"Pasti Sherly 'kan yang sudah memberitahu Mama tentang Alana yang bekerja di perusahaanku?" tebak Andra.
Tapi, Nita mengibaskan sebelah tangannya di udara. "Tidak penting Mama tahu dari siapa. Yang penting sekarang adalah kamu harus tendang dia dari perusahaan! Titik!" tegas Nita tak mau ada tawar-menawar.
Andra hanya mengusap wajah. Lalu menggeleng sebagai jawaban.
"Maaf, Ma. Aku tidak akan memecat Alana dari kantor."
Bola mata Nita membeliak mendengar ucapan Andra.
"Kenapa, Ndra? Kenapa kamu tidak bisa?" tuntut Nita penuh tanya.
"Karena aku sendiri yang sengaja mempekerjakan Alana. Aku hanya ingin sedikit bermain-main dengannya yang sudah menorehkan banyak luka dalam hidupku. Aku ingin membalas rasa sakit yang kualami delapan tahun yang lalu. Setelah aku puas, maka aku berjanji pada Mama, kalau aku akan memecatnya. Dan menendangnya keluar dari perusahaan seperti yang Mama minta," jelas Andra sedikit berbisik sambil menekankan suaranya.
Mulut Nita terbuka, tampak raut terkejut tergambar di wajahnya.
Jadi, Andra mempekerjakan Alana untuk balas dendam.
Di sisi lain Nita merasa senang melihat kebencian Andra pada mantan istrinya masih begitu dalam.
Tapi di sisi lain, Nita takut Andra akan jatuh hati lagi pada Alana jika mereka sering bertemu nyaris setiap hari.
"Sekarang Mama sudah tahu, 'kan. Jadi berhenti mendesakku untuk segera memecat Alana. Sebab aku belum puas bermain-main dengannya," tutup Andra yang setelah itu langsung menarik diri dari hadapan Nita.
Kaki panjangnya kini sudah begerak melangkah lebar menaiki tangga.
Setelah menutup pintu kamarnya dengan rapat, Andra melempar jasnya sembarang arah.
Kemudian ia melepas paksa dasi yang sejak pagi tadi terasa mencekik lehernya.
Kakinya melangkah tegas menuju sebuah laci yang terletak di samping kasur. Andra mengeluarkan selembar foto yang tersimpan di dalamnya. Netranya menatap foto itu dengan tatapan yang tajam dan sarat akan kebencian.
"Aku tidak akan pernah berhenti, sebelum aku bisa membalas semua rasa sakitku padamu, Alana! Wanita sepertimu tidak bisa dibiarkan begitu saja!" ucap Andra dengan gigi yang mengeletuk.
Jemarinya kian keras mencengkeram foto Alana yang sedang tersenyum dengan sangat cantik.
Meski sejujurnya, senyum itu masih mampu menggetarkan rasa rindu di dalam sanubarinya, tetapi Andra selalu menyangkal hal itu.
"Tidak! Aku tidak lagi mencintaimu! Wanita murahan sepertimu tidak pantas untuk dicintai! Kamu penghianat! Penghancur hidupku. Saat ini yang tersisa di hatiku untukmu hanya ada kebencian. Hanya kebencian, Alana! Kamu dengar itu, hah?! Aku sudah tidak mencintaimu! Aku akan membuat hidupmu hancur!" geram Andra seraya menegaskan dirinya sendiri.
Andra sungguh-sungguh menolak bahasa hatinya yang masih mengisyaratkan cinta pada Alana.
Bibir Andra mungkin beratus-ratus kali mengucapkan kata benci, namun hatinya masih mengiba pada wanita yang dulu pernah ia puja.
Sejujurnya, saat tadi Andra mengantar Alana pulang, ia sangat penasaran di mana wanita itu tinggal. Dengan siapakah? Apa masih dengan ibunya, atau Alana justru sudah memiliki kehidupan lain tanpa Andra tahu?
Bukan apa! Andra hanya ingin melihat sebahagia apa Alana tanpa dirinya?
Tapi rasa gengsinya yang terlalu dalam, membuat Andra mengurungkan niat untuk mengikuti Alana ke rumahnya.
***
Pagi ini, Alana dimarahi habis-habisan oleh Andra. Semua yang Alana lakukan selalu saja salah di mata lelaki itu.
Hingga Alana sendiri bingung, ia tak merasa telah berbuat kesalahan sedikitpun.
"Apa kamu tidak becus bekerja? Kenapa laporannya berantakan seperti ini? Aku menggajimu bukan untuk bermalas-malasan, Alana! Kamu tahu itu, 'kan?" kecam Andra marah sembari tangannya menunjuk-nunjuk wajah Alana yang semakin tertunduk di hadapannya.
"Maaf, Tuan. Tapi, bukan aku yang membuat laporan. Bukankah laporan itu dari bagian keuangan, dan aku hanya disuruh mengantarkannya pada Anda?"
"Oh. Kamu sudah berani membantahku, Alana? Aku tidak peduli mau siapapun yang sudah membuat laporan ini, yang jelas kamu yang salah. Karena kamu tidak berinisiatif memeriksa laporan itu terlebih dahulu sebelum mengantarnya ke meja kerjaku!" Andra makin meninggikan intonasi suaranya.
Membuat Alana mengerjap dan berjengkit di tempatnya.
"Hhh! Kamu hanya membuat waktuku terbuang sia-sia! Belum lagi pekerjaanku sedang sangat menumpuk. Kamu memang benar-benar tidak bisa diandalkan!"
Alana menahan napasnya saat mendengar kalimat terakhir yang Andra ucapkan.
Dirinya tak bisa diandalkan? Bukankah Alana sendiri sudah berusaha melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Ia melayani Andra selayaknya yang dilakukan oleh sekretaris pada bossnya.
Tetapi dirinya tetap saja salah di mata Andra. Entah apa yang membuat Andra sampai semarah ini. Atau mungkin mood lelaki itu memang sedang buruk.
"Karena ketidakbecusan kamu, kita jadi harus lembur malam ini!" kata Andra dengan sengit. "Sekarang cepat keluar dari ruanganku, Alana! Dan bekerjalah dengan benar. Kita tidak akan pulang sebelum pukul dua belas malam!" lanjut Andra dengan tegas.
Dan Alana hanya bisa menelan salivanya berat, lalu menganggukan pelan.
"Baik, Tuan. Aku permisi ke mejaku," pamit Alana menarik diri dari hadapan Andra.
Hanya senyap yang menjawab. Andra tetap menunduk menatap setumpuk berkas di atas mejanya, tanpa berniat menyahut Alana sama sekali.
Hingga Alana menutup pintu ruangannya, barulah Andra mengangkat kepala. Seketika sebelah ujung bibirnya melengkungkan senyum miring.
"Kita mulai siksaanmu, Alana! Hari-hariku tidak akan puas tanpa melihatmu menderita," gumam Andra menampilkan seringaiannya. Matanya menatap lurus pada pintu yang telah menelan tubuh ramping Alana.
"Huftt.. Jika aku lembur sampai jam dua belas malam, lalu bagaimana dengan Rehan? Dia pasti tak akan bisa tidur dan akan terus menungguku pulang." Alana mendesah lemah. Sembari jemarinya berkutat dengan keyboard di hadapannya. Tetapi benak Alana melayang memikirkan Rehan. Semoga saja anak semata wayangnya itu tidak akan menanti kepulangannya malam ini. Alana kembali memusatkan pikirannya pada setumpuk pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Hingga tanpa terasa, waktu terus bergulir dan jarum jam terus berputar. Alana menghela melirik kearah jam yang menempel di dinding kantor. "Aku harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku. Setengah jam lagi pukul sepuluh malam, sebentar lagi aku harus mengantarkan kopi ke ruangan Andra," gumam Alana sembari melakukakan sedikit peregangan pada pinggang-pinggangnya yang malam ini terasa diremukkan. Setelah itu, tangan Alana kembali sibuk berjibaku dengan kertas-kertas dan komputer. Hingga suara ponselnya yang berdering, membuat Ala
“Danu!” pekik Alana. Dia terkejut melihat Danu yang telah berada di rumahnya. “Kapan kamu datang?” tanyanya lagi. Mendengar itu, Danu tersenyum sembari mengusap tengkuknya. Ia memang sengaja ingin membuat kejutan untuk Alana dan Rehan. Makanya datang tanpa ingin memberitahu. “Aku baru datang jam enam sore tadi. Aku memang sengaja, Alana. Aku ingin memberikan kejutan untuk Rehan. Aku sudah sangat merindukan bocah laki-lakiku ini. Dan sekarang aku senang bisa bertemu dengannya,” sahut Danu yang mengusap pelan rambut Rehan yang hitam legam. “Kamu habis lembur, Alana? Kok baru pulang jam segini?” tanya Danu dan Alana menjawab dengan anggukan pelan. “Ya. Aku habis lembur. Pekerjaanku di kantor sangat menumpuk, makanya harus segera diselesaikan malam ini juga,” jawab Alana. “Aku pikir Rehan sudah tidur. Tapi ternyata dia masih asyik bermain denganmu. Tapi tidak baik membiarkannya tidur terlalu larut, Danu. Rehan harus sekolah besok pagi.” Danu segera menepuk keningnya setelah mendeng
Tanpa menyadari kemarahan Andra yang semakin memuncak, Alana masuk ke dalam ruangan Andra untuk mengantar sebuah laporan. Dilihatnya lelaki itu tampak sedang sibuk berjibaku dengan setumpuk berkas yang selalu menghiasi mejanya. “Simpan saja di atas mejaku!” kata Andra dan Alana mengangguk pelan. Ditaruhnya laporan itu di atas meja kerja Andra. “Pak Andra juga ada jadwal meeting mingguan siang ini,” ucap Alana mengingatkan. “Hemm..” Alana menghela ketika tanggapan yang ia dapat hanyalah sebuah dehaman singkat. Tapi tak apa! Setidaknya itu lebih baik daripada sikap Andra yang berapi-api memarahinya seperti kemarin. Setelah itu, Alana pamit keluar dari ruangan Andra karena ia pun masih mempunyai pekerjaan yang harus diselesaikannya. Namun, baru saja kaki Alana akan melangkah menuju pintu, saat suara Andra memanggilnya. “Tunggu Alana!” Alana menghentikan langkah, lantas membalikan badannya menatap Andra. Lelaki itu bangkit berdiri dari kursinya. Kini kaki tegapnya melang
Cekalan tangan Andra di lengannya terasa begitu kencang. Hingga Alana merasakan sakit di sana. Tetapi itu tak seberapa dibanding dengan rasa sakit yang hatinya derita saat ini. Alana tak bisa menyalahkan Andra atas kebencian yang dimiliki oleh lelaki itu padanya. Sebab pada dasarnya Andra memang tidak mengetahui apapun tentang semua yang terjadi di masa lalu mereka. Sosok Andra yang sekarang adalah hasil bentukan dari segala hasut kedua orang tuanya. Meski Alana berusaha mati-matian untuk menahan tangisnya di depan Andra, namun akhirnya air mata itu luruh juga dengan begitu lancangnya. Ya. Alana menangis. Tetapi Andra hanya mendengus melihat mata bulat Alana yang telah basah. "Huh! Jangan pura-pura menampilkan wajah terlukamu di hadapanku, Alana. Aku sudah bukan lagi Andra yang bisa kamu tipu. Saat ini aku bukannya mau menyakitimu. Tapi aku hanya mau memberimu sebuah penawaran yang sangat menguntungkan." Andra berkata dengan setengah berbisik pada Alana yang masih tertahan di ba
"Berani-beraninya kamu memunculkan batang hidungmu lagi di depan anakku! Hah! Mana janji yang pernah kamu ucapkan. Bukankah sudah ku bilang jauhi Andra dan jangan pernah lagi mengganggu kehidupannya?!" sentak Nita berdesis penuh amarah.Intonasi suaranya terdengar mengintimidasi. Tetapi masih agak pelan. Alana mengerti, mungkin Nita tidak ingin Andra mendengar ucapannya. Hingga dalang dari kejadian delapan tahun lalu akan terkuak ke permukaan. "Maaf, Nyonya Nita yang terhormat. Aku ada di sini bukan untuk mengganggu kehidupan anak Anda. Tapi aku hanya sedang berusaha professional dalam bekerja. Saat ini, aku hanya melihat Pak Andra sebagai pimpinan perusahaan. Jadi Anda tidak usah khawatir. Aku tidak akan pernah merebutnya dari Anda!" Alana berkata dengan wajah santai. Namun suaranya terdengar tegas di telinga Nita. Hingga membuat amarah Nita semakin memuncak. Tangan Nita terkepal di kedua sisi. Kini ia menunjuk wajah Alana dengan penuh penekanan. "Aku tidak peduli! Perjanjian adal
Hari ini Alana mengantar Rehan ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum. Winarti sedang merasa kurang enak badan. Jadi Alana menyempatkan waktu untuk mengantar anaknya sebelum ia berangkat ke kantor.“Nah, Rehan. Sekarang kita sudah sampai. Kamu belajar yang rajin ya. Jadi anak yang baik sama guru dan teman-teman di sekolah,” Alana berpesan sembari berjongkok di depan Rehan. Sementara kedua tangannya hinggap di pundak bocah lelaki itu.“Iya, Ma. Rehan janji tidak akan nakal di sekolah. Rehan juga akan belajar yang rajin biar selalu dapat nilai seratus. Terus nanti Mama bangga deh sama Rehan!” sahut Rehan dengan penuh semangat. Membuat Alana mengangguk dan terkekeh pelan. Kini Alana bangkit berdiri sembari mengusap lembut puncak kepala anaknya itu.“Ya sudah. Kamu cepat masuk sana! Mama juga akan berangkat ke kantor.”Rehan mengangguk dan mencium punggung tangan Alana segera.“Mama hati-hati ya. Mama jangan terlalu capek kerjanya. Dah, Mama!” kata Rehan melambai pada Alana. Lalu s
“Sekali kamu melakukan kesalahan, artinya kamu tidak becus bekerja. Sekarang lebih baik kamu pergi ke meja kerjamu dan bekerjalah dengan benar!” lanjut Andra yang membuat Sherly mengerutkan keningnya tidak suka. “Apa, Ndra? Kamu menyuruh Alana datang ke ruangan ini hanya untuk dibentak-bentak sebentar, lalu menyuruhnya keluar dan bekerja seperti biasa? Kamu tidak berniat menghukum dia? Atau bahkan memecatnya sekalian. Biar dia kapok! Kalau cuma dibentak-bentak saja, Alana pasti akan keenakan!” Sherly menggerutu.Andra menyentak bolpoint di atas meja. “Diam kamu Sherly! Aku tidak minta pendapat kamu. Kalau kamu tidak suka, kamu juga boleh keluar dari sini!” tegas Andra. Dan Sherly hanya berdecak dalam hati sembari melemparkan tatapan sinis pada Alana yang masih berdiri di depannya. Setelah tak ada lagi yang bicara, netra Andra kembali melirik Alana. “Keluar Alana! Tolong bekerjalah dengan benar di perusahaanku!” pesan Andra penuh peringatan. Yang kemudian dijawab Alana dengan ang
Setelah jam makan siang selesai, Alana segera pergi dari pantry kantor dan melangkah menuju meja kerjanya. Saat itu, Andra juga keluar dari ruangannya dan langsung berdiri tegap dengan tubuh jangkungnya di hadapan Alana dengan tatapan dingin.Alana sontak bangkit. “Ada yang bisa aku bantu, Pak Andra?” tanyanya ragu.“Jika ada berkas penting atau apapun itu, taruh saja di atas meja kerjaku. Aku akan keluar sebentar. Sherly mengajakku makan siang di luar. Dan aku tidak mau waktuku diganggu!” tegas Andra dengan sengaja menekan nama Sherly agar terdengar jelas di telinga Alana. Hati Alana mencelos membayangkan bagaimana mantan suaminya yang masih sangat ia cintai itu, akan menikmati makan siang dengan wanita lain. Namun, Alana segera menyadarkan diri akan posisinya saat ini. “Baik, Pak Andra.” Setelahnya, Andra pun berlalu begitu saja dari hadapan Alana. Wanita itu hanya bisa memandang punggung kekar yang berjalan menjauhinya itu. Andai Alana tidak mempunyai urat malu, pasti A
Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan. Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra.Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini usia Alin sudah memasuki bulan ketiga. Alin sudah pintar mengoceh dan mengemut tangannya sendiri. Kadang ia akan menjambak pelan rambut Andra dan Rehan saat Papa dan kakaknya itu menciumi wajahnya.“Alin! Sayang! Berapa kali Papa bilang, berhenti mengemuti tanganmu seperti ini. Tadi ‘kan sebelum berangkat ke taman, kamu sudah minum susu yang banyak dari Mama Alana. Perut kamu pasti sudah kenyang ‘kan? Jadi sekarang hentikan mengemut tangannya ya!” Andra menarik tangan Alin yang mengepal dan masuk ke dalam mulutnya.Andra tidak ingin Alin terbiasa melakukan itu. Tapi yang namanya bayi berusia tiga bulan. Tentu saja dia tidak akan mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.Berulang kali Andra menarik tangan Alin dari mulut mungilnya, berulang kali pula Alin tetap memasukan tangannya itu ke dalam mulut lagi.Hingga akhirnya Andra menyerah. Ia menghembuskan napasnya pelan.“B
Kening Alana berkerut menatap pada suaminya."Alindra?" ulang Alana.Dan Andra langsung mengangguk mantap."Ya. Alindra. Alindra Wijaya. Dia akan menjadi seorang perempuan yang kuat dan berhati lembut. Dia akan pintar dan berwawasan luas. Dia juga akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Alin!" ujar Andra menuturkan.Membuat Alana yang mendengarnya kini menarik kedua sudut bibirnya ke samping.Hingga membentuk sebuah senyuman."Alindra Wijaya? Aku setuju. Nama yang sangat indah," ucap Alana.Kemudian ia mengelus pipi mungil Alin yang masih sibuk menyusu--di dadanya."Hei, Alin! Ini Mama! Kata Papa, mulai sekarang nama kamu adalah Alin, ya. Nanti kamu akan bertemu dengan kakak Rehan. Juga dengan kedua nenek kamu. Kakak Rehan pasti akan senang saat melihat kamu yang secantik ini!" ujar Alana.Ya. Rehan adalah salah
“Emhh.. Maaf Pak Andra! Mr. Steve! Saya mau pamit ke kamar kecil dulu sebentar. Boleh?” tanya Vani dengan wajah sungkan.Yang kemudian langsung diangguki oleh Andra dan Mr. Steve.“Tentu saja boleh. Silakan Vani!”Vani mengangguk. Lalu ia bangkit berdiri sambil meraih ponselnya. Kaki Vani terus bergerak menjauhi meja itu. Lantas ia berhenti ketika berada di dekat kamar kecil.Vani segera saja mengangkat panggilan dari Nita.“Hallo Nyonya Nita! Mohon maaf saya baru mengangkat telpon Anda. Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Vani setelah menempelkan ponselnya di telinga kanan.‘Kenapa ponsel Andra tidak aktif? Sejak tadi saya menghubungi ponsel Andra sampai berpuluh-puluh kali. Tapi tidak satu pun yang tersambung. Jadi saya menghubungimu. Mana Andra?! Saya mau bicara dengannya?’ tanya Nita dari seberang telpon.Pertanyaan Nita itu seketika membuat Vani menggigit bibirnya. Ia tergugu dan
Sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan, Andra menatap Alana dengan alis yang bertaut.“Kenapa kepalaku dijitak?” tanya Andra dengan memasang wajah sok polos.Alana berkaca pinggang di hadapannya. “Aku melakukan itu agar isi otak suamiku tetap waras. Ini sudah malam ‘kan? Kalau aku yang mandikan, bisa-bisa kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi itu. Karena aku sudah tahu betul dengan apa yang ada di dalam pikiranmu!” Alana berkata dengan tegas. Dan dagunya terangkat kearah Andra.Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu matanya menatap Alana lurus.“Hhh.. padahal aku sudah membelikanmu bunga. Tapi aku tidak mendapatkan balasan apa-apa,” gumam Andra pelan.Namun gumaman itu masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Alana. Hingga membuat kedua bola mata Alana melebar dan ia mendelik kearah suaminya.“Oh! Jadi kamu sengaja membe
Membuat Alana dan Rehan sama-sama tersenyum mendengarnya.“Oh iya. Apa PR-nya Rehan sudah selesai?” tanya Andra yang melemparkan tatapanya ke arah buku tulis milik Rehan.“Sudah, Pa. Kalau untuk PR-nya, aku sudah mengerjakannya tadi. Sekarang hanya tinggal belajar membaca saja. Karena besok ada tes membaca oleh Ibu Guru,” sahut Rehan menjawab. Dan Andra mengangguk-anggukan kepalanya.“Oh begitu. Baiklah. Berhubung sekarang Papa sudah pulang ke rumah. Jadi bagaimana kalau Papa saja yang membantu kamu belajar membaca? Kamu mau?” Andra menaruh tas kerjanya di atas tempat tidur Rehan. Kemudian ia bertanya pada bocah kecil itu.“Mau Pa! Rehan mau!” seru Rehan dengan senang. Sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Andra terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.Namun Alana menatap Andra dengan mengerutkan keningnya.“Tapi, Andra. Kamu ‘kan baru pulang dari kantor. Pasti k
“Apa pensil warnanya sudah? Jangan sampai ada yang tertinggal, Rehan!” Alana sedang mengecek perlengkapan sekolah Rehan yang ada di tas anak itu.“Sudah Rehan masukan semuanya, Ma? Isi tasku sudah lengkap, ‘kan?” Rehan balas bertanya pada Alana yang duduk di tepi ranjang sambil meneliti isi tas anak lelakinya itu.Pagi ini Alana memang langsung mendatangi Rehan ke kamarnya. Hal yang selalu menjadi kebiasaan Alana. Ia selalu memeriksa PR Rehan dan isi tas bocah itu. Alana takut jika sampai ada yang tertinggal di rumah.Merasa semuanya sudah lengkap, Alana menganggukan kepalanya lalu ia memberikan tas itu kembali ke tangan Rehan.“Ternyata semuanya sudah lengkap. Kalau begitu kemarikan sisirnya. Biar Mama yang sisirkan rambut kamu!” pinta Alana menengadahkan tangannya pada Rehan.Namun Rehan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak usah, Ma. Rehan sudah besar sekarang. Mama tidak perlu lagi menyisiri rambut R
Malam ini, Andra sedang duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Tampak kaki kanannya tertumpang di kaki kiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, Andra mengamati lamat-lamat buku-buku tebal yang ia pangku di atas—paha.Yang sedang Andra baca itu tentu saja sebuah buku bisnis.Ketika itu Rehan datang dengan membawa snack di tangannya. Bocah kecil itu melangkah mendekati Papanya yang langsung menoleh dan tersenyum begitu melihat Rehan.“Hei! Papa pikir kamu sudah tidur?” Andra tersenyum pada Rehan sembari melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja.“Belum, Pa. Rehan tidak bisa tidur.” Rehan kini menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan Andra.“Kenapa kamu tidak bisa tidur? Apa kamu sudah minum susu hangatnya dari Bik Sumi?” tanya Andra kemudian ia menaruh buku tebalnya juga di atas meja. Untuk bergabung dengan kacamatanya.Rehan mengangguk sebagai j
Kini Andra dan Alana sudah ada di mobil. Alana mengerutkan keningnya menatap kearah jendela di sampingnya, benaknya berpikir kemana Andra akan menjalankan mobilnya ini?Andra bilang, mereka akan pergi jalan-jalan. Tapi Andra belum memberitahunya kemana tujuan mereka sebenarnya.Sementara Andra sendiri tampak fokus menyetir sembari tatapannya tajam ke depan sana.“Andra!”“Hmm?” Andra berdeham, melirik sekilas kearah Alana yang duduk di sampingnya. Sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya ke jalanan.“Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?” Alana tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia sungguh penasaran.Tapi Andra hanya menahan senyumnya. Melihat Alana yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya, membuat Andra merasa geli.“’Kan sudah ku bilang, kalau aku mau membawamu ke sebuah tempat yang akan membuatmu senang melihatnya. Karena it