Tempat pertama yang kami tuju setelah menaiki mobil adalah masjid, kami akan sholat 'ashar terlebih dahulu sebelum bersama-sama ke hotel. Monic dan Bu Delta berkenalan secara singkat di dalam mobil. Setelah sampai di masjid, aku dan Bu Delta memilih sholat terlebih dahulu karena Monic dan Sahla mabuk pesawat, mereka membeli air mineral dingin di minimarket sebelah masjid."Sebenarnya kamu sedang ada masalah apa, Falen? Sakitmu sudah terlalu parah?" Tanya Bu Delta setelah selesai sholat. Mungkin Bu Delta sengaja mengatur sholat kami bergantian agar Ia bisa berbicara empat mata denganku."Bukan, Bu. Sakit nggak membuat hari-hari saya terganggu, kok," jawabku."Lalu?" Ujarnya tidak puas dengan jawabanku."Saya mencintai seseorang yang menurut orang-orang adalah terlarang bagi saya, Bu," ucapku. "Terlarang karena apa? Hubungan darah, beda agama?" Tanyanya dengan suara lembut. Ia tampak peduli denganku."Karena Ia milik perempuan lain," jawabku lemas."Mereka sudah hidup bahagia," lanjut
Kami mengobrol ngalor ngidul dan rencana kami untuk berkeliling mall seketika batal karena ternyata kami kelelahan setelah menempuh perjalanan udara. Monic yang awalnya takut kepada Bu Delta akhirnya juga berbicara dengan nyaman. Besok kami akan jalan-jalan ke wisata industri keramik dan kaca. Sorenya, kami akan mampir ke pantai dan menyaksikan matahari tenggelam. Rencana yang indah, obrolan kami membuat pikiranku bebas hingga akhirnya seseorang kulihat dari jarak yang cukup dekat."Putri, sudah malam. Mau pulang jam berapa?" Seru Pak Hikam dari jarak sekitar lima meter dari kami. Oh, ternyata Ia memanggil istri keduanya dengan panggilan 'Putri'. Anaknya yang jika kutebak masih umuran Sekolah Dasar menggandeng tangan Sang Ayah. Perempuan yang kutahu sebagai istri pertamanya memandang ke arah kami dengan pandangan tidak suka, aku bisa membaca itu."Mas Hikam mau pulang sama aku kan, Mas?" Ujar istri pertamanya lebih tepat disebut permintaan dari pada pertanyaan."Aku mau ngantar Fale
Pagi-pagi sekali sebelum shubuh, Ibu menelpon. Suasana hatiku sedang tidak baik karena semalam aku bermimpi tentang Hilal dan Mas Alvian. Mereka saling membunuh di depanku sementara aku sekarat karena sesak nafasku kambuh, perutku juga bocor dan mengucurkan banyak darah. Benar-benar mimpi buruk di malam liburanku."Hallo, Bu," gumamku sambil mengumpulkan nyawa."Hallo, Nak. Waktu PPL kemarin kenapa kamu nggak pernah mampir rumah?" Ujar Ibu langsung melempar pertanyaan. "Untuk apa, untuk menengok orangtua yang tidak peduli dengan anaknya?" Tanggapku cepat."Apa salah Ibu, Fan?" Ibu terdengar meninggikan suaranya."Salah Ibu? Ibu selalu benar. Bahkan untuk menerima lamaran orang yang tidak kukenal," andai orangtuaku tidak tergesa-gesa mungkin jalan hidupku kini sudah berbeda. "Bagaimana bisa kamu bilang nggak kenal? Dia bisa menceritakan kamu dengan baik, dia tahu segalanya tentang kamu," Ibu ngotot dengan prasangkanya."Mas Alvian bisa tahu segalanya tentang aku tanpa harus mengenalk
Hari ini aku pergi ke Rumah Sakit untuk memeriksa kondisiku, aku pergi sendiri karena tak mau merepotkan orang lain, lagi pula ini kepentingan pribadiku. Aku harus menyisihkan uang saku sebanyak-banyaknya untuk biaya rawat jalanku. Untung saja, perusahaan tempatku magang memberi kami gaji walaupun hanya setengahnya dari gaji karyawan terendah. Penyakitku semakin parah, kata dokter ini masa-masa bahaya. Aku ditanya-tanya apakah aku melakukan aktivitas yang berat dan terlalu berpikir keras. Kusangkal semua pertanyaan dokter, aku sedang tidak memikirkan apapun selain skripsi. Itu cukup meyakinkan dokter hingga aku tidak perlu membeberkan kegilaanku pada Mas Rizki dan rasa geramku pada Mas Alvian.Dalam perjalanan pulang dari Rumah Sakit, aku melihat parade yang sedang berlatih memainkan saksofon dan bermacam-macam terompet lainnya. Lalu, apa kabar diriku yang mengambil nafas saja sering tersengal-sengal? Aku menyesali hal ini. Sekarang, aku kesulitan bernafas. Bagi orang lain mungkin be
Hampir enam tahun aku meninggalkan kota kelahiranku untuk melewati pendidikan di pesantren dan berkuliah. Aku mendapatkan rekomendasi dari Bu Delta untuk mengawali karirku di kantornya. Aku tidak ingin menolaknya, tetapi kantor yang Ia tawarkan berada dua jam dari rumahku. Orangtuaku senang sekali mendengar keadaanku sangat baik. Bagaimana tidak, aku lulus kuliah dengan predikat Cumlaude dan tinggal menunggu wisuda. Aku berhasil bertahan hidup di pesantren selama hampir enam tahun. Orangtuaku melihatku sudah mengenakan jilbab dengan rapih. Hanya satu yang membuat mereka menangis, seseorang yang melamarku empat tahun lalu membatalkan lamarannya karena diriku tidak lekas membukakan pintu hati untuknya. Ibu menangis mendekapku. Baginya adalah sebuah aib jika perempuan dibuang begitu saja oleh lelaki. Apalagi setelah dilamar. Bagaikan makanan yang sudah dikunyah-kunyah lalu diludahkan begitu saja. Aku miris dengan pengibaratan seperti itu. karena aku adakah perempuan, bukan makanan atau
Aku tidak menyangka bahwa salah satu dari dua pilihan yang dulu diwasiatkan oleh almarhum suami Bu Delta adalah Mas Rizki. Sayangnya, Mas Rizki tidak berkenan karena lebih memilih untuk melanjutkan pernikahannya dengan Mbak Fatma yang kedua kalinya. Lalu takdir membawa Bu Delta untuk menjadi madu dari Bu Salis, istri pertama Pak Hikam.Setelah tahu hal yang mengekori pikiranku selama ini adalah Mas Rizki, Bu Delta menjadi tidak seceria dulu lagi di depanku. Ia terlihat canggung. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan itu semua, akupun tidak berminat untuk mencari tahu. Sampai akhirnya Pak Hikam menjengukku, lebih tepatnya menyusul Bu Delta sekalian menjengukku."Cepat sembuh ya, Falen," ujarnya.Bu Delta menggenggam tanganku dengan erat. "Nanti kalau sudah sembuh, Ibu bakal kenalin kamu ke direktur tempat kamu kerja. Ia dulunya satu kantor sama Ibu," ucap Bu Delta.Tapi akhirnya aku tahu Pak Hikam juga akan menjenguk Mbak Fatma di Rumah Sakit yang sama denganku. Aku baru tahu Pak Hikam a
Dalam sehari ini Ayah pontang-panting mencari orang pintar yang diyakininya bisa menghilangkan santet yang menempel di tubuhku. Ibu sibuk menghubungi keluarga besar yang sekiranya bisa membantu kami. Monic dan Sahla yang seharusnya kembali ke kota mereka, akhirnya mengalah untuk menungguku di Rumah Sakit bersama Hilal.Dokter menyarankan Ibu agar aku menggunakan ventilator, tapi aku menolaknya. Nafasku sudah tidak bisa dikatakan normal, tapi aku tahu jika menggunakan alat itu jauh lebih menyakitkan. Tepat di tengah perdebatanku dengan Ibu, Tante Ning datang. Adik perempuan satu-satunya Ibu yang masih sangat muda. Ayah menyusul memasuki kamar membawa kelapa muda, bunga tujuh rupa yang masih segar, serta berpasang-pasang pisang yang sudah matang."Ini, dari Mbah Karma," ujar Ayah. Pisang dan kelapa muda memang masuk akal untuk dikonsumsi sebagai penambah daya tahan tubuh. Tapi bunga-bunga dan bermacam-macam benda aneh lainnya hanya membuat kamar ini menjadi tidak karuan baunya. Aku yak
Kematian perempuan yang dulunya adalah anak paling menyebalkan membuatku sangat terpukul. Sebesar apapun rasa benciku padanya, pada akhirnya aku merasa bersalah. Ia sangat mencintai suamiku dan tak pernah mendapatkan balasan. Cinta yang bertepuk sebelah tangan dan membuatnya menderita lahir batin.Semoga di akhir hidupnya Ia tahu bahwa dirinya sudah mendapatkan apa yang Ia inginkan, dinikahi Mas Rizki. "Kamu nggak boleh sedih, Sayang. Karena kita semua akan berjuang bersama-sama untuk kemoterapi," bisik Mas Rizki di pundakku."Sebentar lagi rambutku akan habis dan rupaku menjadi semakin jelek. Mas Rizki pasti risih melihatku," ucapku. "Tidak, Sayang," Mas Rizki menggenggam tanganku.Aku divonis mengidap tumor ganas dua minggu setelah melahirkan anak keduaku. Takdir yang tidak kuduga saat cinta kami mulai bersemi kembali. Itsna tak mendapatkan kasih sayang yang penuh karena konsentrasiku terus terbagi. Takdir ini kuterima saat hobiku sedang berada di puncak. Banyak job sebagai pembic
"Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me
Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me
Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju
Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir
Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr
"Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga
Rumah orangtua Muniroh di kampung penuh dengan tamu-tamu, baik dari kalangan kerabat maupun tetangga. Meskipun tidak mewah, keluarga Muniroh mengadakan acara selamatan. Di dapur, ibu-ibu bekerja sama memasak. Para lelaki tengah memasang tenda di halaman rumah. Acara selamatan akan diadakan sore nanti. "Bu, cabainya jangan kebanyakan.""Oke. Perlu pakai tambahin toge nggak?""Boleh, tambahi garam juga."Suasana dapur cukup ramai ketika Muniroh baru masuk untuk menyeduh air teh. "Ssst. Perempuan kok nikah tiga kali, kagak umum." Tiba-tiba terdengar bisik-bisik dari orang yang mungkin tidak menyadari kehadiran Muniroh di sekitar mereka."Iya, tapi gimana lagi. Namanya juga nasib," sahut ibu-ibu yang tak jauh dari ibu tadi. "Kalau gue mah, mending nggak usah nikah-nikahan lagi. Malu.""Lakinya kaya mungkin.""Mungkin ya."Muniroh pura-pura tidak mendengar pembicaraan barusan, ia sudah biasa mend
Mas Alfian menjemput menggunakan motor seperti biasa, tetapi kali ini lelaki itu tidak membawanya ke kantor untuk berangkat kerja bersama-sama, melainkan menuju sebuah butik ternama yang menyediakan aneka gaun pengantin. "Ini butik pilihan ayah," ujar Febi setibanya di tempat parkir."Besar juga, ayahmu lumayan pandai memilih," tanggap Mas Alfian menghargai pilihan calon mertuanya."Dulu almarhumah ibuku juga fitting di sini, kata ayah," ucap Febi.Mereka pun disamput oleh pegawai butik yang sudah meluangkan kesempatan untuk Febi setelah Febi membuat janji sejak dua hari yang lalu. Berbagai model gaun pengantin dipajang di dalam etalase."Mau pilih yang mana?" tanya Mas Alfian. Ia sendiri juga ikut bingung karena di matanya semuanya bagus. "Pilih gaun untuk pengantin muslim tentunya," jawab Febi."Oh, kalau khusus untuk yang bisa berhijab di sebelah sini, Mbak. Nanti kita bisa pilih model hijabnya juga," ujar pegawai t
Acara Fashion of the City yang merupakan ajang kontes kecantikan sekaligus peluncuran brand baru di sebuah mall, berlangsung sangat ramai. Salis bersama ibu-ibu muda lainnya datang beramai-ramai karena banyak diskon. Tak lupa Ia menggandeng Aghni."Mbak Salis." Salah satu temannya mengedipkan satu mata sembari melirik ke samping.Tak jauh dari rombongannya berada, ada wanita yang paling Salis hindari. Wanita itu datang seorang diri dan nampak tengah bersalaman dengan seseorang dari perwakilan brand. "Bukannya itu Mbak Putri?" bisik teman lainnya."Iya, ssst. Diam saja," balas Salis berbisik dengan lebih pelan."Gayanya, emang dia kenal sama pemilik brand ya?" Teman-teman Salis mulai mencibir, mengobarkan api di benak Salis. Mungkin saja Putri memang kenal karena wanita itu adalah seorang pengusaha ternama."Pelakor kok nggak punya malu. Ayo kita samperin saja, kita lihat nyalinya samapi mana." Salah satu teman Salis menghentakka