Pagi ini gerimis turun, awan masih tebal berwarna keabu-abuan. Seorang wanita tengah berdiri di depan jendela menatap jalanan yang sibuk setiap harinya. Ia bertanya-tanya jika mereka sangat amat beruntung memiliki tujuan. Wanita muda itu mendesah, seolah ada beban berat di dada. Cangkir yang berisi kopi sudah tidak mengepul lagi, ditaruhlah cangkir itu di atas nakas. Beralih dengan cermin yang berada di sudut dekat lukisan, terpantul dirinya yang kurus memakai kemeja over size. Apakah ia bahagia setelah mendapatkan semua ini? Begitu hati kecilnya berpikir.Ia merasa dalam lubuk hatinya tidak benar. Terkadang ia merasa, benar, perasaannya itu mencintai suaminya. Namun terkadang, itu bagian dari ambisinya karena dulu begitu mengagumi. Ternyata, ia masih belum ikhlas seperti luka yang ada di telapak kakinya. Seperti kaca yang sudah pecah dibanting. Lukanya di kaki akan menghilang, namun kaca yang menyakitinya tetap tidak bisa utuh kembali.Wanita itu duduk di depan cermin, pantulannya n
“Kali ini aku harus berhasil.“Sandra tersenyum di depan cermin, seraya mematut diri jika rambutnya sudah disisir dengan rapi. Wajahnya merona memikirkan jika masakannya kali ini sudah lebih baik dibanding sup buntut yang keasinan. Kebetulan, ayahnya - pak Mukti hari ini akan bertandang ke rumah Juragan Basuki. “Sandra, udah siap belom?“Suara Pak Mukti sudah terdengar. Sandra cepat-cepat ke luar kamar dan menuruni tangga sembari menilik ke arah dapur. Ia membuat cupcake cokelat yang dipastikan tidak terlalu manis. Ia taruh di wadah hati-hati agar hiasan di atas cupcake-nya tidak jatuh atau rusak.“Udah, Pa.“Sandra duduk di samping kemudi, di mana Pak Mukti yang menyetir. Pak Mukti melirik anak gadisnya yang biasanya berpenampilan tomboy kini justru feminim. Memakai rok lipat selutut beserta kemeja berwarna pastel. Diam-diam Pak Mukti tersenyum mengira perjodohan antara putrinya dengan anak rekannya akan berhasil.“Kamu bawa apa, San? Kayaknya penuh banget yang kamu bawa.“Sandra me
“Alana... ada yang mau ketemu sama kamu.“Sarah melepas pelukannya, Alana menoleh mencari siapa yang datang untuk menemuinya. Melihat dari banyaknya keluarga Hamiz yang datang, di bawah kerlip lampu, ia masih tak mengerti siapa yang akan menemuinya.“Mana, Mah?“ tanya Alana. Seorang lelaki memakai kaos lusuh dengan beberapa robekan mendekat ke Alana. Semakin dekat, wanita itu justru mundur beberapa langkah. Air matanya melesak turun, hatinya sakit. Alana berteriak memanggil nama seorang lelaki di depannya, namun alangkah terkejutnya melihat Hamiz, mertuanya, dan Oma justru tersenyum sesekali tertawa.“Alana... kenapa lama sekali? Bapak selalu nunggu. Kebenaran sebentar lagi datang. Akan ada seseorang yang harus kamu terima kehadirannya. Walaupun dia datang dengan tanya.““Bapaaak, maafin Alana. Maafin Alana, Pak.““Yang, yang. Bangun, Yang. Kamu minum dulu.“ Hamiz mengambil air putih yang selalu ada di atas nakas. Alana terbangun di tengah malam dalam keadaan penuh keringat dan air
Niko mengeringkan rambut menggunakan handuk kecil. Tangannya yang lain mencoba mengaktifkan ponsel di mana baru mengisi beberapa persen. Misscalled dari Om-nya dan pesan suara yang berisi suara seolah tengah ketakutan membuat Niko segera menyambar kunci mobil. Tak dihiraukannya pintu yang tak dikunci, ia segera menuju kediaman Om Dewa.Sesampainya di sana, ia lebih terkejut lagi karena jendela Om-nya dalam keadaan terbuka dan tidak ada siapa pun di dalam. Bahkan capcake dari Sandra masih ada di dapur, dengan beberapa gigitan seperti terakhir ia lihat. “Om! Om!“Niko tak hentinya berteriak. Sulit untuk menanyakan perihal apa yang terjadi dengan Om-nya karena jarak rumah Om Dewa dengan para tetangga lumayan berjarak. Rumah Om-nya ini memang sengaja di kawasan perkebunan. Ia hapal betul Om Dewa selalu mengatakan ingin memiliki rumah yang menyatu dengan alam.Dapat dilihat dengan bebungaan yang ditanam di halaman rumah. Siapa pun dapat mengetahui jika si pemilik rumah sangat menghargai t
Hamiz menyipitkan mata, sejak dirinya selesai dari kamar kecil, ia melihat istrinya tak henti-henti memegang ponsel dengan raut cemas. Mereka berdua tengah melakukan fitting, karena gaun yang dipinta Hamiz juga Alana sudah selesai hari ini. Akan tetapi, yang dilihat Hamiz justru Alana yang tidak semringah. Alana duduk di sofa bulat yang berada di tengah ruangan menghadap cermin besar, masih mengenakan gaun. Hamiz mendekat, mengambil ponsel istrinya, dan melayangkan tatapan sulit diartikan. Yang jelas, ada rasa kesal di sana.“Sayang, bisa minta tolong nggak biar kita fokus dulu? Aku udah ngeluangin waktu, pulang kantor lebih cepat buat fitting,“ kata Hamiz. Tangan kanannya mengacungkan ponsel.“Tapi... Niko,“ sahut Alana. Ia benar-benar khawatir dengan keadaan Niko sekarang. Masih ingat jelas, di saat terpuruknya hanya ada Niko di sampingnya. Bahkan rumah yang ada di desa adalah rumah Niko yang ia beli dengan harga di bawah pasaran- bahkan sebelum itu saja, Niko bilang untuk tidak pe
Niko mengambil earphone yang masih menyumbat telinganya. Karena sejak tadi dirinya melakukan video call dengan Alana, memang menggunakan earphone. Sandra berdecak sebal ketika melihat Niko mengambil kedua benda itu dari telinga. Ia makan bulat-bulat pizza-nya karena kesal.Niko yang tidak merasakan apa-apa menganggap baik-baik saja. Perutnya pun merasakan lapar, karena sejak kemarin belum terisi apa pun. Ia menatap ke arah televisi, tanpa mengetahui perubahan ekspresi gadis di sampingnya. Bunyi langkah kaki membuat semuanya menoleh ke arah pintu utama. Memang pintu tidak ditutup karena Niko tidak mau ada hal-hal yang akan menjadi fitnah, saat menerima tamu seorang gadis begini di rumah. Agar tetangganya dapat melihat, atau siapa saja yang datang.Namun kali ini, Niko justru kedatangan tamu yang sama sekali tidak ia harapkan untuk datang. Selera makannya hilang entah ke mana. Pizza ia letakkan asal di atas meja. “Om seneng kalo Sandra menerima perjodohan ini,“ celetuk Juragan Basuki.
Seorang lelaki termenung di danau sembari sesekali melempar batu. Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam. Beberapa kali ia mengusap air mata yang jatuh. Pohon Angsana yang menjadi saksi bagaimana perihnya seseorang dalam bertaruh hidup ke kematian membuatnya menjerit hingga menimbulkan gema yang panjang.Lelaki itu menutupi wajah. Bayangan tawa dan sorot mata penuh kasih tetap tak mau enyah dari kepala. Rasa rindu, kesal, dendam, bercampur menjadi satu. Orang yang selama ini membantunya hingga sebesar sekarang, telah tiada dengan cara sangat mengenaskan dan yang sangat membuatnya terpukul ialah, ia curiga dengan ayah kandungnya.Suara ranting terdengar. Niko menoleh ke belakang, ternyata Sandra. Hari mulai petang, akan tetapi gadis itu dengan berani ke tempat ini. Sandra mengusap punggung Niko, tidak keberatan jika bahunya dipakai untuk bersandar oleh lelaki itu. Ia paham, hati Niko sesakit apa. "Nggak pa-pa," ucap Sandra. Gadis itu mengarahkan kepala Niko agar bersandar di pundakn
Pagi-pagi sekali, Alana sudah bangun, duduk di depan meja makan dengan susu hangat di depannya. Matanya bengkak karena nangis semalaman. Hamiz memasak omelette sambil memandangi istrinya yang nampak kacau. Ia tidak ingin ikut-ikutan dalam masalah istrinya dengan Sandra karena berpikir itu masalah seorang wanita. "Kenapa Sandra tiba-tiba kayak gitu ya, Yang?"Hamiz berdeham, tangannya menggoyangkan teflon berisi telur. "Dia cemburu, Honey. Kamu kan deket banget sama Niko, sedangkan aku liat semalam kamu biarin Sandra sendirian di belakang kamu."Mengingat hari kemarin, Alana mengusap wajahnya. "Tapi kan aku sama Niko emang sedekat itu, Yang. Kita nggak ada hubungan apa-apa yang harus dicurigai. Niko pun tau itu."Hamiz pun cemburu, tapi ia tidak bisa berbuat banyak karena Alana selalu berlindung di kata yang sama. Hamiz memilih mengedikkan bahu dan melanjutkan membuat omelette. Tidak ada apa-apa di kulkas selain susu dan telur, karena sepulangnya kemarin tidak membawa apa-apa atau bah
Lucas serba salah hendak mengambil keputusan bagaimana. Ia memang sekarang tengah berada di rumah Luna karena memang ingin menyaksikan acara lamaran kedua sahabatnya itu. Namun, kejadian naas justru terjadi. Luna kini pingsan setelah Lucas mendapat panggilan video dari Febiola.Ummi Sunita menghampiri Lucas dan memegang lengannya. Wajahnya khawatir. Lucas memang sudah memberitahu tentang talak yang diberikan Jack ke Dania dengan bagaimana perangai mantan istri sahabatnya. Ummi Sunita simpatik jika memang begitu alasannya. Tak ada lagi alasan untuknya membenci Jack yang hanya ingin memperbaiki diri ke jalan yang Allah berikan melalui putrinya."Aku harus pergi dulu, Tante. Kasihan baju Amora dan Leon nggak ada ganti. Di sana temanku pun kerepotan kalau menghandle semua sendirian.""Nak Lucas, ada di rumah sakit mana nak Jack?" tanya Ummi Sunita."Di Rumah Sakit Harapan, Tante."Lucas meninggalkan Luna yang masih tak sadarkan diri akibat syok luar biasa. Ummi Sunita kembali ke putrinya
"Alana!"Hamiz menggendong istrinya ke kamar dengan jantung berdegup kencang. Wajah istrinya sangat pucat dan terdapat darah yang keluar dari hidung. "Kita bawa Alana ke rumah sakit aja, Hamiz!" titah Sarah pada putranya.Tanpa pikir panjang karena pikirannya pun kalut melihat darah yang mengalir, Hamiz menggendong lagi istrinya menuju mobil. "Hati-hati, Nak, turun lewat lift!" Cegah Sarah saat melihat Hamiz hendak menuruni tangga. Akan sangat berbahaya jika Hamiz tergelincir dan akan menambah Alana semakin sakit."Bi, jaga Arsen di rumah," pesannya."Iya, Bu. Kita ke atas yuk, Anak Baik."Agar Arsen tak menangis, dialihkan ke ruang bermain. Sarah menyusul Hamiz yang sudah ada di dalam lift begitu lift terbuka ia bukakan pintu mobil untuk Hamiz. Alana ditaruh di belakang dalam posisi berbaring dengan kepala ditaruh di kedua paha Sarah.Namun, saat baru saja hendak membuka pintu mobil, Sarah mendapat telepon dari Oma. Meski sudah diabaikan, akan tetapi telepon seluler terus saja berd
Hari-hari Jack terasa kelabu. Meski di satu sisi hati kecilnya merasa lega telah mengambil keputusan untuk pergi dari hubungan yang tidak sehat, ia tetap saja lelaki yang rasa cintanya besar pada seorang wanita yang naasnya menyakiti. Pekerjaan yang digarapnya seolah tidak benar. Beberapa kali ia ditegur atasan di kantor karena beberapa kali melamun.Jack kini tengah berada di salah satu pusat perbelanjaan dengan Lucas. Ucapan sahabatnya yang sedari tadi tak berhenti berbicara sama sekali tak ia dengarkan. Lucas yang menyadari hal itu menarik Jack memasuki cafe."Lo sebenernya kenapa sih, Bro? Berat amat kayaknya tu beban hidup," canda Lucas.Jack mengacak rambutnya sembari mengetatkan rahang. "Bisa gila, gila, gila gue, Lucas! 3 hari yang lalu gue ke apartemen Dania, rencana pengen tau kejelasan pernikahan gue gimana ke depannya. Gimana pun gue emang nggak tegas sebagai laki, makanya gue dateng ke dia bermaksud biar bisa tau langkah selanjutnya ke Luna juga. Tapi ... apa lo tau?""Da
Jack tak fokus dengan pekerjaannya. Pikirannya sendiri kacau perihal permintaan Ummi Sunita yang menginginkan adanya restu istri pertama. Sedangkan, bagaimana ia akan membicarakannya dengan Dania? Laptop yang masih menyala, ia tutup. Bu Linda menghampiri putra satu-satunya itu dan memberinya kopi. Bu Linda tahu kegelisahan apa yang tengah dihadapi oleh Jack."Saran ibu, kamu ceraikan saja si Dania, Jack. Dia juga nggak sayang sama kamu, terutama ke anak-anak. Kalo diteruskan, rumah tangga kalian jadi apa? Apa kamu mau kedua anakmu ikut ke jejak ibunya yang begitu?" Perlahan, Bu Linda yang memang tidak setuju memberi pengertian pada putranya agar secepatnya mengambil keputusan. Ia sudah menyukai Luna saat baru pertama bertemu."Jack bingung, Bu. Kadang di hati Jack nggak rela mau lepasin Dania, tapi liat Luna, Jack merasa benar menjadikannya istri meski Jack belum ada perasaan," jelasnya.Bu Linda mengusap rambut putranya yang memang tengah tidur di pangkuan. "Jack, kesampingkan rasa
Angin sore ini begitu kencang. Api yang sengaja dibuat menjilat-jilat ke sana ke mari karena angin yang tak tentu arah. Seorang gadis tengah menusuk marshmellow dan membakarnya pada api yang tengah besar menyala."Mau ngapain lagi kamu di sini?" Suara seorang lelaki membuatnya menoleh diiringi bunyi pintu yang dibuka kian lebar. Senyum ia buat semanis mungkin sembari mengacungkan marshmellow di tangan yang mulai berubah warna menjadi kecoklatan."Sini, duduk di sini." Gadis itu menepuk kursi kayu yang sengaja ia bawa jauh-jauh ke tempat itu. Dibukanya lagi box berisi sosis dan daging yang sudah ditusuk rapi."Anggap aja untuk menebus rasa bersalah karena kemarin sikapku keterlaluan. Aku tau kita nggak punya hubungan sama sekali, Niko. Aku hanya berusaha siapa tau kamu punya perasaan yang sama denganku." Niko menutup pintu dan menghampiri Sandra. Di pertemuan terakhir kali, ia pun merasa sedikit keterlaluan memperlakukan Sandra begitu. "Kamu mau camping, kok ada tenda di sini? Yang
Luna menghembuskan napas lega karena ternyata bukan mobil wanita yang ia takuti. Lucas mengikuti langkah Bu Linda, begitu juga Luna. Pandangannya menelisik ke sekeliling, malu jika Jack ternyata ada di rumah atau bahkan istrinya.Baru-baru ini, perihal video yang baru viral, ada rasa takut yang menyelinap ke dalam hati. Ia takut, jika nanti Dania berbuat nekat seperti perbuatannya pada lelaki di video di mana sudah mantan, namun berani melawan istri sahnya."Leo, ada Tante Luna, salim dulu, Sayang," ucap Bu Linda, memanggil cucu pertamanya. Leo berdiri dari depan tv menuju Lucas untuk bersalaman, kemudian beralih pada Luna yang kini duduk di depan bocah itu mensejajarkan diri dengan Leo. Ia menelisik wajahnya, di mana duplikat Dania dan Jack. Tampan, namun ia merasa kasihan karena tubuh bocah 5 tahun itu yang kurus."Leo suka lego nggak?" Leo tersenyum dan mengangguk. "Suka, Tante! Papa beliin aku lego banyak banget. Sini ... ikut Leo ke ruang bermain. Lihat susunan lego yang udah a
Seorang lelaki tengah mengepulkan asap rokok hingga melambung tinggi. Ia duduk dengan seorang teman yang baru saja datang memesan minuman ke bartender. Wajah lelaki yang tengah merokok itu sudah memerah, tanda alkohol sudah 75 persen mempengaruhinya. Dalam keadaan mabuk, ia tertawa sembari memegang gelas kaca berisi cairan haram yang tinggal sedikit."Langkah lo mau gimana, Bro? Inget kata gue 4 tahun lalu, Dania nggak lebih baik dari Luna. Dia mau nerima Leo dan Amora. Luna denger lo begini aja dia sedih banget," ucap Lucas, wajah blasterannya menampakkan raut prihatin."Gue baru aja dapetin Dania, Bro. Setelah sekian tahun, gue bisa wujudin keinginan Leo buat bareng ibunya," jawab Jack dengan suara bergetar. "Lo boleh pikirin kebahagiaan anak, tapi apa anak lo bahagia lihat ibunya nggak mau deket-deket sama dia? Lo yang bilang siang ini Leo pengen duduk sama Dania dan dia keberatan. Kalo lo pengen anak bahagia, nggak harus sama Dania, Bro. Lo bisa cari perempuan tulus." Lucas bena
Bunyi klakson yang tak henti ditekan sejak 15 menit yang lalu tetap tak membuat Dania bergerak dari tempatnya berdiri. Ia membuat jalanan macet karena menyebrangi jalan dengan langkah yang lambat. Kakinya yang jenjang seharusnya bisa memangkas jarak langkah, akan tetapi hatinya yang gundah membuatnya seolah hilang tujuan."Cantik-cantik budek! Minggir, woy! Lo kalo mau cari mati jangan ngerugiin orang!" pekik pengendara mobil.Dania tetap tak mengindahkan teriakan itu. Ia sampai di sebuah taman yang memang ada tak jauh dari mall yang ia singgahi tadi. Wanita berkulit putih seputih porselen itu duduk di kursi yang menghadap ke jalanan. Orang-orang memandang iba, terlebih setelah video pertengkaran yang terjadi di dalam pusat perbelanjaan itu sudah viral. Pandangan iba dan geram menjadi satu. Beberapa ibu-ibu dan anak muda yang melihat aksi Dania mencium Hamiz dengan tiba-tiba membuat orang-orang itu geram. Ada juga yang merasa sedih saat kata-kata Alana yang diucapkan seolah paham deng
Sapuan dari angin membuat rambut yang baru saja dicurly berterbangan ke samping. Tangan seorang wanita cantik memegang garpu nampak murung sambil melahap pancake dengan selai apel. Pancake yang ia acak-acak itu membuat kening lelaki di depannya menghela napas. "Dania, bukannya kata kamu tujuanmu udah dekat? Kenapa lagi?" Jack meneguk espresso dalam dua kali teguk. Rasa pahitnya ia anggap sebagai hidupnya yang tetap ia nikmati."Mami, Leo nggak mau jauh lagi dari mami," keluh Leo sambil memeluk lengan Dania. Ia seolah meminta pelukan dari ibu kandungnya yang tetap cuek.Dania hanya mendengkus membuat Leo memasang wajah cemberut ke arah Jack. Tangan Leo saja sampai Dania singkirkan agar tidak bergelayut di sana. Seolah risih dengan perlakuan anak sulungnya."Sini, Leo, sama Papa." Jack memangku anak sulungnya dan menyuapkan sosis ke mulutnya. Kesedihan tetap belum hilang dari wajah Leo.Meski tinggal satu atap, tapi baru hari ini Jack bisa mengajak Dania keluar itu pun karena Leo mema