Namanya Arunika Hana.
Sehari-hari dia menjual racikan tanaman herbalnya di Pasar Kliwon. Bukan pertama kalinya, dia mengantar pesanan pelanggannya di berbagai tempat. Malam ini, tiba-tiba saja seorang pelanggannya yang berasal dari luar kota meminta Arunika untuk datang ke salah satu hotel bintang lima di kota itu.
‘Aku harus cepat! Nyonya Bagaspati nggak suka nunggu. Terlambat dikit saja, bisa-bisa wanita itu nggak mau bayar pesanan jamunya.’
Arunika bergegas sambil menenteng keranjang plastik berisi tiga botol jamu pesanan Nyonya Bagaspati. Upayanya untuk masuk ke dalam hotel langsung dicegah oleh dua orang petugas keamanan yang sedari tadi memperhatikan penampilannya.
“Kamu tau ini tempat apa?!”
“Ya, tau lah, Pak. Ini’kan Hotel Lokapala.”
“Kalau tau, ngapain ke sini bawa sepeda onthel dan pakai sandal jepit?!”
“Kan’nggak punya mobil, Pak. Kalau punya, pasti udah kubawa semua kemari … sama sepatuku sekalian. Selusin buat Bapak.”
“Eh, anak ini benar-benar ya! Nggak ada sopan santunnya sama yang lebih tua!”
“Lah, kan, bener aku jawabnya, Pak. Aku juga bukan anak-anak. Umurku udah 24, jadi cukup main-mainnya … ayo sekarang minggir! Aku mau kirim jamu pesanan orang.” Arunika memperlihatkan keranjang plastiknya.
“NGGAK BISA! Kalau mau masuk sini, ganti sandal jepitmu dulu! Terus singkirkan jauh-jauh sepeda onthelmu itu dari sini!”
Arunika yang menggerutu itu kemudian memutar kedua tumitnya. Bukannya berjalan menghampiri sepeda onthel yang terparkir di samping pintu lobi, dia malah mengambil sesuatu dari dalam saku jaketnya.
Sebuah botol kecil yang berisi ….
SROT! SROT! SROT!
ARRGGHHH …!
Alhasil dua orang petugas keamaan itu meraung perih menahan rasa panas yang membakar wajah mereka akibat semprotan merica buatan Arunika.
“DASAR BOCAH EDAN! AWAS KAMU YA!”
“Siapa suruh nggak percaya omonganku! Kepanasan'kan? Hahahah .... Kutinggal ya kalian. Sampai jumpa ….”
“Hei, berhenti! Siapa yang ngizinkan kamu masuk, Woy!?”
Arunika mengabaikan peringatan itu. Dia justru berlari masuk ke dalam lift sambil mendekap keranjang plastiknya.
‘Untung aja jamu-jamu ini masih selamat.’
Arunika pikir, apa yang dilakukannya itu tidak menimbulkan masalah.
Baru juga semenit berlalu, bibir tipis itu langsung menganga ketika pintu lift baru saja terbuka di lantai 6.
Di hadapan Arunika berdiri dua orang petugas keamanan yang lain. Kali ini mereka telah bersiap dengan masker penutup wajah yang terbuat dari plastik. Untuk melindungi wajah serta mata mereka dari semprotan bubuk merica.
“Haizzz …! Nggak asyik ah kalian mainnya,” celoteh Arunika.
“Pak, rupanya dia gadis tengil itu!”
“Cepat tangkap dan seret dia keluar!”
Ketika petugas bertubuh kekar itu berhasil menangkap kedua tangannya, Arunika yang tak kekurangan akal langsung melompat tinggi. Dia sengaja mendaratkan kedua kakinya yang beralaskan sandal jepit ke atas punggung sepatu petugas.
KYAAKKK! ARRGGHHH …!
Rasa nyeri akibat kejatuhan beban 52 kilo itu langsung terasa. Cekalan tangan pun terlepas.
Dengan cepat Arunika yang memiliki tinggi 165 sentimeter itu berlari meninggalkan mereka.
“Gimana pun caranya, tangkap gadis sialan itu sebelum kita dapat masalah!”
“Pak, kayaknya gadis tengik itu udah nggak punya senjata lagi buat ngelawan kita.”
“Apa maksudmu?”
Seorang petugas keamanan menyeringai. Dia memperlihatkan sebuah botol kecil yang berhasil diambilnya dari saku jaket Arunika.
Pukul delapan malam adalah waktu yang disepakati Arunika dan Nyonya Bagaspasti. Tidak boleh terlambat semenit pun.
‘Tinggal dua menit lagi. Di mana ya kamar 606?’
Arunika celingukan mencari papan informasi. Tak lama kemudian, wajah oval itu sumringah ketika berhasil mendapatkan apa yang dicarinya.
‘601 sampai 610 belok kanan. Pasti kamar 606 ada di sana.’
Baru juga melewati kamar nomor 602, langkah Arunika tiba-tiba terhenti. Dari arah berlawanan datanglah tiga orang petugas keamanan hotel berjalan ke arahnya.
“Mau lari ke mana kamu!?”
“Kaki kakiku sendiri, suka-suka akulah mau lari ke mana. Ayo tangkap aku, kalau kalian sanggup!” Arunika mengejek.
“Dasar gadis tengik! Lihat dulu, apa yang kupunya.”
Sambil menyeringai, petugas keamanan itu memperlihatkan sebuah botol di tangannya.
‘Kayak kenal sama botol itu ….’
DEG!
Ekspresi Arunika langsung berubah tatkala dia tidak mendapati botol semprotan mericanya.
‘Gawat …! Ternyata mereka berhasil ngambil botol mericaku!’
Arunika langsung mengambil ancang-ancang untuk kabur.
Dia tidak bisa bertarung.
Yang bisa dia lakukan hanyalah membuat rempah-rempah atau tanaman herbal untuk mengobati orang sakit dan untuk melindungi diri sendiri. Dia juga tidak membawa perlengkapan jarum emasnya.
Penjual jamu serta ahli akupuntur itu langsung memutar kedua tumitnya untuk kembali ke pintu lift. Akan tetapi, dia justru menjumpai kelompok petugas lain keluar dari sana.
“TANGKAP PENYUSUP ITU!”
Wajah Arunika pun memucat. Dia mendekap erat keranjang plastiknya.
Demi Tuhan … yang Arunika pikirkan hanya menyelamatkan tiga botol jamu pesanan Nyonya Bagaspati, bukan nyawanya!
Langkah Arunika bergerak mundur tak teratur memasuki koridor seberang. Dia tidak tahu, ke mana kakinya itu akan membawanya kelak.
Tanpa Arunika sadari, pintu kamar 612 yang ada di belakang punggungnya tiba-tiba terbuka.
KLIK!
Seorang pria bertubuh tinggi atletis keluar. Dia langsung membekap mulut Arunika, lalu menyeret tubuh berbentuk jam pasir itu masuk ke dalam kamar.
PUFFTTH …!
Arunika terkejut setengah mati.
Suaranya tak mampu keluar.
Napasnya tercekat, bersamaan dengan botol jamunya yang terlepas dari tangan.
PRANG!
‘Jamuku ...?!'
Kegelapan langsung meliputi netra Arunika seiring dengan pintu kamar hotel yang ditutup dan lampu yang sengaja dipadamkan. Dia tidak mampu melihat apa pun. Tahu-tahu, tubuhnya itu terempas jatuh di atas ranjang.
“Ka—kamu mau apa?” Suara Arunika bergetar.
“Jangan banyak tanya! Lakukan saja apa yang kumau …!”
GLEK!
Suara serak yang mendominasi serta aroma alkohol yang menguar dari mulut orang itu membuat Arunika berpikir, bahwa saat ini dia sedang bersama dengan seorang pria mabuk.
“Tu—tuan, aku nggak tau kamu itu siapa. Ta—tapi aku sangat berterima kasih padamu karena udah nolong aku dari kejaran petugas-petugas itu. Jadi kumohon … lepaskan aku sekarang. Aku mau pulang ….”
“Pulang katamu?” Pria itu terkekeh. Napasnya memburu.
Arunika langsung tercekat ketika pria itu tiba-tiba menindih tubuhnya. Mencengkeram kedua pergelangan tangannya dengan kuat. Bau alkohol bercampur dengan wanginya aroma kayu hangat yang maskulin membuat jantung Arunika berdegup kencang.
Dia tahu, bahaya sedang mengintai.
“Lepas! Lepaskan aku! AKU MAU PULANG!”
Sekali lagi pria asing itu tidak menghiraukan teriakan serta penolakan Arunika. Karena dia cukup tergoda dengan lekuk tubuh indah yang ada di bawah kungkungannya, sekalipun hanya kegelapan yang ada di antara mereka.
Pemberontakan yang dilakukan Arunika semakin membuat gairah pria itu tak terkendali. Naluri kelelakiannya sudah mulai tak sabar ingin menerobos keluar. Segera dicumbunya bibir tipis itu. Merasainya, mengulumnya hingga mendesaknya dengan paksa, meskipun perlawanan demi perlawanan yang selalu dia dapatkan.
Sekeras apa pun perjuangan Arunika untuk menolak, tak seorang pun yang mampu melawan buasnya sang pejantan yang telah dicekoki oleh minuman beralkohol yang telah dicampur dengan obat perangsang.
“Tidaaakkkkk! Jangan lakukan ini padaku …! Jangan …!”
“DASAR BIADAAAAAB!”
PRAANGG …!Nalini Buana tergopoh-gopoh ketika mendengar suara yang mirip seperti barang pecah. Wanita berusia 58 tahun itu bergegas menuju dapur—tempat di mana suara tersebut berasal.Lima menit yang lalu. Nalini sempat memberitahu Arunika untuk mencuci beberapa peralatan makan yang baru saja dibelinya di salah satu pusat perbelanjaan. Lima set peralatan makan edisi khusus dari merek ternama. Terbuat dari keramik. Sangat cantik dan menarik.Perasaan Nalini was-was. Jangan-jangan ….Wajah bulat wanita itu langsung meradang begitu menyaksikan Arunika berjongkok memunguti koleksi piring barunya yang remuk redam. Untuk melampiaskan kekesalannya itu, dia pun berteriak lantang.“DASAR MANTU NGGAK GUNA! Ditinggal bentar aja, udah mecahin piring selusin!”“Maaf, Bu. Tadi mendadak perutku kram. Kerasa kaku gitu. Nggak enak. Waktu ingin sandaran, aku nggak sengaja—” “HALAH! Alasan aja kamu!”“Beneran, Bu. Aku nggak bohong ….”“Hei, Aru! Ibu dulu itu juga pernah hamil, tapi nggak malas kayak k
“Kami turut berduka atas meninggalnya putra Anda, Nyonya.”Proses persalinan Arunika memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Begitu terjaga, tahu-tahu dokter kandungan yang selama ini merawat kehamilannya berkata seperti itu.Lelucon macam apa ini? Dia sungguh tidak percaya!“Itu nggak mungkin ….” Arunika menggeleng. “Dokter pasti salah!”“Itu bukan bayiku. Anakku sehat … aku baru aja lahirin dia. Aku ingin menyusuinya.”“Dia pasti haus’kan, Dok? Karena udah berjam-jam dia belum minum ASI ku.”Bibir coklat Dokter Darma terkatup. Bola mata kecil itu bergerak-gerak menatap wajah pucat pasiennya dari balik kacamatanya yang minus.“Nyonya Arunika Hana,” panggil seseorang.Arunika menoleh ke arah pintu. Sepasang netra hitam itu mendapati kehadiran seorang perawat yang baru saja memasuki kamarnya. Ada sesuatu terbungkus dengan kain putih berada dalam gendongan. Arunika terus memperhatikan gerak-gerik perawat tersebut. Hingga akhirnya sang perawat berdiri di samping ranjangnya, lalu berk
“Kau masih ingat aku rupanya. Padahal sudah lama lho kita nggak jumpa.” Minara melebarkan kedua sudut bibirnya yang dipoles dengan lipstick merah bata. “Delapan tahun. Kita masih pakai seragam putih abu-abu waktu itu.”Minara Jayashree, itulah nama lengkap wanita yang berdiri di samping Akash. Arunika mengenal Minara saat keduanya sama-sama berusia 12 tahun. Dulu, almarhumah ibunya yang bernama Daniah bekerja sebagai buruh cuci di beberapa rumah keluarga kaya, salah satunya adalah Keluarga Jayashree. Daniah selalu mengambil kumpulan baju kotor milik mereka, mencucinya, lalu mengembalikannya dua hari kemudian.Sekali-kali Arunika ikut membantu ibunya mengunjungi rumah besar itu. Dari situlah Arunika dan Minara bertemu. Mereka saling berkenalan, hingga akhirnya menjalin persahabatan semasa sekolah.Minara dulunya adalah seorang gadis kaya yang pemurung dan tidak suka berdandan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung Arunika yang selalu membela dan melindunginya dari perbuatan buruk g
Mereka yang gerah setelah mendengar perkataan Arunika itu sontak mengamuk. Bukan hanya melucuti pakaiannya, tetapi orang-orang itu juga membuang serta membakar semua isi tas kopernya.Mereka juga merampas mahar pernikahan yang seharusnya menjadi hak Arunika, begitu Akash menikahinya secara sah.Tapi semua itu tak masalah!Arunika lebih memilih membawa pergi seperangkat jarum emas peninggalan Nenek Usada. Kumpulan barang yang dianggap rongsokan di mata orang yang tak mengerti, tapi bagi Arunika lebih dari setengah nyawanya berada di sana. ‘Ingat, Aru … simpan dan gunakan jarum emas ini untuk menolong orang lain. Kamu harus menjaganya baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat.’Itulah pesan terakhir yang ditulis Nenek Usada dalam sepucuk surat.Dan malam ini ….Ketika hujan deras mengguyur Kapulaga, Arunika kambali berjalan seorang diri. Tubuh yang hampir setengah telanjang itu dibalut dengan selembar kain jarik pemberian tetangga.‘Dunia ini memang kejam, nduk. Nggak ada y
Mereka yang gerah setelah mendengar perkataan Arunika itu sontak mengamuk. Bukan hanya melucuti pakaiannya, tetapi orang-orang itu juga membuang serta membakar semua isi tas kopernya.Mereka juga merampas mahar pernikahan yang seharusnya menjadi hak Arunika, begitu Akash menikahinya secara sah.Tapi semua itu tak masalah!Arunika lebih memilih membawa pergi seperangkat jarum emas peninggalan Nenek Usada. Kumpulan barang yang dianggap rongsokan di mata orang yang tak mengerti, tapi bagi Arunika lebih dari setengah nyawanya berada di sana. ‘Ingat, Aru … simpan dan gunakan jarum emas ini untuk menolong orang lain. Kamu harus menjaganya baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat.’Itulah pesan terakhir yang ditulis Nenek Usada dalam sepucuk surat.Dan malam ini ….Ketika hujan deras mengguyur Kapulaga, Arunika kambali berjalan seorang diri. Tubuh yang hampir setengah telanjang itu dibalut dengan selembar kain jarik pemberian tetangga.‘Dunia ini memang kejam, nduk. Nggak ada y
“Kau masih ingat aku rupanya. Padahal sudah lama lho kita nggak jumpa.” Minara melebarkan kedua sudut bibirnya yang dipoles dengan lipstick merah bata. “Delapan tahun. Kita masih pakai seragam putih abu-abu waktu itu.”Minara Jayashree, itulah nama lengkap wanita yang berdiri di samping Akash. Arunika mengenal Minara saat keduanya sama-sama berusia 12 tahun. Dulu, almarhumah ibunya yang bernama Daniah bekerja sebagai buruh cuci di beberapa rumah keluarga kaya, salah satunya adalah Keluarga Jayashree. Daniah selalu mengambil kumpulan baju kotor milik mereka, mencucinya, lalu mengembalikannya dua hari kemudian.Sekali-kali Arunika ikut membantu ibunya mengunjungi rumah besar itu. Dari situlah Arunika dan Minara bertemu. Mereka saling berkenalan, hingga akhirnya menjalin persahabatan semasa sekolah.Minara dulunya adalah seorang gadis kaya yang pemurung dan tidak suka berdandan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung Arunika yang selalu membela dan melindunginya dari perbuatan buruk g
“Kami turut berduka atas meninggalnya putra Anda, Nyonya.”Proses persalinan Arunika memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Begitu terjaga, tahu-tahu dokter kandungan yang selama ini merawat kehamilannya berkata seperti itu.Lelucon macam apa ini? Dia sungguh tidak percaya!“Itu nggak mungkin ….” Arunika menggeleng. “Dokter pasti salah!”“Itu bukan bayiku. Anakku sehat … aku baru aja lahirin dia. Aku ingin menyusuinya.”“Dia pasti haus’kan, Dok? Karena udah berjam-jam dia belum minum ASI ku.”Bibir coklat Dokter Darma terkatup. Bola mata kecil itu bergerak-gerak menatap wajah pucat pasiennya dari balik kacamatanya yang minus.“Nyonya Arunika Hana,” panggil seseorang.Arunika menoleh ke arah pintu. Sepasang netra hitam itu mendapati kehadiran seorang perawat yang baru saja memasuki kamarnya. Ada sesuatu terbungkus dengan kain putih berada dalam gendongan. Arunika terus memperhatikan gerak-gerik perawat tersebut. Hingga akhirnya sang perawat berdiri di samping ranjangnya, lalu berk
PRAANGG …!Nalini Buana tergopoh-gopoh ketika mendengar suara yang mirip seperti barang pecah. Wanita berusia 58 tahun itu bergegas menuju dapur—tempat di mana suara tersebut berasal.Lima menit yang lalu. Nalini sempat memberitahu Arunika untuk mencuci beberapa peralatan makan yang baru saja dibelinya di salah satu pusat perbelanjaan. Lima set peralatan makan edisi khusus dari merek ternama. Terbuat dari keramik. Sangat cantik dan menarik.Perasaan Nalini was-was. Jangan-jangan ….Wajah bulat wanita itu langsung meradang begitu menyaksikan Arunika berjongkok memunguti koleksi piring barunya yang remuk redam. Untuk melampiaskan kekesalannya itu, dia pun berteriak lantang.“DASAR MANTU NGGAK GUNA! Ditinggal bentar aja, udah mecahin piring selusin!”“Maaf, Bu. Tadi mendadak perutku kram. Kerasa kaku gitu. Nggak enak. Waktu ingin sandaran, aku nggak sengaja—” “HALAH! Alasan aja kamu!”“Beneran, Bu. Aku nggak bohong ….”“Hei, Aru! Ibu dulu itu juga pernah hamil, tapi nggak malas kayak k
Namanya Arunika Hana.Sehari-hari dia menjual racikan tanaman herbalnya di Pasar Kliwon. Bukan pertama kalinya, dia mengantar pesanan pelanggannya di berbagai tempat. Malam ini, tiba-tiba saja seorang pelanggannya yang berasal dari luar kota meminta Arunika untuk datang ke salah satu hotel bintang lima di kota itu. ‘Aku harus cepat! Nyonya Bagaspati nggak suka nunggu. Terlambat dikit saja, bisa-bisa wanita itu nggak mau bayar pesanan jamunya.’Arunika bergegas sambil menenteng keranjang plastik berisi tiga botol jamu pesanan Nyonya Bagaspati. Upayanya untuk masuk ke dalam hotel langsung dicegah oleh dua orang petugas keamanan yang sedari tadi memperhatikan penampilannya.“Kamu tau ini tempat apa?!”“Ya, tau lah, Pak. Ini’kan Hotel Lokapala.”“Kalau tau, ngapain ke sini bawa sepeda onthel dan pakai sandal jepit?!”“Kan’nggak punya mobil, Pak. Kalau punya, pasti udah kubawa semua kemari … sama sepatuku sekalian. Selusin buat Bapak.”“Eh, anak ini benar-benar ya! Nggak ada sopan santu