Selamat membaca! 💕💕💕
“Apa Ludwig tidak di Jakarta saat Mama kecelakaan?” Devran tergesa melangkah di koridor rumah sakit menuju ruang rawat intensif sang mama, bertanya pada Eva sang asisten Tamara.“Tuan Ludwig sedang di New York. Ada perjalanan bisnis. Tapi sudah diberitahu dan dalam perjalanan ke Jakarta.”Ketika masuk, Devran melihat Tamara tergolek dengan beberapa alat kesehatan yang terpasang di tubuhnya.Ada masker nebulizer yang terpasang di sekitar hidung dan mulutnya untuk membantu Tamara bernapas. Lehernya ditopang dengan penyanggah. Juga kaki dan kanan dan tangan kirinya belum lagi dilepas gips setelah operasi patah tulang yang dialaminya.Devran jadi prihatin dengan kondisi sang mama. Meski selalu berseberangan dengan sang mama, Tapi Devran tak lupa bahwa wanita itulah yang melahirkannya. Saat mendengarnya kecelakaan, tentu saja dia juga panik dan mencemaskannya.“Nyonya sempat sadar semalam, namun kembali tak sadar. Untungnya dokter bilang kondisinya sudah perlahan membaik," ujar Eva. D
Resah.Nayra tak berhasil menghubungi Devran.Jika memang tidak bisa mengangkat panggilannya, setidaknya Devran bisa membalas pesannya sejak semalam.Berita tentang Tamara sudah mulai membaik pun bisa di dengarnya dari Ananda yang kini semakin sering datang ke rumah, dan bukannya dari Devran langsung.Nayra sudah berusaha berbaik sangka pasti Devran begitu repot hingga tak sempat membalas pesan atau mengangkat panggilannya. Tapi tetap saja pikirannya sudah ke mana-mana.“Nunggu panggilan dari Devran?” Ananda membuat Nayra terkejut.Biasanya dia datang sedikit sore atau malam setelah dari rumah sakit, sekarang masih siang dia sudah nongol saja.“Dokter, mengagetka saja!” Nayra sebal tapi tidak marah.“Ayo jalan-jalan, aku sedang free hari ini.” Ananda langsung meraih lengan Nayra dan mengajaknya pergi.“Tapi—‘”“Aku sudah bilang tante Farah, dia malah memintaku mengajakmu keluar biar tidak terus cemberut menunggu pesan dari Devran.” Ananda tidak melepas lengan Nayra sampai gadis itu b
Melihat Renata membawa nampan dengan susu di atasnya, Nayra sampai tidak enak.“Astaga, Nek. Kenapa repot-repot?” Nayra langsung mengambil nampan itu. tidak sopan sekali sampai membuat neneknya yang apapun selalu dilayani, kini malah melayaninya.“Tidak apa. Nenek tadi tanya sama pelayan rumah, katanya kau belum meminum susumu. Jadi nenek buatkan lagi dan ingin memastikan kau meminumnya.”“Duduk, Nek. Nenek juga kan harus banyak istirahat. Ini sudah malam, lho.” Sembari membawa nampan, Nayra menuntun Renata duduk di sofa kamarnya.“Di minum, Nay. Biar cicit nenek sehat. Mamanya juga sehat.” Renata masih mendesak.Tidak mau membuat wanita itu menunggu, Nayra pun meminum susu di gelas itu hingga hampir habis. “Terima kasih, Nek.” “Sama-sama, Sayang. Nenek senang dengar kabar kalau bayimu baik-baik saja. sudah berapa bulan sekarang, Nay?”“Empat bulan, Nek.”“Ya Allah, jadi tak sabar pengen dengar jeritan cicit nenek. Mudah-mudahan nenek punya umur panjang bisa melihat cicit nenek di d
Bugh!Nayra mencoba berdiri setelah tersungkur di lantai. Tak dipedulikan tubuhnya yang sudah lebam sana-sini akibat penyiksaan ibu dan saudari tirinya itu sejak kemarin.Mereka memang murka pada Nayra karena kabur dari pertemuan begitu sadar dirinya dijebak untuk menikahi pria tua mesum yang anaknya saja lebih tua darinya.Sayangnya, Nayra tertangkap oleh keduanya….“Kenapa kalian kejam sekali padaku?” lirih Nayra akhirnya, menahan pedih.Siapapun yang memiliki hati nurani akan kasihan padanya. Namun, ibu tirinya justru tertawa.Bahkan, saudari tirinya tiba-tiba mencengkram kuat dagu Nayra. Menatapnya tepat di kedua matanya. “Kejam? Kami justru berbaik hati padamu. Juragan itu sangat kaya dan bisa memberikanmu hidup penuh kemewahan!”“Benar, Kau seharusnya berterima kasih karena aku memilihkan jodoh yang tepat!” timpal Ibu tirinya dengan ketus, “awas saja jika kau berani kabur seperti sebelumnya.”“Tapi aku masih mau kuliah, Ma!” ujar Nayra di sisa rasa frustasinya.Dia tahu benar
“Siapa ini?!”Ketika hendak mengambil barang belanjaannya untuk dibawa ke rumah, Devran begitu terkejut ada seorang perempuan yang meringkuk di bagasi mobilnya.Bagaimana bisa ada di sana?Seketika, ahli waris keluarga Alana itu teringat bahwa dia sempat meninggalkan bagasinya terbuka saat memasukkan barang karena ayahnya menelpon.“Sial…” lirihnya tanpa sadar.Bisa-bisa, Devran disangka menculik atau berbuat buruk pada perempuan ini. Atau yang lebih parah, perempuan ini justru komplotan penipu?Tak ingin membuang waktu, Devan lantas mengguncang tubuh perempuan itu.Sayangnya ketiadaan reaksi justru membuat Devran menjadi panik.Segera, ia menoleh ke kanan dan ke kiri.Setahun di tempat ini, Devran tahu seperti apa karakter tetangganya.Meski perumahan ini terbilang modern–-setidaknya untuk ukuran kota kecil ini—mereka bukanlah orang yang berpemikiran terbuka seperti di tempat asalnya.Kemarin saja, saat bos wanita di kantor tempatnya bekerja datang dengan pakaian serba ketat ke rum
“Diam, lu. Orang baru sudah mau bikin cemar lingkungan kita!” bentaknya balik pada Devran“Sabar, sabar!” Pria yang tampak alim itu melerai ketegangan.“Ustaz Muh, masa tidak tahu tetangga samping rumahnya berbuat mesum? Jatuh lho kredibilitasnya sebagai ustaz di lingkungan ini!” teriak seorang ibu-ibu pada pria itu.“Ustaz, saya tidak...” Devran mencoba menyangkal namun tidak tahu harus berkata apa melihat mata-mata yang sudah ingin mengulitinya itu.Devran langsung menghampiri pria yang tinggal tepat di samping rumahnya itu. Yang setiap hari paling sering ditegur sapanya. Dia berharap bisa membantunya.“Nak Devran, kok bisa sampai begini?” tanya Ustaz Muh mencoba mencari keterangan.Namun melihat seorang gadis yang beringsut ketakutan, dia pun jadi ikut terpedaya ucapan warga.“Lihat wanitanya, Ustaz. Sampai lemes begitu. Pasti sudah diapa-apain sama anak Jakarta ini!” Seorang ibu-ibu kembali melontarkan ujaran.“Arak saja, ustaz. Kita adili sekalian biar tidak jadi contoh anak-anak
“Maaf, Mas. Tapi aku tadi dikejar-kejar orang jahat.” Nayra memelas pada Devran. “Ibu tiriku mau menjodohkanku dengan pria tua. Tapi, aku masih mau kuliah! Tolong aku, Mas.”Devran menghela napas. “Sudah kubilang berhentilah menangis! Mereka malah salah paham padaku nanti!”Gadis ini hanya akan menambah perkara untuknya kalau tidak berhenti menangis.“Aku mau kok jadi pembantu atau apalah itu, Mas. Tapi aku boleh ya tinggal di sini?”“Kau gila! Orang-orang di luar memintamu menikah denganku hanya karena kau berteriak-teriak tadi. Sekarang bagaimana bisa aku membiarkanmu tinggal di sini kalau kita tidak ada hubugan apa-apa?!” Devran kesal. Ucapan Nayra membuatnya kembali terpancing emosi.“Tapi aku tidak punya siapa-siapa lagi, Mas? Aku tidak tahu harus pergi kemana lagi?” isak gadis itu sambil bersimpuh di lantai.Devran tersentak, tapi dia tidak ingin terperdaya.Bisa saja gadis ini penipu atau hanya bermanipulasi saja dengan keadaan.Terlebih, dia belum keluar dari masalah ini.Seda
“Sementara, kau pilihlah kaus atau kemejaku di lemari yang pas denganmu,” tukas Devran tak banyak berpikir.“Terima kasih, Mas!” ucap Nayra mengulas senyum padanya.Kebetulan tatapan mereka beradu membuat Devran membeku.Senyum gadis itu manis juga. Batin Devran yang keluar.Menatap daun pintu yang tertutup itu dia menghela napas. Tidak mau banyak memikirkan bagaimana selanjutnya.Lebih baik lanjut selesaikan proyek yang banyak human errornya ini. Dia tidak berniat berlama-lama di kota ini.Kesal sekali, bisa-bisanya papanya malah menghukumnya dengan membuatnya bekerja di kota kecil ini.Hanya saja, Devran kali ini jadi bingung. Harus tidur di mana? Bukankah kamar sebelah masih berantakan karena banyak peralatan pekerjaannya?Jadi, Devran akhirnya tidur di sofa depan televisi. Tanpa bantal dan selimut di malam yang dingin.Merasa tidak nyaman, dia jadi repot sendiri. Berganti posisi tidur ke kanan balik lagi ke kiri. Namun tidak juga bisa tidur. Dia lupa kalau tidak bisa tidur tanpa b
Melihat Renata membawa nampan dengan susu di atasnya, Nayra sampai tidak enak.“Astaga, Nek. Kenapa repot-repot?” Nayra langsung mengambil nampan itu. tidak sopan sekali sampai membuat neneknya yang apapun selalu dilayani, kini malah melayaninya.“Tidak apa. Nenek tadi tanya sama pelayan rumah, katanya kau belum meminum susumu. Jadi nenek buatkan lagi dan ingin memastikan kau meminumnya.”“Duduk, Nek. Nenek juga kan harus banyak istirahat. Ini sudah malam, lho.” Sembari membawa nampan, Nayra menuntun Renata duduk di sofa kamarnya.“Di minum, Nay. Biar cicit nenek sehat. Mamanya juga sehat.” Renata masih mendesak.Tidak mau membuat wanita itu menunggu, Nayra pun meminum susu di gelas itu hingga hampir habis. “Terima kasih, Nek.” “Sama-sama, Sayang. Nenek senang dengar kabar kalau bayimu baik-baik saja. sudah berapa bulan sekarang, Nay?”“Empat bulan, Nek.”“Ya Allah, jadi tak sabar pengen dengar jeritan cicit nenek. Mudah-mudahan nenek punya umur panjang bisa melihat cicit nenek di d
Resah.Nayra tak berhasil menghubungi Devran.Jika memang tidak bisa mengangkat panggilannya, setidaknya Devran bisa membalas pesannya sejak semalam.Berita tentang Tamara sudah mulai membaik pun bisa di dengarnya dari Ananda yang kini semakin sering datang ke rumah, dan bukannya dari Devran langsung.Nayra sudah berusaha berbaik sangka pasti Devran begitu repot hingga tak sempat membalas pesan atau mengangkat panggilannya. Tapi tetap saja pikirannya sudah ke mana-mana.“Nunggu panggilan dari Devran?” Ananda membuat Nayra terkejut.Biasanya dia datang sedikit sore atau malam setelah dari rumah sakit, sekarang masih siang dia sudah nongol saja.“Dokter, mengagetka saja!” Nayra sebal tapi tidak marah.“Ayo jalan-jalan, aku sedang free hari ini.” Ananda langsung meraih lengan Nayra dan mengajaknya pergi.“Tapi—‘”“Aku sudah bilang tante Farah, dia malah memintaku mengajakmu keluar biar tidak terus cemberut menunggu pesan dari Devran.” Ananda tidak melepas lengan Nayra sampai gadis itu b
“Apa Ludwig tidak di Jakarta saat Mama kecelakaan?” Devran tergesa melangkah di koridor rumah sakit menuju ruang rawat intensif sang mama, bertanya pada Eva sang asisten Tamara.“Tuan Ludwig sedang di New York. Ada perjalanan bisnis. Tapi sudah diberitahu dan dalam perjalanan ke Jakarta.”Ketika masuk, Devran melihat Tamara tergolek dengan beberapa alat kesehatan yang terpasang di tubuhnya.Ada masker nebulizer yang terpasang di sekitar hidung dan mulutnya untuk membantu Tamara bernapas. Lehernya ditopang dengan penyanggah. Juga kaki dan kanan dan tangan kirinya belum lagi dilepas gips setelah operasi patah tulang yang dialaminya.Devran jadi prihatin dengan kondisi sang mama. Meski selalu berseberangan dengan sang mama, Tapi Devran tak lupa bahwa wanita itulah yang melahirkannya. Saat mendengarnya kecelakaan, tentu saja dia juga panik dan mencemaskannya.“Nyonya sempat sadar semalam, namun kembali tak sadar. Untungnya dokter bilang kondisinya sudah perlahan membaik," ujar Eva. D
Sambil lalu, Devran akan memikirkannya lagi.Saat ini dia harus mencari cara bagaimana membujuk Nayra agar membiarkannya kembali ke Jakarta sementara waktu.Terlalu lama meninggalkan kantornya dengan deadline proyek dan bisnis yang sudah menumpuk, membuat Devran tidak tenang juga.Dia bukan pria yang tak punya rasa tanggung jawab. Jadi meski sudah mulai mengurusnya dari jauh, tetap saja ada beberapa hal yang tak mungkin bisa dikerjakannya secara virtual.“Nanti aku bisa kok datang kalau kau memang butuh aku datang. Sekarang ada beberapa kegiatan yang tak bisa aku skip tanpa kehadiranku, Nay.” Devran memberikan pengertian.“Iya deh, Mas. Tapi tidak dekat ini kan berangkatnya?” Nayra mengiyakan tapi masih mencoba menunda keberangkatannya.“Minggu depan bagaiamana?” lagi tawar Nayra.“Katakan kenapa harus minggu depan?” tanya Devran. Ditanya seperti itu Nayra hanya tersenyum.“Kenapa malah senyum-seyum?” Devran jadi penasaran.Nayra mendekatkan bibirnya ke telinga Devran dan berbisik.
“Sudah selesai mengobrolnya?”Devran mencoba berbesar hati menunggu mereka mengobrol namun keduanya tampak tak bosan terus bercanda dan mengobrol.Sisi hatinya masih ada kesal karena Ananda pasti merasa beruntung dengan kenyataan tentang mereka.Terselip sebuah kemungkinan yang coba diingkari Devran, bagaimana jika Ananda memang berjodoh dengan Nayra?Ah. jangan dulu! batinnya belum siap. “Aku masih ada urusan, Nay. Ayo pulang!” Devran mengajak Nayra pergi.“Kalau kau repot tidak apa kok, nanti aku akan antar Nayra pulang. Lagian aku juga mau ketemu Om Alana.” Dengan bersemangat Ananda menyahuti Devran.“Ah, jangan. Nanti nenek memarahiku. Kenapa malah meninggalkan Nayra dan tak mengantarnya pulang dulu.” Meski tak tampak raut kesal, namun Devran menunjukan tidak rela kalau Nayra masih bersama Ananda.“Baik, aku akan pulang bersama Mas Devran. Lagi pula, dokter Ananda bilang sudah memindah penelitiannya ke rumah sakit ini. Jadi kita masih bisa ketemu kapan-kapan.” Nayra menengahi
“Kau dengar apa kata dokter tadi, kan? Jangan tambeng. Ini masih trimester awal.” Devran mencoba memberi pengertian pada Nayra setelah selesai memeriksakan kandungannya.Lega rasanya tidak ada sesuatu yang menghawatirkan. Hanya saja Nayra memang masih harus banyak beristirahat dan tidak terlalu boleh melakukan kegiatan fisik terlebih dahulu.“Iya, Mas.” Nayra faham akan hal itu.Walau mengatakan demikian, terkadang keinginan untuk berhubungan badan dengan suaminya terasa sangat menggebu dan menyiksanya. Membuat Nayra ngereog ingin dikeloni suaminya itu. Dia pernah bertanya pada dokter, katanya itu normal karena pengaruh hormon kehamilannya.“Bilangnya iya, tapi kok sedih?” Devran melihat raut wajah Nayra yang tak ikhlas itu.Tiba-tiba Nayra menangis.“Eh, kenapa malah nangis, Nay?” Devran langsung mendekatkan duduknya dan merangku Nayra.“Seolah aku ini wanita gatel yang selalu pengen ditiduri. Padahal aku juga tahu ini masih belum boleh,” ujar Nayra sesenggukan.“Iya, aku paham,
“Nay, jangan tambeng. Kau harus istirahat dulu!” Devran mengelus kepala Nayra penuh sayang untuk meminta perhatiannya agar Nayra menuruti kata-katanya.“Iya deh, aku istirahat.” Nayra menurut.Baru saja Devran senang mendengarnya, Nayra memberikan syarat, “Tapi Mas Devran temani Nayra. Jangan ditinggal-tingal lagi. Aku enggak bisa tidur kalau enggak dipeluk Mas Devran.”Devran menghela. Namun menyembunyikannya di pandangan Nayra agar tidak merasa sedih. “Baiklah, aku akan menemanimu.”Nayra merasa senang. Lalu dia kembali memeluk Devran. Seolah tubuh pria itu ada magnetnya yang terus membuatnya menempel.Bisa jadi hormon kehamilannya juga yang berperan membuat Nayra selalu ingin bersamanya. Orang bilang, ngidam.Ketika Nayra sudah tampak terlelap, Devran perlahan bangun dan merapikan selimut Nayra. menatapinya beberapa saat dan mengelus pipinya. “Mimpi yang indah, Nay!”Devran langsung bangkit dan tak mau ada sesuatu keinginan yang tak terpuji kembali menyerangnya.Walau sudah tahu
Devran membiarkan Nayra berkecipak dengan air mancur tak ubahnya seperti anak kecil yang bermain-main dan kegirangan.Sesekali bibirnya menyunggingkan senyuman setelah tak lagi pernah tersenyum beberapa bulan ini. Diambilnya ponsel untuk mengabadikan momen manis itu di kameranya.Sepertinya yang menjadi sasaran bidikannya mengetahui kalau ada yang diam-diam mengambil fotonya. Nayra justru sengaja berpose agar gambarnya yang diambil tukang foto amatir itu tampak menarik.Saat itu pesan dari Renata terbaca. Menanyakan sedang di mana mereka sampai sesore ini belum kembali ke rumah. Mungkin takut kenapa-kenapa.Devran tak membalas dengan kata-kata, hanya mengirimkan gambar-gambar Nayra yang tampak sehat dan bahagia menikmati taman kota yang indah. “Ayo, Mas. Sini foto bareng!” Nayra memanggil Devran.Tak mendapat sahutan, karena Devran sibuk mengirim balasan pesan pada Renata, Nayra berlari menghampirinya.Membuat Devran yang mengetahui itu terkejut dan berteriak mengingatkan agar N
“Kenapa cemberut?” Renata menghampiri Nayra yang tampak tak bersemangat itu. Nayra terkejut Renata menghampirinya. “Ah, Nenek? Enggak ada apa-apa kok, Nek.”Sejak beberapa hari dia dirawat di rumah sakit, Renata juga Alana ikut menjaganya. Sampai menyewa beberapa kamar demi bisa tetap di rumah sakit.Bagi Nayra yang lupa bahwa mereka sebenarnya keluarganya sendiri, merasa itu sedikit berlebihan. Membuatnya segan jika harus menampakkan raut cemberutnya lantaran Devran yang sering diam-diam meninggalkannya.“Kenapa? Bilang saja sama nenek, Nay.” Renata dengan penuh perhatian mengelus lengan Nayra."Beneran, Nek. Tidak ada apa-apa." Nayra kembali mengulas senyum tak mau Renata sampai cemas. "Dengar, kau melupakan sedikit ingatanmu. jadi kalau ada sesuatu yang menguiskmu, kau harus cerita. siapa tahu itu bagian dari proses ingatanmu mulai membaik." Nayra mengangguk. Dia juga diberitahu oleh dokter harus menyampaikan keluhan yang dirasanya. Farah baru datang dan mengabarkan bahwa hari