“Apa mungkin mahasiswi itu memang mengincar istri saya sebagai targetnya?” Devran yang diberitahu banyak kemungkinan mencoba meminta penegasan dari pihak penyidik itu. “Masih kita dalami lagi pak. Itu hanya sebuah dugaan.”“Kabari aku kalau sampai benar yang menjadi target mahasiswi itu adalah istriku!” Devran secara lansung meminta polisi itu menyelidiki kasus itu dengan serius. Sementara Nayra sedang di luar menunggu Devran. Dia duduk bersama Kiki yang masih menenangkannya karena belum juga usai rasa paniknya. Yas juga baru terlihat datang dan terburu masuk ke ruang penyidikan untuk bergabung dengan Devran.“Kenapa Mas Devran malah berlama-lama di kantor polisi ini, Kiki?”Nayra tak tahan ingin segera pergi. Dia belum pernah masuk kantor polisi. Meski hanya sebagai saksi, Nayra tak berhenti gugup.Apalagi dia yang paling histeris melihat sendiri temannya menjadi korban penyiraman itu. Sampai sekarang tremornya belum hilang.“Tenang, Nyonya. Pak Devran hanya mencari keterangan.”
Suntuk di apartemen, Nayra akhirnya memutuskan ke mall sebelah. Jalan-jalan di sana sebentar menunggu Devran pulang dari kantor.Sejak kemarin dia mengurung diri di apartemen. Bayangan tentang kejadian di kampus hingga kondisi temannya yang wajahnya terluka parah itu terus membuatnya begitu resah.Hanya saja akhir-akhir ini Devran mulai tampak berlebihan mencemaskannya. Sehingga berpesan berpesan agar Nayra tidak keluar tanpa dirinya atau Kiki yang menemani.Pikirnya, dia hanya jalan-jalan di mall sebelah, dan tak perlulah sampai harus di temani. Dia hanya butuh sedikit peyegaran saja.“Hallo, Nay?” sapa seseorang.Nayra yang sedang melihat-lihat barang berhenti dan menoleh. Sudah ada Damayanti yang berjalan menghampirinya.Mau apa lagi dia? “Duduk sebentar, yuk? Boleh kan kita ngobrol?” tukas wanita itu dengan senyum di wajah cantiknya. Tapi entah mengapa, Nayra muak sekali mendapati senyum itu dilempar padanya.“Mau bicara apa, ya, Kak?” tanya Nayra.Dia masih berusaha menunjuka
“Mama memecat, Yas?”Devran terkejut mendapati sang asisten melapor menerima email pemecatan dari perusahaan atas nama Tamara.“Ya. Kenapa?” Tamara merasa dia punya hak memecat siapapun yang tidak disukainya.“Dia asistenku, Ma. Aku yang memilihnya sendiri karena tahu apa yang aku butuhkan. Tidak seharusnya ma memecatnya.”“Kau juga memecat orang yang aku pilih. Jadi tidak perlu diperdebatkan. Kau punya 5 sekretaris dan itu lebih dari cukup mengingat sebagain pekerjaanmu Abiyan yang mengerjakan.”“Apa sih yang mama inginkan?” Devran tampak sedikit frustasi menghadapi nenek sihir satu ini.“Bekerja yang fokus dan serius. Yas hanya akan membuatmu bermain-main saja dalam pekerjaaan. Dia akan lebih banyak mengurusi yang lain ketimbang pekerjaan.”Devran lalu menatap Tamara dengan serius, tidak tahan untuk membahas tentang penyerangan Nayra. “Mama jangan kelewatan. Ini Negara hukum. Jangan hanya karena merasa punya kuasa dan banyak uang, Mama bisa seenaknya sendiri.”Tamara balik menatap
“Tadi aku ketemu Damayanti, Mas. Dia hanya ingin mengembalikan jam tangan Mas Devran yang tertinggal di rumahnya.” Nayra menunjukan jam tangan yang sejak tadi dipegangnya pada Devran.Devran sebenarnya terkejut dengan hal itu. Tapi dicobanya bersikap santai sembari mengambil benda itu dari tangan Nayra.“Sudah jangan dipikirkan. Dia memang selalu mencari sensasi agar kau sakit hati,” Devran tidak mau Nayra membahas hal ini.“Ada urusan apa Mas ke rumah Damayanti?” Nayra ingin sebuah jawaban bukannya hanya sebuah kata-kata sekedar menghibur sesaat.“Sudah malam, kita istirahat saja. Jangan bahas hal yang akan membuat kita bertengkar.” Devran masih dengan lembut mengingatkan Nayra.“Tapi benarkah Mas ke rumahnya?” Nayra masih pensaran. Ingin sebuah jawaban.“Nay. Aku lelah,lho!”Devran menunjukan bahwa dia bisa saja meledak kalau Nayra tidak menghentikan perdebatan ini. Bukankah Nayra tahu bagaimana dirinya? “Dan cincin ini, Mas. Damayanti kah yang memilihkannya?” Nayra tak peduli. Se
Nayra berbohong. Dia tidak menghubungi Kiki. Jadi memutuskan naik kendaraan umum menuju kos-kosan Aulia.Ini masih terlalu pagi. Tapi Aulia bilang sedang tidak repot. Jadi Nayra mampir ke tempat temannya itu sekedar mengusir suntuk. Nanti mereka bisa berangkat ke kampus barengan.“Nay? Ayo masuk!” Aulia membuka pintu kos-kosannya yang tidak besar itu dan menyilahkan Nayra masuk. “Duh, rajin amat ya sepagi ini sudah cantik dan siap ke kampus.”“Aku tidak mengganggu, kan, Ul?” Nayra memastikan.“Enggak, Nay. Ganggu apa sih? Anak kosan jam segini juga mau ngapain. Baju juga sudah di loundri. Sarapan juga pesan antar. Tinggal santai nunggu jam kuliah.”Nayra tampak lega kehadirannya sepagi ini tidak menjadi pengganggu temannya.Aulia mengambilkan botol air mineral dari kulkas untuk Nayra. Dia menyodorkannya di meja.“Diminum, Nay. Maaf hanya ada air putih.” Aulia berujar.Sayangnya yang diajaknya bicara sedang bengong seperti orang banyak masalah. Aulia sudah menduga, Nayra pasti ada m
“Nyonya tidak ada di kampus, Pak!” Kiki menelpon Devran untuk melaporkan.“Kau belum bertemu dengannya saama sekali?” tanya Devran.Pasalnya tadi pagi dia baru tahu kalau Kiki belum dihubungi Nayra yang sudah berangkat lebih pagi. Kemudian Kiki langsung ke kampus.Sesampai di sana Kiki melapor sudah bertemu Nayra tapi karena masih sibuk kuliah, jadinya Kiki menunggungya di tempat biasa.Lalu sekarang? Bagaimana Kiki mengatakan Nayra tidak di kampus?“Nyonya bilang masih ada urusan dan memintaku menunggunya di parkiran.” Kiki memberitahu. Dia sudah menghubungi Yas untuk meminta tolong tapi baru ingat Yas ada tugas pribadi dari bosnya itu dan sekarang sedang tidak di Jakarta.“Coba tanya temannya dulu, aku akan coba cari posisinya sekarang.” Devran menghela napas kasar. sebal sekali bisa-bisanya Nayra pagi tadi membohonginya. “Baik, Pak!” Kiki tahu kos-kosan teman Nayra. Itu di sekitar kampus. Jadi dia langsung pergi ke tempat itu.Sementara Devran masih ada sedikit urusan. Tapi dia
Melihat wajah-wajah yang menatapnya dengan penuh meledek itu, emosinya sudah menguar.“Hhg, aku sudah mengikuti apa yang kalian mau. Puas kalian?!”Nayra bangkit dan tak mau lagi lebih lama di tempat ini. Meski kesadarannya mulai menurun, dia akan berusaha menahan diri. Asal keluar saja dari hadapan orang-orang yang memuakkan itu.Tiba-tiab Eva menjulurkan kakinya hingga membuat Nayra tersandung dan tersungkur. Rosa dan Damayanti tampak tertawa dengan puas.Damayanti kemudian bangkit berjalan dan berhenti tepat di hadapan Nayra yang masih bersimpuh itu. Membungkuk dan mendongakkan dagu gadis itu. “Wah, kau baru minum segelas, lho. Ayo kita minum lagi?”“Singkirkan tanganmu!”Nayra masih sempat-sempatnya menantang Damayanti. Dia biasanya tidak punya keberanian. Mungkin karena setengah mabok jadinya dia sulit mengendalikan dirinya.“Sekali lagi kau menyentuhku, aku tidak akan tinggal diam!”“Apa?” Damayanti tampak terkekeh melihat Nayra yang malah mengancamnya itu. “Bisa apa kau gadis
“Kau akan jadi milikku hari ini, cantik...” Rio mencium tangan Nayra dan masih betah mengagumi paras istri mantan bosnya itu.Diantara banyak gadis cantik, sebagai seorang pria normal, Rio tentu tak menampik bahwa Nayra memiliki daya tarik tersendiri yang luar biasa. Terlalu asyik mengagumi gadis ini sampai-sampai lupa dia harus bertindak cepat. Bisa-bisa Tamara juga akan memecatnya kalau kali ini dia tidak berhasil. Tangannya bergetar mulai melepas kancing kemeja Nayra.Satu kancing, dua kancing, lebih gugup lagi ketika dua gundukan indah menggoda itu terpampang di depan matanya, membuat isi dalam celananya penuh, napasnya mulai memburu dan tak sabar untuk langsung mengungkungi tubuh itu.Ketika itu Nayra mulia tampak sadar. Dia membuka matanya dan terkejut melihat wajah seorang pria yang itu bukan Devran mendekat mencoba mencium pipinya.Nayra langsung menahannya dan berteriak. “Tidak! Lepaskan aku!”Rio tak peduli. Dia masih berusaha menyentuh Nayra meski gadis itu memberont
“Kau akan jadi milikku hari ini, cantik...” Rio mencium tangan Nayra dan masih betah mengagumi paras istri mantan bosnya itu.Diantara banyak gadis cantik, sebagai seorang pria normal, Rio tentu tak menampik bahwa Nayra memiliki daya tarik tersendiri yang luar biasa. Terlalu asyik mengagumi gadis ini sampai-sampai lupa dia harus bertindak cepat. Bisa-bisa Tamara juga akan memecatnya kalau kali ini dia tidak berhasil. Tangannya bergetar mulai melepas kancing kemeja Nayra.Satu kancing, dua kancing, lebih gugup lagi ketika dua gundukan indah menggoda itu terpampang di depan matanya, membuat isi dalam celananya penuh, napasnya mulai memburu dan tak sabar untuk langsung mengungkungi tubuh itu.Ketika itu Nayra mulia tampak sadar. Dia membuka matanya dan terkejut melihat wajah seorang pria yang itu bukan Devran mendekat mencoba mencium pipinya.Nayra langsung menahannya dan berteriak. “Tidak! Lepaskan aku!”Rio tak peduli. Dia masih berusaha menyentuh Nayra meski gadis itu memberont
Melihat wajah-wajah yang menatapnya dengan penuh meledek itu, emosinya sudah menguar.“Hhg, aku sudah mengikuti apa yang kalian mau. Puas kalian?!”Nayra bangkit dan tak mau lagi lebih lama di tempat ini. Meski kesadarannya mulai menurun, dia akan berusaha menahan diri. Asal keluar saja dari hadapan orang-orang yang memuakkan itu.Tiba-tiab Eva menjulurkan kakinya hingga membuat Nayra tersandung dan tersungkur. Rosa dan Damayanti tampak tertawa dengan puas.Damayanti kemudian bangkit berjalan dan berhenti tepat di hadapan Nayra yang masih bersimpuh itu. Membungkuk dan mendongakkan dagu gadis itu. “Wah, kau baru minum segelas, lho. Ayo kita minum lagi?”“Singkirkan tanganmu!”Nayra masih sempat-sempatnya menantang Damayanti. Dia biasanya tidak punya keberanian. Mungkin karena setengah mabok jadinya dia sulit mengendalikan dirinya.“Sekali lagi kau menyentuhku, aku tidak akan tinggal diam!”“Apa?” Damayanti tampak terkekeh melihat Nayra yang malah mengancamnya itu. “Bisa apa kau gadis
“Nyonya tidak ada di kampus, Pak!” Kiki menelpon Devran untuk melaporkan.“Kau belum bertemu dengannya saama sekali?” tanya Devran.Pasalnya tadi pagi dia baru tahu kalau Kiki belum dihubungi Nayra yang sudah berangkat lebih pagi. Kemudian Kiki langsung ke kampus.Sesampai di sana Kiki melapor sudah bertemu Nayra tapi karena masih sibuk kuliah, jadinya Kiki menunggungya di tempat biasa.Lalu sekarang? Bagaimana Kiki mengatakan Nayra tidak di kampus?“Nyonya bilang masih ada urusan dan memintaku menunggunya di parkiran.” Kiki memberitahu. Dia sudah menghubungi Yas untuk meminta tolong tapi baru ingat Yas ada tugas pribadi dari bosnya itu dan sekarang sedang tidak di Jakarta.“Coba tanya temannya dulu, aku akan coba cari posisinya sekarang.” Devran menghela napas kasar. sebal sekali bisa-bisanya Nayra pagi tadi membohonginya. “Baik, Pak!” Kiki tahu kos-kosan teman Nayra. Itu di sekitar kampus. Jadi dia langsung pergi ke tempat itu.Sementara Devran masih ada sedikit urusan. Tapi dia
Nayra berbohong. Dia tidak menghubungi Kiki. Jadi memutuskan naik kendaraan umum menuju kos-kosan Aulia.Ini masih terlalu pagi. Tapi Aulia bilang sedang tidak repot. Jadi Nayra mampir ke tempat temannya itu sekedar mengusir suntuk. Nanti mereka bisa berangkat ke kampus barengan.“Nay? Ayo masuk!” Aulia membuka pintu kos-kosannya yang tidak besar itu dan menyilahkan Nayra masuk. “Duh, rajin amat ya sepagi ini sudah cantik dan siap ke kampus.”“Aku tidak mengganggu, kan, Ul?” Nayra memastikan.“Enggak, Nay. Ganggu apa sih? Anak kosan jam segini juga mau ngapain. Baju juga sudah di loundri. Sarapan juga pesan antar. Tinggal santai nunggu jam kuliah.”Nayra tampak lega kehadirannya sepagi ini tidak menjadi pengganggu temannya.Aulia mengambilkan botol air mineral dari kulkas untuk Nayra. Dia menyodorkannya di meja.“Diminum, Nay. Maaf hanya ada air putih.” Aulia berujar.Sayangnya yang diajaknya bicara sedang bengong seperti orang banyak masalah. Aulia sudah menduga, Nayra pasti ada m
“Tadi aku ketemu Damayanti, Mas. Dia hanya ingin mengembalikan jam tangan Mas Devran yang tertinggal di rumahnya.” Nayra menunjukan jam tangan yang sejak tadi dipegangnya pada Devran.Devran sebenarnya terkejut dengan hal itu. Tapi dicobanya bersikap santai sembari mengambil benda itu dari tangan Nayra.“Sudah jangan dipikirkan. Dia memang selalu mencari sensasi agar kau sakit hati,” Devran tidak mau Nayra membahas hal ini.“Ada urusan apa Mas ke rumah Damayanti?” Nayra ingin sebuah jawaban bukannya hanya sebuah kata-kata sekedar menghibur sesaat.“Sudah malam, kita istirahat saja. Jangan bahas hal yang akan membuat kita bertengkar.” Devran masih dengan lembut mengingatkan Nayra.“Tapi benarkah Mas ke rumahnya?” Nayra masih pensaran. Ingin sebuah jawaban.“Nay. Aku lelah,lho!”Devran menunjukan bahwa dia bisa saja meledak kalau Nayra tidak menghentikan perdebatan ini. Bukankah Nayra tahu bagaimana dirinya? “Dan cincin ini, Mas. Damayanti kah yang memilihkannya?” Nayra tak peduli. Se
“Mama memecat, Yas?”Devran terkejut mendapati sang asisten melapor menerima email pemecatan dari perusahaan atas nama Tamara.“Ya. Kenapa?” Tamara merasa dia punya hak memecat siapapun yang tidak disukainya.“Dia asistenku, Ma. Aku yang memilihnya sendiri karena tahu apa yang aku butuhkan. Tidak seharusnya ma memecatnya.”“Kau juga memecat orang yang aku pilih. Jadi tidak perlu diperdebatkan. Kau punya 5 sekretaris dan itu lebih dari cukup mengingat sebagain pekerjaanmu Abiyan yang mengerjakan.”“Apa sih yang mama inginkan?” Devran tampak sedikit frustasi menghadapi nenek sihir satu ini.“Bekerja yang fokus dan serius. Yas hanya akan membuatmu bermain-main saja dalam pekerjaaan. Dia akan lebih banyak mengurusi yang lain ketimbang pekerjaan.”Devran lalu menatap Tamara dengan serius, tidak tahan untuk membahas tentang penyerangan Nayra. “Mama jangan kelewatan. Ini Negara hukum. Jangan hanya karena merasa punya kuasa dan banyak uang, Mama bisa seenaknya sendiri.”Tamara balik menatap
Suntuk di apartemen, Nayra akhirnya memutuskan ke mall sebelah. Jalan-jalan di sana sebentar menunggu Devran pulang dari kantor.Sejak kemarin dia mengurung diri di apartemen. Bayangan tentang kejadian di kampus hingga kondisi temannya yang wajahnya terluka parah itu terus membuatnya begitu resah.Hanya saja akhir-akhir ini Devran mulai tampak berlebihan mencemaskannya. Sehingga berpesan berpesan agar Nayra tidak keluar tanpa dirinya atau Kiki yang menemani.Pikirnya, dia hanya jalan-jalan di mall sebelah, dan tak perlulah sampai harus di temani. Dia hanya butuh sedikit peyegaran saja.“Hallo, Nay?” sapa seseorang.Nayra yang sedang melihat-lihat barang berhenti dan menoleh. Sudah ada Damayanti yang berjalan menghampirinya.Mau apa lagi dia? “Duduk sebentar, yuk? Boleh kan kita ngobrol?” tukas wanita itu dengan senyum di wajah cantiknya. Tapi entah mengapa, Nayra muak sekali mendapati senyum itu dilempar padanya.“Mau bicara apa, ya, Kak?” tanya Nayra.Dia masih berusaha menunjuka
“Apa mungkin mahasiswi itu memang mengincar istri saya sebagai targetnya?” Devran yang diberitahu banyak kemungkinan mencoba meminta penegasan dari pihak penyidik itu. “Masih kita dalami lagi pak. Itu hanya sebuah dugaan.”“Kabari aku kalau sampai benar yang menjadi target mahasiswi itu adalah istriku!” Devran secara lansung meminta polisi itu menyelidiki kasus itu dengan serius. Sementara Nayra sedang di luar menunggu Devran. Dia duduk bersama Kiki yang masih menenangkannya karena belum juga usai rasa paniknya. Yas juga baru terlihat datang dan terburu masuk ke ruang penyidikan untuk bergabung dengan Devran.“Kenapa Mas Devran malah berlama-lama di kantor polisi ini, Kiki?”Nayra tak tahan ingin segera pergi. Dia belum pernah masuk kantor polisi. Meski hanya sebagai saksi, Nayra tak berhenti gugup.Apalagi dia yang paling histeris melihat sendiri temannya menjadi korban penyiraman itu. Sampai sekarang tremornya belum hilang.“Tenang, Nyonya. Pak Devran hanya mencari keterangan.”
“Kenapa menghubungi Musa?” suara Tamara mengalihkan Devran dari menelpon Musa. Sehingga dia harus mengakhiri panggilannya itu karena sanng mama datang di ruangannya.“Untuk apa mama ikut campur dalam perusahaan?”“Aku tidak akan memutuskan ikut campur kalau bukan karena kamu yang meresahkan.”“Meresahkan gimana sih, Ma? Kenapa di mata mama apa yang aku lakukan selalu salah?”“Kau memang akan selalu salah karena gadis itu. Semua berantakan hanya karena kau lebih mementingkan gadis itu. Kalau kau tidak mau mama terus mengawasimu, lepaskan gadis itu dan fokus pada perusahaan!”Devran menghela. Sungguh frustasi dengan sikap sang mama. Secemburu apa dia sama Nayra hingga sampai harus melakukan semua ini.“Mama lho yang minta aku segera menikah.”“Benar, akulah yang memintamu menikah. Karena menghindarimu dari gosip buruk dikata gay karena patah hati ditinggal menikah. Tapi bukan dengan gadis itu juga, kan?”“Lalu dengan siapa? Mama memintaku balik dengan Damayanti yang sudah jelas-jelas m