Makanan yang disiapkan untuk Devran sudah mulai dingin. Tapi pria itu belum juga datang. Padahal tadi Devran bilang akan segera datang.“Ugh. Pasti tiba-tiba ada pekerjaan, “ ujar Nayra sembari bertopang dagu menatap makanan-makanan yang sudah disiapkannya mulai dingin.Ponselnya masih sepi. Lalu dia mencoba menghubungi Devran. Panggilan baru diangkat setelah tiga kali Nayra menghubungi ulang.“Mas di mana? Ini sudah malam, lho!” tanya Nayra.“Ini sudah di bawah kok, mau naik lift.”Mendengar Devran sudah datang, Nayra pun sedikit panik. “Oh, baiklah, Mas. Aku akan angetin makanan mas Devran dulu."Nayra langsung meletakkan ponsel itu dan segera mempersiapkan makan malam mereka. Tidak mau saja suaminya itu makan dengan makanan yang sudah dingin.“Nay?” Devran tiba-tiba sudah di apartemen saja.“Iya, Mas. Ini aku lagi angetin makanan Mas Devran.” Nayra menoleh dan tersenyum senang melihat Devran sudah datang.“Tidak perlu, aku sudah makan.” Devran memberitahu Nayra agar tidak usah re
“Kenapa menghubungi Musa?” suara Tamara mengalihkan Devran dari menelpon Musa. Sehingga dia harus mengakhiri panggilannya itu karena sanng mama datang di ruangannya.“Untuk apa mama ikut campur dalam perusahaan?”“Aku tidak akan memutuskan ikut campur kalau bukan karena kamu yang meresahkan.”“Meresahkan gimana sih, Ma? Kenapa di mata mama apa yang aku lakukan selalu salah?”“Kau memang akan selalu salah karena gadis itu. Semua berantakan hanya karena kau lebih mementingkan gadis itu. Kalau kau tidak mau mama terus mengawasimu, lepaskan gadis itu dan fokus pada perusahaan!”Devran menghela. Sungguh frustasi dengan sikap sang mama. Secemburu apa dia sama Nayra hingga sampai harus melakukan semua ini.“Mama lho yang minta aku segera menikah.”“Benar, akulah yang memintamu menikah. Karena menghindarimu dari gosip buruk dikata gay karena patah hati ditinggal menikah. Tapi bukan dengan gadis itu juga, kan?”“Lalu dengan siapa? Mama memintaku balik dengan Damayanti yang sudah jelas-jelas m
“Apa mungkin mahasiswi itu memang mengincar istri saya sebagai targetnya?” Devran yang diberitahu banyak kemungkinan mencoba meminta penegasan dari pihak penyidik itu. “Masih kita dalami lagi pak. Itu hanya sebuah dugaan.”“Kabari aku kalau sampai benar yang menjadi target mahasiswi itu adalah istriku!” Devran secara lansung meminta polisi itu menyelidiki kasus itu dengan serius. Sementara Nayra sedang di luar menunggu Devran. Dia duduk bersama Kiki yang masih menenangkannya karena belum juga usai rasa paniknya. Yas juga baru terlihat datang dan terburu masuk ke ruang penyidikan untuk bergabung dengan Devran.“Kenapa Mas Devran malah berlama-lama di kantor polisi ini, Kiki?”Nayra tak tahan ingin segera pergi. Dia belum pernah masuk kantor polisi. Meski hanya sebagai saksi, Nayra tak berhenti gugup.Apalagi dia yang paling histeris melihat sendiri temannya menjadi korban penyiraman itu. Sampai sekarang tremornya belum hilang.“Tenang, Nyonya. Pak Devran hanya mencari keterangan.”
Suntuk di apartemen, Nayra akhirnya memutuskan ke mall sebelah. Jalan-jalan di sana sebentar menunggu Devran pulang dari kantor.Sejak kemarin dia mengurung diri di apartemen. Bayangan tentang kejadian di kampus hingga kondisi temannya yang wajahnya terluka parah itu terus membuatnya begitu resah.Hanya saja akhir-akhir ini Devran mulai tampak berlebihan mencemaskannya. Sehingga berpesan berpesan agar Nayra tidak keluar tanpa dirinya atau Kiki yang menemani.Pikirnya, dia hanya jalan-jalan di mall sebelah, dan tak perlulah sampai harus di temani. Dia hanya butuh sedikit peyegaran saja.“Hallo, Nay?” sapa seseorang.Nayra yang sedang melihat-lihat barang berhenti dan menoleh. Sudah ada Damayanti yang berjalan menghampirinya.Mau apa lagi dia? “Duduk sebentar, yuk? Boleh kan kita ngobrol?” tukas wanita itu dengan senyum di wajah cantiknya. Tapi entah mengapa, Nayra muak sekali mendapati senyum itu dilempar padanya.“Mau bicara apa, ya, Kak?” tanya Nayra.Dia masih berusaha menunjuka
“Mama memecat, Yas?”Devran terkejut mendapati sang asisten melapor menerima email pemecatan dari perusahaan atas nama Tamara.“Ya. Kenapa?” Tamara merasa dia punya hak memecat siapapun yang tidak disukainya.“Dia asistenku, Ma. Aku yang memilihnya sendiri karena tahu apa yang aku butuhkan. Tidak seharusnya ma memecatnya.”“Kau juga memecat orang yang aku pilih. Jadi tidak perlu diperdebatkan. Kau punya 5 sekretaris dan itu lebih dari cukup mengingat sebagain pekerjaanmu Abiyan yang mengerjakan.”“Apa sih yang mama inginkan?” Devran tampak sedikit frustasi menghadapi nenek sihir satu ini.“Bekerja yang fokus dan serius. Yas hanya akan membuatmu bermain-main saja dalam pekerjaaan. Dia akan lebih banyak mengurusi yang lain ketimbang pekerjaan.”Devran lalu menatap Tamara dengan serius, tidak tahan untuk membahas tentang penyerangan Nayra. “Mama jangan kelewatan. Ini Negara hukum. Jangan hanya karena merasa punya kuasa dan banyak uang, Mama bisa seenaknya sendiri.”Tamara balik menatap
“Tadi aku ketemu Damayanti, Mas. Dia hanya ingin mengembalikan jam tangan Mas Devran yang tertinggal di rumahnya.” Nayra menunjukan jam tangan yang sejak tadi dipegangnya pada Devran.Devran sebenarnya terkejut dengan hal itu. Tapi dicobanya bersikap santai sembari mengambil benda itu dari tangan Nayra.“Sudah jangan dipikirkan. Dia memang selalu mencari sensasi agar kau sakit hati,” Devran tidak mau Nayra membahas hal ini.“Ada urusan apa Mas ke rumah Damayanti?” Nayra ingin sebuah jawaban bukannya hanya sebuah kata-kata sekedar menghibur sesaat.“Sudah malam, kita istirahat saja. Jangan bahas hal yang akan membuat kita bertengkar.” Devran masih dengan lembut mengingatkan Nayra.“Tapi benarkah Mas ke rumahnya?” Nayra masih pensaran. Ingin sebuah jawaban.“Nay. Aku lelah,lho!”Devran menunjukan bahwa dia bisa saja meledak kalau Nayra tidak menghentikan perdebatan ini. Bukankah Nayra tahu bagaimana dirinya? “Dan cincin ini, Mas. Damayanti kah yang memilihkannya?” Nayra tak peduli. Se
Nayra berbohong. Dia tidak menghubungi Kiki. Jadi memutuskan naik kendaraan umum menuju kos-kosan Aulia.Ini masih terlalu pagi. Tapi Aulia bilang sedang tidak repot. Jadi Nayra mampir ke tempat temannya itu sekedar mengusir suntuk. Nanti mereka bisa berangkat ke kampus barengan.“Nay? Ayo masuk!” Aulia membuka pintu kos-kosannya yang tidak besar itu dan menyilahkan Nayra masuk. “Duh, rajin amat ya sepagi ini sudah cantik dan siap ke kampus.”“Aku tidak mengganggu, kan, Ul?” Nayra memastikan.“Enggak, Nay. Ganggu apa sih? Anak kosan jam segini juga mau ngapain. Baju juga sudah di loundri. Sarapan juga pesan antar. Tinggal santai nunggu jam kuliah.”Nayra tampak lega kehadirannya sepagi ini tidak menjadi pengganggu temannya.Aulia mengambilkan botol air mineral dari kulkas untuk Nayra. Dia menyodorkannya di meja.“Diminum, Nay. Maaf hanya ada air putih.” Aulia berujar.Sayangnya yang diajaknya bicara sedang bengong seperti orang banyak masalah. Aulia sudah menduga, Nayra pasti ada m
“Nyonya tidak ada di kampus, Pak!” Kiki menelpon Devran untuk melaporkan.“Kau belum bertemu dengannya saama sekali?” tanya Devran.Pasalnya tadi pagi dia baru tahu kalau Kiki belum dihubungi Nayra yang sudah berangkat lebih pagi. Kemudian Kiki langsung ke kampus.Sesampai di sana Kiki melapor sudah bertemu Nayra tapi karena masih sibuk kuliah, jadinya Kiki menunggungya di tempat biasa.Lalu sekarang? Bagaimana Kiki mengatakan Nayra tidak di kampus?“Nyonya bilang masih ada urusan dan memintaku menunggunya di parkiran.” Kiki memberitahu. Dia sudah menghubungi Yas untuk meminta tolong tapi baru ingat Yas ada tugas pribadi dari bosnya itu dan sekarang sedang tidak di Jakarta.“Coba tanya temannya dulu, aku akan coba cari posisinya sekarang.” Devran menghela napas kasar. sebal sekali bisa-bisanya Nayra pagi tadi membohonginya. “Baik, Pak!” Kiki tahu kos-kosan teman Nayra. Itu di sekitar kampus. Jadi dia langsung pergi ke tempat itu.Sementara Devran masih ada sedikit urusan. Tapi dia
Ananda anak pintar dan kutu buku sejak kecil. Dia selalu mendapat prestasi di sekolah karena memang dia tipikal anak yang tidak mau terlihat buruk.Pernah ada anak baru yang lebih menonjol mengalahkan Ananda, hal itu saja sudah membuat anak itu mengurung diri sepanjang waktu di kamarnya.“Bujuklah Ananda agar mau makan. Kasihan sepupumu, Dev!” Rosa waktu itu meminta Devran membantunya.Dengan sedikit usaha, Devran bisa masuk dari jendela, Ananda malah melemparinya dengan benda-benda yang ada di dekatnya.“Keluar! Kalau aku bilang tidak mau makan bukan urusanmu!” Ananda meneriaki Devran.“Ayolah, bro. Itu hanya tentang nilai. Kau bisa mengejarnya lain waktu.” Devran menghibur sepupunya.“Kau tak tahu apa-apa, Dev! Kau tak tahu rasanya belajar sampai tengah malam dan begitu keesokan harinya kau ujian, CBT komputermu tak berjalan. Waktu habis dan aku tertinggal. Enak saja mereka bilang aku tidak bisa mengulang ujian itu hanya karena tidak ada jadwa ujian susulan. Lebih enak lagi, anak
Perasaan Nayra sepagi ini sudah terasa manis. Nenek Renata menelpon dan bermimpi bahwa anak yang dikandung Nayra berjenis kelamin perempuan. Nayra suka sekali anak perempuan.Nanti kalau memang anak perempuan yang dilahirkannya, dia sudah tidak sabar menguncir rambutnya, membuatkannya baju rajut yang cantik, juga menghias kuku-kukunya.Mudah-mudahan mimpi Nenek Renata bisa terwujud.“Jangan terus tersenyum begitu, aku memang pandai memuaskanmu, tapi tak perlu juga mendeklarasikannya dengan senyuman sepanjang hari,” tukas Devran sembari memakai kemejanya. Dia harus segera berangkat kerja. Ada banyak agenda hari ini.Mendengar Devran mengatakan demikian Nayra langsung melototinya. “Besar kepala sekali Anda? Siapa juga yang senyum-senyum untuk Anda?”“Oh. Bukan senyum-senyum untukku? Atau senyum itu untuk....”“Jangan mulai deh, Mas. Mau kita bertengkar lagi sepagi ini?” Nayra mengingatkan.Jadi malah terbalik begini. Biasanya dialah yang suka memulai sebuah pertengkaran.“Emang kau piki
“Ouuuh, Mas!” Nayra sampai terlihat tak berdaya. Menggapai-gapai sesuatu di sekitarnya sekedar untuk diremasnya sebagi buncahan rasa itu.“Mas???” jeritnya tapi dia begitu menikmatinya.Peluh dikeningnya bercucuran dan tubuhnya benar-benar bergetar. Entah bagaiamana bisa pria itu tanpa memasukinya dengan sebagaimana mestinya, sudah membuat Nayra gelonjotan seperti ini.Nayra bahkan sudah mencambaki rambut kepala yang menyerusuk di sela kedua kakinya itu, namun Devran tak berhenti. Dia juga mau Nayra merasakan sensasi yang sama saat barusan tadi dirinya terpuaskan.“Sudah, Mas. Jangan heboh-heboh...”Devran baru mengurangi usahanya itu saat teringat istrinya sedang hamil dan tak boleh terlalu heboh. Takut mengusik janin yang anteng di dalam sana.Keduanya kembali terkulai di atas ranjang itu sambil saling memeluk dan tak rela terpisahkan.Devran juga tak mau Nayra sampai kelaparan, jadinya sembari menunggu Nayra selesai mandi, Devran memesankan makanan untuknya.Selesai memesan, dia
Devran sudah lama tidak memukuli orang. Sekarang mumpung ada mangsa dan juga suasana hatinya yang mendukung adrenalinnya naik, Devran tampak kesetanan menghajar tiga cecunguk itu satu persatu sampai mereka ampun-ampun dan mencium sepatu Devran.“Ampun, bos, ampun! Kita cuma cari sesuap nasi untuk anak istri kita!” salah satu pria yang sudah babak belur memohon-mohon.“Kembalikan barang istriku!” Devran merebut tas dan jam tangan Nayra.Tidak sulit membelikan lagi Nayra barang-barang mahal untuknya. Tapi tindakan mencuri atau merampok tentu tidak bisa dibenarkan dan dibiarkan begitu saja.Tapi, kali ini Devran bermurah hati. Dia tidak berlanjut mempolisikan mereka. “Pergi sebelum aku berubah pikiran!” ketusnya pada mereka.Sedikit tergesa sembari menyeret teman yang pingsan mereka pun langsung masuk ke dalam mobil dan meluncur menghilang.Saat itu Devran berbalik dan melihat Nayra berlari kecil untuk melihat Devran. Namun Ananda masih mempengaruhi Nayra.“Devran tidak kenapa-kenap
“Aku dengar, Devran melaporanku ke organisasi dokter. Tidak tahu benar atau tidaknya, tapi aku yakin undangan itu untuk menyidangku.” Ananda mengutarakan keresahannya pada Nayra.Pria itu tahu Nayra tidak mengerti apa-apa. Kalau dia membuka sedikit saja memori saat Nayra sebelum amnesia, yakin lah dia bisa memporak porandakan hubungan Devran dan Nayra kembali.“Ke-kenapa Mas Devran melaporkan Dokter? Apa ada yang salah?” Nayra bingung dan heran.“Dia...” Ananda hendak mengatakan sesuatu, tapi mendadak terhenti karena seorang wanita menghampiri mereka.“Mas Nanda?” tegurnya. Raut wajahnya resah dan sedih. Membuat Ananda juga Nayra menatapanya heran.Nayra terkejut karena dia mengenalnya. “Lho, kamu kan yang...”Belum juga berlanjut ucapan Nayra, Ananda memotongnya. “Nay. Dia putri teman mamaku. Aku izin ngobrol sebentar, ya? Sebentar saja, kok!”Nayra tentu mengiyakan. Aulia diminta menemani Nayra dulu sembari menunggunya membereskan masalah dengan gadis satu ini.“Apa maumu, Yasmin?
“Terima kasih atas sarannya, Nyonya. Sebaiknya Anda keluar karena saya banyak pekerjaan hari ini.” Devran tak peduli. Dia mengabaikan Tamara dengan duduk di kursi kerjanya dan menghubungi sekretarisnya.“Rudi, bawakan aku dokumen kontrak kerjasama dengan perusahaan Malaysia. Aku mau pelajari dulu!”Tamara masih belum menyerah mengusik sang putra. Dia menjalankan kursi rodanya mendekati meja kerja Devran. Sedikit melembutkan suaranya dia menyampaikan, “Papamu ulang tahun hari ini, kau tidak mau mengucapkannya?”Devran menampakkan ketidakpeduliannya dengan memeriksa ponselnya. Terasa geli saja di telinganya mendengar Tamara menyebutkan papa untuk Ludwig.“Dev?” Tamara meminta perhatian putranya itu. “Hargai sedikit keberadaannya di hidupmu, Dev. Dia ayah biologismu. Dia orang pertama yang sangat bahagia mendengar mama hamil.”Devran menghela napas. Kalau tidak disudahi, wanita ini tidak akan berhenti menganggu waktunya. Memang seperti itulah mamanya.“Sudah tua juga ulang tahun, kayak
Tatapan Nayra membulat mendengar Devran kembali ingin mengukungnya. Tapi dia jadi ingin menggoda Devran. “Kalau sama gadis cantik selalu ada yang mendesak ya, Mas?”Sialnya yang Nayra tahu, pria ini selalu dikelilingi wanita cantik.Jadi ingat Damayanti yang super model itu. bukan hanya cantik, tentu saja bodinya juga seksi. Semua pria pasti setuju Damayanti itu wanita yang bisa memuaskan visual para pria.Kalau begini, Nayra kembali tergoda membayangkan, saat Devran berpacaran dengan Damayanti, seheboh apa pergulatan mereka di atas ranjang?Hal itu selalu membuatnya cemburu.“Maksudnya apa ngomong begitu? Mau bertengkar lagi?” Devran menaikan alisnya tidak suka Nayra memancing-mancing pembahasan. “Ya, gimana? Mas Devran kalau di ranjang buas banget kayak srigala lapar. Enggak mungkin juga kan dulu-dulu enggak begini?”Nayra sudah berbesar hati saat awal-awal tahu kehidupan Devran. Bahwa semua itu masa lalu. Tapi terkadang, dia juga penasaran.“Ya gimana? Emang suamimu ini pejantan t
“Orang merem melek keenakan begitu, ngapain juga kemarin nolak-nolak?” Sindir Devran kala selesai kegiatan olahraga pagi mereka pada Nayra yang tampak terkulai lemas namun bibirnya tak berhenti menyunggingkan senyum.“Gimana enggak nolak? Mas Devran kan yang lebih dulu nolak aku. Melorot banget harga diriku ditolak begitu, Mas. Kesannya aku ini enggak banget di mata Mas Devran.” Nayra mengungkapkan perasaannya kala itu.Mereka sudah sama-sama pelepasan dan lega satu sama lain melewati sikap saling kesal dan ingin membalas. Karenanya, obrolannya pun sudah kembali santai tanpa ada otot dan ego yang tak mau kalah.“Jangan overthinking begitulah, masa sampai sebegini kau masih meragukan cintaku? Enggak pernah lho aku seperti ini dulu sama perempuan. Cuma sama kamu sampe aku bela-belain hampir gila.” Devran memberitahu gadis yang selalu meragukannya ini.“Kapan Mas Devran begitu?” Nayra hampir tak percaya.“Kamu memang tak pernah percaya sama aku, tapi kalau Ananda yang ngomong, enggak ben
Saat terbangun Nayra merasa kakinya pegal semua. Tidak tahunya ada kaki besar yang menindih kakinya.“Mas? Maaas?!” Nayra menggoyang tubuh itu.“Hah, apa?” Devran terbangun.“Capek semua ini, Mas. Kakinya disingkirin!” Nayra masih mencoba mendorong tubuh besar Devran.Apa tidak pikir-pikir saat memeluk Nayra? Untung tidak mengenai perutnya.Entahlah. Sejak kapan pria ini sudah balik ke kamar. Nayra juga lelah. Sampai tidak tahu sepanjang malam dipeluk dan ditindih pria ini.“Eh, maaf, Sayang!” Devran baru berjingkat dari memeluk Nayra.“Lain kali jangan peluk lagi, Mas.”“Astaga, Nay. Hanya peluk doang, lho. Enggak mau juga?” Devran protes. Sebegitunya Nayra tidak mau dipeluknya.Padahal maksud Nayra bukan karena tidak mau. Tapi karena ingi menyelamatkan bayinya dari pola tingkah bapaknya.Melihat Devran bangkit begitu saja ke kamar mandi, Nayra jadi merasa bersalah.Dia memang masih sebal dan kesal pada pria itu. tapi sebenarnya juga meridukannya.Mungkin sebentar meletakkan rasa s