Share

Bab 39 (Fani)

Penulis: Mahaya Liliana
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-16 15:31:59

Saat aku datang ke kantor, Bu Siska sedang menata berkas-berkas di meja Bu Delta, aku menyapanya dan membantunya. "Eh, Falen. Kemarin gimana?"

"Alkhamdulillah lancar, Bu," jawabku. Aku menyembunyikan jika Bu Delta mengeluhkan jadwalnya untuk satu pertemuan dengan yang namanya Hannan.

"Makasih, ya. Ibu kemarin habis ngurusin anak Ibu khitan. Mungkin nanti juga pulang lebih awal dari biasanya," ujar Bu Siska.

"Oh, Ibu punya anak laki-laki?" Tanyaku berbasa-basi. Padahal tidak penting urusan itu untukku.

"Iya, satu. Dia anak bungsu, saya senang akhirnya bisa punya anak laki-laki, jadi lengkap. Kakak-kakaknya semua perempuan, yang sulung seumuran kamu," ujar Bu Siska.

Anak perempuannya yang seumuranku pasti tidak sebobrok diriku yang sampai dikeluarkan dari sekolah. Mengetahui jika Bu Siska memiliki anak seumuran denganku, aku sedikit khawatir jika akan dibanding-bandingkan dengannya. Hal yang paling kutakuti, dibanding-bandingkan. Apalagi jika aku sudah jelas-jelas tidak sepadan dengan
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 40 (Fani)

    Aku menyelesaikan sisa magangku dengan cukup konsentrasi. Hari-hariku hanya magang, mengerjakan laporan, dan tidur. Tak ada lagi acara jalan-jalan untuk menunggu malam tiba. Tubuhku tak lagi kebal udara dingin. Aku beruntung karena Sahla tidak bertanya macam-macam kepadaku, kecuekannya sungguh menguntungkan.Hingga akhirnya magang berakhir dan menggoreskan rasa kangenku pada orang-orang di kantor, terutama Bu Delta, Bu Siska, dan Bu Retno. Aku masih penasaran dengan Bu Delta, Sang Perempuan misterius dengan wajah cantik jelita. Ia menyimpan banyak cerita hidupnya. Bisik-bisik dari Bu Retno, Ia adalah muallaf. Benarkah?Aku dan Sahla menaiki kereta yang sama dengan bangku berdekatan, sedangkan Hilal kembali ke kota tempat kami kuliah dengan sepeda motor. Hening menemani perjalanan kami, aku tidak menemukan topik yang pas untuk dibicarakan dengan Sahla sementara Ia memang tidak banyak berbicara.Monic yang lebih dulu tiba di pesantren, segera menjemputku dan Sahla. Seperti biasa Ia hebo

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-17
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 41 (Fani)

    Aku bangun di kasur UKS (Usaha Kesehatan Santri) dengan seorang petugas piket kesehatan berada di samping dipan. Tidak ada siapa-siapa selain petugas ini, Monic dan Sahla juga tidak ada. "Dek, makan dulu, ya. Mbak cariin makan di kantin. Biasanya makan apa?" Ucapnya."Nggak usah repot-repot, Mbak," jawabku."Pesannya Mbak Sabila kalau kamu sadar harus makan soalnya udah pucat banget wajahmu," ujarnya. Jika sudah berurusan dengan Mbak Sabila mau tidak mau aku harus mau."Ya udah, Mbak. Nasi sayur aja yang nggak pedas. Makasih banyak, Mbak," ucapku kemudian.Aku membiasakan diri untuk makan makanan yang tidak pedas, rasanya memang hambar tapi jauh lebih baik untuk perutku. Setelah menghabiskan nasiku, Monic dan Sahla masuk dengan menggendong tas masing-masing. Mereka selesai mengikuti kelas mengaji. "Sorry, Fan. Gue bongkar tas, Lu. Itu obatnya," ucap Sahla. "Nggak apa-apa, makasih, La," jawabku. Monic melihatku prihatin. Ia mengambil gelas dan mengisinya dengan air dispenser di sud

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-17
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 42 (Fani)

    Hari ini aku sengaja tidak menghindari Mas Alvian walaupun tidak juga mencarinya. Sudah pasti Ia tahu aku ke kampus untuk bimbingan."Aku ingin bicara," ujar Mas Alvian."Aku juga ingin bicara," tanggapku."Kamu dulu," ucapnya."Perempuan seperti apa yang dikehendaki Mas Alvian," aku langsung bertanya untuk mengawali pembicaraanku."Seperti kamu, sempurna," jawabnya sembari tersenyum. "Tapi sayangnya aku tidak sempurna seperti yang Mas Alvian kira," tanggapku. Aku tidak peduli dengan senyuman Mas Alvian dan bersikeras menuntunnya ke pembicaraan yang serius."Kamu cantik," ujarnya."Memang," tanggapku ketus. Aku selalu jengkel jika diberi label cantik oleh orang yang tidak kukehendaki."Cerdas, pintar bersosialisasi, punya semangat hidup," lanjutnya."Aku punya semangat hidup, tapi harapan hidupku tidak terjamin lama," sanggahku. Ini hampir tiba saatnya."Kenapa memangnya?" Tanyanya tidak memedulikanku."Aku mengidap GERD, Mas. Rawat jalan sejak dua bulan yang lalu," ucapku."Kamu ber

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-19
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 43 (Fani)

    Monic memiliki ide menemui Mas Alvian untuk bicara, tapi aku sudah tidak peduli padanya. Aku kira mungkin lebih baik jika perkara ini aku bicarakan dengan Ibu dan Ayahku. Karena yang membukakan pintu rumah untuk Mas Alvian adalah mereka. Mungkin Monic terlalu geram pada laki-laki yang telah memperlakukanku seperti itu. Bagaimanapun kerasnya kemauan Monic untuk berbicara dengan Mas Alvian, aku yakin usahanya tidak membuahkan hasil yang berarti. Mas Alvian terlalu bebal untuk menerima masukan orang lain."Saya nggak ada urusan sama kamu, meski kamu temannya Fani tetapi kamu tidak berhak mengatur-ngatur saya. Hubungan saya dengan Fani adalah urusan saya," semprotan Mas Alvian kepada Monic tak jauh beda dengan pedasnya ucapannya padaku."Bukan begitu, Mas. Kalau Mas Alvian memang laki-laki yang tanggung jawab, sebaiknya Mas Alvian temui kedua orangtuanya. Sampaikan secara terus terang mau dibatalkan atau diteruskan," ujar Monic. Suaranya cukup jelas terdengar olehku dari balik tembok.Sah

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-20
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 44 (Fani)

    Tempat pertama yang kami tuju setelah menaiki mobil adalah masjid, kami akan sholat 'ashar terlebih dahulu sebelum bersama-sama ke hotel. Monic dan Bu Delta berkenalan secara singkat di dalam mobil. Setelah sampai di masjid, aku dan Bu Delta memilih sholat terlebih dahulu karena Monic dan Sahla mabuk pesawat, mereka membeli air mineral dingin di minimarket sebelah masjid."Sebenarnya kamu sedang ada masalah apa, Falen? Sakitmu sudah terlalu parah?" Tanya Bu Delta setelah selesai sholat. Mungkin Bu Delta sengaja mengatur sholat kami bergantian agar Ia bisa berbicara empat mata denganku."Bukan, Bu. Sakit nggak membuat hari-hari saya terganggu, kok," jawabku."Lalu?" Ujarnya tidak puas dengan jawabanku."Saya mencintai seseorang yang menurut orang-orang adalah terlarang bagi saya, Bu," ucapku. "Terlarang karena apa? Hubungan darah, beda agama?" Tanyanya dengan suara lembut. Ia tampak peduli denganku."Karena Ia milik perempuan lain," jawabku lemas."Mereka sudah hidup bahagia," lanjut

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-25
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 45 (Fani)

    Kami mengobrol ngalor ngidul dan rencana kami untuk berkeliling mall seketika batal karena ternyata kami kelelahan setelah menempuh perjalanan udara. Monic yang awalnya takut kepada Bu Delta akhirnya juga berbicara dengan nyaman. Besok kami akan jalan-jalan ke wisata industri keramik dan kaca. Sorenya, kami akan mampir ke pantai dan menyaksikan matahari tenggelam. Rencana yang indah, obrolan kami membuat pikiranku bebas hingga akhirnya seseorang kulihat dari jarak yang cukup dekat."Putri, sudah malam. Mau pulang jam berapa?" Seru Pak Hikam dari jarak sekitar lima meter dari kami. Oh, ternyata Ia memanggil istri keduanya dengan panggilan 'Putri'. Anaknya yang jika kutebak masih umuran Sekolah Dasar menggandeng tangan Sang Ayah. Perempuan yang kutahu sebagai istri pertamanya memandang ke arah kami dengan pandangan tidak suka, aku bisa membaca itu."Mas Hikam mau pulang sama aku kan, Mas?" Ujar istri pertamanya lebih tepat disebut permintaan dari pada pertanyaan."Aku mau ngantar Fale

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-25
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 46 (Fani)

    Pagi-pagi sekali sebelum shubuh, Ibu menelpon. Suasana hatiku sedang tidak baik karena semalam aku bermimpi tentang Hilal dan Mas Alvian. Mereka saling membunuh di depanku sementara aku sekarat karena sesak nafasku kambuh, perutku juga bocor dan mengucurkan banyak darah. Benar-benar mimpi buruk di malam liburanku."Hallo, Bu," gumamku sambil mengumpulkan nyawa."Hallo, Nak. Waktu PPL kemarin kenapa kamu nggak pernah mampir rumah?" Ujar Ibu langsung melempar pertanyaan. "Untuk apa, untuk menengok orangtua yang tidak peduli dengan anaknya?" Tanggapku cepat."Apa salah Ibu, Fan?" Ibu terdengar meninggikan suaranya."Salah Ibu? Ibu selalu benar. Bahkan untuk menerima lamaran orang yang tidak kukenal," andai orangtuaku tidak tergesa-gesa mungkin jalan hidupku kini sudah berbeda. "Bagaimana bisa kamu bilang nggak kenal? Dia bisa menceritakan kamu dengan baik, dia tahu segalanya tentang kamu," Ibu ngotot dengan prasangkanya."Mas Alvian bisa tahu segalanya tentang aku tanpa harus mengenalk

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-26
  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 47 (Fani)

    Hari ini aku pergi ke Rumah Sakit untuk memeriksa kondisiku, aku pergi sendiri karena tak mau merepotkan orang lain, lagi pula ini kepentingan pribadiku. Aku harus menyisihkan uang saku sebanyak-banyaknya untuk biaya rawat jalanku. Untung saja, perusahaan tempatku magang memberi kami gaji walaupun hanya setengahnya dari gaji karyawan terendah. Penyakitku semakin parah, kata dokter ini masa-masa bahaya. Aku ditanya-tanya apakah aku melakukan aktivitas yang berat dan terlalu berpikir keras. Kusangkal semua pertanyaan dokter, aku sedang tidak memikirkan apapun selain skripsi. Itu cukup meyakinkan dokter hingga aku tidak perlu membeberkan kegilaanku pada Mas Rizki dan rasa geramku pada Mas Alvian.Dalam perjalanan pulang dari Rumah Sakit, aku melihat parade yang sedang berlatih memainkan saksofon dan bermacam-macam terompet lainnya. Lalu, apa kabar diriku yang mengambil nafas saja sering tersengal-sengal? Aku menyesali hal ini. Sekarang, aku kesulitan bernafas. Bagi orang lain mungkin be

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-27

Bab terbaru

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 100 (Rizki) TAMAT

    "Masya Alloh, di sini kelihatannya terik banget dan gersang tetapi tetap adem," gumam Rizki. "Kuasa Alloh, Pak. Tumbuh-tumbuhan juga tetap subur di sini," tanggap Ustadzah Muniroh. Mereka terus berjalan menyusuri jalanan Kota Tarim yang kanan kirinya sudah penuh dengan bangunan bertingkat. Gedung-gedung tersebut mayoritas adalah tempat tinggal penduduk dan tempat menuntut ilmu. Masjid-masjid tersebar sangat banyak di penjuru kota, tetapi selalu ramai oleh jamaah. "Walaupun ada pasar dan tempat-tempat belanja tapi nggak ada yang ngiklan pakai joget-joget dan nyanyi-nyanyi. Tapi tetap laku, kenapa ya, Ustadzah?""Ya, itu 'kan budaya kita. Tapi Pak Rizki 'kan tahu kalau di Tarim hampir semua orang ahli ibadah dan sangat taat. Mereka selalu menghindari hal yang makruh, apalagi haram. Musik di sini hukumnya makruh, Pak," ucap Ustadzah Muniroh. "Oh iya ya." Rizki takjub dan bersyukur bisa menemukan tempat seperti ini, suasananya sangat berbeda dengan kehidupan pribadinya. Sejenak, ia me

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 99 (Febi)

    Suara deru truk terdengar dari pintu gerbang samping, beberapa pegawai yang bertugas di gudang keluar termasuk Febi. Saat truk itu berhenti di depan pintu gudang, betapa terkejutnya Febi karena sang sopir ternyata adalah Hilal. Ia memang tahu bahwa lelaki itu kini bekerja di perusahaan milik Pak Rizki, tetapi mengapa harus lelaki itu yang mengantar barang sekarang?Para lelaki pengangkut barang membongkar setelah Hilal melakukan konfirmasi ke supervisor. Saat barang-barang itu dibongkar, Febi tak bisa mengelak lelaki itu mendekatinya. "Selamat ya, samawa," ucap Hilal padanya singkat."Hah?" Febi mengerutkan dahi, yang baru saja menjadi pengantin adalah Pak Rizki dan Ustadzah Muniroh. Namun, Hilal tiba-tiba mengucapkan selamat dengan setengah hati padanya. "Harus banget ya, gue tahu dari orang lain? Dari medsos pula," ucap Hilal. Seketika Febi baru ingat bahwa Mas Alvian memang meng-upload foto-foto pre-weddingnya. Hilal pasti sudah tahu karena kemungkinan besar lelaki itu selalu me

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 98 (Hikam)

    Hikam mengembuskan napas, ia memijit pelipisnya. Ia ingin sekali saja memiliki hidup yang damai seperti dulu. Namun, kini ia sudah merasakan sendiri bahwa berpoligami tidak lah seperti di dalam dongeng. Masalah demi masalah datang saling bergantian seperti tidak akan ada habisnya. Hikam menyambar kunci mobil dan bergegas memanaskan mesinnya, ia akan menjemput istri keduanya di rumah mertuanya. Berkat banyaknya teman yang ia kenal, ia bisa tahu bahwa mobil Putri terdeteksi melewati sebuah jalan tol menuju kota kelahirannya. "Hallo, Put. Assalamu'alaikum," sapa Hikam sembari menyetir mobilnya setelah mencoba menelpon berkali-kali. "Wa'alaikumsalam," jawab Putri tanpa sepatah kata pun setelahnya."Kabarin Mama ya, aku mau datang." Hikam langsung to the point mengabarkan perjalannya. Tak ada jawaban dari Putri, mungkin wanita itu terkejut. "Mas Hikam lagi ke sini? Aku juga lagi di jalan, Mas. Ini lagi balik," ucap Putri membuat Hikam sontak mengerutkan dahinya. "Lho, lagi di jalan ju

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 97 (Salis)

    Akad nikah di rumah orangtua Muniroh berlangsung lancar, Salis dapat melihat jelas wajah-wajah sumringah keluarga teman dekatnya. Abah dan Ummi juga tidak henti-hentinya mengucapkan syukur karena akhirnya putra mereka menemukan sandaran hatinya kembali."Mohon maaf, Bapak Ibu. Yang masuk mobil hanya pengantin dan pendamping, nggih. Kita sudah ada bus yang juga nyaman yang bisa bawa Bapak Ibu sekalian," ucap Hikam dengan ramah saat mereka akan berangkat acara unduh menantu. Para kerabat dan tetangga yang tadinya berebut ingin masuk mobil pun menyahut mengerti."Pakai motor sendiri juga boleh kalau khawatir mabuk kendaraan," sambung paman Muniroh membantu Hikam menertibkan para pengiring pengantin.Ballroom telah disulap demi menyambut sepasang pengantin baru, ribuan tangkai bunga menghiasi ruangan dan menambah semerbak wangi. Musik gambus ala padang pasir beralun merdu saat Ustadzah Muniroh dan Rizki berjalan bergandengan menuju panggung pelaminan. Salis tersenyum haru, Ustadzah Munir

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 96 (Putri)

    Air mata tak bisa dibendung sepanjang perjalanan, Putri telah memutuskan untuk meninggalkan kota tempat tinggal yang membesarkan namanya. Di sampingnya, Fadhil tertidur pulas sehingga ia bisa menyetir tanpa terganggu. Dalam hati kecilnya, ia sangat berharap keluarga orangtuanya masih sudi menerimanya kembali. Pertengkarannya dengan Mas Hikam maupun dengan madunya sangat membuat perasaan Putri seperti teriris-iris. Ia merasa di dunia ini tak ada yang sudi melindunginya. Sampai saat ini, Hikam pun belum menghubunginya sama sekali. Ia tahu bahwa lelaki itu memiliki kesibukan dan juga keruwetan hidup yang tidak banyak diketahui orang lain. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki itu telah mengabaikan dirinya."Sudah sampai mana, Ketvira?" Suara ibunya di seberang telepon."Sebentar lagi sampai, Ma," sahut Putri. "Oke, Mama masih masak-masak. Kamu nggak usah beli makan di jalan, nanti makan di rumah saja.""Oke, Ma."Putr

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 95 (Hikam)

    "Riz, jangan lupa Ustadzah Muniroh-nya juga disiapkan." Hikam menepuk pundak Rizki saat mereka bersama-sama memantau persiapan pesta resepsi di sebuah ballroom. "Beres, Mas. Baju untuk akad sama tukang makeup sudah kuantar," jawab Rizki mengacungkan jempolnya."Akomodasi keluarganya untuk ke sini sudah?" tanya Hikam."Oh, belum. PO yang fast respon ada nggak, Mas?" Rizki pun panik, ia benar-benar lupa mengurus perjalanan keluarga calon istrinya. "Ada, ini kartunya. Lumayan mahal ongkosnya tapi ...." Hikam mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet. "Tidak apa-apa, yang penting bisa dipakai langsung," sahut Rizki. Salah satu ballroom di sebuah hotel ternama, tengah disulap sedemikian rupa untuk menjadi saksi pernikahan Rizki. Kursi-kursi tamu undangan disiapkan mengitari meja bundar berukuran besar. Panggung pelaminan didekor dengan bunga-bunga beraneka warna. Sound system dipastikan siap digunakan.Dalam hati yang paling dalam, Hikam senang karena akhirnya Rizki menemukan pengga

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 94 (Muniroh)

    Rumah orangtua Muniroh di kampung penuh dengan tamu-tamu, baik dari kalangan kerabat maupun tetangga. Meskipun tidak mewah, keluarga Muniroh mengadakan acara selamatan. Di dapur, ibu-ibu bekerja sama memasak. Para lelaki tengah memasang tenda di halaman rumah. Acara selamatan akan diadakan sore nanti. "Bu, cabainya jangan kebanyakan.""Oke. Perlu pakai tambahin toge nggak?""Boleh, tambahi garam juga."Suasana dapur cukup ramai ketika Muniroh baru masuk untuk menyeduh air teh. "Ssst. Perempuan kok nikah tiga kali, kagak umum." Tiba-tiba terdengar bisik-bisik dari orang yang mungkin tidak menyadari kehadiran Muniroh di sekitar mereka."Iya, tapi gimana lagi. Namanya juga nasib," sahut ibu-ibu yang tak jauh dari ibu tadi. "Kalau gue mah, mending nggak usah nikah-nikahan lagi. Malu.""Lakinya kaya mungkin.""Mungkin ya."Muniroh pura-pura tidak mendengar pembicaraan barusan, ia sudah biasa mend

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 93 (Febi)

    Mas Alfian menjemput menggunakan motor seperti biasa, tetapi kali ini lelaki itu tidak membawanya ke kantor untuk berangkat kerja bersama-sama, melainkan menuju sebuah butik ternama yang menyediakan aneka gaun pengantin. "Ini butik pilihan ayah," ujar Febi setibanya di tempat parkir."Besar juga, ayahmu lumayan pandai memilih," tanggap Mas Alfian menghargai pilihan calon mertuanya."Dulu almarhumah ibuku juga fitting di sini, kata ayah," ucap Febi.Mereka pun disamput oleh pegawai butik yang sudah meluangkan kesempatan untuk Febi setelah Febi membuat janji sejak dua hari yang lalu. Berbagai model gaun pengantin dipajang di dalam etalase."Mau pilih yang mana?" tanya Mas Alfian. Ia sendiri juga ikut bingung karena di matanya semuanya bagus. "Pilih gaun untuk pengantin muslim tentunya," jawab Febi."Oh, kalau khusus untuk yang bisa berhijab di sebelah sini, Mbak. Nanti kita bisa pilih model hijabnya juga," ujar pegawai t

  • Bukan Indahnya Berbagi   Bab 92 (Salis)

    Acara Fashion of the City yang merupakan ajang kontes kecantikan sekaligus peluncuran brand baru di sebuah mall, berlangsung sangat ramai. Salis bersama ibu-ibu muda lainnya datang beramai-ramai karena banyak diskon. Tak lupa Ia menggandeng Aghni."Mbak Salis." Salah satu temannya mengedipkan satu mata sembari melirik ke samping.Tak jauh dari rombongannya berada, ada wanita yang paling Salis hindari. Wanita itu datang seorang diri dan nampak tengah bersalaman dengan seseorang dari perwakilan brand. "Bukannya itu Mbak Putri?" bisik teman lainnya."Iya, ssst. Diam saja," balas Salis berbisik dengan lebih pelan."Gayanya, emang dia kenal sama pemilik brand ya?" Teman-teman Salis mulai mencibir, mengobarkan api di benak Salis. Mungkin saja Putri memang kenal karena wanita itu adalah seorang pengusaha ternama."Pelakor kok nggak punya malu. Ayo kita samperin saja, kita lihat nyalinya samapi mana." Salah satu teman Salis menghentakka

DMCA.com Protection Status