Mereka yang gerah setelah mendengar perkataan Arunika itu sontak mengamuk. Bukan hanya melucuti pakaiannya, tetapi orang-orang itu juga membuang serta membakar semua isi tas kopernya.
Mereka juga merampas mahar pernikahan yang seharusnya menjadi hak Arunika, begitu Akash menikahinya secara sah.
Tapi semua itu tak masalah!
Arunika lebih memilih membawa pergi seperangkat jarum emas peninggalan Nenek Usada. Kumpulan barang yang dianggap rongsokan di mata orang yang tak mengerti, tapi bagi Arunika lebih dari setengah nyawanya berada di sana.
‘Ingat, Aru … simpan dan gunakan jarum emas ini untuk menolong orang lain. Kamu harus menjaganya baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat.’
Itulah pesan terakhir yang ditulis Nenek Usada dalam sepucuk surat.
Dan malam ini ….
Ketika hujan deras mengguyur Kapulaga, Arunika kambali berjalan seorang diri. Tubuh yang hampir setengah telanjang itu dibalut dengan selembar kain jarik pemberian tetangga.
‘Dunia ini memang kejam, nduk. Nggak ada yang berpihak sama orang-orang kayak kita. Ingat toh, kehidupan itu kayak roda, muter terus. Di atas langit itu masih ada langit, di bawah tanah masih ada tanah.’
‘Aru ngerti, bu.’
‘Kalau ibu udah nggak ada … kamu harus jadi wanita kuat ya, nduk.’
‘Ibu kok ngomong gitu? Memang’e ibu mau ke mana? Apa ibu mau cari bapak? Udah dapat kabar dari bapak? Bapak telepon atau kirim surat, bu? Apa bapak datang main ke rumah waktu Aru nggak ada?’
‘Bapakmu udah meninggal!’
‘Ibu bohong! Kalau bapak udah meninggal, ibu kok nggak pernah ngajak Aru ke makamnya? Bu Surti aja yang suaminya udah delapan tahun meninggal, tiap tahun selalu ngajak anak-anaknya buat nyekar!’
Namun, bantahan Arunika yang saat itu berusia 16 tahun tidak mendapat sambutan dari ibunya. Sampai pada hari kematian Daniah yang mendadak, dia tidak pernah tahu keberadaan ayah kandungnya.
Apa benar seperti yang dikatakan Daniah?
Atau pria yang bernama Kusno Dihardjo itu telah menceraikan ibunya demi wanita lain seperti yang dilakukan Akash padanya?
Hanya lima tahun pertama dalam hidup Arunika, dia merasakan kasih sayang seorang ayah. Dengan selembar foto ulang tahun yang telah usang, dia masih mengingat wajah berkumis tipis yang sering mengepang rambutnya ketika hendak pergi ke sekolah.
Semua kenangan itu mendadak lenyap seiring dengan kehadiran Bhadra yang mendadak muncul menghadang Arunika.
Kepala preman Pasar Kliwon itu tidak sendiri, melainkan bersama dengan lima orang anak buahnya yang sehari-hari selalu meminta uang keamanan kepada para pedagang.
Dengan seringainya yang terlukis di bawah kumisnya yang tebal, Bhadra menghampiri Arunika.
“Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ketemu Neng Arunika, hati Kakang gejolak bahagia.”
HAHAHAHAHHA …!
Kelima anak buah Bhadru itu tertawa ketika mendengar pemimpin mereka sedang berusaha merayu Arunika.
“Bilangnya udah punya suami. Eh … pas hujan gini, Neng Aru datang pakai pakaian seksi. Mau ke mana tuh, Neng? Sini Kakang temeni,” ucap Bhadra yang semakin mendekati Arunika.
“Kamu mau apa, Bhadra?!” Mata Arunika tampak bergerak-gerak.
“Ya, mau temeni kamulah.”
Jari tangan Bhadru mulai berani menyentuh pundak polos Arunika, lalu bergerak menuju tulang rahang wanita itu. Membuat Arunika mengangkat wajahnya membalas tatapan mata Bhadru dengan kilatan.
“Cantik. Mulus. Malam ini kita mau main di mana? Pos satpam? Lapak jamumu atau gubuk tempat tinggal Kakang?”
Wanita memang tidak bicara, melainkan langsung bertindak dengan menepis tangan Bhadra. Lalu diberikannya sebuah tamparan yang cukup keras pada pria berambut ikal tersebut.
PLAK!!!
“Kamu?!” Bhadra meradang.
“Jangan kurang ajar kamu, Bhadra! Berani nyentuh aku lagi, kubuat kalian semua masuk rumah sakit!” Arunika memperlihatkan satu jarum emasnya di tangan—jarum yang paling tipis.
“Mau buat kita masuk rumah sakit? Hahahhaahah …!”
“Arunika mau nyuntik kita, Bos. Hahahhahah …!”
“Oalah, Neng. Neng. Kamu itu kok galak banget. Tapi makin kamu nolak, Kakang makin jatuh cinta. Kita main dokter-dokteran yuk di gubukku,” kata Bhadra yang kemudian berseru kepada anak buahnya. “CEPAT TANGKAP PEREMPUAN INI!”
Bhadra dan anak buahnya itu terlalu meremehkan ancaman Arunika.
Di saat wanita itu hendak menusukkan salah satu jarumnya ke leher Bhadra, bersamaan dengan itu datanglah sebuah tendangan yang meluncur deras menghantam punggung sang kepala preman.
BUGH!!!
“Hah?!”
Enam pasang mata termasuk Arunika terbelalak.
Siapa sangka, kalau preman Pasar Kliwon yang terkenal dengan kebrutalan dan kekejamannya menghancurkan lapak pedagang itu tiba-tiba jatuh tersungkur di depan kaki mereka.
Dokter Darma yang menjadi penyelamat Arunika. Pria berkacamata berusia 36 tahun itu langsung menginjak punggung Bhadra dan berseru, “Siapa yang berani menggangu perempuan ini, akan berurusan denganku!”
“Ka—kami nggak akan ganggu. Kami pergi. Ka—kami nggak ada hubungannya sama laki-laki ini.”
Malam itu juga di tengah kegeraman Bhadra yang terluka, Dokter Darma membawa pergi Arunika dengan menggunakan mobil pribadinya.
Arunika yang masih tercengang melihat peristiwa itu mencoba untuk menenangkan diri beberapa saat.
Dokter Darma yang merasakan keheningan itu lantas bertanya. “Ada apa, Nyonya?”
“Ehm … nggak papa.” Arunika menggeleng. “Panggil aja aku Arunika, Dokter. Aku cuma kepikiran, kok Dokter Darma tiba-tiba datang terus nolong aku? Ini bukan kebetulan’kan, Dok?”
“Memang bukan kebetulan. Aku memang sedang mencarimu.”
“Cari aku?” Jantung Arunika berdegup kencang. “Jangan-jangan donator yang baik hati itu nggak jadi nolong, terus Dokter mau nagih biaya rumah sakitku sekarang?”
“Pikiranmu itu terlalu jauh.” Dokter Darma tergelak. “Aku mencarimu, karena ingin menawarimu pekerjaan.”
“Pekerjaan?” Manik mata Arunika membulat.
“Iya. Menjadi ibu susu bayinya Katrina Cantika.”
“Ka—Katrina Cantika? Yang artis dan model papan atas itu?” Arunika terbelalak.
Tetapi langsung diikuti dengan rasa nyeri yang terjadi pada payudaranya yang terasa penuh. Rasa itu sebenarnya sudah dirasakan Arunika, sejak dirinya keluar dari rumah sakit tadi sore. Namun, kematian bayi Ettan dan apa yang terjadi di rumah Keluarga Buana membuat Arunika tak menghiraukan rasa itu.
“Pasienku itu baru saja melahirkan. Kamu tahulah … gimana kehidupan artis itu. Tuntutan pekerjaannya banyak. Jadi dia minta aku untuk mencari ibu susu buat bayinya. Bagaimana? Kamu mau?” Dokter Darma melirik di balik kemudi.
‘Menolong orang lain nggak harus dengan mengobati orang sakit. Mungkin aja asiku ini bisa berguna untuk bayi lain yang lebih membutuhkan.’
***
Tak henti-hentinya Arunika mengagumi keindahan pemandangan Laut Segara Wetan jika dilihat pada malam hari.
Hujan deras yang berganti dengan gerimis itu membuat kumpulan batu karang besar tampak bersinar bermandikan cahaya bulan, sementara barisan rumah mewah yang ada di sana bagaikan pagar pembatas yang memisahkan antara daratan dan perairan.
“Kamu tunggu di sini. Aku mau menemui Katrina,” pesan Dokter Darma.
Arunika mengangguk.
Setelah sepuluh menit mengagumi keindahan Laut Segara Wetan dari kaca jendela ruang tamu dan lima menit mengelilingi ruangan yang luasnya dua atau mungkin tiga kali lebih besar dari milik Keluarga Buana, Arunika sudah mulai bosan.
Tiba-tiba saja terdengarlah suara ….
OEK …! OEK …! OEK …!
Suara tangisan bayi yang lebih mirip seperti jeritan itu mengingatkan Arunika pada bayi Ettan yang baru saja meninggal. Perasaannya berkecamuk. Tanpa sadar dia mengayunkan langkahnya menuju asal suara tersebut.
KRIEKK …!
Arunika membuka salah satu pintu kamar yang ada di lantai dua. Ketika netra hitamnya itu menangkap kehadiran seorang bayi yang sedang menangis sendirian di dalam boks kayu, tanpa pikir panjang dia langsung menghampiri. Menggendong makhluk mungil itu. Mendekapnya di depan dada, lalu menyusuinya.
Entah sudah berapa lama bayi merah itu kelaparan, nyatanya begitu mulut kecil itu mengecap ASI Arunika, tangisannya pun reda. Tangan mungilnya itu berusaha mengenal siapa wanita yang sedang bersamanya saat ini.
Namun, kebersamaan itu tak berlangsung lama, karena dari arah belakang terdengarlah suara hardikan yang membuat pundak Arunika tersentak.
“Berani-beraninya wanita kumuh sepertimu menyusui anakku!”
DEG!
‘Suara itu …?!’
Namanya Arunika Hana.Sehari-hari dia menjual racikan tanaman herbalnya di Pasar Kliwon. Bukan pertama kalinya, dia mengantar pesanan pelanggannya di berbagai tempat. Malam ini, tiba-tiba saja seorang pelanggannya yang berasal dari luar kota meminta Arunika untuk datang ke salah satu hotel bintang lima di kota itu. ‘Aku harus cepat! Nyonya Bagaspati nggak suka nunggu. Terlambat dikit saja, bisa-bisa wanita itu nggak mau bayar pesanan jamunya.’Arunika bergegas sambil menenteng keranjang plastik berisi tiga botol jamu pesanan Nyonya Bagaspati. Upayanya untuk masuk ke dalam hotel langsung dicegah oleh dua orang petugas keamanan yang sedari tadi memperhatikan penampilannya.“Kamu tau ini tempat apa?!”“Ya, tau lah, Pak. Ini’kan Hotel Lokapala.”“Kalau tau, ngapain ke sini bawa sepeda onthel dan pakai sandal jepit?!”“Kan’nggak punya mobil, Pak. Kalau punya, pasti udah kubawa semua kemari … sama sepatuku sekalian. Selusin buat Bapak.”“Eh, anak ini benar-benar ya! Nggak ada sopan santu
PRAANGG …!Nalini Buana tergopoh-gopoh ketika mendengar suara yang mirip seperti barang pecah. Wanita berusia 58 tahun itu bergegas menuju dapur—tempat di mana suara tersebut berasal.Lima menit yang lalu. Nalini sempat memberitahu Arunika untuk mencuci beberapa peralatan makan yang baru saja dibelinya di salah satu pusat perbelanjaan. Lima set peralatan makan edisi khusus dari merek ternama. Terbuat dari keramik. Sangat cantik dan menarik.Perasaan Nalini was-was. Jangan-jangan ….Wajah bulat wanita itu langsung meradang begitu menyaksikan Arunika berjongkok memunguti koleksi piring barunya yang remuk redam. Untuk melampiaskan kekesalannya itu, dia pun berteriak lantang.“DASAR MANTU NGGAK GUNA! Ditinggal bentar aja, udah mecahin piring selusin!”“Maaf, Bu. Tadi mendadak perutku kram. Kerasa kaku gitu. Nggak enak. Waktu ingin sandaran, aku nggak sengaja—” “HALAH! Alasan aja kamu!”“Beneran, Bu. Aku nggak bohong ….”“Hei, Aru! Ibu dulu itu juga pernah hamil, tapi nggak malas kayak k
“Kami turut berduka atas meninggalnya putra Anda, Nyonya.”Proses persalinan Arunika memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Begitu terjaga, tahu-tahu dokter kandungan yang selama ini merawat kehamilannya berkata seperti itu.Lelucon macam apa ini? Dia sungguh tidak percaya!“Itu nggak mungkin ….” Arunika menggeleng. “Dokter pasti salah!”“Itu bukan bayiku. Anakku sehat … aku baru aja lahirin dia. Aku ingin menyusuinya.”“Dia pasti haus’kan, Dok? Karena udah berjam-jam dia belum minum ASI ku.”Bibir coklat Dokter Darma terkatup. Bola mata kecil itu bergerak-gerak menatap wajah pucat pasiennya dari balik kacamatanya yang minus.“Nyonya Arunika Hana,” panggil seseorang.Arunika menoleh ke arah pintu. Sepasang netra hitam itu mendapati kehadiran seorang perawat yang baru saja memasuki kamarnya. Ada sesuatu terbungkus dengan kain putih berada dalam gendongan. Arunika terus memperhatikan gerak-gerik perawat tersebut. Hingga akhirnya sang perawat berdiri di samping ranjangnya, lalu berk
“Kau masih ingat aku rupanya. Padahal sudah lama lho kita nggak jumpa.” Minara melebarkan kedua sudut bibirnya yang dipoles dengan lipstick merah bata. “Delapan tahun. Kita masih pakai seragam putih abu-abu waktu itu.”Minara Jayashree, itulah nama lengkap wanita yang berdiri di samping Akash. Arunika mengenal Minara saat keduanya sama-sama berusia 12 tahun. Dulu, almarhumah ibunya yang bernama Daniah bekerja sebagai buruh cuci di beberapa rumah keluarga kaya, salah satunya adalah Keluarga Jayashree. Daniah selalu mengambil kumpulan baju kotor milik mereka, mencucinya, lalu mengembalikannya dua hari kemudian.Sekali-kali Arunika ikut membantu ibunya mengunjungi rumah besar itu. Dari situlah Arunika dan Minara bertemu. Mereka saling berkenalan, hingga akhirnya menjalin persahabatan semasa sekolah.Minara dulunya adalah seorang gadis kaya yang pemurung dan tidak suka berdandan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung Arunika yang selalu membela dan melindunginya dari perbuatan buruk g
Mereka yang gerah setelah mendengar perkataan Arunika itu sontak mengamuk. Bukan hanya melucuti pakaiannya, tetapi orang-orang itu juga membuang serta membakar semua isi tas kopernya.Mereka juga merampas mahar pernikahan yang seharusnya menjadi hak Arunika, begitu Akash menikahinya secara sah.Tapi semua itu tak masalah!Arunika lebih memilih membawa pergi seperangkat jarum emas peninggalan Nenek Usada. Kumpulan barang yang dianggap rongsokan di mata orang yang tak mengerti, tapi bagi Arunika lebih dari setengah nyawanya berada di sana. ‘Ingat, Aru … simpan dan gunakan jarum emas ini untuk menolong orang lain. Kamu harus menjaganya baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat.’Itulah pesan terakhir yang ditulis Nenek Usada dalam sepucuk surat.Dan malam ini ….Ketika hujan deras mengguyur Kapulaga, Arunika kambali berjalan seorang diri. Tubuh yang hampir setengah telanjang itu dibalut dengan selembar kain jarik pemberian tetangga.‘Dunia ini memang kejam, nduk. Nggak ada y
“Kau masih ingat aku rupanya. Padahal sudah lama lho kita nggak jumpa.” Minara melebarkan kedua sudut bibirnya yang dipoles dengan lipstick merah bata. “Delapan tahun. Kita masih pakai seragam putih abu-abu waktu itu.”Minara Jayashree, itulah nama lengkap wanita yang berdiri di samping Akash. Arunika mengenal Minara saat keduanya sama-sama berusia 12 tahun. Dulu, almarhumah ibunya yang bernama Daniah bekerja sebagai buruh cuci di beberapa rumah keluarga kaya, salah satunya adalah Keluarga Jayashree. Daniah selalu mengambil kumpulan baju kotor milik mereka, mencucinya, lalu mengembalikannya dua hari kemudian.Sekali-kali Arunika ikut membantu ibunya mengunjungi rumah besar itu. Dari situlah Arunika dan Minara bertemu. Mereka saling berkenalan, hingga akhirnya menjalin persahabatan semasa sekolah.Minara dulunya adalah seorang gadis kaya yang pemurung dan tidak suka berdandan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung Arunika yang selalu membela dan melindunginya dari perbuatan buruk g
“Kami turut berduka atas meninggalnya putra Anda, Nyonya.”Proses persalinan Arunika memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Begitu terjaga, tahu-tahu dokter kandungan yang selama ini merawat kehamilannya berkata seperti itu.Lelucon macam apa ini? Dia sungguh tidak percaya!“Itu nggak mungkin ….” Arunika menggeleng. “Dokter pasti salah!”“Itu bukan bayiku. Anakku sehat … aku baru aja lahirin dia. Aku ingin menyusuinya.”“Dia pasti haus’kan, Dok? Karena udah berjam-jam dia belum minum ASI ku.”Bibir coklat Dokter Darma terkatup. Bola mata kecil itu bergerak-gerak menatap wajah pucat pasiennya dari balik kacamatanya yang minus.“Nyonya Arunika Hana,” panggil seseorang.Arunika menoleh ke arah pintu. Sepasang netra hitam itu mendapati kehadiran seorang perawat yang baru saja memasuki kamarnya. Ada sesuatu terbungkus dengan kain putih berada dalam gendongan. Arunika terus memperhatikan gerak-gerik perawat tersebut. Hingga akhirnya sang perawat berdiri di samping ranjangnya, lalu berk
PRAANGG …!Nalini Buana tergopoh-gopoh ketika mendengar suara yang mirip seperti barang pecah. Wanita berusia 58 tahun itu bergegas menuju dapur—tempat di mana suara tersebut berasal.Lima menit yang lalu. Nalini sempat memberitahu Arunika untuk mencuci beberapa peralatan makan yang baru saja dibelinya di salah satu pusat perbelanjaan. Lima set peralatan makan edisi khusus dari merek ternama. Terbuat dari keramik. Sangat cantik dan menarik.Perasaan Nalini was-was. Jangan-jangan ….Wajah bulat wanita itu langsung meradang begitu menyaksikan Arunika berjongkok memunguti koleksi piring barunya yang remuk redam. Untuk melampiaskan kekesalannya itu, dia pun berteriak lantang.“DASAR MANTU NGGAK GUNA! Ditinggal bentar aja, udah mecahin piring selusin!”“Maaf, Bu. Tadi mendadak perutku kram. Kerasa kaku gitu. Nggak enak. Waktu ingin sandaran, aku nggak sengaja—” “HALAH! Alasan aja kamu!”“Beneran, Bu. Aku nggak bohong ….”“Hei, Aru! Ibu dulu itu juga pernah hamil, tapi nggak malas kayak k
Namanya Arunika Hana.Sehari-hari dia menjual racikan tanaman herbalnya di Pasar Kliwon. Bukan pertama kalinya, dia mengantar pesanan pelanggannya di berbagai tempat. Malam ini, tiba-tiba saja seorang pelanggannya yang berasal dari luar kota meminta Arunika untuk datang ke salah satu hotel bintang lima di kota itu. ‘Aku harus cepat! Nyonya Bagaspati nggak suka nunggu. Terlambat dikit saja, bisa-bisa wanita itu nggak mau bayar pesanan jamunya.’Arunika bergegas sambil menenteng keranjang plastik berisi tiga botol jamu pesanan Nyonya Bagaspati. Upayanya untuk masuk ke dalam hotel langsung dicegah oleh dua orang petugas keamanan yang sedari tadi memperhatikan penampilannya.“Kamu tau ini tempat apa?!”“Ya, tau lah, Pak. Ini’kan Hotel Lokapala.”“Kalau tau, ngapain ke sini bawa sepeda onthel dan pakai sandal jepit?!”“Kan’nggak punya mobil, Pak. Kalau punya, pasti udah kubawa semua kemari … sama sepatuku sekalian. Selusin buat Bapak.”“Eh, anak ini benar-benar ya! Nggak ada sopan santu