Suara bariton yang cukup berat itu bukan hanya membuat jantung Arunika berdegup kencang, tetapi juga mengingatkan wanita muda itu pada malam terkutuk yang pernah terjadi di sebuah kamar hotel yang ada di Lokapala.
Suara berat nan serak.
Napas bau alkohol bercampur dengan wanginya parfum beraroma kayu hangat, serta sentuhan tangan dan lidah yang menjijikkan. Yang ingin Arunika hapus seumur hidup membuat sekujur tubuhnya meremang seketika.
Napas Arunika mulai tersengal.
Dadanya terasa sakit naik turun, sementara bintik-bintik peluh mulai menghiasi kening dan punggungnya. Kedua tangannya yang saat itu sedang menggendong bayi Radeva yang sudah terlelap mendadak lunglai.
Ups …!
Bayi mungil itu terlepas begitu saja dari gendongan Arunika, meluncur deras ke bawah.
Sedikit lagi ....
Sebelum kerasnya keramik menyapa kepala dan pemilik tubuh mungil itu, tahu-tahu datanglah sepasang tangan yang terbungkus oleh sarung tangan latex berwarna putih. Kesepuluh jari tangan itu bergerak cepat menangkap bayi Radeva.
“Apa kau ingin membunuh anakku?!” Pria itu mendesis penuh kemarahan.
Suara desisan yang tertahan serta gendongan tangannya yang mulai terasa ringan, membuat Arunika tersadar bahwa bayi yang disusuinya itu telah berpindah. Dari raut wajahnya yang oval pucat, dia menangkap kehadiran sosok seorang pria dengan tulang rahangnya yang tegas. Jakun maskulin itu menonjol menghiasi batang lehernya yang kokoh.
Tubuh pria itu tinggi.
Jauh lebih tinggi dari Arunika.
Sepuluh ….
Tidak, mungkin dua puluh senti lebih tinggi, karena Arunika terpaksa mengangkat wajahnya hanya untuk mendapat tatapan balasan dari si pemilik netra gelap. Segelap warna alisnya yang lebih mirip seperti sepasang pedang samurai milik pendekar Jepang.
Pundak pria itu tidak setipis milik Akash, mantan suaminya, melainkan lebih tebal. Lebih berisi dan penuh dengan gelombang otot yang tak mampu pria itu sembunyikan dari balutan kaos polo lengan pendeknya.
“ARUNIKA?! Apa yang kamu lakukan di kamar ini?”
Dokter Darma tiba-tiba masuk ke dalam kamar bersama dengan seorang wanita cantik berambut panjang coklat tergerai. Mereka lalu berdiri di antara Arunika dan pria itu.
“Sudah kukatakan, kamu itu jangan pergi ke mana-mana sampai aku kembali. Cepat minta maaf sama Tuan Kaivan!” pinta Dokter Darma.
Mulut Arunika membulat seketika. Tak satu pun kata maaf yang meluncur dari ujung bibirnya, karena sepemahaman dirinya yang sering mendengar berita selebritis yang diembuskan oleh pedagang dan pembeli di Pasar Kliwon, suami dari artis Katrina Cantika itu bernama Kaivan Ararya Prama. Mereka menikah tiga tahun lalu dan baru pada tahun ini, mereka mendapatkan momongan.
Dan pria itu bukan seorang pemabuk, pejudi, apalagi penjahat!
Kaivan Ararya Prama adalah Presiden Direktur Group Prama!
Dia usianya yang mencapai 35 tahun, Kaivan Ararya Prama sukses mengembangkan perusahaan keluarganya menjadi perusahaan multinasional terbesar di Negara Perairan Narwastu. Perusaahaan itu memiliki banyak cabang dan jutaan karyawaan di mana-mana.
Tanpa sadar Arunika menatap Kaivan, lalu menggeleng lemah. "Nggak ... nggak mungkin dia orangnya," gumamnya pelan.
"Apanya yang tidak mungkin?! Aku cuma menyuruhmu minta maaf!" Dokter Darma yang sempat mendengar gumaman Arunika mulai kesal. Dia cukup malu dengan tingkah laku mantan pasiennya itu.
Arunika bukanlah orang yang tidak mau mengakui kesalahannya. Memang malam ini dia telah berbuat kesalahan, karena telah lancang menyusui bayi Radeva, tetapi juga menganggap kalau suami dari artis Katrina Cantika adalah pria biadab yang telah merusak kehormatannya.
Detik itu juga, sang ahli akupuntur yang menyamar menjadi seorang penjual jamu itu langsung mengulurkan tangannya di hadapan Kaivan.
“Tuan, maaf—"
"Jadi Dokter yang membawa wanita kumuh ini ke rumah?!" potong Kaivan, yang tidak memberi kesempatan Arunika berbicara.
Dokter Darma mengangguk. "Maaf, Tuan Kaivan. Aku belum memberitahu Anda."
“Jangan salahkan Dokter Darma. Semua ini atas permintaanku," sahut wanita cantik yang berdiri di samping Dokter Darma, yang tak lain adalah Katrina Cantika.
Arunika menatap Katrina dengan penuh rasa kagum. Selama ini dia hanya mampu melihat wajah Katrina melalui sobekan kertas koran yang digunakannya untuk membungkus tanaman-tanaman herbal atau sesekali mendengar suara aktingnya di sinetron-sinetron yang ditonton oleh mantan ibu mertuanya, Nalini Buana.
Tapi malam ini ....
Dengan bantuan Dokter Darma, Arunika bisa bertemu langsung dengan idola kesayangannya dari jarak yang sangat dekat. Tanpa dia perlu mengantri, apalagi berdesak-desakan dengan orang lain.
Ternyata benar.
Kecantikan artis ternama serta model papan atas itu bukan sekadar isapan jempol belaka. Tubuh Katrina Cantika memang benar-benar langsing menjuntai meski baru saja melahirkan. Berdiri di atas sepasang sepatu pantofel bertumit yang tingginya lebih dari tujuh sentimeter. Ujung kepala Arunika saja, hanya sampai leher wanita itu.
"Atas permintaanmu?" Tatapan Kaivan langsung menyipit begitu mendengar perkataan istrinya. "Untuk apa?"
Katrina mengayunkan langkah untuk mengambil bayi Radeva dari gendongan Kaivan. Sambil memindahkan bayinya itu ke dalam boks kayu, dia pun berkata, "Karena aku ingin mempekerjakan seorang ibu susu. Kau tahu sendiri'kan, Sayang ...."
“Meskipun aku sudah banyak minum vitamin dan rutin mengikuti terapi laktasi seperti yang kau minta, tapi tetap saja ASI ku itu kering sampai sekarang. Aku dan Radeva tidak bisa menunggu lebih lama. Tiga hari lagi aku harus kembali syuting. Lima hari lagi, aku ada acara pemotretan di puncak.”
Telapak tangan Kaivan yang terbungkus sarung tangan latex itu langsung mengepal setelah mendengar alasan Katrina.
“Sedangkan Radeva masih tetap rewel meskipun sudah diberi susu formula oleh pelayan. Ayolah, Sayang .... Kau tidak ingin’kan berat badan anak kita itu menurun hanya karena dia kurang makan dan minum? Kau juga tidak ingin’kan dia menangis kelaparan setiap malam dan mengganggu waktu tidurmu?” bujuk Katrina.
“OKE! Jika itu alasannya!” tegas Kaivan. “Tapi kenapa harus wanita ini?” Telunjuknya langsung menuding Arunika. “KALIAN LIHAT PENAMPILANNYA!"
Tiga pasang mata yang ada dalam kamar langsung menatap penampilan Arunika, termasuk wanita muda itu. Dia juga menjatuhkan pandangannya ke bawah. Mengamati dirinya.
"Rambutnya saja acak-acakan dan basah! Seperti seekor tikus yang baru saja masuk ke dalam sekolan. Pakaiannya? Apa pantas dia mengenakan kain jarik yang sudah compang camping untuk pergi melamar pekerjaan, hah?! Apalagi alas kakinya … ckckckck …!”
Dan olala …!
Katrina spontan menutup mulutnya ketika mendapati lantai kamar putranya dihiasi oleh jejak-jejak alas kaki berlumpur yang mengarah ke tempat Arunika.
"Kamu telah berbuat kesalahan fatal, Aru." Dokter Darma menggeleng.
“SUDAH PASTI! Karena aku tidak akan menolerir kehadiran orang asing di rumahku, apalagi orang itu adalah seorang wanita kumuh! Yang PASTI membawa KUMAN PENYAKIT, VIRUS, DAN BAKTERI di rumah ini!” seru Kaivan, yang langsung menyemprot cairan antiseptik ke sekujur tubuh Arunika.
SROOOOTTT! SROOTT! SROOOTTTT!
“CUKUP, TUAN!”
Seruan Arunika itu bukan hanya membuat Kaivan menghentikan aksi bersih-bersihnya, tetapi juga mengejutkan semua orang yang ada di dalam kamar termasuk bayi Radeva yang menangis ketakutan.
OEK …! OEK …! OEK …!
"BERANINYA KAU MEMBUAT ANAKKU MENANGIS!" geram Kaivan, yang langsung bergerak menuju boks bayi untuk menenangkan tangisan Radeva, tetapi malah disusul oleh Arunika.
“Bukan aku yang buat bayi ini nangis, tapi suara teriakan Anda, Tuan. Kuakui, kalau aku memang melakukan banyak kesalahan. Kalau Tuan nggak mau terima aku, nggak masalah. Tapi jangan pernah nganggap aku sebagai WANITA PENYAKITAN!” seru Arunika.
“Selama ini aku sehat! Aku nggak punya riwayat penyakit apapun, apalagi pembawa virus kayak yang Tuan bilang! Kalau kalian nggak percaya—” Arunika menatap semua orang yang ada dalam kamar. “Kalian bisa lakuin tes kesehatan padaku!”
Semua orang terdiam begitu juga dengan bayi Radeva yang menatap Arunika dari balik gendongan Kaivan.
“Seperti yang kau mau." Kaivan mendesis nenatap tajam Arunika. "Besok kita akan melakukannya!"
“Aru! Aru! ARUUUU!”Nalini berteriak nyaring ketika tak mendapati satu hidangan pun tersedia di atas meja makan. Wajah bulat wanita paruh baya itu kian meradang begitu tangannya membuka wadah penanak nasi.KOSONG!“Gimana toh perempuan itu!? Malasnya nggak ketulungan! Masa udah jam tujuh pagi belum juga nyiapin sarapan buat Akash!”Akash yang baru saja keluar kamar sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah lantas bertanya. “Memangnya siapa yang Ibu marahi pagi ini?”“Ya, tentu saja istrimu yang kampungan dan pemalas itu! Masa jam segini belum juga masak?! Kamu cepat bangunin atau mau wajah istrimu itu Ibu lempar pakai sandal?”“Istri?” Akash menautkan kedua alisnya yang berbentuk garis lurus.Lalu dikeluarkannya suara tawanya yang ringan, seiring dengan tangan kanannya yang mulai mengisi dua buah cangkir kosong dengan bubuk kopi.“Ibu ini kenapa?” tanyanya bersamaan dengan bunyi seduhan air panas yang keluar dari bibir termos. “Udah mulai pikun atau gimana? Baru juga semalam Arun
Permintaan telah diungkap.Janji pun usai terucap.Tak ada kata mundur untuk mengelak, apalagi mengingkarinya.Sepuluh jam yang lalu atas izin dari Katrina Cantika, Arunika mendapat tempat bermalam di rumah itu. Bukan sebuah kamar tamu dengan selimut dan kain sepreinya yang harum, melainkan sebuah ruangan kecil yang pengap dan juga lembab. Penuh dengan aroma jamur dan jaring laba-laba di keempat sudut dindingnya. Tak apa, pikir Arunika malam itu.Dengan berbekal lampu teplok berisi minyak tanah, Arunika masih sanggup untuk membersihkan ruangan yang lebih mirip seperti sebuah gudang yang letaknya di belakang bangunan utama."Sebelum kamu tidur, mandi dulu sana! Terus ganti pakaianmu sama ini.” Seorang kepala pelayan Keluarga Prama bernama Nami memberikan sesuatu kepada Arunika. “Nggak pantas kamu itu tinggal di rumah ini dengan kain jarik seperti itu.”“Aku tau, Bi.” Arunika menunduk. “Tapi cuma jarik ini yang kupunya,” ucapnya kemudian mengambil selembar handuk dan pakaian yang terli
Namanya Arunika Hana.Sehari-hari dia menjual racikan tanaman herbalnya di Pasar Kliwon. Bukan pertama kalinya, dia mengantar pesanan pelanggannya di berbagai tempat. Malam ini, tiba-tiba saja seorang pelanggannya yang berasal dari luar kota meminta Arunika untuk datang ke salah satu hotel bintang lima di kota itu. ‘Aku harus cepat! Nyonya Bagaspati nggak suka nunggu. Terlambat dikit saja, bisa-bisa wanita itu nggak mau bayar pesanan jamunya.’Arunika bergegas sambil menenteng keranjang plastik berisi tiga botol jamu pesanan Nyonya Bagaspati. Upayanya untuk masuk ke dalam hotel langsung dicegah oleh dua orang petugas keamanan yang sedari tadi memperhatikan penampilannya.“Kamu tau ini tempat apa?!”“Ya, tau lah, Pak. Ini’kan Hotel Lokapala.”“Kalau tau, ngapain ke sini bawa sepeda onthel dan pakai sandal jepit?!”“Kan’nggak punya mobil, Pak. Kalau punya, pasti udah kubawa semua kemari … sama sepatuku sekalian. Selusin buat Bapak.”“Eh, anak ini benar-benar ya! Nggak ada sopan santu
PRAANGG …!Nalini Buana tergopoh-gopoh ketika mendengar suara yang mirip seperti barang pecah. Wanita berusia 58 tahun itu bergegas menuju dapur—tempat di mana suara tersebut berasal.Lima menit yang lalu. Nalini sempat memberitahu Arunika untuk mencuci beberapa peralatan makan yang baru saja dibelinya di salah satu pusat perbelanjaan. Lima set peralatan makan edisi khusus dari merek ternama. Terbuat dari keramik. Sangat cantik dan menarik.Perasaan Nalini was-was. Jangan-jangan ….Wajah bulat wanita itu langsung meradang begitu menyaksikan Arunika berjongkok memunguti koleksi piring barunya yang remuk redam. Untuk melampiaskan kekesalannya itu, dia pun berteriak lantang.“DASAR MANTU NGGAK GUNA! Ditinggal bentar aja, udah mecahin piring selusin!”“Maaf, Bu. Tadi mendadak perutku kram. Kerasa kaku gitu. Nggak enak. Waktu ingin sandaran, aku nggak sengaja—” “HALAH! Alasan aja kamu!”“Beneran, Bu. Aku nggak bohong ….”“Hei, Aru! Ibu dulu itu juga pernah hamil, tapi nggak malas kayak k
“Kami turut berduka atas meninggalnya putra Anda, Nyonya.”Proses persalinan Arunika memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Begitu terjaga, tahu-tahu dokter kandungan yang selama ini merawat kehamilannya berkata seperti itu.Lelucon macam apa ini? Dia sungguh tidak percaya!“Itu nggak mungkin ….” Arunika menggeleng. “Dokter pasti salah!”“Itu bukan bayiku. Anakku sehat … aku baru aja lahirin dia. Aku ingin menyusuinya.”“Dia pasti haus’kan, Dok? Karena udah berjam-jam dia belum minum ASI ku.”Bibir coklat Dokter Darma terkatup. Bola mata kecil itu bergerak-gerak menatap wajah pucat pasiennya dari balik kacamatanya yang minus.“Nyonya Arunika Hana,” panggil seseorang.Arunika menoleh ke arah pintu. Sepasang netra hitam itu mendapati kehadiran seorang perawat yang baru saja memasuki kamarnya. Ada sesuatu terbungkus dengan kain putih berada dalam gendongan. Arunika terus memperhatikan gerak-gerik perawat tersebut. Hingga akhirnya sang perawat berdiri di samping ranjangnya, lalu berka
“Kau masih ingat aku rupanya. Padahal sudah lama lho kita nggak jumpa.” Minara melebarkan kedua sudut bibirnya yang dipoles dengan lipstick merah bata. “Delapan tahun. Kita masih pakai seragam putih abu-abu waktu itu.”Minara Jayashree, itulah nama lengkap wanita yang berdiri di samping Akash. Arunika mengenal Minara saat keduanya sama-sama berusia 12 tahun. Dulu, almarhumah ibunya yang bernama Daniah bekerja sebagai buruh cuci di beberapa rumah keluarga kaya, salah satunya adalah Keluarga Jayashree. Daniah selalu mengambil kumpulan baju kotor milik mereka, mencucinya, lalu mengembalikannya dua hari kemudian.Sekali-kali Arunika ikut membantu ibunya mengunjungi rumah besar itu. Dari situlah Arunika dan Minara bertemu. Mereka saling berkenalan, hingga akhirnya menjalin persahabatan semasa sekolah.Minara dulunya adalah seorang gadis kaya yang pemurung dan tidak suka berdandan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung Arunika yang selalu membela dan melindunginya dari perbuatan buruk ge
Mereka yang gerah setelah mendengar perkataan Arunika itu sontak mengamuk. Bukan hanya melucuti pakaiannya, tetapi orang-orang itu juga membuang serta membakar semua isi tas kopernya.Mereka juga merampas mahar pernikahan yang seharusnya menjadi hak Arunika, begitu Akash menikahinya secara sah.Tapi semua itu tak masalah!Arunika lebih memilih membawa pergi seperangkat jarum emas peninggalan Nenek Usada. Kumpulan barang yang dianggap rongsokan di mata orang yang tak mengerti, tapi bagi Arunika lebih dari setengah nyawanya berada di sana. ‘Ingat, Aru … simpan dan gunakan jarum emas ini untuk menolong orang lain. Kamu harus menjaganya baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat.’Itulah pesan terakhir yang ditulis Nenek Usada dalam sepucuk surat.Dan malam ini ….Ketika hujan deras mengguyur Kapulaga, Arunika kambali berjalan seorang diri. Tubuh yang hampir setengah telanjang itu dibalut dengan selembar kain jarik pemberian tetangga.‘Dunia ini memang kejam, nduk. Nggak ada ya
Permintaan telah diungkap.Janji pun usai terucap.Tak ada kata mundur untuk mengelak, apalagi mengingkarinya.Sepuluh jam yang lalu atas izin dari Katrina Cantika, Arunika mendapat tempat bermalam di rumah itu. Bukan sebuah kamar tamu dengan selimut dan kain sepreinya yang harum, melainkan sebuah ruangan kecil yang pengap dan juga lembab. Penuh dengan aroma jamur dan jaring laba-laba di keempat sudut dindingnya. Tak apa, pikir Arunika malam itu.Dengan berbekal lampu teplok berisi minyak tanah, Arunika masih sanggup untuk membersihkan ruangan yang lebih mirip seperti sebuah gudang yang letaknya di belakang bangunan utama."Sebelum kamu tidur, mandi dulu sana! Terus ganti pakaianmu sama ini.” Seorang kepala pelayan Keluarga Prama bernama Nami memberikan sesuatu kepada Arunika. “Nggak pantas kamu itu tinggal di rumah ini dengan kain jarik seperti itu.”“Aku tau, Bi.” Arunika menunduk. “Tapi cuma jarik ini yang kupunya,” ucapnya kemudian mengambil selembar handuk dan pakaian yang terli
“Aru! Aru! ARUUUU!”Nalini berteriak nyaring ketika tak mendapati satu hidangan pun tersedia di atas meja makan. Wajah bulat wanita paruh baya itu kian meradang begitu tangannya membuka wadah penanak nasi.KOSONG!“Gimana toh perempuan itu!? Malasnya nggak ketulungan! Masa udah jam tujuh pagi belum juga nyiapin sarapan buat Akash!”Akash yang baru saja keluar kamar sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah lantas bertanya. “Memangnya siapa yang Ibu marahi pagi ini?”“Ya, tentu saja istrimu yang kampungan dan pemalas itu! Masa jam segini belum juga masak?! Kamu cepat bangunin atau mau wajah istrimu itu Ibu lempar pakai sandal?”“Istri?” Akash menautkan kedua alisnya yang berbentuk garis lurus.Lalu dikeluarkannya suara tawanya yang ringan, seiring dengan tangan kanannya yang mulai mengisi dua buah cangkir kosong dengan bubuk kopi.“Ibu ini kenapa?” tanyanya bersamaan dengan bunyi seduhan air panas yang keluar dari bibir termos. “Udah mulai pikun atau gimana? Baru juga semalam Arun
Suara bariton yang cukup berat itu bukan hanya membuat jantung Arunika berdegup kencang, tetapi juga mengingatkan wanita muda itu pada malam terkutuk yang pernah terjadi di sebuah kamar hotel yang ada di Lokapala.Suara berat nan serak.Napas bau alkohol bercampur dengan wanginya parfum beraroma kayu hangat, serta sentuhan tangan dan lidah yang menjijikkan. Yang ingin Arunika hapus seumur hidup membuat sekujur tubuhnya meremang seketika.Napas Arunika mulai tersengal.Dadanya terasa sakit naik turun, sementara bintik-bintik peluh mulai menghiasi kening dan punggungnya. Kedua tangannya yang saat itu sedang menggendong bayi Radeva yang sudah terlelap mendadak lunglai.Ups …!Bayi mungil itu terlepas begitu saja dari gendongan Arunika, meluncur deras ke bawah.Sedikit lagi ....Sebelum kerasnya keramik menyapa kepala dan pemilik tubuh mungil itu, tahu-tahu datanglah sepasang tangan yang terbungkus oleh sarung tangan latex berwarna putih. Kesepuluh jari tangan itu bergerak cepat menangkap
Mereka yang gerah setelah mendengar perkataan Arunika itu sontak mengamuk. Bukan hanya melucuti pakaiannya, tetapi orang-orang itu juga membuang serta membakar semua isi tas kopernya.Mereka juga merampas mahar pernikahan yang seharusnya menjadi hak Arunika, begitu Akash menikahinya secara sah.Tapi semua itu tak masalah!Arunika lebih memilih membawa pergi seperangkat jarum emas peninggalan Nenek Usada. Kumpulan barang yang dianggap rongsokan di mata orang yang tak mengerti, tapi bagi Arunika lebih dari setengah nyawanya berada di sana. ‘Ingat, Aru … simpan dan gunakan jarum emas ini untuk menolong orang lain. Kamu harus menjaganya baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat.’Itulah pesan terakhir yang ditulis Nenek Usada dalam sepucuk surat.Dan malam ini ….Ketika hujan deras mengguyur Kapulaga, Arunika kambali berjalan seorang diri. Tubuh yang hampir setengah telanjang itu dibalut dengan selembar kain jarik pemberian tetangga.‘Dunia ini memang kejam, nduk. Nggak ada ya
“Kau masih ingat aku rupanya. Padahal sudah lama lho kita nggak jumpa.” Minara melebarkan kedua sudut bibirnya yang dipoles dengan lipstick merah bata. “Delapan tahun. Kita masih pakai seragam putih abu-abu waktu itu.”Minara Jayashree, itulah nama lengkap wanita yang berdiri di samping Akash. Arunika mengenal Minara saat keduanya sama-sama berusia 12 tahun. Dulu, almarhumah ibunya yang bernama Daniah bekerja sebagai buruh cuci di beberapa rumah keluarga kaya, salah satunya adalah Keluarga Jayashree. Daniah selalu mengambil kumpulan baju kotor milik mereka, mencucinya, lalu mengembalikannya dua hari kemudian.Sekali-kali Arunika ikut membantu ibunya mengunjungi rumah besar itu. Dari situlah Arunika dan Minara bertemu. Mereka saling berkenalan, hingga akhirnya menjalin persahabatan semasa sekolah.Minara dulunya adalah seorang gadis kaya yang pemurung dan tidak suka berdandan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung Arunika yang selalu membela dan melindunginya dari perbuatan buruk ge
“Kami turut berduka atas meninggalnya putra Anda, Nyonya.”Proses persalinan Arunika memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Begitu terjaga, tahu-tahu dokter kandungan yang selama ini merawat kehamilannya berkata seperti itu.Lelucon macam apa ini? Dia sungguh tidak percaya!“Itu nggak mungkin ….” Arunika menggeleng. “Dokter pasti salah!”“Itu bukan bayiku. Anakku sehat … aku baru aja lahirin dia. Aku ingin menyusuinya.”“Dia pasti haus’kan, Dok? Karena udah berjam-jam dia belum minum ASI ku.”Bibir coklat Dokter Darma terkatup. Bola mata kecil itu bergerak-gerak menatap wajah pucat pasiennya dari balik kacamatanya yang minus.“Nyonya Arunika Hana,” panggil seseorang.Arunika menoleh ke arah pintu. Sepasang netra hitam itu mendapati kehadiran seorang perawat yang baru saja memasuki kamarnya. Ada sesuatu terbungkus dengan kain putih berada dalam gendongan. Arunika terus memperhatikan gerak-gerik perawat tersebut. Hingga akhirnya sang perawat berdiri di samping ranjangnya, lalu berka
PRAANGG …!Nalini Buana tergopoh-gopoh ketika mendengar suara yang mirip seperti barang pecah. Wanita berusia 58 tahun itu bergegas menuju dapur—tempat di mana suara tersebut berasal.Lima menit yang lalu. Nalini sempat memberitahu Arunika untuk mencuci beberapa peralatan makan yang baru saja dibelinya di salah satu pusat perbelanjaan. Lima set peralatan makan edisi khusus dari merek ternama. Terbuat dari keramik. Sangat cantik dan menarik.Perasaan Nalini was-was. Jangan-jangan ….Wajah bulat wanita itu langsung meradang begitu menyaksikan Arunika berjongkok memunguti koleksi piring barunya yang remuk redam. Untuk melampiaskan kekesalannya itu, dia pun berteriak lantang.“DASAR MANTU NGGAK GUNA! Ditinggal bentar aja, udah mecahin piring selusin!”“Maaf, Bu. Tadi mendadak perutku kram. Kerasa kaku gitu. Nggak enak. Waktu ingin sandaran, aku nggak sengaja—” “HALAH! Alasan aja kamu!”“Beneran, Bu. Aku nggak bohong ….”“Hei, Aru! Ibu dulu itu juga pernah hamil, tapi nggak malas kayak k
Namanya Arunika Hana.Sehari-hari dia menjual racikan tanaman herbalnya di Pasar Kliwon. Bukan pertama kalinya, dia mengantar pesanan pelanggannya di berbagai tempat. Malam ini, tiba-tiba saja seorang pelanggannya yang berasal dari luar kota meminta Arunika untuk datang ke salah satu hotel bintang lima di kota itu. ‘Aku harus cepat! Nyonya Bagaspati nggak suka nunggu. Terlambat dikit saja, bisa-bisa wanita itu nggak mau bayar pesanan jamunya.’Arunika bergegas sambil menenteng keranjang plastik berisi tiga botol jamu pesanan Nyonya Bagaspati. Upayanya untuk masuk ke dalam hotel langsung dicegah oleh dua orang petugas keamanan yang sedari tadi memperhatikan penampilannya.“Kamu tau ini tempat apa?!”“Ya, tau lah, Pak. Ini’kan Hotel Lokapala.”“Kalau tau, ngapain ke sini bawa sepeda onthel dan pakai sandal jepit?!”“Kan’nggak punya mobil, Pak. Kalau punya, pasti udah kubawa semua kemari … sama sepatuku sekalian. Selusin buat Bapak.”“Eh, anak ini benar-benar ya! Nggak ada sopan santu