"Nih."
Elang menerima berkas yang diberikan oleh Jovan, temannya. Dia itu seorang intel yang bekerja di Kepolisian.
"Rupanya Arfan memang sudah mengganti semua aset Eyang Aditya atas namanya." Elang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kok bisa Eyangnya Aya percaya banget sih sama Arfan?" komentar Jovan.
"Entahlah, kami saja bingung. Katanya sih dulu Amar Rajendra adalah sahabat yang membantunya waktu awal-awal mendirikan usahanya. Makanya ngotot agar Aya nikah sama Amir."
"Hahaha. Untung Aya itu cerdas, dia bisa memanfaatkan Arfan agar pernikahannya gagal cuma ya ... kamu tahu sendiri cara Arfan gimana?" lanjut Elang.
"Hehehe. Iya sih, terlalu ehmm ... apa ya? Sadis." Jovan menimpali.
Jovan menyulut sebatang rokoknya kemudian mulai menghisapnya.
"Kamu gak mau coba, El?" Jovan menyodorkan rokoknya.
"Gak, makasih."
"Dih, yang hidupnya lurus bener."
"Apa sih Jo, biasa ajalah. Emang aku gak suka merokok lagi
Fina tengah berjalan menggandeng kakak dan calon kakak iparnya. Pokoknya kalau yang lihat seperti melihat potret keluarga bahagia dah."Mas El ... ke timezone ya?" pinta Fina."Oke."Mereka bertiga akhirnya bermain di timezone hampir dua jam lamanya. Setelah dari timezone mereka menuju ke area foodcourt karena Fina mengeluh lapar. Mereka menikmati makanan sambil sesekali bercanda. Fiqa lebih banyak mendengarkan dan tertawa melihat tingkah lucu Fina yang dijahili Elang terus-terusan."Rafiqa." Seseorang menyapa mereka."Pak Arkan," sapa Fiqa dengan muka datar."Kamu ada disini?""Iya, Pak.""Siapa mereka?""Ini adik saya Fina dan ini ....""Elang, calon suami Fiqa," jawab Elang mantap dan mengulurkan tangannya kepada Arkan.Arkan sedikit terkejut mendengarnya. Kemudian berusaha menormalkan mimik wajahnya kembali. Sayang perubahan mimik mukanya sudah bisa ditangkap oleh Elang."Oh, perkenalkan nama say
Elang tengah berfikir tentang kasus yang menimpa Ayana. Sudah sebulan lamanya namun belum juga dapat diselesaikan. Karena Arfan menghilang bak ditelan bumi."El.""Oh, hai Jo."Jovan duduk di sofa yang ada di ruangan kerja Elang. Wajahnya tampak kusut sekali."Kusut amat.""Iya nih, pusing aku. Si Arfan belum ketemu.""Gak ada orang yang bisa diinterogasi apa?""Nah itu masalahnya, Amar Rajendra sendiri tidak tahu dimana cucunya. Sekarang dia di rumah sakit. Serangan jantung karena sang cucu jadi tersangka percobaan penculikan, tersangka pembunuhan dan mucikari prostitusi artis.""Tunggu, tersangka pembunuhan?" tanya Elang terkejut."Otak pembunuhan Amir Rajendra.""Astaga! Ternyata memang kematian Amir sebuah rekayasa.""Iya dan yang membantu membunuhnya adalah wanita yang sama dengan yang akan menculik Ayana."Elang memijat pelipisnya. Seminggu ini dia sudah meminta bantuan kepolisian untuk selalu
"Baik.""....""Baik."".... ""Baik akan saya laksanakan!"Jovan menutup sambungan teleponnya."Gimana?""Lolos. Padahal dia sudah terluka kena timah panas pada tulang kering sebelah kiri. Benar-benar hebat bukan.""Kamu benar. Berarti dia sedang bersembunyi di suatu tempat.""Iya. Entah dimana dia bersembunyi.""Oh iya, aku mau jemput Vivian dulu," sambung Jovan."Hem.""El.""Iya.""Kamu sama Fiqa .... ""Kita serius kok, pasti kita nikah. Aku gak pernah suka dan gak pernah kasih harapan apapun sama Vivian. Kalau kamu merasa gak percaya sama aku harusnya kamu gak membiarkan Vivian kesini," sinis Elang."Bukannya ada Humaira yang justru lebih berbakat dari pada Vivian. Tapi aku lupa, Humaira bukan anak dari seseorang yang berpangkat," tambah Elang.Jovan hanya mampu memberikan senyum kepada Elang. Elang benar, kalau secara kecakapan di bagian intel
"Hai El."Elang mendongakkan wajahnya, saat ini ia tengah sibuk mempelajari kasus yang akan disidangkan besok. Sehingga dia tak sadar ada yang mngetuk pintu. Ah, mungkin lebih tepatnya main nylonong masuk ke ruangannya."Hai," sahut Elang pendek."Mana Jovan?""Lagi menemui Hakim Darma.""Oh."Elang menutup berkas yang tengah ia pelajari, kemudian berdiri dan berjalan menuju ke arah pintu."Mau kemana?""Menemui Jo, aku ada perlu dengannya." Bohong, lebih tepatnya Elang tengah menghindar dari Vivian.Vivian menatap Elang yang keluar ruangan dengan pandangan sedih. Selalu seperti ini. Elang selalu menjarak darinya. Dulu karena Huda sekarang karena Jovan. Padahal dia memilih putus dari Huda demi bisa mengejar Elang, malah dia menjauh ke Purwokerto.Vivian menatap ruang kerja Elang dan matanya melotot menatap foto dalam pigura kecil tergeletak di meja Elang. Elang tengah di pantai bersama seorang gadis ca
"Cepat! Kejar!"Dor. Dor. Dor."Dia menuju pintu belakang, cepat-cepat!"Arfan terus berlari. Sial! Tempat persembunyiannya ketahuan.Grep."Diam! Atau kamu ingin mereka tahu kita disini. Cepat ikut aku!"Arfan mengikuti orang itu. Dalam hati dia bertanya-tanya, siapa gerangan lelaki misterius itu?"Diam disana! Biar aku yang urus."Arfan memilih diam mengikuti petunjuk sang penolong untuk bersembunyi di bagasi mobil. Entah sudah berapa lama dia bersembunyi di bagasi mobil hingga dia merasa mobilnya berjalan. Arfan masih bertahan, hingga mobil berhenti dan bagasi terbuka."Keluar!"Arfan mengikuti orang tersebut untuk memasuki sebuah rumah sederhana. Tapi begitu masuk ke sana, ternyata ada ruang bawah tanah berisi senjata dan narkoba."Mr. Q ...?" lirih Arfan."Hehehe. Tak kusangka aku harus menunjukkan wajah asliku di depanmu. Tapi tak apa, kamu berguna untukku. Ikuti perintahku maka kamu akan selam
Rafiqa tengah melakukan perjalanan bersama Aldo dan Sasa ke Banjarnegara. Mereka akan menemui salah satu klien Bu Karni. Kliennya kali ini mengalami tindakan penganiayaan oleh sang suami."Yakin ini rumahnya Mas Aldo?" tanya Sasa."Menurut catatan di kertas ini bener kok. Ini alamatnya. Lagian pas kita tanya alamat ini pada ngasih petunjuk kesini kan?""Masa rumahnya sendirian di tengah kebon sih Mas? Mencurigakan banget," celetuk Sasa.Rafiqa menangkap sesuatu yang tidak beres."Ayo kembali," titah Rafiqa.Namun sebelum mereka kembali mereka sudah dihadang oleh seseorang yang berjalan secara terpincang-pincang bersama beberapa anak buah yang mengarahkan senjatanya ke tiga sekawan."Gak mungkin! Kamu?" lirih Sasa tak percaya.Fiqa tak kalah kaget, sedangkan Aldo seperti sudah tahu sehingga ekspresinya datar. Nampaknya justru momen ini yang sedang ditunggu oleh Aldo.******"Siapkan semua personel, kita akan menuju
"Ayo kembali!" titah Rafiqa.Namun sebelum mereka kembali mereka sudah dihadang oleh seseorang yang berjalan secara terpincang-pincang bersama beberapa anak buah yang mengarahkan senjatanya ke tiga sekawan."Gak mungkin. Kamu?!" lirih Sasa tak percaya.Fiqa tak kalah kaget, sedangkan Aldo seperti sudah tahu sehingga ekspresinya datar. Nampaknya justru momen ini yang sedang ditunggu oleh Aldo.Fiqa mengepalkan tangannya dan hendak menerjang Pandu. Namun, sebuah remasan pada lengan kanannya membuat niatnya tertunda. Fiqa menoleh ke arah Aldo. Aldo menggelengkan kepalanya sebagai isyarat agar Fiqa jangan gegabah karena percuma saja. Mereka kalah jumlah dan musuh pun memiliki senjata. Fiqa membenarkan isyarat Aldo. Iya, mereka kalah jumlah dan hampir semuanya membawa senjata."Ini maksudnya apa, Mas Pandu?" tanya Sasa."Hahaha. Siapa Pandu?""Apa maksud kamu?" Sasa semakin bingung."Oh. Perkenalkan, namaku Athala Putra Qaiser
Elang menatap semua bukti yang telah dikumpulkan oleh Aldo. Rupanya selama berkenalan dengan Elang, Aldo mengikuti perkembangan tentang Mr. Q juga. Bahkan dia memberi Elang beberapa foto-foto Pandu alias Athala saat berada di rumah sakit. Luar biasa. Dia bahkan memberi sesuatu, sebuah alat penghubung dua arah dimana yang satu ada di amplop sedangkan yang lain masih dibawa oleh Aldo. Dan dari alat itu lokasi mereka sudah terkunci berada di daerah perbatasan Purwojati dan Cilongok. "Siap El." "Siap Jo. Kita mulai." Jovan memimpin pasukan khusus dibantu Kapolres Banyumas serta kaplosek Purwojati. Mereka bergerak menggunakan pakaian biasa agar tak mencolok. Bahkan pergerakan mereka sudah dimulai dari kemarin agar tak membuat curiga Athala dan anak buahnya. Mereka terus bergerak hingga semua sudah berada di posisinya masing-masing. Athala tinggal di sebuah rumah mewah yang terletak di pemukiman padat penduduk. Sungguh pintar sekali mere
"Dek, maafin Mas ya. Mas khilaf. Janji ini yang terakhir khilafnya." Aku hanya bisa menghembuskan nafas. Dulu sekali Mas Rei juga bilangnya khilaf tapi ini malah khilaf lagi. "Dek, jangan marah ya. Senyum dong." "Buat apa marah Mas? Toh udah kejadian bukan?" sahutku sinis. "Iya juga sih. Tapi Mas seneng kok bisa khilaf terus." "Ck." Aku mencebik dan mencubit perutnya. Dasar. Mas Reihan hanya tertawa, sesekali mencium tanganku dan keningku. Bahkan aku yakin kalau gak ada orang, pasti dia sudah mengajakku adu bibir. Haish. Punya suami kok gini amat, untung aku cinta. Mungkin karena aku diam saja Mas Reihan kembali membujukku dengan kata-kata manis. "Iya, iya nanti Mas lebih hati-hati tapi khilafnya gak bakalan ilang, Sayang." Dia mengucap dengan seringai jahil. Dih, dasar! Aku memilih mengerucutkan bibir. Bodo amat kelihatan jelek. Salah sendiri tuh Kulkas jadiin aku istri. Jadi harus terima dong lahir batin kecantikan sama kejelekanku kalau lagi ngambek. "Udah jangan marah ya B
"Kalian gak bawa baby sitter?" tanya Joshua."Gak.""Gak kerepotan?""Enggaklah," jawab Mas Reihan cuek."Kalian kok bisa cuma punya ART sekaligus pengasuh bayi tanpa pakai jasa baby sitter sih?""Ya bisalah," ucap Mas Reihan."Kok Zaza bisa ya ngajar sekaligus bisa kasih ASI. Eksklusif lagi.""Istriku gitu loh.""Iya-iya yang istrinya paling cantik, paling pinter, paling ter-semua pokoknya.""Harus. Kan istri sendiri bukan istri orang lain.""Ck. Dasar Dokter Kulkas." Joshua mengumpati suamiku. Lalu dia bergegas mengikuti gadis cilik yang berlari hendak bermain dengan air.Aku hanya bisa menahan tawa melihat bagaimana interaksi suamiku dengan para sahabat sekaligus rekan kerjanya."Mimik muka suamimu loh Za, gak berubah. Bisa datar gitu. Kok kamu mau sih nikah sama dia.""Eh Bu Mila." Aku menyalami Bu Mila, salah satu istri dari rekan Mas Reihan. Dokter Siswo, spesialis jant
Sepuluh hari aku dan Baby Twins di rumah sakit. Kini kami kembali ke Sokaraja dan disana aku dan Twins disambut oleh seluruh keluarga. Bahkan, Tante Raisa sekeluarga pun datang.Malamnya acara akikah kedua anakku diselenggarakan dengan meriah. Sebetulnya acara akikah standar, hanya saja malam ini semua keluargaku dan Mas Reihan datang jadi sangat ramai.Seperti biasa Royya dan Rael akan bertengkar. Kali ini mereka bertengkar memperebutkan siapa yang jadi saudara ketiga. Astaga.Acara akikah sudah selesai dari tadi tapi kami masih sibuk bercengkrama. Aku yang merasa lelah meminta ijin untuk ke kamar lebih dulu, tentu saja dengan diantar oleh Mas Reihan."Mas temeni yang lain aja. Rana gak papa sama Twins.""Oke. Tidur yang nyenyak ya Dek.""Iya."Mas Reihan mencium pipi Twins dan terakhir mencium keningku mesra."Tidur ya, Mas keluar dulu.""Oke."Aku merebahkan diri di samping si kembar. Kami memutuskan meme
"Mereka luar biasa Mas.""Iya. Sangat luar biasa."Aku dan Mas Reihan tengah menatap baby twins. Keduanya benar-benar luar biasa. Mereka adalah hadiah terindah bagi kami setelah tiga tahun penantian. Aku bersyukur, Allah memberi kami kepercayaan dua buah hati sekaligus. Mana kembar sepasang lagi.Cup.Aku menoleh ke arah Mas Reihan. Lalu mencubit perutnya."Mas!" bentakku sambil memelototinya. Dasar! Suka sekali cari kesempatan."Apa? Hem ...." Dia hanya tersenyum dan menatapku jahil. Bahkan tangannya sudah memainkan kerudungku dari tadi dan diputar-putarnya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Refleks Mas Reihan menghentikan aksi anehnya dan berdiri menyambut tamu yang datang."Zazaaaaa.""Yayaaaa."Yaya menuju ke ranjangku. Dia langsung memelukku dan aku balik memeluknya, heboh pokoknya. Aku menyambut uluran tangan semua rekan kerjaku yang datang."Wah ganteng dan cantik ya Za
POV RanaAku terbangun di sebuah hamparan pasir yang indah. Kutatap sekelilingku. Pantai?Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Sepi. Kemana semua orang?Mana Mas Reihan? Dan ... kenapa perutku kempes? Dimana bayiku? Aku panik. Aku mencoba berlari mencari orang-orang tapi tak ada satupun yang kutemui. Hingga kulihat sebuah perahu di sana. Aku berlari menuju perahu yang masih berada di bibir pantai sepertinya mereka akan berlayar."Permisi ... permisi. Bolehkah sa-" Aku tertegun. Mataku berkaca-kaca. Aku segera berlari menyongsong kedua orang yang sangat kurindu."Ayah, Bunda, Rana kangen." Kedua orang tuaku memelukku. Lama kami berpelukan."Kalian mau kemana?""Berlayar," ucap Ayah."Boleh Rana ikut?""Boleh," kini Bunda yang menyahut.Aku menggenggam tangan Ayah dan Bunda di kanan kiriku. Aku bahagia sekali. Kami berjalan bergandengan tangan dan akan naik ke perahu. Ayah yang pertama naik, kemudian Ayah mengulurkan t
Sudah tiga hari, Rana masih tak sadarkan diri. Menurut ahli obgyn, perut Rana mengalami benturan yang cukup keras. Namun tak membahayakan rahimnya. Aku masih ingat, bagaimana Rana berkutat dengan Karina yang ingin memukul perutnya saat itu. Berulangkali dia menghalangi tinju Karina. Ya Allah. Semoga Engkau membalas perlakuan Karina sesuai dengan tindakannya, amin.Pembersihan rahim juga sudah dilaksakan. Nindy bilang, tak ada masalah. Ketidaksadaran Rana diakibatkan kelelahan dan pasokan oksigen ke otak yang hampir saja berkurang.Selama tiga hari ini kondisi baby twins mulai stabil. Mereka sudah dipindahkan ke ruang anak. Bersyukur Aya dan Fiqa memiliki ASI yang melimpah. Riyyan dan Ela juga sudah berusia satu tahun dan sudah makan. Jadi, ibu mereka bisa mendonorkan ASI-nya untuk kedua anakku."Kondisi mereka sudah stabil." Mamah menghampiriku dan mengelus kedua pipi cucu kembarnya. Mamah habis melaksanakan sholat tahajud di masjid."Iy
"Dek ... Dek," panggilku.Rana tersenyum kearahku. Aku menggenggam tangannya dan sesekali menciumnya."Kamu bisa. Kamu bilang kamu ingin mereka selamat kan?"Dia mengangguk, dengan susah payah Rana menahan rasa sakitnya. Aku tahu pembukaan sudah sempurna hanya saja Rana mungkin sudah tak punya tenaga untuk mengejan. Sementara perjalanan kami masih lama."Eghhh ... huft ... egghhh ....""Dorong sayang, ingat Allah, ingat anak kita. Kamu mau mereka selamat kan? Ingat, surga kita ada pada mereka Sayang?"Rana menatapku dengan mata berkaca, entah kenapa aku seperti melihat pancaran semangat dalam matanya.Meski susah payah Rana berusaha mengejan dan aku mencoba membantunya. Rana terus mengejan hingga tangisan pertama keluar."Eaaaaa ...."Aku segera mengeluarkan bayiku, melepas bajuku dan kuselimuti bayi lelakiku."Mbak, pegang!""Oke."Setelah menyerahkan kepada rekan Elang, aku segera menyemangati Rana
POV ReihanAku membaca chat dari Rana yang meminta ijin menjenguk Diva yang sedang sakit. Aku pun mengijinkannya.Hampir satu jam kemudian HP-ku berdering terus. Aku mengeceknya. Pak Yadi."Kenapa Pak?""Mas Rei, Mbak Zaza gak ada. Tadi saya disuruh beli apel sama Mbak Zaza. Eh pas balik mereka udah gak ada.""Oke. Kamu tetap tunggu disitu. Cari terus."Aku segera mematikan sambungan dan menghubungi Elang."El, tolong lacak Rana. Dia menghilang.""Oke."Aku segera mengambil kunci mobilku dan berpesan pada Suster Dira untuk meminta bantuan Dokter Joko menangani pasien-pasienku. Aku berlari menuju ke mobil. Entah kenapa firasatku tak enak."Iya El, bagaimana?""Mereka ke arah Baturaden. Aku sharelock lokasinya. Aku dan kawan-kawan menuju kesana."Aku segera memacu mobilku dengan kecepatan maksimal yang aku bisa. Kurang lebih tiga puluh menit aku sampai di sebuah vila. Aku parkir di tempat j
Karina kembali mengelus perutku dengan penuh pemujaan sedangkan aku benar-benar ketakutan. Karina menatapku dengan seringai jahat.Bugh."Aw ...." Aku meringis karena Karina memukul perutku.Aku merintih menahan rasa sakit."Kak Karin jangan!""Hahahaha."Karina menatapku dengan tatapan penuh kebencian. Aku masih berusaha menahan rasa sakit."Kamu tahu, ibuku benar-benar wanita menjijikkan. Entah berapa pria yang pernah tidur sama dia. Sungguh menyebalkan." Karina menoleh ke arah Dinda. Kemudian dia mengelus pipi Dinda membuat Dinda ketakutan bahkan berusaha memalingkan wajahnya."Aku dan Dinda berasal dari rahim yang sama namun ayah berbeda. Dan yang menyebalkan, kami tak tahu siapa mereka.""Bukannya kakak, anak mendiang Dokter Wijaya?" cicit Dinda."Hahaha. Bukan! Sayangnya bukan! Kalau bukan karena otak cerdikku dan keinginan Ibu kita untuk lepas dari kemiskinan, tak mungkin aku bisa sampai disini."