Elang menatap semua bukti yang telah dikumpulkan oleh Aldo. Rupanya selama berkenalan dengan Elang, Aldo mengikuti perkembangan tentang Mr. Q juga. Bahkan dia memberi Elang beberapa foto-foto Pandu alias Athala saat berada di rumah sakit. Luar biasa.
Dia bahkan memberi sesuatu, sebuah alat penghubung dua arah dimana yang satu ada di amplop sedangkan yang lain masih dibawa oleh Aldo. Dan dari alat itu lokasi mereka sudah terkunci berada di daerah perbatasan Purwojati dan Cilongok.
"Siap El."
"Siap Jo. Kita mulai."
Jovan memimpin pasukan khusus dibantu Kapolres Banyumas serta kaplosek Purwojati. Mereka bergerak menggunakan pakaian biasa agar tak mencolok. Bahkan pergerakan mereka sudah dimulai dari kemarin agar tak membuat curiga Athala dan anak buahnya.
Mereka terus bergerak hingga semua sudah berada di posisinya masing-masing. Athala tinggal di sebuah rumah mewah yang terletak di pemukiman padat penduduk. Sungguh pintar sekali mere
"Cepat-cepat!"Dua buah ranjang disiapkan untuk dua korban, salah satu korban langsung dibawa ke ruang IGD sedangkan yang lainnya langsung menuju ruang operasi.Rayyan, Nasha, Ayana dan Wisnu langsung menuju ke rumah sakit begitu mendapat telepon dari Royyan.Tindakan pertolongan langsung dilakukan pada Fiqa, beruntung sekali Fiqa memakai rompi anti peluru. Entah sejak kapan gadis itu memakainya, rompi yang dipakai adalah jenis rompi berbahan tipis tapi mampu menahan tembakan.Ketidaksadaran gadis itu lebih diakibatkan karena syok dan kurangnya asupan makanan dan minuman. Sedangkan luka-luka di tubuhnya tidak terlalu parah namun tetap harus diperiksa lebih lanjut.Sementara di ruang operasi, Elang tengah bertaruh nyawa. Dua tembakan bersarang pada punggungnya. Peluru harus segera diambil.Kondisinya yang kehilangan banyak darah juga harus segera diatasi. Beruntung golongan darahnya O persis seperti ayahnya, Nasha dan Ayana. Sedan
"Suster ...," teriak Fiqa.Semua orang yang ada di luar langsung kaget. Rayyan langsung masuk dan melakukan tindakan RJP untuk Elang menggunakan alat pacu jantung atau defribrilator.1 2 3 tekan. Tubuh Elang terguncang, namun indikator detak jantung masih garis lurus1 2 3 tekan. Masih sama.1 2 3 tekan. Masih sama.Rayyan terus berusaha menolong Elang, Fiqa sendiri sudah menangis tersedu-sedu dan tengah ditenangkan oleh Royyan."Sabar Dek. Sabar. Istighfar. Istighfar." Royyan berusaha menenangkan adiknya.Nasha dan Ayana saling memeluk. Wisnu tengah dipapah menuju kursi oleh Jovan. Sementara yang lain masih was-was."Bismillah. Elang berjuanglah, kamu gak boleh ninggalin anak om, dengan cara seperti ini," lirih Rayyan.1 2 3 tekan. Dug dug dug."Alhamdulillah." Rayyan mengucap hamdallah.Dokter Andi baru datang karena habis mengoperasi pasien. Dia melihat Rayyan tengah membereskan alat pacu jantung.
"Fiqa ...!" teriak Elang Putra."Fiqa. Kamu Fiqa, 'kan? Akhirnya kita ketemu lagi. Beberapa kali aku pengin ketemu sama kamu. Maria bohongin aku, dia gak hamil. Dia bohongin kita. Aku sudah cerai sama dia, Maria udah aku jeblosin ke penjara. Dia berusaha membunuh anakku dengan .... " Elang Putra terdiam, dia hampir saja keceplosan."Jangan bilang, kamu nanem benih sembarangan lagi Elang Putra Danendra," sahut Fiqa dingin. Sedangkan pria yang duduk di kursi roda hanya diam mengamati."Bukan begitu Fiq ... ceritanya rumit."Elang Putra Danendra menceritakan semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Fiqa merasa jengah namun Elang memberinya kode untuk mendengarkan. Mau tak mau Fiqa manut sama calon imamnya."Jadi begitulah Fiq. Hidupku hancur," keluhnya."Kamu hancur karena ulah kamu sendiri. Kalau kamu mau menerima Maria dan memperbaiki semuanya pasti gak akan mungkin kayak gini jadinya," tutur Fiqa dengan mimik muka datar."Dan sekarang m
Menunggu itu perlu kesabaran. Menunggu itu sungguh membosankan. Menunggu itu butuh perjuangan dan pengorbanan. Itulah yang dialami oleh Fiqa dan Elang. Tujuh bulan lamanya mereka harus menunggu untuk mencapai kata halal. Rasanya nano nano pokoknya, ditambah lagi si biang resek Royyan yang selalu mengompori mereka dengan kemesraan bersama sang istri. Tambah merana kan jadinya. Sudah tahu menuju halal banyak ujian dan godaan malah digoda terus. Hadeh. Dasar Royyan.Ingin rasanya Elang dan Fiqamenimpuk kepala Royyan. Kalau perlu bawa dia ke kutub utara atau antartika biar jadi temennya Reihan. Eh ... kan emang kembaran Reihan yah? Halah. Ckcck.Untungnya baik Elang dan Fiqa memiliki mental baja, sabar dalam menunggu, saling percaya dan selalu giat berdoa.Lebih beruntung lagi mereka itu bukan pengangguran. Mereka punya kesibukan yang menguras fisik dan tenaga sehingga kalau malam bawaannya capek dan pengin rebahan. Jadi rasa galaunya bisa sedikit terobati.
Royyan membuka kunci dengan pelan-pelan. Seringai jahil tergambar di bibirnya. Oke. 1 2 3. Ceklek."Woi ...." Mata Royyan terbelalak melihat pemandangan di depannya."Astaga! Aku gak percaya. Astaga!Kalian ... kalian ... tidur?" ucap Royyan lirih.Heh. Melorot sudah deh semangat menjahilinya.Royyan langsung keluar dari kamar Fiqa meninggalkan pasangan pengantin baru yang sedang tidur manis sambil berpelukan."Apa-apain sih mereka, ini kan malam pertama mereka. Masa mereka tidur? Astaga! Mereka normal gak sih? Hadeh."Royyan masih menggerutu karena kejahilannya tidak bisa tersalurkan."Kenapa Mas?" tanya Ayana."Mereka tidur.""Apa? Hahaha. Panteslah tidur, habis tamunya dari tadi banyak banget. Masa jam sepuluh malem masih ada tamu. Belum lagi Mas Royyan yang ikut-ikutan jahil. Udah deh Mas dari pada sibuk mikirin pengantin baru sini jahilin Ayana aja. Lagian kata Dokter Farah kita harus pake kiat-kiat terte
Rafiqa tengah menatap pantai Senggigi dengan penuh takjub. Dia merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara sore dengan pelan.Sebuah pelukan mampir lewat rengkuhan tangan lembut sang suami. Elang memeluknya dari belakang sedangkan Fiqa menyenderkan badannya ke belakang. Sungguh indahnya pacaran setelah halal."Kamu suka?" tanya Elang sambil sesekali mencium pipi cubby sang istri."Suka sekali."Mereka masih menikmati kebersamaan mereka berdua dengan saling memeluk. Walau tanpa kata, tapi keduanya telah menyatu baik jiwa dan raga."Udah sore, balik yuk.""Ayok."Mereka berjalan sambil menyusuri sepanjang pantai sambil bergandengan tangan. Sesekali mereka bercanda. Senyum tak pernah lepas dari bibir Fiqa. Membuat Elang terpesona dan pengin bawa ke kamar saja. Hahaha."Ayok Mas, lari."Elang dan Rafiqa berlarian bersama, Fiqa memainkan deburan ombak dengan kaki telanjangnya.Mereka asik bermain dengan air laut h
Elang tak bisa menyembunyikan senyumnya. Sesekali menatap sang istri dari balik kaca tengah. Sang istri tengah menikmati kuacinya di jok belakang. Fiqa gak mau duduk di samping Elang karena takut kuacinya diambil lagi sama sang suami. Astaga sampai segitunya."Kamu mau makan apa lagi?""Gak ada, Mas.""Oke. Langsung balik nih?""Iya.""Oke.""Eh ... Mas berhenti-berhenti!"Fiqa langsung membuka pintu mobilnya ketika mobil sudah berhenti."Kamu mau ngapain?" teriak Elang.Mau tak mau Elang ikut turun setelah memarkirkan mobilnya. Dan betapa kagetnya dia melihat Fiqa baru saja turun dari pohon mangga setelah memanjat setinggi tiga meter."Makasih Bu mangganya," ucap Fiqa sumringah."Sama-sama Mbak, lain kali suaminya aja ya yang manjat. Hehehe," sahut si ibu pemilik mangga dengan tatapan takjub sekaligus heran kepada Fiqa."Fiq. Kamu kok manjat sih? Bahaya Sayang? Lain kali biar Mas El aja!" Kesal Elan
Elang tengah meminum kopi bersama sang papah. Sambil sesekali melirik Fiqa yang tengah nemplok di pohon mangga belakang rumah sambil makan bubur ayam. Awalnya Elang senam jantung melihat ngidam aneh Fiqa namun makin hari dia makin santai menghadapinya. Soalnya dia sudah terbiasa. Lagian Elang juga sudah menempatkan berbagai perlindungan seperti matras penyelamat di bawah pohon mangga. Pokoknya suami siaga dianya."Kayaknya kamu udah biasa aja lihat tingkah istrimu.""Hehehe. Udah biasa soalnya, Pah.""Hahaha. Ntar kalau anakmu udah lahir siap-siap menghadapi tingkahnya yang pasti mirip kamu, pecicilan.""Hahaha, asal penyayang dan setia sama pasangan gak papa, Elang ridho pokoknya.""Dasar bucin," sinis Wisnu."Sama kayak Papah.""Hahaha." Keduanya tertawa.Fiqa yang melihatnya tersenyum tipis. Dia benar-benar merasa bahagia memiliki suami seperti Elang. Meski mereka kerap berbeda pendapat karena sama-sama egois dan keras kepal
"Dek, maafin Mas ya. Mas khilaf. Janji ini yang terakhir khilafnya." Aku hanya bisa menghembuskan nafas. Dulu sekali Mas Rei juga bilangnya khilaf tapi ini malah khilaf lagi. "Dek, jangan marah ya. Senyum dong." "Buat apa marah Mas? Toh udah kejadian bukan?" sahutku sinis. "Iya juga sih. Tapi Mas seneng kok bisa khilaf terus." "Ck." Aku mencebik dan mencubit perutnya. Dasar. Mas Reihan hanya tertawa, sesekali mencium tanganku dan keningku. Bahkan aku yakin kalau gak ada orang, pasti dia sudah mengajakku adu bibir. Haish. Punya suami kok gini amat, untung aku cinta. Mungkin karena aku diam saja Mas Reihan kembali membujukku dengan kata-kata manis. "Iya, iya nanti Mas lebih hati-hati tapi khilafnya gak bakalan ilang, Sayang." Dia mengucap dengan seringai jahil. Dih, dasar! Aku memilih mengerucutkan bibir. Bodo amat kelihatan jelek. Salah sendiri tuh Kulkas jadiin aku istri. Jadi harus terima dong lahir batin kecantikan sama kejelekanku kalau lagi ngambek. "Udah jangan marah ya B
"Kalian gak bawa baby sitter?" tanya Joshua."Gak.""Gak kerepotan?""Enggaklah," jawab Mas Reihan cuek."Kalian kok bisa cuma punya ART sekaligus pengasuh bayi tanpa pakai jasa baby sitter sih?""Ya bisalah," ucap Mas Reihan."Kok Zaza bisa ya ngajar sekaligus bisa kasih ASI. Eksklusif lagi.""Istriku gitu loh.""Iya-iya yang istrinya paling cantik, paling pinter, paling ter-semua pokoknya.""Harus. Kan istri sendiri bukan istri orang lain.""Ck. Dasar Dokter Kulkas." Joshua mengumpati suamiku. Lalu dia bergegas mengikuti gadis cilik yang berlari hendak bermain dengan air.Aku hanya bisa menahan tawa melihat bagaimana interaksi suamiku dengan para sahabat sekaligus rekan kerjanya."Mimik muka suamimu loh Za, gak berubah. Bisa datar gitu. Kok kamu mau sih nikah sama dia.""Eh Bu Mila." Aku menyalami Bu Mila, salah satu istri dari rekan Mas Reihan. Dokter Siswo, spesialis jant
Sepuluh hari aku dan Baby Twins di rumah sakit. Kini kami kembali ke Sokaraja dan disana aku dan Twins disambut oleh seluruh keluarga. Bahkan, Tante Raisa sekeluarga pun datang.Malamnya acara akikah kedua anakku diselenggarakan dengan meriah. Sebetulnya acara akikah standar, hanya saja malam ini semua keluargaku dan Mas Reihan datang jadi sangat ramai.Seperti biasa Royya dan Rael akan bertengkar. Kali ini mereka bertengkar memperebutkan siapa yang jadi saudara ketiga. Astaga.Acara akikah sudah selesai dari tadi tapi kami masih sibuk bercengkrama. Aku yang merasa lelah meminta ijin untuk ke kamar lebih dulu, tentu saja dengan diantar oleh Mas Reihan."Mas temeni yang lain aja. Rana gak papa sama Twins.""Oke. Tidur yang nyenyak ya Dek.""Iya."Mas Reihan mencium pipi Twins dan terakhir mencium keningku mesra."Tidur ya, Mas keluar dulu.""Oke."Aku merebahkan diri di samping si kembar. Kami memutuskan meme
"Mereka luar biasa Mas.""Iya. Sangat luar biasa."Aku dan Mas Reihan tengah menatap baby twins. Keduanya benar-benar luar biasa. Mereka adalah hadiah terindah bagi kami setelah tiga tahun penantian. Aku bersyukur, Allah memberi kami kepercayaan dua buah hati sekaligus. Mana kembar sepasang lagi.Cup.Aku menoleh ke arah Mas Reihan. Lalu mencubit perutnya."Mas!" bentakku sambil memelototinya. Dasar! Suka sekali cari kesempatan."Apa? Hem ...." Dia hanya tersenyum dan menatapku jahil. Bahkan tangannya sudah memainkan kerudungku dari tadi dan diputar-putarnya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Refleks Mas Reihan menghentikan aksi anehnya dan berdiri menyambut tamu yang datang."Zazaaaaa.""Yayaaaa."Yaya menuju ke ranjangku. Dia langsung memelukku dan aku balik memeluknya, heboh pokoknya. Aku menyambut uluran tangan semua rekan kerjaku yang datang."Wah ganteng dan cantik ya Za
POV RanaAku terbangun di sebuah hamparan pasir yang indah. Kutatap sekelilingku. Pantai?Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Sepi. Kemana semua orang?Mana Mas Reihan? Dan ... kenapa perutku kempes? Dimana bayiku? Aku panik. Aku mencoba berlari mencari orang-orang tapi tak ada satupun yang kutemui. Hingga kulihat sebuah perahu di sana. Aku berlari menuju perahu yang masih berada di bibir pantai sepertinya mereka akan berlayar."Permisi ... permisi. Bolehkah sa-" Aku tertegun. Mataku berkaca-kaca. Aku segera berlari menyongsong kedua orang yang sangat kurindu."Ayah, Bunda, Rana kangen." Kedua orang tuaku memelukku. Lama kami berpelukan."Kalian mau kemana?""Berlayar," ucap Ayah."Boleh Rana ikut?""Boleh," kini Bunda yang menyahut.Aku menggenggam tangan Ayah dan Bunda di kanan kiriku. Aku bahagia sekali. Kami berjalan bergandengan tangan dan akan naik ke perahu. Ayah yang pertama naik, kemudian Ayah mengulurkan t
Sudah tiga hari, Rana masih tak sadarkan diri. Menurut ahli obgyn, perut Rana mengalami benturan yang cukup keras. Namun tak membahayakan rahimnya. Aku masih ingat, bagaimana Rana berkutat dengan Karina yang ingin memukul perutnya saat itu. Berulangkali dia menghalangi tinju Karina. Ya Allah. Semoga Engkau membalas perlakuan Karina sesuai dengan tindakannya, amin.Pembersihan rahim juga sudah dilaksakan. Nindy bilang, tak ada masalah. Ketidaksadaran Rana diakibatkan kelelahan dan pasokan oksigen ke otak yang hampir saja berkurang.Selama tiga hari ini kondisi baby twins mulai stabil. Mereka sudah dipindahkan ke ruang anak. Bersyukur Aya dan Fiqa memiliki ASI yang melimpah. Riyyan dan Ela juga sudah berusia satu tahun dan sudah makan. Jadi, ibu mereka bisa mendonorkan ASI-nya untuk kedua anakku."Kondisi mereka sudah stabil." Mamah menghampiriku dan mengelus kedua pipi cucu kembarnya. Mamah habis melaksanakan sholat tahajud di masjid."Iy
"Dek ... Dek," panggilku.Rana tersenyum kearahku. Aku menggenggam tangannya dan sesekali menciumnya."Kamu bisa. Kamu bilang kamu ingin mereka selamat kan?"Dia mengangguk, dengan susah payah Rana menahan rasa sakitnya. Aku tahu pembukaan sudah sempurna hanya saja Rana mungkin sudah tak punya tenaga untuk mengejan. Sementara perjalanan kami masih lama."Eghhh ... huft ... egghhh ....""Dorong sayang, ingat Allah, ingat anak kita. Kamu mau mereka selamat kan? Ingat, surga kita ada pada mereka Sayang?"Rana menatapku dengan mata berkaca, entah kenapa aku seperti melihat pancaran semangat dalam matanya.Meski susah payah Rana berusaha mengejan dan aku mencoba membantunya. Rana terus mengejan hingga tangisan pertama keluar."Eaaaaa ...."Aku segera mengeluarkan bayiku, melepas bajuku dan kuselimuti bayi lelakiku."Mbak, pegang!""Oke."Setelah menyerahkan kepada rekan Elang, aku segera menyemangati Rana
POV ReihanAku membaca chat dari Rana yang meminta ijin menjenguk Diva yang sedang sakit. Aku pun mengijinkannya.Hampir satu jam kemudian HP-ku berdering terus. Aku mengeceknya. Pak Yadi."Kenapa Pak?""Mas Rei, Mbak Zaza gak ada. Tadi saya disuruh beli apel sama Mbak Zaza. Eh pas balik mereka udah gak ada.""Oke. Kamu tetap tunggu disitu. Cari terus."Aku segera mematikan sambungan dan menghubungi Elang."El, tolong lacak Rana. Dia menghilang.""Oke."Aku segera mengambil kunci mobilku dan berpesan pada Suster Dira untuk meminta bantuan Dokter Joko menangani pasien-pasienku. Aku berlari menuju ke mobil. Entah kenapa firasatku tak enak."Iya El, bagaimana?""Mereka ke arah Baturaden. Aku sharelock lokasinya. Aku dan kawan-kawan menuju kesana."Aku segera memacu mobilku dengan kecepatan maksimal yang aku bisa. Kurang lebih tiga puluh menit aku sampai di sebuah vila. Aku parkir di tempat j
Karina kembali mengelus perutku dengan penuh pemujaan sedangkan aku benar-benar ketakutan. Karina menatapku dengan seringai jahat.Bugh."Aw ...." Aku meringis karena Karina memukul perutku.Aku merintih menahan rasa sakit."Kak Karin jangan!""Hahahaha."Karina menatapku dengan tatapan penuh kebencian. Aku masih berusaha menahan rasa sakit."Kamu tahu, ibuku benar-benar wanita menjijikkan. Entah berapa pria yang pernah tidur sama dia. Sungguh menyebalkan." Karina menoleh ke arah Dinda. Kemudian dia mengelus pipi Dinda membuat Dinda ketakutan bahkan berusaha memalingkan wajahnya."Aku dan Dinda berasal dari rahim yang sama namun ayah berbeda. Dan yang menyebalkan, kami tak tahu siapa mereka.""Bukannya kakak, anak mendiang Dokter Wijaya?" cicit Dinda."Hahaha. Bukan! Sayangnya bukan! Kalau bukan karena otak cerdikku dan keinginan Ibu kita untuk lepas dari kemiskinan, tak mungkin aku bisa sampai disini."