berkutat dengan keyboard di hadapannya. Tetapi benak Alana melayang memikirkan Rehan. Semoga saja anak semata wayangnya itu tidak akan menanti kepulangannya malam ini. Alana kembali memusatkan pikirannya pada setumpuk pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Hingga tanpa terasa, waktu terus bergulir dan jarum jam terus berputar. Alana menghela melirik kearah jam yang menempel di dinding kantor. "Aku harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku. Setengah jam lagi pukul sepuluh malam, sebentar lagi aku harus mengantarkan kopi ke ruangan Andra," gumam Alana sembari melakukakan sedikit peregangan pada pinggang-pinggangnya yang malam ini terasa diremukkan. Setelah itu, tangan Alana kembali sibuk berjibaku dengan kertas-kertas dan komputer. Hingga suara ponselnya yang berdering, membuat Ala
“Danu!” pekik Alana. Dia terkejut melihat Danu yang telah berada di rumahnya. “Kapan kamu datang?” tanyanya lagi. Mendengar itu, Danu tersenyum sembari mengusap tengkuknya. Ia memang sengaja ingin membuat kejutan untuk Alana dan Rehan. Makanya datang tanpa ingin memberitahu. “Aku baru datang jam enam sore tadi. Aku memang sengaja, Alana. Aku ingin memberikan kejutan untuk Rehan. Aku sudah sangat merindukan bocah laki-lakiku ini. Dan sekarang aku senang bisa bertemu dengannya,” sahut Danu yang mengusap pelan rambut Rehan yang hitam legam. “Kamu habis lembur, Alana? Kok baru pulang jam segini?” tanya Danu dan Alana menjawab dengan anggukan pelan. “Ya. Aku habis lembur. Pekerjaanku di kantor sangat menumpuk, makanya harus segera diselesaikan malam ini juga,” jawab Alana. “Aku pikir Rehan sudah tidur. Tapi ternyata dia masih asyik bermain denganmu. Tapi tidak baik membiarkannya tidur terlalu larut, Danu. Rehan harus sekolah besok pagi.” Danu segera menepuk keningnya setelah mendeng
Tanpa menyadari kemarahan Andra yang semakin memuncak, Alana masuk ke dalam ruangan Andra untuk mengantar sebuah laporan. Dilihatnya lelaki itu tampak sedang sibuk berjibaku dengan setumpuk berkas yang selalu menghiasi mejanya. “Simpan saja di atas mejaku!” kata Andra dan Alana mengangguk pelan. Ditaruhnya laporan itu di atas meja kerja Andra. “Pak Andra juga ada jadwal meeting mingguan siang ini,” ucap Alana mengingatkan. “Hemm..” Alana menghela ketika tanggapan yang ia dapat hanyalah sebuah dehaman singkat. Tapi tak apa! Setidaknya itu lebih baik daripada sikap Andra yang berapi-api memarahinya seperti kemarin. Setelah itu, Alana pamit keluar dari ruangan Andra karena ia pun masih mempunyai pekerjaan yang harus diselesaikannya. Namun, baru saja kaki Alana akan melangkah menuju pintu, saat suara Andra memanggilnya. “Tunggu Alana!” Alana menghentikan langkah, lantas membalikan badannya menatap Andra. Lelaki itu bangkit berdiri dari kursinya. Kini kaki tegapnya melang
Cekalan tangan Andra di lengannya terasa begitu kencang. Hingga Alana merasakan sakit di sana. Tetapi itu tak seberapa dibanding dengan rasa sakit yang hatinya derita saat ini. Alana tak bisa menyalahkan Andra atas kebencian yang dimiliki oleh lelaki itu padanya. Sebab pada dasarnya Andra memang tidak mengetahui apapun tentang semua yang terjadi di masa lalu mereka. Sosok Andra yang sekarang adalah hasil bentukan dari segala hasut kedua orang tuanya. Meski Alana berusaha mati-matian untuk menahan tangisnya di depan Andra, namun akhirnya air mata itu luruh juga dengan begitu lancangnya. Ya. Alana menangis. Tetapi Andra hanya mendengus melihat mata bulat Alana yang telah basah. "Huh! Jangan pura-pura menampilkan wajah terlukamu di hadapanku, Alana. Aku sudah bukan lagi Andra yang bisa kamu tipu. Saat ini aku bukannya mau menyakitimu. Tapi aku hanya mau memberimu sebuah penawaran yang sangat menguntungkan." Andra berkata dengan setengah berbisik pada Alana yang masih tertahan di ba
"Berani-beraninya kamu memunculkan batang hidungmu lagi di depan anakku! Hah! Mana janji yang pernah kamu ucapkan. Bukankah sudah ku bilang jauhi Andra dan jangan pernah lagi mengganggu kehidupannya?!" sentak Nita berdesis penuh amarah.Intonasi suaranya terdengar mengintimidasi. Tetapi masih agak pelan. Alana mengerti, mungkin Nita tidak ingin Andra mendengar ucapannya. Hingga dalang dari kejadian delapan tahun lalu akan terkuak ke permukaan. "Maaf, Nyonya Nita yang terhormat. Aku ada di sini bukan untuk mengganggu kehidupan anak Anda. Tapi aku hanya sedang berusaha professional dalam bekerja. Saat ini, aku hanya melihat Pak Andra sebagai pimpinan perusahaan. Jadi Anda tidak usah khawatir. Aku tidak akan pernah merebutnya dari Anda!" Alana berkata dengan wajah santai. Namun suaranya terdengar tegas di telinga Nita. Hingga membuat amarah Nita semakin memuncak. Tangan Nita terkepal di kedua sisi. Kini ia menunjuk wajah Alana dengan penuh penekanan. "Aku tidak peduli! Perjanjian adal
Hari ini Alana mengantar Rehan ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum. Winarti sedang merasa kurang enak badan. Jadi Alana menyempatkan waktu untuk mengantar anaknya sebelum ia berangkat ke kantor.“Nah, Rehan. Sekarang kita sudah sampai. Kamu belajar yang rajin ya. Jadi anak yang baik sama guru dan teman-teman di sekolah,” Alana berpesan sembari berjongkok di depan Rehan. Sementara kedua tangannya hinggap di pundak bocah lelaki itu.“Iya, Ma. Rehan janji tidak akan nakal di sekolah. Rehan juga akan belajar yang rajin biar selalu dapat nilai seratus. Terus nanti Mama bangga deh sama Rehan!” sahut Rehan dengan penuh semangat. Membuat Alana mengangguk dan terkekeh pelan. Kini Alana bangkit berdiri sembari mengusap lembut puncak kepala anaknya itu.“Ya sudah. Kamu cepat masuk sana! Mama juga akan berangkat ke kantor.”Rehan mengangguk dan mencium punggung tangan Alana segera.“Mama hati-hati ya. Mama jangan terlalu capek kerjanya. Dah, Mama!” kata Rehan melambai pada Alana. Lalu s
“Sekali kamu melakukan kesalahan, artinya kamu tidak becus bekerja. Sekarang lebih baik kamu pergi ke meja kerjamu dan bekerjalah dengan benar!” lanjut Andra yang membuat Sherly mengerutkan keningnya tidak suka. “Apa, Ndra? Kamu menyuruh Alana datang ke ruangan ini hanya untuk dibentak-bentak sebentar, lalu menyuruhnya keluar dan bekerja seperti biasa? Kamu tidak berniat menghukum dia? Atau bahkan memecatnya sekalian. Biar dia kapok! Kalau cuma dibentak-bentak saja, Alana pasti akan keenakan!” Sherly menggerutu.Andra menyentak bolpoint di atas meja. “Diam kamu Sherly! Aku tidak minta pendapat kamu. Kalau kamu tidak suka, kamu juga boleh keluar dari sini!” tegas Andra. Dan Sherly hanya berdecak dalam hati sembari melemparkan tatapan sinis pada Alana yang masih berdiri di depannya. Setelah tak ada lagi yang bicara, netra Andra kembali melirik Alana. “Keluar Alana! Tolong bekerjalah dengan benar di perusahaanku!” pesan Andra penuh peringatan. Yang kemudian dijawab Alana dengan ang
Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan. Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra.Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini usia Alin sudah memasuki bulan ketiga. Alin sudah pintar mengoceh dan mengemut tangannya sendiri. Kadang ia akan menjambak pelan rambut Andra dan Rehan saat Papa dan kakaknya itu menciumi wajahnya.“Alin! Sayang! Berapa kali Papa bilang, berhenti mengemuti tanganmu seperti ini. Tadi ‘kan sebelum berangkat ke taman, kamu sudah minum susu yang banyak dari Mama Alana. Perut kamu pasti sudah kenyang ‘kan? Jadi sekarang hentikan mengemut tangannya ya!” Andra menarik tangan Alin yang mengepal dan masuk ke dalam mulutnya.Andra tidak ingin Alin terbiasa melakukan itu. Tapi yang namanya bayi berusia tiga bulan. Tentu saja dia tidak akan mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.Berulang kali Andra menarik tangan Alin dari mulut mungilnya, berulang kali pula Alin tetap memasukan tangannya itu ke dalam mulut lagi.Hingga akhirnya Andra menyerah. Ia menghembuskan napasnya pelan.“B
Kening Alana berkerut menatap pada suaminya."Alindra?" ulang Alana.Dan Andra langsung mengangguk mantap."Ya. Alindra. Alindra Wijaya. Dia akan menjadi seorang perempuan yang kuat dan berhati lembut. Dia akan pintar dan berwawasan luas. Dia juga akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Alin!" ujar Andra menuturkan.Membuat Alana yang mendengarnya kini menarik kedua sudut bibirnya ke samping.Hingga membentuk sebuah senyuman."Alindra Wijaya? Aku setuju. Nama yang sangat indah," ucap Alana.Kemudian ia mengelus pipi mungil Alin yang masih sibuk menyusu--di dadanya."Hei, Alin! Ini Mama! Kata Papa, mulai sekarang nama kamu adalah Alin, ya. Nanti kamu akan bertemu dengan kakak Rehan. Juga dengan kedua nenek kamu. Kakak Rehan pasti akan senang saat melihat kamu yang secantik ini!" ujar Alana.Ya. Rehan adalah salah
“Emhh.. Maaf Pak Andra! Mr. Steve! Saya mau pamit ke kamar kecil dulu sebentar. Boleh?” tanya Vani dengan wajah sungkan.Yang kemudian langsung diangguki oleh Andra dan Mr. Steve.“Tentu saja boleh. Silakan Vani!”Vani mengangguk. Lalu ia bangkit berdiri sambil meraih ponselnya. Kaki Vani terus bergerak menjauhi meja itu. Lantas ia berhenti ketika berada di dekat kamar kecil.Vani segera saja mengangkat panggilan dari Nita.“Hallo Nyonya Nita! Mohon maaf saya baru mengangkat telpon Anda. Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Vani setelah menempelkan ponselnya di telinga kanan.‘Kenapa ponsel Andra tidak aktif? Sejak tadi saya menghubungi ponsel Andra sampai berpuluh-puluh kali. Tapi tidak satu pun yang tersambung. Jadi saya menghubungimu. Mana Andra?! Saya mau bicara dengannya?’ tanya Nita dari seberang telpon.Pertanyaan Nita itu seketika membuat Vani menggigit bibirnya. Ia tergugu dan
Sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan, Andra menatap Alana dengan alis yang bertaut.“Kenapa kepalaku dijitak?” tanya Andra dengan memasang wajah sok polos.Alana berkaca pinggang di hadapannya. “Aku melakukan itu agar isi otak suamiku tetap waras. Ini sudah malam ‘kan? Kalau aku yang mandikan, bisa-bisa kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi itu. Karena aku sudah tahu betul dengan apa yang ada di dalam pikiranmu!” Alana berkata dengan tegas. Dan dagunya terangkat kearah Andra.Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu matanya menatap Alana lurus.“Hhh.. padahal aku sudah membelikanmu bunga. Tapi aku tidak mendapatkan balasan apa-apa,” gumam Andra pelan.Namun gumaman itu masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Alana. Hingga membuat kedua bola mata Alana melebar dan ia mendelik kearah suaminya.“Oh! Jadi kamu sengaja membe
Membuat Alana dan Rehan sama-sama tersenyum mendengarnya.“Oh iya. Apa PR-nya Rehan sudah selesai?” tanya Andra yang melemparkan tatapanya ke arah buku tulis milik Rehan.“Sudah, Pa. Kalau untuk PR-nya, aku sudah mengerjakannya tadi. Sekarang hanya tinggal belajar membaca saja. Karena besok ada tes membaca oleh Ibu Guru,” sahut Rehan menjawab. Dan Andra mengangguk-anggukan kepalanya.“Oh begitu. Baiklah. Berhubung sekarang Papa sudah pulang ke rumah. Jadi bagaimana kalau Papa saja yang membantu kamu belajar membaca? Kamu mau?” Andra menaruh tas kerjanya di atas tempat tidur Rehan. Kemudian ia bertanya pada bocah kecil itu.“Mau Pa! Rehan mau!” seru Rehan dengan senang. Sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Andra terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.Namun Alana menatap Andra dengan mengerutkan keningnya.“Tapi, Andra. Kamu ‘kan baru pulang dari kantor. Pasti k
“Apa pensil warnanya sudah? Jangan sampai ada yang tertinggal, Rehan!” Alana sedang mengecek perlengkapan sekolah Rehan yang ada di tas anak itu.“Sudah Rehan masukan semuanya, Ma? Isi tasku sudah lengkap, ‘kan?” Rehan balas bertanya pada Alana yang duduk di tepi ranjang sambil meneliti isi tas anak lelakinya itu.Pagi ini Alana memang langsung mendatangi Rehan ke kamarnya. Hal yang selalu menjadi kebiasaan Alana. Ia selalu memeriksa PR Rehan dan isi tas bocah itu. Alana takut jika sampai ada yang tertinggal di rumah.Merasa semuanya sudah lengkap, Alana menganggukan kepalanya lalu ia memberikan tas itu kembali ke tangan Rehan.“Ternyata semuanya sudah lengkap. Kalau begitu kemarikan sisirnya. Biar Mama yang sisirkan rambut kamu!” pinta Alana menengadahkan tangannya pada Rehan.Namun Rehan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak usah, Ma. Rehan sudah besar sekarang. Mama tidak perlu lagi menyisiri rambut R
Malam ini, Andra sedang duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Tampak kaki kanannya tertumpang di kaki kiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, Andra mengamati lamat-lamat buku-buku tebal yang ia pangku di atas—paha.Yang sedang Andra baca itu tentu saja sebuah buku bisnis.Ketika itu Rehan datang dengan membawa snack di tangannya. Bocah kecil itu melangkah mendekati Papanya yang langsung menoleh dan tersenyum begitu melihat Rehan.“Hei! Papa pikir kamu sudah tidur?” Andra tersenyum pada Rehan sembari melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja.“Belum, Pa. Rehan tidak bisa tidur.” Rehan kini menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan Andra.“Kenapa kamu tidak bisa tidur? Apa kamu sudah minum susu hangatnya dari Bik Sumi?” tanya Andra kemudian ia menaruh buku tebalnya juga di atas meja. Untuk bergabung dengan kacamatanya.Rehan mengangguk sebagai j
Kini Andra dan Alana sudah ada di mobil. Alana mengerutkan keningnya menatap kearah jendela di sampingnya, benaknya berpikir kemana Andra akan menjalankan mobilnya ini?Andra bilang, mereka akan pergi jalan-jalan. Tapi Andra belum memberitahunya kemana tujuan mereka sebenarnya.Sementara Andra sendiri tampak fokus menyetir sembari tatapannya tajam ke depan sana.“Andra!”“Hmm?” Andra berdeham, melirik sekilas kearah Alana yang duduk di sampingnya. Sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya ke jalanan.“Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?” Alana tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia sungguh penasaran.Tapi Andra hanya menahan senyumnya. Melihat Alana yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya, membuat Andra merasa geli.“’Kan sudah ku bilang, kalau aku mau membawamu ke sebuah tempat yang akan membuatmu senang melihatnya. Karena it