PRAANGG …!
Nalini Buana tergopoh-gopoh ketika mendengar suara yang mirip seperti barang pecah. Wanita berusia 58 tahun itu bergegas menuju dapur—tempat di mana suara tersebut berasal.
Lima menit yang lalu. Nalini sempat memberitahu Arunika untuk mencuci beberapa peralatan makan yang baru saja dibelinya di salah satu pusat perbelanjaan. Lima set peralatan makan edisi khusus dari merek ternama. Terbuat dari keramik. Sangat cantik dan menarik.
Perasaan Nalini was-was. Jangan-jangan ….
Wajah bulat wanita itu langsung meradang begitu menyaksikan Arunika berjongkok memunguti koleksi piring barunya yang remuk redam. Untuk melampiaskan kekesalannya itu, dia pun berteriak lantang.
“DASAR MANTU NGGAK GUNA! Ditinggal bentar aja, udah mecahin piring selusin!”
“Maaf, Bu. Tadi mendadak perutku kram. Kerasa kaku gitu. Nggak enak. Waktu ingin sandaran, aku nggak sengaja—”
“HALAH! Alasan aja kamu!”
“Beneran, Bu. Aku nggak bohong ….”
“Hei, Aru! Ibu dulu itu juga pernah hamil, tapi nggak malas kayak kamu! Disuruh bantuin aja banyak alasan. Bilang’e muallah, sakit pingganglah, capeklah. DASAR’E KAMU ITU EMANG MALAS! Bisa’e cuma makan, tidur, makan, tidur … HAMIL KOK KAYAK KEBO!”
Arunika menggeleng lemah atas umpatan mertuanya, padahal dia tidak berbohong. Barusan dia memang mengalami kontraksi dan bulan ini adalah bulan kesembilan dari kehamilannya, setelah malam panas yang dialaminya bersama dengan seorang pria asing yang ada di Hotel Lokapala.
Arunika yang tak sudi melihat wajah pria biadab itu memilih pergi meninggalkan hotel sebelum pria tersebut bangun.
Dengan perasaan malu dan hati yang hancur, Arunika pulang ke tempat kediaman Keluarga Buana. Setibanya di rumah, tidak ada seorang pun yang menyambut, apalagi bertanya, semalam dirinya ada di mana? Bersama siapa?
Karena hari di mana Arunika mendatangi Hotel Lokapala, ibu mertua dan suaminya sedang pergi ke luar kota untuk menjenguk kerabat mereka yang baru saja melahirkan. Mereka baru pulang esok hari, itu pun saat hari menjelang sore.
“Bu, apa aku boleh ikut? Aku mau jenguk Kak Isha dan bayinya?” tanya Arunika kala itu. “Siapa tau, setelah aku gendong bayinya Kak Isha, aku jadi ketularan hamil.”
“Nggak usah! Kalau kamu datang, bisa-bisa kena sial tuh Isha dan bayinya,” sindir Nalini.
Bibir Arunika terkatup rapat, padahal hatinya ingin berontak.
Andai saja di hari yang naas itu, Nalini mengajaknya pergi, maka dia akan selamat dari malapetaka malam terkutuk itu.
Semua orang mengira, kalau ayah dari jabang bayi yang dikandung Arunika adalah Akash Java Buana. Pria tampan yang telah mempersuntingnya empat tahun lalu.
Padahal Arunika tahu, siapa sesungguhnya ayah dari makhluk kecil yang mendiami rahimnya selama ini.
Tapi dia tidak tahu, apa pekerjaan pria biadab itu?
Penjahatkah dia? Pemabukkah? Atau seorang penjudi?
Siapa pun pria itu, Arunika berharap, seumur hidupnya dia tidak akan berjumpa lagi dengan pria keparat tersebut!
Ketika makhluk kecil itu sudah mulai bergerak dalam rahimnya, Arunika yang semula tidak mau menerima kehadirannya akhirnya luluh. Dia mulai menyayangi janin yang telah berbagi perasaan, makanan, dan udara dengannya.
‘Kehadiranmu bikin ibu nggak sendirian lagi di dunia ini, nak. Kamu itu kayak kertas putih. Suci. Kamu nggak salah, tapi ibu yang salah sama kamu dan sama semua orang.’
“Eh, malah bengong! Cepat beresin pecahan piringnya!” Nalini kembali berteriak.
“Ini aku lagi beresin, Bu.”
“Kalau udah beres, sini kasih uang jualan jamumu ke Ibu! Ibu mau beli lagi piring baru buat dipamerin di acara arisan besok lusa. INGAT, YA, besok lusa kamu jangan ada di rumah! Tunggu telepon dari Ibu, baru kamu boleh pulang!”
Padahal Arunika bukanlah wanita cacat atau buruk rupa yang harus disembunyikan keberadaannya.
Parasnya itu cantik. Kulitnya kuning langsat. Bulu matanya lentik mengembang, membingkai kelopak mata yang lebar dan bulat. Hidungnya mancung ramping, menghiasi wajahnya yang kecil. Mirip seperti gadis-gadis Timur Tengah.
Namun, semua itu tidak cukup memberi nilai tambah di mata Nalini. Karena bobot, bibit, bebet Arunika yang tak sepadan dengan Akash.
Setiap kali Arunika berbuat salah, entah itu kesalahan besar atau kecil, dia harus membayar dengan hasil jualan jamunya. Karena hanya pekerjaan itu yang diketahui oleh Nalini dan Akash.
Mereka tidak tahu, kalau pekerjaan Arunika yang sebenarnya adalah seorang ahli akupuntur.
Arunika mendapatkan keahlian meracik tanaman herbal dan teknik pengobatan tradisional itu dari Nenek Usada, sejak dirinya berusia 10 tahun.
Nenek Usada adalah seorang tetangga yang rumahnya berdampingan dengan rumah ibu Arunika. Sebelum menghilang, Nenek Usada telah mewariskan seperangkat jarum emas kepadanya.
Dengan jarum itulah, Arunika kini menjadi Pewaris Tabib Wanita Legendaris Wanadri (Wanadri adalah nama asli Nenek Usada; yang telah melakukan perjalanan waktu ke masa depan untuk mencari sang penerus).
Dan sekarang ….
Bukan mata Nenek Usada yang dilihat Arunika, melainkan mata Nalini yang membulat ketika menerima lembaran-lembaran uang kertas darinya.
“Nah gitu” Nalini tersenyum lebar. “Sekarang kamu angkat jemuran di lantai atas!”
“Tapi, Bu … kandunganku udah sembilan bulan. Kata dokter, naik turun tangga bahaya buat ibu hamil,” jelas Arunika.
“Memang benar’kan kataku. DASAR’E KAMU ITU EMANG MALAS!”
“Bukan gitu, Bu … kan, bisa minta bantuan Mas Akash. Orangnya juga lagi duduk-duduk di teras sambil ngopi.”
“Hei, Aru!” Nalini langsung menjewer telinga menantunya.
“Aduh …! Duh … duh …, sakit, Bu ….”
“Beraninya kamu nyuruh anakku angkat-angkat jemuran! ITU KERJAAN PEREMPUAN!”
“Ta—tapi, Bu, suami istri itu bisa saling bantu. Nggak ada salahnya, kalau ….”
“CUKUP!” Akash yang mendengar keributan itu langsung memotong. “Bisa nggak, sehari aja kalian itu nggak ribut! Mumpung kantor lagi libur, aku ini ingin istirahat! Nyantai bentar.”
“Kamu dengar itu?!” Nalini melepas tangannya dari telinga Arunika.
“Akash itu butuh istirahat. Udah capek kerja, malah kamu repotin sama urusan jemuran! Gini ini, kalau kamu nekat milih istri yang nggak selevel. Disuruh gerak dikit aja, udah ngeluh!”
“Aru, Ibu itu udah tua. Kamu itu mestinya nyadar dan ngalah dikit. Turutin ajalah kemauan Ibu,” pinta Akash.
Berharap kalau suaminya akan membantu pun percuma. Ibu dan anak itu justru pergi meninggalkan Arunika seorang diri di bawah tangga.
Karena langit tak selamanya biru, maka sebelum hujan turun, Arunika menaiki deretan anak tangga yang terbuat dari kayu. Tanpa pembatas di samping kanan kiri. Napasnya sudah mulai ngos-ngosan, seiring dengan serangan kontraksi yang semakin sering terjadi.
Kata dokter kandungannya, jabang bayi ini akan lahir sekitar satu minggu lagi.
‘Tapi, makin lama perutku kok makin mules ya? Aduh ….’
Arunika merintih sambil mengusap-usap perutnya yang menegang.
Setelah mengambil semua pakaian yang telah kering dan memasukkannya ke dalam bak besar, Arunika pun turun. Dengan susah payah, dia mencoba menyeimbangkan tubuhnya yang berbadan dua di atas potongan-potongan kayu yang hanya selebar telapak kakinya.
Hari sial memang tidak pernah ada dalam kalender. Kaki Arunika tiba-tiba terpeleset selembar handuk yang jatuh di tangga tanpa disadarinya. Tubuh ibu hamil itu pun jatuh terguling-guling hingga akhirnya menggelepar di lantai.
BUGH! BUGH! BUGH!
ARRGGHHHH …!
Arunika merintih ketika perutnya serasa dihantam oleh sesuatu.
“Mas Akash, Ibu … tolong aku …!”
“Kami turut berduka atas meninggalnya putra Anda, Nyonya.”Proses persalinan Arunika memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Begitu terjaga, tahu-tahu dokter kandungan yang selama ini merawat kehamilannya berkata seperti itu.Lelucon macam apa ini? Dia sungguh tidak percaya!“Itu nggak mungkin ….” Arunika menggeleng. “Dokter pasti salah!”“Itu bukan bayiku. Anakku sehat … aku baru aja lahirin dia. Aku ingin menyusuinya.”“Dia pasti haus’kan, Dok? Karena udah berjam-jam dia belum minum ASI ku.”Bibir coklat Dokter Darma terkatup. Bola mata kecil itu bergerak-gerak menatap wajah pucat pasiennya dari balik kacamatanya yang minus.“Nyonya Arunika Hana,” panggil seseorang.Arunika menoleh ke arah pintu. Sepasang netra hitam itu mendapati kehadiran seorang perawat yang baru saja memasuki kamarnya. Ada sesuatu terbungkus dengan kain putih berada dalam gendongan. Arunika terus memperhatikan gerak-gerik perawat tersebut. Hingga akhirnya sang perawat berdiri di samping ranjangnya, lalu berk
“Kau masih ingat aku rupanya. Padahal sudah lama lho kita nggak jumpa.” Minara melebarkan kedua sudut bibirnya yang dipoles dengan lipstick merah bata. “Delapan tahun. Kita masih pakai seragam putih abu-abu waktu itu.”Minara Jayashree, itulah nama lengkap wanita yang berdiri di samping Akash. Arunika mengenal Minara saat keduanya sama-sama berusia 12 tahun. Dulu, almarhumah ibunya yang bernama Daniah bekerja sebagai buruh cuci di beberapa rumah keluarga kaya, salah satunya adalah Keluarga Jayashree. Daniah selalu mengambil kumpulan baju kotor milik mereka, mencucinya, lalu mengembalikannya dua hari kemudian.Sekali-kali Arunika ikut membantu ibunya mengunjungi rumah besar itu. Dari situlah Arunika dan Minara bertemu. Mereka saling berkenalan, hingga akhirnya menjalin persahabatan semasa sekolah.Minara dulunya adalah seorang gadis kaya yang pemurung dan tidak suka berdandan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung Arunika yang selalu membela dan melindunginya dari perbuatan buruk g
Mereka yang gerah setelah mendengar perkataan Arunika itu sontak mengamuk. Bukan hanya melucuti pakaiannya, tetapi orang-orang itu juga membuang serta membakar semua isi tas kopernya.Mereka juga merampas mahar pernikahan yang seharusnya menjadi hak Arunika, begitu Akash menikahinya secara sah.Tapi semua itu tak masalah!Arunika lebih memilih membawa pergi seperangkat jarum emas peninggalan Nenek Usada. Kumpulan barang yang dianggap rongsokan di mata orang yang tak mengerti, tapi bagi Arunika lebih dari setengah nyawanya berada di sana. ‘Ingat, Aru … simpan dan gunakan jarum emas ini untuk menolong orang lain. Kamu harus menjaganya baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat.’Itulah pesan terakhir yang ditulis Nenek Usada dalam sepucuk surat.Dan malam ini ….Ketika hujan deras mengguyur Kapulaga, Arunika kambali berjalan seorang diri. Tubuh yang hampir setengah telanjang itu dibalut dengan selembar kain jarik pemberian tetangga.‘Dunia ini memang kejam, nduk. Nggak ada y
Namanya Arunika Hana.Sehari-hari dia menjual racikan tanaman herbalnya di Pasar Kliwon. Bukan pertama kalinya, dia mengantar pesanan pelanggannya di berbagai tempat. Malam ini, tiba-tiba saja seorang pelanggannya yang berasal dari luar kota meminta Arunika untuk datang ke salah satu hotel bintang lima di kota itu. ‘Aku harus cepat! Nyonya Bagaspati nggak suka nunggu. Terlambat dikit saja, bisa-bisa wanita itu nggak mau bayar pesanan jamunya.’Arunika bergegas sambil menenteng keranjang plastik berisi tiga botol jamu pesanan Nyonya Bagaspati. Upayanya untuk masuk ke dalam hotel langsung dicegah oleh dua orang petugas keamanan yang sedari tadi memperhatikan penampilannya.“Kamu tau ini tempat apa?!”“Ya, tau lah, Pak. Ini’kan Hotel Lokapala.”“Kalau tau, ngapain ke sini bawa sepeda onthel dan pakai sandal jepit?!”“Kan’nggak punya mobil, Pak. Kalau punya, pasti udah kubawa semua kemari … sama sepatuku sekalian. Selusin buat Bapak.”“Eh, anak ini benar-benar ya! Nggak ada sopan santu
Mereka yang gerah setelah mendengar perkataan Arunika itu sontak mengamuk. Bukan hanya melucuti pakaiannya, tetapi orang-orang itu juga membuang serta membakar semua isi tas kopernya.Mereka juga merampas mahar pernikahan yang seharusnya menjadi hak Arunika, begitu Akash menikahinya secara sah.Tapi semua itu tak masalah!Arunika lebih memilih membawa pergi seperangkat jarum emas peninggalan Nenek Usada. Kumpulan barang yang dianggap rongsokan di mata orang yang tak mengerti, tapi bagi Arunika lebih dari setengah nyawanya berada di sana. ‘Ingat, Aru … simpan dan gunakan jarum emas ini untuk menolong orang lain. Kamu harus menjaganya baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat.’Itulah pesan terakhir yang ditulis Nenek Usada dalam sepucuk surat.Dan malam ini ….Ketika hujan deras mengguyur Kapulaga, Arunika kambali berjalan seorang diri. Tubuh yang hampir setengah telanjang itu dibalut dengan selembar kain jarik pemberian tetangga.‘Dunia ini memang kejam, nduk. Nggak ada y
“Kau masih ingat aku rupanya. Padahal sudah lama lho kita nggak jumpa.” Minara melebarkan kedua sudut bibirnya yang dipoles dengan lipstick merah bata. “Delapan tahun. Kita masih pakai seragam putih abu-abu waktu itu.”Minara Jayashree, itulah nama lengkap wanita yang berdiri di samping Akash. Arunika mengenal Minara saat keduanya sama-sama berusia 12 tahun. Dulu, almarhumah ibunya yang bernama Daniah bekerja sebagai buruh cuci di beberapa rumah keluarga kaya, salah satunya adalah Keluarga Jayashree. Daniah selalu mengambil kumpulan baju kotor milik mereka, mencucinya, lalu mengembalikannya dua hari kemudian.Sekali-kali Arunika ikut membantu ibunya mengunjungi rumah besar itu. Dari situlah Arunika dan Minara bertemu. Mereka saling berkenalan, hingga akhirnya menjalin persahabatan semasa sekolah.Minara dulunya adalah seorang gadis kaya yang pemurung dan tidak suka berdandan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung Arunika yang selalu membela dan melindunginya dari perbuatan buruk g
“Kami turut berduka atas meninggalnya putra Anda, Nyonya.”Proses persalinan Arunika memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Begitu terjaga, tahu-tahu dokter kandungan yang selama ini merawat kehamilannya berkata seperti itu.Lelucon macam apa ini? Dia sungguh tidak percaya!“Itu nggak mungkin ….” Arunika menggeleng. “Dokter pasti salah!”“Itu bukan bayiku. Anakku sehat … aku baru aja lahirin dia. Aku ingin menyusuinya.”“Dia pasti haus’kan, Dok? Karena udah berjam-jam dia belum minum ASI ku.”Bibir coklat Dokter Darma terkatup. Bola mata kecil itu bergerak-gerak menatap wajah pucat pasiennya dari balik kacamatanya yang minus.“Nyonya Arunika Hana,” panggil seseorang.Arunika menoleh ke arah pintu. Sepasang netra hitam itu mendapati kehadiran seorang perawat yang baru saja memasuki kamarnya. Ada sesuatu terbungkus dengan kain putih berada dalam gendongan. Arunika terus memperhatikan gerak-gerik perawat tersebut. Hingga akhirnya sang perawat berdiri di samping ranjangnya, lalu berk
PRAANGG …!Nalini Buana tergopoh-gopoh ketika mendengar suara yang mirip seperti barang pecah. Wanita berusia 58 tahun itu bergegas menuju dapur—tempat di mana suara tersebut berasal.Lima menit yang lalu. Nalini sempat memberitahu Arunika untuk mencuci beberapa peralatan makan yang baru saja dibelinya di salah satu pusat perbelanjaan. Lima set peralatan makan edisi khusus dari merek ternama. Terbuat dari keramik. Sangat cantik dan menarik.Perasaan Nalini was-was. Jangan-jangan ….Wajah bulat wanita itu langsung meradang begitu menyaksikan Arunika berjongkok memunguti koleksi piring barunya yang remuk redam. Untuk melampiaskan kekesalannya itu, dia pun berteriak lantang.“DASAR MANTU NGGAK GUNA! Ditinggal bentar aja, udah mecahin piring selusin!”“Maaf, Bu. Tadi mendadak perutku kram. Kerasa kaku gitu. Nggak enak. Waktu ingin sandaran, aku nggak sengaja—” “HALAH! Alasan aja kamu!”“Beneran, Bu. Aku nggak bohong ….”“Hei, Aru! Ibu dulu itu juga pernah hamil, tapi nggak malas kayak k
Namanya Arunika Hana.Sehari-hari dia menjual racikan tanaman herbalnya di Pasar Kliwon. Bukan pertama kalinya, dia mengantar pesanan pelanggannya di berbagai tempat. Malam ini, tiba-tiba saja seorang pelanggannya yang berasal dari luar kota meminta Arunika untuk datang ke salah satu hotel bintang lima di kota itu. ‘Aku harus cepat! Nyonya Bagaspati nggak suka nunggu. Terlambat dikit saja, bisa-bisa wanita itu nggak mau bayar pesanan jamunya.’Arunika bergegas sambil menenteng keranjang plastik berisi tiga botol jamu pesanan Nyonya Bagaspati. Upayanya untuk masuk ke dalam hotel langsung dicegah oleh dua orang petugas keamanan yang sedari tadi memperhatikan penampilannya.“Kamu tau ini tempat apa?!”“Ya, tau lah, Pak. Ini’kan Hotel Lokapala.”“Kalau tau, ngapain ke sini bawa sepeda onthel dan pakai sandal jepit?!”“Kan’nggak punya mobil, Pak. Kalau punya, pasti udah kubawa semua kemari … sama sepatuku sekalian. Selusin buat Bapak.”“Eh, anak ini benar-benar ya! Nggak ada sopan santu