“Nenek. Rehan sudah siap. Ayo kita berangkat, Nek!” setelah mengenakan sepatunya di ruang tengah, Rehan berlari ke kamar Winarti. Tapi kening Rehan berkerut saat melihat Winarti sedang duduk melipat pakaian di samping tempat tidur.
Bahkan Winarti masih mengenakan baju daster rumahannya. Padahal ini waktunya Rehan berangkat sekolah. Biasanya ‘kan Winarti sudah siap dengan pakaian yang rapi jika akan mengantar Rehan.Tapi.. “Rehan? Kamu belum berangkat?” tanya Winarti. Menghentikan sejenak aktivitas melipat pakaiannya. Alisnya terangkat sebelah menatap pada Rehan yang berjalan kearahnya.“Rehan nunggu nenek. Hari ini nenek antar Rehan ke sekolah, ‘kan?” tanya Rehan. Tapi Winarti malah menggelengkan kepalanya.“Hari ini Nenek tidak akan antar Rehan ke sekolah,” sahut Winarti. Menyentuh sebelah pundak Rehan.Mendengar itu, tentu saja membuat kerutan di kening Rehan makin dalam. TumbenTapi kepala Rehan menggeleng dengan tegas.“Ayahku hanya Ayah Danu! Sebaiknya om pergi saja dan tidak usah datang ke rumah lagi. Karena aku bisa jaga Mama Alana dan adik bayi!” teriak Rehan pada Andra sebelum kemudian bocah kecil itu berlari meninggalkan Andra. Dan segera memasuki gerbang sekolahnya.Hati Andra mencelos melihat punggung Rehan. Perkataannya serasa meremukan hati Andra hingga hancur berkeping-keping.Andra bangkit berdiri. Lalu ia menyugar rambutnya dengan gusar.“Ya Tuhan. Hukumanku seberat ini? Rehan sulit sekali dijangkau. Dia bahkan begitu membanggakan Danu,” lirih Andra tersenyum miris.“Tapi kamu salah Rehan. Jika kamu berpikir dengan semua yang kamu ucapkan maka Papa akan berhenti berusaha untuk meluluhkan hati kamu. Maka kamu salah besar. Justru Papa akan menunjukan sama kamu, kalau Papa juga pantas untuk mendapatkan cinta kamu.” Andra bergumam.Menghembuskan napasnya kas
Danu memang bisa datang kapan saja untuk menjenguk Rehan yang sudah seperti anaknya sendiri. Tapi semua itu tentu harus ada batasannya. Dan menjamin hidup Alana serta Rehan, bukanlah merupakan kewajiban Danu.“Tidak! Kamu tidak perlu melakukan itu, Danu. Sampai saat ini aku masih bisa membiayai hidup kami. Meski aku tidak bekerja sekalipun,” sahut Alana. Yang kemudian membuat kedua alis Danu saling bertaut heran.Alana yakin. Saat ini dalam benak lelaki itu pasti sedang berkecamuk bingung. Mungkin Danu berpikir, darimana Alana bisa membiayai keluarganya padahal Alana sendiri tidak bekerja.“Tapi..” Danu hendak menyela.Gelengan tegas Alana membungkam bibirnya hingga kembali menutup rapat.“Tolong Danu. Aku tahu kamu baik. Tapi kamu tidak usah khawatirkan kehidupan kami,” kata Alana. Dan Danu berubah diam seribu bahasa.‘Aku tidak mungkin mengatakan jika Andra lah yang sudah menjamin biay
Jantung Winarti serasa dipukul oleh sesuatu yang keras. Tubuhnya mendadak lunglai begitu mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Danu.Katanya dia ingin menikahi Alana? Bagaimana bisa? Padahal Winarti tahu sekali jika Alana sudah mulai membuka hatinya lagi untuk Andra. Dan Winarti juga tahu kalau Alana sama sekali tidak pernah mencintai Danu.Selama ini Danu hanya dianggap sebagai sahabat. Danu selalu datang sebagai Ayahnya Rehan. Tidak lebih.“Dan aku ingin meminta restu dari Ibu,” tutur Danu lagi. “Berkali-kali aku berusaha untuk melamar Alana dan menyatakan cintaku padanya. Tapi hasilnya selalu sama. Alana selalu menolakku dengan alasan kalau dia tidak pantas untukku. Percayalah, Bu. Aku mencintai Alana dengan sangat tulus. Bagiku dia adalah wanita yang sangat sempurna. Aku tidak peduli dengan statusnya yang akan menjadi janda beranak dua. Aku tetap ingin menjadikan Alana sebagai istriku. Dan aku meminta restu Ibu..”Wi
Andra hanya terdiam. Ia memerhatikan Nita yang kemudian berbalik menuju kamar mandi. Mungkin Nita mau membersihkan lap bekas muntahannya.Tak berapa lama kemudian, Nita kembali lagi dan menarik kursi untuk duduk di samping ranjang Andra.“Mama bawakan makan malam untuk kamu. Setelah itu kamu minum obat,” ucap Nita sambil meraih piring berisi bubur yang tadi ia bawa. “Mau Mama suapi?” tawar Nita yang langsung dijawab Andra dengan menggelengkan kepalanya.“Aku bisa makan sendiri, Ma. Simpan saja dulu di atas nakas, Ma. Nanti pasti aku makan. Mama jangan khawatir, aku juga akan meminum obatnya.” “Tapi kamu masih lemas, Ndra.”“Ma.. Aku bisa makan sendiri nanti,” keukeuh Andra.Dan Nita hanya bisa menghembuskan napasnya pelan. Ia mengalah. Andra memang terkadang bisa sekeras kepala ini. Nita menaruh kembali piring itu di atas nakas seperti yang Andra pinta.Padahal Nita tahu jika
Tapi Alana segera menahan kedua pundak Nita.“Tidak, Nyonya Nita. Jangan lakukan itu!” tolak Alana. Nita kembali berdiri. Kali ini matanya mengembun menatap Alana.“Ayo masuk dulu. Kita duduk dan bicara di dalam!” Alana mempersilakan Nita untuk masuk ke dalam rumah sewanya.Mereka lantas duduk saling berseberangan. Nita melepas tas selempangnya dan meletakannya di sisi kiri.“Aku sudah mendengar dari Andra. Tentang kabar kematian Tuan Darma. Aku turut berduka cita untuk itu,” ucap Alana kembali membuka suara.Nita mengangguk. Sambil mengusap air matanya yang menetes di pipi.“Dia sempat meminta maaf sama kamu melalui Andra. Sebelum dia menutup mata untuk yang terakhir kalinya. Tuhan telah menghukum kami, Alana. Kami baru menyadari bahwa kami adalah orang tua yang sangat egois. Hanya demi kepuasan—semata, kami tega menghancurkan rumah tangga kalian.” Nita menunduk. Menyeka air
Alana mengangguk lalu ia menyunggingkan senyum kecilnya. Ya. Alana harus berusaha membujuk Rehan. Agar anak lelaki itu mau ikut untuk menjenguk papanya.Winarti menurunkan tangannya dari pundak Alana. Ia membiarkan Alana melangkah masuk ke dalam kamar dan menghampiri Rehan yang sedang duduk di bibir ranjang, sambil menopang kedua pipinya dengan tangan.“Rehan..” Alana duduk di samping Rehan, lalu mulai menegurnya.“Kalau Mama mau minta Rehan untuk jenguk om itu ke rumahnya, lupakan saja Ma. Rehan tidak akan mau!” sergah Rehan dengan cepat.Dan Alana meneguk ludahnya kasar. Rehan sudah lebih dulu menyampaikan penolakannya bahkan sebelum Alana selesai bicara.“Kata Nenek Nita, Papa kamu sedang sakit. Dia dirawat di rumahnya. Keadaannya sangat lemah, Rehan. Dan Nenek Nita mau agar kita datang ke sana untuk menjenguk Papa Andra,” ucap Alana. Tangannya mengusap punggung kecil milik Rehan.“Nen
“Baik, Nyonya.” Bik Sumi berjalan tergopoh-gopoh dari dapur lantas segera menuju pintu depan.Dibukanya pintu itu dengan lebar. Tapi kemudian Bik Sumi membeliakan matanya terkejut.Yang ada di hadapannya bukanlah orang laundry seperti yang Nita katakan. Melainkan Alana dan seorang bocah kecil yang wajahnya mirip dengan Andra.Alana menyunggingkan senyum tipisnya melihat reaksi terkejut yang ditunjukan oleh pembantunya Nita itu.“Berapa tagihannya, Bik?” tanya Nita berteriak dari ruang tengah.Bik Sumi tergugu. Dengan terbata, ia balas berteriak pada majikannya.“Engh, Anu Nyonya. Yang datang bukan orang laundry. Tapi Non Alana dan putranya.”Mendengar teriakan Bik Sumi, seketika Nita menegakan tubuhnya.“Apa? Alana? Jadi Alana dan Rehan benar-benar datang ke sini?!” pekik Nita tak percaya.Untuk memastikan, Nita segera berjalan cepat menuju ke pintu depan. Dan s
Rehan terdiam sebentar. Melirik kearah Alana dengan wajah ragu. Tapi Alana memberikan senyum manisnya seraya menganggukan kepala.Rehan akhirnya ikut mengangguk dan ia masuk ke dalam pelukan—Andra. Andra merengkuh tubuh Rehan dengan erat. Matanya sampai berkaca-kaca karena akhirnya salah satu keinginannya terwujud.Andra berhasil memeluk Rehan. Ia telah berhasil memeluk anak lelakinya.“Tolong panggil aku Papa, Rehan. Panggil aku dengan sebutan Papa!” pinta Andra tanpa melepaskan pelukannya.“Papa..” ucap Rehan. Dan mendengar itu membuat tangan Andra makin erat mendekap punggung Rehan. Alana terenyuh melihatnya. Ia bisa melihat mata Andra yang mengembun dan menitikkan air di sudut matanya.Alana merasa senang, karena pada akhirnya Rehan mau memanggil Andra dengan sebutan Papa.***“Buburnya harum sekali, Non,” seru Bik Sumi sambil menghirup uap yan