”Kamu kenapa, sih, jadi susah dihubungi sekarang?” omel Dania. Kami tengah berada di restoran sashimi, pilihan Dania. ”Aku nggak bisa hubungi kamu se-leluasa dulu, Beb. Sekarang di rumah kan ada Alana sama ibunya, aku nggak enak kalo telfon kamu ada mereka,” jelasku. ”Gimana malem ini? Kamu bisa ikut aku ke hotel buat hadir, kan?”Dania mengurungkan niatnya memasukkan daging salmon ke mulut. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. ”Ada apa?””Udah dua hari ini mami dirawat di rumah sakit, Sayang. Aku kayaknya nggak bisa.” Kuhela napas. Tidak ada pilihan lain, aku harus mengajak Alana seperti yang Oma bilang. Memang dipikir-pikir, Alana yang harus dikenalkan sebagai istri. Namun, aku tidak yakin, apa Alana pantas dibawa ke acara sebesar itu?”Kolega-kolega mendiang kakekmu bakalan dateng, Hamiz. Oma nggak mau kamu bawa Dania buat dikenalin sebagai menantu Oma,” kata Oma tegas, saat tadi aku mampir ke rumah.”Ngomong-ngomong, kenapa mami dirawat? Apa sakit jantungnya kambuh lagi?” tany
Menikah? Kupandangi Dania yang masih tersenyum seraya menampilkan deretan giginya yang putih. Ia mengatakan perihal pernikahan selugas itu, seolah itu bukan hal besar. ”Pergi, Dania. Sebentar lagi aku mau meeting.” Alih-alih pergi, Dania justru berdiri dan memegangi dasiku. Ia tersenyum menggodaku. Di kantor memang tahu, jika Dania adalah pacarku. Aku tidak masalah meskipun mereka akan mengetahui jika aku menikahi Alana. Selagi tidak terdengar sampai telingaku.”Kamu ke sini pas makan siang aja, kita makan siang di restoran depan,” ujarku memberi solusi agar Dania mau pergi.Ia justru menggeleng. ”Nggak mau. Aku mau dimakan sama kamu.”Kutinggalkan Dania setelah membawa beberapa berkas. Kutekan telepon kantor yang terhubung langsung ke sekertarisku untuk menyiapkan apa saja untuk meeting.”Baik, Pak Hamiz. Semuanya sudah siap, ya, Pak. 13 menit lagi kita meeting.”Dania bergelayut manja di lenganku, mengedipkan matanya. ”Ayolah, masih ada waktu 13 menit lagi.”Tidak. Aku meninggalka
Di kantor aku tidak tenang, ingin pulang cepat namun pekerjaan menumpuk. Pikiran yang tidak jernih membuatku banyak menunda pekerjaan. Sudah dua jam aku hanya memelototi laptop. Kuusap wajahku, sepertinya aku membutuhkan kafein agar pikiranku yang berkabut ini sedikit jernih.”Sayang.”Dania tiba-tiba datang tanpa mengetuk pintu. Ia langsung menghujaniku dengan ciuman. Aku hanya diam saja menatap kosong ke depan.”Kamu kenapa, sih? Aku tau.” Dania segera melumat bibirku, kubalas dengan malas. ”Kamu kenapa sih! Aku juga istri kamu! Aku mau kamu sekarang juga!”Kutinggalkan Dania, biar saja dia merengek. Aku sudah pusing menghadapi satu istri, salahku juga yang menambah kepusingan itu sendiri. Aku ke cafe di depan gedung kantor, ternyata Dania pun mengekor. ”Kamu kenapa!”Ini pertanyaan entah ke berapa kali dalam sejam. Aku enggan menjawab. Menjawab pun akan salah kembali. Kopiku datang, kuhirup aromanya yang membuatku tenang. Kemudian menyeruputnya seolah kabut yang memenuhi kepala mu
POV AlanaBebanku seolah berkurang pergi dari rumah megah itu. Meski air mataku tak hentinya mengalir. Meski hatiku terus saja berdarah. Meski perutku terasa kram, aku masih bilang, bebanku perlahan berkurang. Aku kesakitan, tapi tidak ada luka menganga yang terlihat. Hatiku berulangkali menjerit, sakitnya sampai membuatku sesak saat bernapas.Kupandangi rumah bercat ungu ini dengan pandangan buram, karena air mata tak hentinya mengalir. Seseorang mengusap bahuku. ”Tante Arumi nggak ikut?” tanya Niko.Ya, aku memang bersama Niko. Aku berniat ikut kembali ke desa, di mana dulu aku di sana. Tabunganku sudah lebih dari cukup jika hanya tinggal di kampung. ”Ibu nggak mau hidup miskin lagi, Nik,” jawabku.”Aku janji bakal cukupin kehidupan kalian berdua. Biar aku ke rumah kamu lagi buat ngomong sama tante, aku liat mobil suamimu pergi nggak lama kamu ke sini,” ujarnya.Sebelum aku memintanya untuk mengabaikan ibu, Niko sudah pergi menyebrangi jalan menuju rumah. Satu menit, 10 menit, hin
Sudah hampir terbit fajar, namun tidurku tak kunjung lelap, sekalinya terlelap aku bermimpi Tuan Hamiz sedang dalam keadaan berlumur darah. Sakitkah dirimu, Tuan? Kuambil air wudhu untuk menjalankan dua raka'at. Mendoakan dirimu setulus hatiku, agar kamu di sana selalu baik-baik saja.Setelah menyelesaikan dua raka'at, aku ke bawah menemui Bi Sumi untuk memberikan uang belanja. Namun kucari Bi Sumi tidak ada, jadi aku ke depan, ternyata Niko datang sedang membawa plastik berisi sayur-sayuran. ”Kamu yang belanja, Nik?” Niko bahkan belum mengganti bajunya. Ia tersenyum manis. ”Mana mungkin aku biarin kamu di sini kelaperan, Ra. Aku beli sayur, ayam, dan daging buat stok seminggu. Kalo persediaan udah habis, kamu yang harus belanja nemenin aku. Aku maksa, loh.”Aku tertawa. Aku mulai membantu menyusun buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah dibawa ke dapur. ”Maaf, ya, udah ngerepotin kamu. Kamu pasti juga belom tidur. Tidurlah abis ini, ya, Nik.””Karena Dinda udah nyuruh Kanda tidur,
PoV Penulis Sudah 5 bulan Hamiz mencari keberadaan Alana. Namun, tetap tidak ada di mana pun. Sudah dicari di sosial media, tapi tidak ada foto profil yang menandakan itu Alana. Selama sebulan pula hidup Hamiz tak terarah. Terasa ada rongga besar yang menganga di dalam tubuh. ”Kenapa, sih, aku ngrasa kamu udah beda? Kamu udah suka sama Alana?” tanya Dania. Hamiz berdecak. ”Pikiran kamu aja. Aku lagi pusing sama kerjaan.” Kemudian Hamiz meninggalkan Dania ke ruang kerja, malas menanggapi Dania yang selama sebulan ini marah-marah. Tidak ada hari tanpa amarah yang keluar dari wanita itu. Cinta yang meluap-luap saat pacaran tiba-tiba hilang. Kini Hamiz tak merasakan apa pun lagi yang menggebu-gebu pada Dania. Bahkan saat ia menyodorkan tubuhnya pada Hamiz, ia tidak merasakan sesuatu seperti yang sudah-sudah.Perut Dania sudah membesar. Sudah 6 bulan usia kandungannya. Hamiz justru semakin bertanya-tanya, kesulitankah Alana di sana. Pasti perutnya sudah besar dan sebentar lagi melahirk
”Arsenio Zayn Faida,” ucap Alana saat menyusui putranya yang baru ia lahirkan beberapa jam lalu. ”Arsenio Zayn Al-Hamiz,” ujar Hamiz, begitu masuk ke ruangan. Alana sontak menutup kancing bajunya melihat Hamiz masuk. Ia menatap tak suka melihat lelaki itu memberikan namanya untuk pelengkap. ”Ini anakku, Alana.” Hamiz menegaskan. Alana menaruh bayinya ke dalam tempat bayi yang disediakan. Ia tersenyum sinis menatap Hamiz yang tengah membelai pipi putranya. ”Anak yang dulu kamu nggak harapin, kan, Tuan? Selalu yang tuan sebut, bayi ini, bayimu, bayi itu. Ini bayi saya.””Darah dagingku,” sahut Hamiz.”Untuk apa juga Tuan jauh-jauh ke mari? Saya sudah tenang menata masa depan untuk saya dan anak saya. Jangan campuri hidup kami lagi. Urusi saja Daniamu,” ujar Alana, ketus. Hamiz menatap Alana, Niko masuk ke ruangan melihat Hamiz dan Alana tengah bersitatap tegang. ”Alana baru aja lahiran, jangan buat Alana stress,” ujar Niko menjadi penengah. Niko sebenarnya tidak rela. Selama 5 b
Luka setelah lahiran Alana masih berdarah. Bahkan Oma datang tidak menanyakan keadaan Alana, ia datang seolah hanya karena anak Hamiz. Begitu pun Sarah, yang ternyata ikut berkunjung. Hati Alana semakin terluka, saat orang-orang yang dulu memandangnya sebelah mata kini tersenyum bangga menatap bayi kecilnya yang berjenis kelamin laki-laki. Mereka yang datang hanya membicarakan perihal uang kala melihat bayinya. Niko datang, membuat orang-orang yang berkumpul di sana memandang penuh tanya. Niko tidak perduli, ia terus saja berjalan seraya menenteng plastik berisi pembalut dan makanan untuk Alana. ”Ibu menyusui harus banyak makan. Aku udah beli bebek madura di tempat favorit kamu,” celoteh Niko. Ia melihat mata penuh kaca yang siap pecah di mata Alana, namun ia seolah berlaku biasa saja agar Alana tidak memikirkan orang-orang di sekitar. Alana menatap Niko dan lelaki itu paham. Alana seolah berkata dari sorot matanya tidak nyaman melihat anaknya menjadi bahan tontonan begitu. Bahka
Lucas serba salah hendak mengambil keputusan bagaimana. Ia memang sekarang tengah berada di rumah Luna karena memang ingin menyaksikan acara lamaran kedua sahabatnya itu. Namun, kejadian naas justru terjadi. Luna kini pingsan setelah Lucas mendapat panggilan video dari Febiola.Ummi Sunita menghampiri Lucas dan memegang lengannya. Wajahnya khawatir. Lucas memang sudah memberitahu tentang talak yang diberikan Jack ke Dania dengan bagaimana perangai mantan istri sahabatnya. Ummi Sunita simpatik jika memang begitu alasannya. Tak ada lagi alasan untuknya membenci Jack yang hanya ingin memperbaiki diri ke jalan yang Allah berikan melalui putrinya."Aku harus pergi dulu, Tante. Kasihan baju Amora dan Leon nggak ada ganti. Di sana temanku pun kerepotan kalau menghandle semua sendirian.""Nak Lucas, ada di rumah sakit mana nak Jack?" tanya Ummi Sunita."Di Rumah Sakit Harapan, Tante."Lucas meninggalkan Luna yang masih tak sadarkan diri akibat syok luar biasa. Ummi Sunita kembali ke putrinya
"Alana!"Hamiz menggendong istrinya ke kamar dengan jantung berdegup kencang. Wajah istrinya sangat pucat dan terdapat darah yang keluar dari hidung. "Kita bawa Alana ke rumah sakit aja, Hamiz!" titah Sarah pada putranya.Tanpa pikir panjang karena pikirannya pun kalut melihat darah yang mengalir, Hamiz menggendong lagi istrinya menuju mobil. "Hati-hati, Nak, turun lewat lift!" Cegah Sarah saat melihat Hamiz hendak menuruni tangga. Akan sangat berbahaya jika Hamiz tergelincir dan akan menambah Alana semakin sakit."Bi, jaga Arsen di rumah," pesannya."Iya, Bu. Kita ke atas yuk, Anak Baik."Agar Arsen tak menangis, dialihkan ke ruang bermain. Sarah menyusul Hamiz yang sudah ada di dalam lift begitu lift terbuka ia bukakan pintu mobil untuk Hamiz. Alana ditaruh di belakang dalam posisi berbaring dengan kepala ditaruh di kedua paha Sarah.Namun, saat baru saja hendak membuka pintu mobil, Sarah mendapat telepon dari Oma. Meski sudah diabaikan, akan tetapi telepon seluler terus saja berd
Hari-hari Jack terasa kelabu. Meski di satu sisi hati kecilnya merasa lega telah mengambil keputusan untuk pergi dari hubungan yang tidak sehat, ia tetap saja lelaki yang rasa cintanya besar pada seorang wanita yang naasnya menyakiti. Pekerjaan yang digarapnya seolah tidak benar. Beberapa kali ia ditegur atasan di kantor karena beberapa kali melamun.Jack kini tengah berada di salah satu pusat perbelanjaan dengan Lucas. Ucapan sahabatnya yang sedari tadi tak berhenti berbicara sama sekali tak ia dengarkan. Lucas yang menyadari hal itu menarik Jack memasuki cafe."Lo sebenernya kenapa sih, Bro? Berat amat kayaknya tu beban hidup," canda Lucas.Jack mengacak rambutnya sembari mengetatkan rahang. "Bisa gila, gila, gila gue, Lucas! 3 hari yang lalu gue ke apartemen Dania, rencana pengen tau kejelasan pernikahan gue gimana ke depannya. Gimana pun gue emang nggak tegas sebagai laki, makanya gue dateng ke dia bermaksud biar bisa tau langkah selanjutnya ke Luna juga. Tapi ... apa lo tau?""Da
Jack tak fokus dengan pekerjaannya. Pikirannya sendiri kacau perihal permintaan Ummi Sunita yang menginginkan adanya restu istri pertama. Sedangkan, bagaimana ia akan membicarakannya dengan Dania? Laptop yang masih menyala, ia tutup. Bu Linda menghampiri putra satu-satunya itu dan memberinya kopi. Bu Linda tahu kegelisahan apa yang tengah dihadapi oleh Jack."Saran ibu, kamu ceraikan saja si Dania, Jack. Dia juga nggak sayang sama kamu, terutama ke anak-anak. Kalo diteruskan, rumah tangga kalian jadi apa? Apa kamu mau kedua anakmu ikut ke jejak ibunya yang begitu?" Perlahan, Bu Linda yang memang tidak setuju memberi pengertian pada putranya agar secepatnya mengambil keputusan. Ia sudah menyukai Luna saat baru pertama bertemu."Jack bingung, Bu. Kadang di hati Jack nggak rela mau lepasin Dania, tapi liat Luna, Jack merasa benar menjadikannya istri meski Jack belum ada perasaan," jelasnya.Bu Linda mengusap rambut putranya yang memang tengah tidur di pangkuan. "Jack, kesampingkan rasa
Angin sore ini begitu kencang. Api yang sengaja dibuat menjilat-jilat ke sana ke mari karena angin yang tak tentu arah. Seorang gadis tengah menusuk marshmellow dan membakarnya pada api yang tengah besar menyala."Mau ngapain lagi kamu di sini?" Suara seorang lelaki membuatnya menoleh diiringi bunyi pintu yang dibuka kian lebar. Senyum ia buat semanis mungkin sembari mengacungkan marshmellow di tangan yang mulai berubah warna menjadi kecoklatan."Sini, duduk di sini." Gadis itu menepuk kursi kayu yang sengaja ia bawa jauh-jauh ke tempat itu. Dibukanya lagi box berisi sosis dan daging yang sudah ditusuk rapi."Anggap aja untuk menebus rasa bersalah karena kemarin sikapku keterlaluan. Aku tau kita nggak punya hubungan sama sekali, Niko. Aku hanya berusaha siapa tau kamu punya perasaan yang sama denganku." Niko menutup pintu dan menghampiri Sandra. Di pertemuan terakhir kali, ia pun merasa sedikit keterlaluan memperlakukan Sandra begitu. "Kamu mau camping, kok ada tenda di sini? Yang
Luna menghembuskan napas lega karena ternyata bukan mobil wanita yang ia takuti. Lucas mengikuti langkah Bu Linda, begitu juga Luna. Pandangannya menelisik ke sekeliling, malu jika Jack ternyata ada di rumah atau bahkan istrinya.Baru-baru ini, perihal video yang baru viral, ada rasa takut yang menyelinap ke dalam hati. Ia takut, jika nanti Dania berbuat nekat seperti perbuatannya pada lelaki di video di mana sudah mantan, namun berani melawan istri sahnya."Leo, ada Tante Luna, salim dulu, Sayang," ucap Bu Linda, memanggil cucu pertamanya. Leo berdiri dari depan tv menuju Lucas untuk bersalaman, kemudian beralih pada Luna yang kini duduk di depan bocah itu mensejajarkan diri dengan Leo. Ia menelisik wajahnya, di mana duplikat Dania dan Jack. Tampan, namun ia merasa kasihan karena tubuh bocah 5 tahun itu yang kurus."Leo suka lego nggak?" Leo tersenyum dan mengangguk. "Suka, Tante! Papa beliin aku lego banyak banget. Sini ... ikut Leo ke ruang bermain. Lihat susunan lego yang udah a
Seorang lelaki tengah mengepulkan asap rokok hingga melambung tinggi. Ia duduk dengan seorang teman yang baru saja datang memesan minuman ke bartender. Wajah lelaki yang tengah merokok itu sudah memerah, tanda alkohol sudah 75 persen mempengaruhinya. Dalam keadaan mabuk, ia tertawa sembari memegang gelas kaca berisi cairan haram yang tinggal sedikit."Langkah lo mau gimana, Bro? Inget kata gue 4 tahun lalu, Dania nggak lebih baik dari Luna. Dia mau nerima Leo dan Amora. Luna denger lo begini aja dia sedih banget," ucap Lucas, wajah blasterannya menampakkan raut prihatin."Gue baru aja dapetin Dania, Bro. Setelah sekian tahun, gue bisa wujudin keinginan Leo buat bareng ibunya," jawab Jack dengan suara bergetar. "Lo boleh pikirin kebahagiaan anak, tapi apa anak lo bahagia lihat ibunya nggak mau deket-deket sama dia? Lo yang bilang siang ini Leo pengen duduk sama Dania dan dia keberatan. Kalo lo pengen anak bahagia, nggak harus sama Dania, Bro. Lo bisa cari perempuan tulus." Lucas bena
Bunyi klakson yang tak henti ditekan sejak 15 menit yang lalu tetap tak membuat Dania bergerak dari tempatnya berdiri. Ia membuat jalanan macet karena menyebrangi jalan dengan langkah yang lambat. Kakinya yang jenjang seharusnya bisa memangkas jarak langkah, akan tetapi hatinya yang gundah membuatnya seolah hilang tujuan."Cantik-cantik budek! Minggir, woy! Lo kalo mau cari mati jangan ngerugiin orang!" pekik pengendara mobil.Dania tetap tak mengindahkan teriakan itu. Ia sampai di sebuah taman yang memang ada tak jauh dari mall yang ia singgahi tadi. Wanita berkulit putih seputih porselen itu duduk di kursi yang menghadap ke jalanan. Orang-orang memandang iba, terlebih setelah video pertengkaran yang terjadi di dalam pusat perbelanjaan itu sudah viral. Pandangan iba dan geram menjadi satu. Beberapa ibu-ibu dan anak muda yang melihat aksi Dania mencium Hamiz dengan tiba-tiba membuat orang-orang itu geram. Ada juga yang merasa sedih saat kata-kata Alana yang diucapkan seolah paham deng
Sapuan dari angin membuat rambut yang baru saja dicurly berterbangan ke samping. Tangan seorang wanita cantik memegang garpu nampak murung sambil melahap pancake dengan selai apel. Pancake yang ia acak-acak itu membuat kening lelaki di depannya menghela napas. "Dania, bukannya kata kamu tujuanmu udah dekat? Kenapa lagi?" Jack meneguk espresso dalam dua kali teguk. Rasa pahitnya ia anggap sebagai hidupnya yang tetap ia nikmati."Mami, Leo nggak mau jauh lagi dari mami," keluh Leo sambil memeluk lengan Dania. Ia seolah meminta pelukan dari ibu kandungnya yang tetap cuek.Dania hanya mendengkus membuat Leo memasang wajah cemberut ke arah Jack. Tangan Leo saja sampai Dania singkirkan agar tidak bergelayut di sana. Seolah risih dengan perlakuan anak sulungnya."Sini, Leo, sama Papa." Jack memangku anak sulungnya dan menyuapkan sosis ke mulutnya. Kesedihan tetap belum hilang dari wajah Leo.Meski tinggal satu atap, tapi baru hari ini Jack bisa mengajak Dania keluar itu pun karena Leo mema