“Damay?” Tamara menyapa balik.Ketika wanita cantik itu melangkah mencium pipi Tamara, Nayra hanya bisa terdiam menyaksikan hubungan Tamara dan Damayanti yang masih sangat akrab itu.“Apa kabar, Dev?” Damayanti kemudian beralih pada Devran dan tersenyum menyapanya.Nayra diam-diam memperhatikan keduanya yang saling beradu pandang. Meski Devran tampak biasa, tapi dalam hati Nayra merasa mereka masih ada sesuatu.Seperti yang diketahui Nayra, Devran selalu begitu orangnya. Tampak cuek di permukaan tapi sebenarnya tidak begitu adanya.Ada sedikit cemburu terlintas yang berusaha ditepis oleh perasaan Nayra dengan cepat. Mereka hanya bertemu dan tidak melakukan hal apapun. Apa salahnya dan mengapa dia harus cemburu?“Baik. Ini Nayra. Istriku!” Devran merangkul Nayra dan mengenalkannya pada Damayanti.Untuk pertama kalinya, Nayra dan Damayanti saling berjabatan tangan. Nayra tampak canggung mencoba membalas senyum wanita itu.Meski begitu tentang foto dan barang-barang wanita di kamar Devra
Nayra mencoba menghubungi Devran. Ini sudah lebih dari se jam saat dirinya memutuskan keluar dari ruangan Tamara.Kenapa Devran tidak mencarinya?Barulah dia tahu ponselnya kehabisan paket data hingga tidak berhasil menghubungi Devran atau sebaliknya.Untuk urusan seperti ini Nayra kurang memperhatikannya. Karena biasanya di apartemen sudah tersedia wi-fi. Bahkan di kampusnya pun juga sudah tersedia jaringan internet terbuka.Nayra pun memutuskan untuk balik ke ruangan itu. Mudah-mudahan Devran sudah di sana dan sedang menunggunya.Bisa jadi mamanya tidak ada yang menunggu jadi tidak bisa meninggalkannya.Tapi, apa Damayanti masih ada di ruangan itu?Dari pada terus bertanya-tanya sendiri, bukankah akan lebih baik langsung balik saja?Nayra sudah mengetuk pintu dan bersiap masuk ruang perawatan. Tapi, situasi di dalam sepi karena bahkan Tamara pun sudah tertidur. Hanya ada seorang perempuan yang menungguinya di sofa samping ranjang pasien. Itu asisten Tamara.“Maaf, Mbak. Nyonya s
“Aku kesiangan, Mas. Aku berangkat dulu!” Nayra melihat jam tangannya dan memang ini sudah siang. Dia terlalu lama menghabiskan waktu tadi hanya untuk tertegun dan melamun di meja makan.“Nay?” Devran benar-benar tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya tadi.Nayra sudah bangkit menyingkirkan gelas dan piringnya di kitchen sink. Memncucinya sebentar dan bergegas mengambil tasnya.“Aku antar!” Devran menghabiskan susunya dan bangkit. Dia tak perlu bertanya apakah Nayra mau dia yang mengantarnya atau tidak. Dia jadi tahu, bahasa tubuh Nayra kalau sedang marah. Nayra lebih banyak diam.“Damayanti tiba-tiba sakit. Dia tidak membawa kendaraan, jadi mama memintaku untuk mengantarnya pulang. Maaf, ya?” Devran menyelipkan penjelasan itu saat mereka di jalan.Nayra melirik Devran. Pria ini apa masih peduli untuk menjelaskan sesuatu padanya?“Jangan perhitungan. Kau juga aku hubungi lho. katanya kau ada sedikit urusan. Saat aku balik ke rumah sakit, kau juga sudah tidak ada di sana. Eva
“Jam 12 malam, konter sebelah klinik sudah pada tutup. Aku tanya-tanya di mana konter yang masih buka? Jadinya sampai capek begini jalan jauh.” Nayra mengurut kakinya sendiri sembari melanjutkan penjelasannya.Mumpung ditanya. Sekalian saja agar pria ini tahu. Di saat dia khawatir mantan kekasihnya itu kenapa-kenapa di jalan di tengah malam. Nayra bahkan berjalan kaki tengah malam buta itu.“Jam 12 malam? Jalan kaki sendirian?” Devran mengulang ucapan Nayra sendiri. Seolah dia tidak percaya.Nayra mengangguk. Dia mengambil cream itu dan bangkit berjalan tertatih mengembalikannya ke laci.“Jangan becanda, Nay!” Seolah masih tidak percaya kalau kemarin dia meninggalkan Nayra di klinik. Padahal dia sempat balik ke klinik sebelum itu dan Nayra sudah tidak ada di sana.Eva juga tidak tahu apa-apa. Mamanya sudah tidur. Karenanya dia mengira Nayra memang sudah pulang.menghubungi pelayan di rumah keluarga untuk bertanya apakah Nayra pulang ke sana? Ternyata Nayra tidak ke sana. Akhirnya D
“Jangan dimonyongin begitu bibirnya, aku cium lagi baru tahu rasa!” Devran mengantar Nayra ke kampus karena sepagi ini sudah merepotkan gadis itu untuk memenuhi hasyratnya yang tak bisa dipuaskan hanya sekali mereka bercinta. Padahal hari ini gadis ini ada ujian, sudah telat hampir se-jam-an. Nayra pasti kesal sekali hingga sepanjang jalan bibirnya tak bisa ditarik seperti biasa. “Mas tahu tidak peraturan kampus? Bagaimana kalau mereka nanti mengeluarkanku? Aku susah-susah lho masuk universitas ini? Jangan seenaknya sendiri, dong!” Nayra masih sebal. Ingin sekali dia menjambak dan memukuli pria di sampingnya itu. sayangnya dia mana mungkin berani melakukannya? Menolaknya tadi saja tidak mampu. “Salah sendiri! Kamu bikin tegang mlulu. Kan sudah enak tadi habis keramas langsung pakai baju dan berangkat. Malah sliwar-sliwer gondal-gandul pakai bra dan celana dalam doang. Mana tahan aku melihatmu begitu, Sayangku?”
Oh. Bagaimana Nayra sampai teledor dan tidak tahu ada bekas kissmark di leher putihnya? Apa ada yang lihat selain Aulia? Jangan-jangan dosennya tadi juga sudah melihatnya. Aaaah. Memalukan sekali! “Kau bukan gadis yang seperti itu kan, Nay?” Aulia mempertegas. Dia tahu Nayra gadis yang baik dan sudah menganggapnya teman baik pula. “Ya Allah, Ul. Tentu saja tidak. Jangan berpikir macam-macam padaku.” Nayra menatap temannya itu dengan harapan dipercaya. Dia baru merasa nyaman memiki teman tempat curhat dan berkeluh kesah seperti Aulia. Tidak mau Aulia sampai berpikir yang bukan-bukan tentangnya. Karenanya, Nayra memutuskan mengatakan sedikit hal tentang kebenaran hidupnya pada Aulia. “A-aku sebenarnya sudah menikah, Ul. Tapi please jangan bilang siapa-siapa ya?” Nayra menggenaggam tangan temannya itu. “Astaga, Nay. Kenapa kau setakut itu. Sah-sah saja kok kalau kamu sudah menikah. Tidak ada yang buruk te
Deg!Nayra seketika terkejut lantaran Tamara belum apa-apa malah mengomentari gaun yang dipakainya.Gadis itu mana tahu gaun apa yang semestinya dipakai untuk menghadiri sebuah pesta yang katanya hanya untuk syukuran keberhasilan acara pergelaran busana di New York?Sontak dia menolah ke sekitar dan baru menyadari orang-orang yang datang adalah para pejabat dan juga para artis dengan pakaian yang glamour.Dia benar-benar seperti sampah di tempat ini.“Oh, M-maaf, Ma. Aku...” Nayra jadi bingung harus bagaimana.Hingga Tamara menariknya mendekat hanya untuk berbisik, “Jangan dekat-dekat denganku, sorot kamera akan terus mengawasi. Sebaiknya, duduklah di pojok sana dan jangan sampai terlihat kamera!” Nayra tahu dia yang salah karena tidak bertanya dulu seperti apa pesta yang diselenggarakan mertuanya itu hingga merasa tidak perlu sampai harus membeli baju khusus agar terlihat pantas.Tadi saat berangkat Nayra hanya memakai gaun sewajarnya saja yang dipakai untuk acara formal atau seb
Langkahnya terhenti saat berjalan menuju toilet tapi malah melihat wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu Devran.Nayra membeku, tertegun, sedih, dan terluka. tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa melihatnya dengan meradang. Seolah belum cukup semua orang merendahkan dirinya di tempat ini. Lalu Devran malah menyayat perasaannya dengan terlihat bersama Damayanti.“Nona, saya mencari Anda sejak...” Rio menghampiri Nayra yang membeku itu. kata—katanya tidak berlanjut lantaran juga melihat apa yang dilihat Nayra.Suara Rio membuat Devran yang tak jauh dari tempat itu menoleh. Dia baru melihat Nayra sudah ada di belakang punggungnya sedang menatapnya.“Nay?”Devran melepas Damayanti dan hendak berjalan pada Nayra. Namun tiba-tiba wanita itu pingsan dan terkulai di lantai.Tentu Devran yang masih di sampingnya tertahan karena hal itu.Akan terlihat tidak berperi kemanusiaan saja kalau membiarkan ada seseorang yang terkulai di kakinya sementara dia tetap melanjutkan jalannya.“Rio
Sambil lalu, Devran akan memikirkannya lagi.Saat ini dia harus mencari cara bagaimana membujuk Nayra agar membiarkannya kembali ke Jakarta sementara waktu.Terlalu lama meninggalkan kantornya dengan deadline proyek dan bisnis yang sudah menumpuk, membuat Devran tidak tenang juga.Dia bukan pria yang tak punya rasa tanggung jawab. Jadi meski sudah mulai mengurusnya dari jauh, tetap saja ada beberapa hal yang tak mungkin bisa dikerjakannya secara virtual.“Nanti aku bisa kok datang kalau kau memang butuh aku datang. Sekarang ada beberapa kegiatan yang tak bisa aku skip tanpa kehadiranku, Nay.” Devran memberikan pengertian.“Iya deh, Mas. Tapi tidak dekat ini kan berangkatnya?” Nayra mengiyakan tapi masih mencoba menunda keberangkatannya.“Minggu depan bagaiamana?” lagi tawar Nayra.“Katakan kenapa harus minggu depan?” tanya Devran. Ditanya seperti itu Nayra hanya tersenyum.“Kenapa malah senyum-seyum?” Devran jadi penasaran.Nayra mendekatkan bibirnya ke telinga Devran dan berbisik.
“Sudah selesai mengobrolnya?”Devran mencoba berbesar hati menunggu mereka mengobrol namun keduanya tampak tak bosan terus bercanda dan mengobrol.Sisi hatinya masih ada kesal karena Ananda pasti merasa beruntung dengan kenyataan tentang mereka.Terselip sebuah kemungkinan yang coba diingkari Devran, bagaimana jika Ananda memang berjodoh dengan Nayra?Ah. jangan dulu! batinnya belum siap. “Aku masih ada urusan, Nay. Ayo pulang!” Devran mengajak Nayra pergi.“Kalau kau repot tidak apa kok, nanti aku akan antar Nayra pulang. Lagian aku juga mau ketemu Om Alana.” Dengan bersemangat Ananda menyahuti Devran.“Ah, jangan. Nanti nenek memarahiku. Kenapa malah meninggalkan Nayra dan tak mengantarnya pulang dulu.” Meski tak tampak raut kesal, namun Devran menunjukan tidak rela kalau Nayra masih bersama Ananda.“Baik, aku akan pulang bersama Mas Devran. Lagi pula, dokter Ananda bilang sudah memindah penelitiannya ke rumah sakit ini. Jadi kita masih bisa ketemu kapan-kapan.” Nayra menengahi
“Kau dengar apa kata dokter tadi, kan? Jangan tambeng. Ini masih trimester awal.” Devran mencoba memberi pengertian pada Nayra setelah selesai memeriksakan kandungannya.Lega rasanya tidak ada sesuatu yang menghawatirkan. Hanya saja Nayra memang masih harus banyak beristirahat dan tidak terlalu boleh melakukan kegiatan fisik terlebih dahulu.“Iya, Mas.” Nayra faham akan hal itu.Walau mengatakan demikian, terkadang keinginan untuk berhubungan badan dengan suaminya terasa sangat menggebu dan menyiksanya. Membuat Nayra ngereog ingin dikeloni suaminya itu. Dia pernah bertanya pada dokter, katanya itu normal karena pengaruh hormon kehamilannya.“Bilangnya iya, tapi kok sedih?” Devran melihat raut wajah Nayra yang tak ikhlas itu.Tiba-tiba Nayra menangis.“Eh, kenapa malah nangis, Nay?” Devran langsung mendekatkan duduknya dan merangku Nayra.“Seolah aku ini wanita gatel yang selalu pengen ditiduri. Padahal aku juga tahu ini masih belum boleh,” ujar Nayra sesenggukan.“Iya, aku paham,
“Nay, jangan tambeng. Kau harus istirahat dulu!” Devran mengelus kepala Nayra penuh sayang untuk meminta perhatiannya agar Nayra menuruti kata-katanya.“Iya deh, aku istirahat.” Nayra menurut.Baru saja Devran senang mendengarnya, Nayra memberikan syarat, “Tapi Mas Devran temani Nayra. Jangan ditinggal-tingal lagi. Aku enggak bisa tidur kalau enggak dipeluk Mas Devran.”Devran menghela. Namun menyembunyikannya di pandangan Nayra agar tidak merasa sedih. “Baiklah, aku akan menemanimu.”Nayra merasa senang. Lalu dia kembali memeluk Devran. Seolah tubuh pria itu ada magnetnya yang terus membuatnya menempel.Bisa jadi hormon kehamilannya juga yang berperan membuat Nayra selalu ingin bersamanya. Orang bilang, ngidam.Ketika Nayra sudah tampak terlelap, Devran perlahan bangun dan merapikan selimut Nayra. menatapinya beberapa saat dan mengelus pipinya. “Mimpi yang indah, Nay!”Devran langsung bangkit dan tak mau ada sesuatu keinginan yang tak terpuji kembali menyerangnya.Walau sudah tahu
Devran membiarkan Nayra berkecipak dengan air mancur tak ubahnya seperti anak kecil yang bermain-main dan kegirangan.Sesekali bibirnya menyunggingkan senyuman setelah tak lagi pernah tersenyum beberapa bulan ini. Diambilnya ponsel untuk mengabadikan momen manis itu di kameranya.Sepertinya yang menjadi sasaran bidikannya mengetahui kalau ada yang diam-diam mengambil fotonya. Nayra justru sengaja berpose agar gambarnya yang diambil tukang foto amatir itu tampak menarik.Saat itu pesan dari Renata terbaca. Menanyakan sedang di mana mereka sampai sesore ini belum kembali ke rumah. Mungkin takut kenapa-kenapa.Devran tak membalas dengan kata-kata, hanya mengirimkan gambar-gambar Nayra yang tampak sehat dan bahagia menikmati taman kota yang indah. “Ayo, Mas. Sini foto bareng!” Nayra memanggil Devran.Tak mendapat sahutan, karena Devran sibuk mengirim balasan pesan pada Renata, Nayra berlari menghampirinya.Membuat Devran yang mengetahui itu terkejut dan berteriak mengingatkan agar N
“Kenapa cemberut?” Renata menghampiri Nayra yang tampak tak bersemangat itu. Nayra terkejut Renata menghampirinya. “Ah, Nenek? Enggak ada apa-apa kok, Nek.”Sejak beberapa hari dia dirawat di rumah sakit, Renata juga Alana ikut menjaganya. Sampai menyewa beberapa kamar demi bisa tetap di rumah sakit.Bagi Nayra yang lupa bahwa mereka sebenarnya keluarganya sendiri, merasa itu sedikit berlebihan. Membuatnya segan jika harus menampakkan raut cemberutnya lantaran Devran yang sering diam-diam meninggalkannya.“Kenapa? Bilang saja sama nenek, Nay.” Renata dengan penuh perhatian mengelus lengan Nayra."Beneran, Nek. Tidak ada apa-apa." Nayra kembali mengulas senyum tak mau Renata sampai cemas. "Dengar, kau melupakan sedikit ingatanmu. jadi kalau ada sesuatu yang menguiskmu, kau harus cerita. siapa tahu itu bagian dari proses ingatanmu mulai membaik." Nayra mengangguk. Dia juga diberitahu oleh dokter harus menyampaikan keluhan yang dirasanya. Farah baru datang dan mengabarkan bahwa hari
“Tuhan masih melindungi cucu Anda, Nyonya. Dia baik-baik saja. Dan ajaibnya, janin di rahimnya pun masih bertahan. Hanya benturan di kepalanya yang akan terus kami observasi lebih lanjut,” ucap dokter itu saat Renata merasa ingin tahu sejelas-jelasnya kondisi cucu perempuannya itu.“Ohhh...” lenguh lega semua orang di sana.Alana memeluk Farah dan Renata.“Alhamdulillah, aku yakin, Tuhan selalu melindungi cucuku yang baik itu...” Renata tak berhenti menangis.“Ayo, Ma. Kita lihat kondisi Nayra...” Farah tak sabar melihat putrinya.Mereka tersenyum dan bergegas melangkah ke ruang perawatan Nayra.Meninggalkan dua pria yang sama-sama berdiri resah dan canggung itu.“Aku ada acara di Glasgow, kebetulan Om Alana menghubungi untuk...” Ananda hendak menyampaikan bagaimana dia ada di tempat ini.Sebenarnya itu bukan urusan Devran, tapi sejak lama dia sudah tidak suka Ananda mendekati Nayra, sehingga dia mencecarnya. “Kau memang sengaja membuat alasan itu agar bisa menemui Nayra, kan?” Dev
“Dengar, ya. Dia ada bukan karena kesalahanku atau kesalahannya. Kalianlah yang membuat hidupku jadi begini. Kalaupun anakku lahir dengan bagaimanapun keadaannya, seharusnya kalian berbesar hati untuk menerimanya!”Jleb!Kata-kata itu sungguh menampar ego semua orang yang ada di sana...Membungkam keegoisan mereka semua hingga tak satupun dari orang-orang itu yang bersuara.Entah, setan apa yang merasukinya hingga seberani ini menunjukan kemurkaannya.Nayra sudah tertekan selama ini oleh keadaan dan kenyataan.Bermalam-malam hanya bisa menangis seorang diri demi memaksakan diri bisa mengikuti apa kata mereka.Tapi sekarang. Jangan harap dia bisa mendengarkan lagi kata-kata mereka.Anggaplah dia stres atau gila. Tidak apa. Mereka harusnya paham mengapa Nayra sampai begini.?“Oke, tenang, Nay. Nanti kita lihat perkembangan janinmu lagi. Mudah-mudahan kemungkinan yang belum pasti kemarin hanya karena keadaanmu yang sedang lemah.” Ananda mecoba menghibur Nayra.“Tidak, aku tidak mau lagi
“Ambillah sedikit libur agar kau tidak stres. Dua bulan ini kau sudah bekerja dengan keras. Aku sangat bangga pada pencapaianmu.”Ludwig menghentikan Devran sejenak setelah mereka meeting bersama.“Baik akan aku pikirkan,” ujar Devran dan langsung bangkit undur diri.Sebenarnya hanya basa-basi saja mengatakan akan memikirkan berlibur. Devran menghindari itu karena kalau tidak menyerang dirinya dengan kesibukan, yang ada di otaknya hanyalah Nayra dan rasa kesal ingin memberontak dari semua kenyataan ini.Sikapnya masih dingin pada Ludwig. Interaksi antara mereka berdua selama ini hanya terjalin secara profesional saja sebagai CEO dan direkturnya.Ludwig hanya menghela namun tidak menyerah mengambil hati anak istrinya itu. “Dev?”Langkah Devran terhenti dan menoleh pada Ludwig. Menunggunya menyampaikan sesuatu.“Mamamu mengajak makan siang. Sekalian ada yang ingin dikenalkan padamu, katanya,” ujar Ludwig.Devran menghela dan tampak tidak tertarik. Selalu begitu sang mama. Menjodoh-