Hari ini aku sengaja tidak menghindari Mas Alvian walaupun tidak juga mencarinya. Sudah pasti Ia tahu aku ke kampus untuk bimbingan."Aku ingin bicara," ujar Mas Alvian."Aku juga ingin bicara," tanggapku."Kamu dulu," ucapnya."Perempuan seperti apa yang dikehendaki Mas Alvian," aku langsung bertanya untuk mengawali pembicaraanku."Seperti kamu, sempurna," jawabnya sembari tersenyum. "Tapi sayangnya aku tidak sempurna seperti yang Mas Alvian kira," tanggapku. Aku tidak peduli dengan senyuman Mas Alvian dan bersikeras menuntunnya ke pembicaraan yang serius."Kamu cantik," ujarnya."Memang," tanggapku ketus. Aku selalu jengkel jika diberi label cantik oleh orang yang tidak kukehendaki."Cerdas, pintar bersosialisasi, punya semangat hidup," lanjutnya."Aku punya semangat hidup, tapi harapan hidupku tidak terjamin lama," sanggahku. Ini hampir tiba saatnya."Kenapa memangnya?" Tanyanya tidak memedulikanku."Aku mengidap GERD, Mas. Rawat jalan sejak dua bulan yang lalu," ucapku."Kamu ber
Monic memiliki ide menemui Mas Alvian untuk bicara, tapi aku sudah tidak peduli padanya. Aku kira mungkin lebih baik jika perkara ini aku bicarakan dengan Ibu dan Ayahku. Karena yang membukakan pintu rumah untuk Mas Alvian adalah mereka. Mungkin Monic terlalu geram pada laki-laki yang telah memperlakukanku seperti itu. Bagaimanapun kerasnya kemauan Monic untuk berbicara dengan Mas Alvian, aku yakin usahanya tidak membuahkan hasil yang berarti. Mas Alvian terlalu bebal untuk menerima masukan orang lain."Saya nggak ada urusan sama kamu, meski kamu temannya Fani tetapi kamu tidak berhak mengatur-ngatur saya. Hubungan saya dengan Fani adalah urusan saya," semprotan Mas Alvian kepada Monic tak jauh beda dengan pedasnya ucapannya padaku."Bukan begitu, Mas. Kalau Mas Alvian memang laki-laki yang tanggung jawab, sebaiknya Mas Alvian temui kedua orangtuanya. Sampaikan secara terus terang mau dibatalkan atau diteruskan," ujar Monic. Suaranya cukup jelas terdengar olehku dari balik tembok.Sah
Tempat pertama yang kami tuju setelah menaiki mobil adalah masjid, kami akan sholat 'ashar terlebih dahulu sebelum bersama-sama ke hotel. Monic dan Bu Delta berkenalan secara singkat di dalam mobil. Setelah sampai di masjid, aku dan Bu Delta memilih sholat terlebih dahulu karena Monic dan Sahla mabuk pesawat, mereka membeli air mineral dingin di minimarket sebelah masjid."Sebenarnya kamu sedang ada masalah apa, Falen? Sakitmu sudah terlalu parah?" Tanya Bu Delta setelah selesai sholat. Mungkin Bu Delta sengaja mengatur sholat kami bergantian agar Ia bisa berbicara empat mata denganku."Bukan, Bu. Sakit nggak membuat hari-hari saya terganggu, kok," jawabku."Lalu?" Ujarnya tidak puas dengan jawabanku."Saya mencintai seseorang yang menurut orang-orang adalah terlarang bagi saya, Bu," ucapku. "Terlarang karena apa? Hubungan darah, beda agama?" Tanyanya dengan suara lembut. Ia tampak peduli denganku."Karena Ia milik perempuan lain," jawabku lemas."Mereka sudah hidup bahagia," lanjut
Kami mengobrol ngalor ngidul dan rencana kami untuk berkeliling mall seketika batal karena ternyata kami kelelahan setelah menempuh perjalanan udara. Monic yang awalnya takut kepada Bu Delta akhirnya juga berbicara dengan nyaman. Besok kami akan jalan-jalan ke wisata industri keramik dan kaca. Sorenya, kami akan mampir ke pantai dan menyaksikan matahari tenggelam. Rencana yang indah, obrolan kami membuat pikiranku bebas hingga akhirnya seseorang kulihat dari jarak yang cukup dekat."Putri, sudah malam. Mau pulang jam berapa?" Seru Pak Hikam dari jarak sekitar lima meter dari kami. Oh, ternyata Ia memanggil istri keduanya dengan panggilan 'Putri'. Anaknya yang jika kutebak masih umuran Sekolah Dasar menggandeng tangan Sang Ayah. Perempuan yang kutahu sebagai istri pertamanya memandang ke arah kami dengan pandangan tidak suka, aku bisa membaca itu."Mas Hikam mau pulang sama aku kan, Mas?" Ujar istri pertamanya lebih tepat disebut permintaan dari pada pertanyaan."Aku mau ngantar Fale
Pagi-pagi sekali sebelum shubuh, Ibu menelpon. Suasana hatiku sedang tidak baik karena semalam aku bermimpi tentang Hilal dan Mas Alvian. Mereka saling membunuh di depanku sementara aku sekarat karena sesak nafasku kambuh, perutku juga bocor dan mengucurkan banyak darah. Benar-benar mimpi buruk di malam liburanku."Hallo, Bu," gumamku sambil mengumpulkan nyawa."Hallo, Nak. Waktu PPL kemarin kenapa kamu nggak pernah mampir rumah?" Ujar Ibu langsung melempar pertanyaan. "Untuk apa, untuk menengok orangtua yang tidak peduli dengan anaknya?" Tanggapku cepat."Apa salah Ibu, Fan?" Ibu terdengar meninggikan suaranya."Salah Ibu? Ibu selalu benar. Bahkan untuk menerima lamaran orang yang tidak kukenal," andai orangtuaku tidak tergesa-gesa mungkin jalan hidupku kini sudah berbeda. "Bagaimana bisa kamu bilang nggak kenal? Dia bisa menceritakan kamu dengan baik, dia tahu segalanya tentang kamu," Ibu ngotot dengan prasangkanya."Mas Alvian bisa tahu segalanya tentang aku tanpa harus mengenalk
Hari ini aku pergi ke Rumah Sakit untuk memeriksa kondisiku, aku pergi sendiri karena tak mau merepotkan orang lain, lagi pula ini kepentingan pribadiku. Aku harus menyisihkan uang saku sebanyak-banyaknya untuk biaya rawat jalanku. Untung saja, perusahaan tempatku magang memberi kami gaji walaupun hanya setengahnya dari gaji karyawan terendah. Penyakitku semakin parah, kata dokter ini masa-masa bahaya. Aku ditanya-tanya apakah aku melakukan aktivitas yang berat dan terlalu berpikir keras. Kusangkal semua pertanyaan dokter, aku sedang tidak memikirkan apapun selain skripsi. Itu cukup meyakinkan dokter hingga aku tidak perlu membeberkan kegilaanku pada Mas Rizki dan rasa geramku pada Mas Alvian.Dalam perjalanan pulang dari Rumah Sakit, aku melihat parade yang sedang berlatih memainkan saksofon dan bermacam-macam terompet lainnya. Lalu, apa kabar diriku yang mengambil nafas saja sering tersengal-sengal? Aku menyesali hal ini. Sekarang, aku kesulitan bernafas. Bagi orang lain mungkin be
Hampir enam tahun aku meninggalkan kota kelahiranku untuk melewati pendidikan di pesantren dan berkuliah. Aku mendapatkan rekomendasi dari Bu Delta untuk mengawali karirku di kantornya. Aku tidak ingin menolaknya, tetapi kantor yang Ia tawarkan berada dua jam dari rumahku. Orangtuaku senang sekali mendengar keadaanku sangat baik. Bagaimana tidak, aku lulus kuliah dengan predikat Cumlaude dan tinggal menunggu wisuda. Aku berhasil bertahan hidup di pesantren selama hampir enam tahun. Orangtuaku melihatku sudah mengenakan jilbab dengan rapih. Hanya satu yang membuat mereka menangis, seseorang yang melamarku empat tahun lalu membatalkan lamarannya karena diriku tidak lekas membukakan pintu hati untuknya. Ibu menangis mendekapku. Baginya adalah sebuah aib jika perempuan dibuang begitu saja oleh lelaki. Apalagi setelah dilamar. Bagaikan makanan yang sudah dikunyah-kunyah lalu diludahkan begitu saja. Aku miris dengan pengibaratan seperti itu. karena aku adakah perempuan, bukan makanan atau
Aku tidak menyangka bahwa salah satu dari dua pilihan yang dulu diwasiatkan oleh almarhum suami Bu Delta adalah Mas Rizki. Sayangnya, Mas Rizki tidak berkenan karena lebih memilih untuk melanjutkan pernikahannya dengan Mbak Fatma yang kedua kalinya. Lalu takdir membawa Bu Delta untuk menjadi madu dari Bu Salis, istri pertama Pak Hikam.Setelah tahu hal yang mengekori pikiranku selama ini adalah Mas Rizki, Bu Delta menjadi tidak seceria dulu lagi di depanku. Ia terlihat canggung. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan itu semua, akupun tidak berminat untuk mencari tahu. Sampai akhirnya Pak Hikam menjengukku, lebih tepatnya menyusul Bu Delta sekalian menjengukku."Cepat sembuh ya, Falen," ujarnya.Bu Delta menggenggam tanganku dengan erat. "Nanti kalau sudah sembuh, Ibu bakal kenalin kamu ke direktur tempat kamu kerja. Ia dulunya satu kantor sama Ibu," ucap Bu Delta.Tapi akhirnya aku tahu Pak Hikam juga akan menjenguk Mbak Fatma di Rumah Sakit yang sama denganku. Aku baru tahu Pak Hikam a