“Siapa yang bertamu, Aisyah?”
Pertanyaan dari Rahma, mengejutkan menantunya. Aisyah yang baru saja menutup pintu langsung menunduk, tak berani menatap wajah mertuanya. Tangannya terlihat gemetar.
Aisyah, wanita itu sudah berusaha menutup pintu sepelan mungkin agar tak mengganggu mertuanya. Bukan mengganggu, tetapi menghindari Rahma. Niatnya, setelah menutup pintu akan berjalan cepat menuju kamarnya, menyembunyikan bungkusan yang berada di tangannya.
“Kurir, Umi,” jawab Aisyah pelan. Ia tak mungkin berbohong.
Rahma sudah melihat bungkusan berukuran sedang pada tangannya. Benar dugaan Aisyah. Mertuanya langsung memasang wajah tak suka saat ia memberanikan diri menatap wajah Rahma.
“Kamu beli paket apa?” tanya Rahma ketus.
“Mm ... beli pembalut, Umi. Kebetulan lagi ada diskon besar. Ais pikir lumayan untuk berhemat, lagi pula gratis ongkir,” jawab Aisyah dengan nada was-was. Dalam hatinya berharap mertuanya menerima alasannya.
Sayangnya, Rahma tak menerima alasan menantunya itu. Ia makin menunjukkan wajah tak sukanya. Bahkan wanita tua itu mengehembuskan napas berat.
“Astaghfirullah, Aisyah! Kalau soal pembalut, di warungnya bi Imas ‘kan ada. Malah lebih baik beli di bi Imas, tetangga kita! Lebih berkah membeli dagangan saudara sesama muslim!” Rahma meninggikan suaranya. “Kamu kayaknya seneng gaya-gayaan, ya? Biar kelihatan keren gitu belanja online terus menghabiskan uang suamimu, hah?” tuduhnya.
“Demi Allah tidak, Umi,” sahut Aisyah cepat.
Rahma menyeringai penuh amarah. “Punya uang itu ditabung, jangan sering belanja online! Jangan mentang-mentang kamu belum punya anak, jadi seenaknya menghambur-hambur uang!” perungatnya.
“Maaf, Umi. Aisyah akan mengingatnya,” sahut Aisyah seraya menundukkan wajahnya.
Tak ada lagi yang bisa Aisyah utarakan jika mertuanya terus merundungnya dengan praduga yang membuat wanita itu tak berdaya. Tiba-tiba wajah wanita yang masih mengenakan cadar itu panik saat melihat mertuanya berjalan menuju dapur. Baru saja ia hendak menyusul, Rahma sudah memekik penuh amarah.
“Maaf, Umi. Aish akan membereskannya sekarang, tadi—“
“Dari subuh, kamu ngapain aja sih? Sudah jam segini masih belum beres pekerjaan dapur?” geram Rahma memotong penjelasan menantunya, seraya melentikkan telunjuknya pada wajah Aisyah.
Aisyah hanya bisa menunduk. Ia tak berani menyela ucapan mertuanya sebelum Rahma selesai bersuara. “Maaf, Umi, hari ini hari pertama Aisyah PMS, Umi. Tadi pagi sakit banget, sekarang sudah mendingan setelah perut Aisyah dikompres pakai handuk hangat. Sekarang baru mau dikerjain,” jawab Aisyah mencoba mempertahankan bahasa santunnya tanpa menunjukkan rasa kesalnya.
Rahma menatapnya sinis. Aisyah tahu, mertuanya tak pernah mau mengerti alasannya. Mungkin, dulu Rahma tidak pernah mengalami PMS atau Premenstrual Syndrome? Sehingga tak tahu rasa sakitnya jika tengah PMS.
“Alasan saja kamu ini! Buktinya pas denger suara teriakan kurir langsung gesit,” sindir Rahma, hingga membuat Aisyah makin menundukkan pandangannya. “Ini kali yang bikin kamu susah hamil?” celetuknya.
“Awas saja, jika sore pekerjaan rumah belum selesai! Nanti sore ada pengajian di rumah umi, jangan buat malu bisa nggak sih!” sambung Rahma murka.
***
“Aisyah! Aisyah!” pekik Rahma seraya menggedor-gedor pintu kamar Aisyah dengan kasar.
“Iya, sebentar, Umi,” jawabnya dari kamar.
Aisyah segera beranjak dari atas kasur. Ia meletakkan handuk hangat yang mengompres perutnya yang masih terasa sakit dan ngilu. Aisyah kemudian meraih kain hitam panjang yang langsung dipakaikan untuk menutup kepalanya. Selembar kain hitam lainnya yang tampak kecil ia gunakan untuk menutupi bagian wajahnya dan hanya memperlihatkan matanya saja.
“Cepet buka pintunya!” teriak Rahma tampak tak sabar
“Sebentar, Umi,” ujar Aisyah dengan terburu-buru.
Pintu segera Aisyah buka, dan tampak Rahma di balik pintu tersebut tengah berkacak pinggang dengan raut wajah yang terlihat kesal. Waita bercadar itu yang melihatnya pun tahu bahwa mertuanya itu mempunyai keluhan tentang dirinya yang masih berada di dalam kamar hingga menjelang tengah hari.
“Buka pintu, kok, lama? Kamu mau jadi menantu nggak tahu diri ngebiarin Umi tunggu kamu buka pintu?” cecar Rahma dengan tatapan berapi-api.
“Maaf, tadi Aisyah pakai kerudung dulu, Umi. Omong-omong ada apa, ya, Umi?” tanya Aisyah dengan nada yang hati-hati.
“Kenapa pake tanya segala, Aisyah? Kamu lupa kalau hari ini Umi ngadain pengajian? Kamu malah diam di kamar padahal Umi sibuk nyiapin semuanya! Sebagai menantu kamu harusnya sadar dan langsung membantu Umi tanpa disuruh, padahal Umi sudah berpesan tadi pagi. Udah kaya bocah aja yang apa-apa harus disuruh dulu!” geram Rahma seraya menunjuh wajah menantunya dengan jari telunjuk.
“Maaf, Umi ... Aisyah bukannya nggak mau bantu Umi, Aisyah tadi kram haidnya terasa lagi. Sekarang perut Aisyah sudah nggak sesakit tadi dan baru bisa keluar dari kamar sekarang,” jawabnya sebisa mungkin tidak menyinggung Rahma.
Jantung Aisyah berdebar lebih kencang. Ia tahu Rahma tak akan pernah bisa menerima alasan tersebut, tetapi dia berkata sejujurnya. Wanita bercadar itu lantas menunduk, tidak berani melihat langsung sang ibu mertua yang emosinya bisa saja kian memuncak.
“Kenapa kamu masih haid, hah? Bukannya ini sudah waktunya kamu mengandung seorang anak dan memberikan cucu pada Umi?” ketus Rahma dengan alisnya yang berkerut.
Rasanya Aisyah ingin menjawab, tapi ia memilih untuk mengurungkan niatnya itu. Dirinya berusaha untuk menahan air mata yang hampir saja terbendung di pelupuk matanya. Ia mencoba untuk mengatur napasnya supaya ia tidak menangis di depan Rahma.
“Cepat ke ruang tamu, sana! Siapin semuanya sebelum orang-orang datang. Kalau masih belum siap, nanti kamu yang terima ganjarannya, Aisyah,” titah Rahma, kemudian melenggang ke arah dapur.
Tangan Aisyah tergerak menghapus air mata yang hampir keluar dari pelupuk matanya. Ia lantas menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk mengendalikan emosinya. Sembari memegang perutnya yang masih terasa sedikit sakit, ia segera menggerakkan tungkainya ke tempat penyimpanan karpet di samping dapur.
Mendapatkan kata-kata yang sebenarnya tidak mau Aisyah dengar adalah konsekuensinya tinggal bersama dengan ibu mertuanya. Itu dikarenakan Rahma yang meminta Wahid, suaminya untuk tetap tinggal di rumah tempat suaminya tumbuh sebagai bakti kepada sang ibu. Meski harus mendapatkan perlakuan seperti itu, ia harus tegar mendengar kata-kata yang terkadang menyakiti hatinya, karena ia tahu bahwa hal itu adalah salah satu ujian dari Allah Sang Maha Kuasa supaya dirinya bisa menjadi pribadi yang kuat.
“Hati-hati bentangkan karpetnya, jangan sampai kena perabotan lain! Sudah berapa vas bunga yang kamu pecahkan agara-gara keteledoranmu!” celetuk Rahma saat menantunya melewati dirinya yang tengah berada di sapur.
“Baik, Umi,” sahut Aisyah pelan.
Aisyah lantas mengangkat karpet dengan hati-hati ke ruang tamu, lalu membentangkan karpet yang lebarnya sangat luas itu sendirian. Sementara itu, Rahma tengah mempersiapkan makanan yang akan disajikan pada para tamu yang akan datang.
Setelah merapikan karpetnya, ia mengambil beberapa makanan ringan dari lemari dapur. Rahma yang melihatnya meminta agar ia hanya mengeluarkan makanan yang murah saja. Sesuai dengan permintaan mertuanya itu, ia hanya mengeluarkan beberapa makanan ringan yang murah dan beberapa wadah untuk menuangkan makanannya.
Tak terasa Aisyah berkelut membantu mertuanya dengan perasaan was-was, semua persiapan pengajian sudah selesai. Tiba waktunya para tamu datang menghadiri pengajian tersebut. Sembari menyalami ibu-ibu yang masuk ke dalam rumah Aisyah tersenyum dibalik cadarnya. Beberapa ibu-ibu begitu ramah dan terkadang mengajak Aisyah mengobrol ringan sambil menunggu para jemaah lain datang.
“Aisyah, tolong hidangkan minumannya, ya, sambil tunggu ibu-ibu yang belum datang,” perintah Rahma terdengar ramah. Tentu saja, ia ramah bila berhadapan dengan ibu-ibu lain.
Setelah mengangguk, Aisyah lantas bergegas menyusun minuman ke dalam baki agar lebih mudah dibawa dalam jumlah yang banyak. Wanita bercadar lantas membagikan minuman tersebut pada para jemaat. Merasa jumlahnya kurang, Asiyah kembali lagi ke dapur dan membawa baki kedua. Naas, saat berjalan ada dua anak laki-laki yang tengah bermain kejar-kejaran tak sengaja menyenggol tubuhnya sehingga badan Aisyah condong ke depan, hingga baki di tangannya terlepas.
Suara pecahan beling yang bersentuhan dengan lantai terdengar nyaring. Cairan berwarna jingga yang terbendung oleh gelas pun berceceran membasahi lantai dan ujung karpet. Beberapa gelas terpecah-belah setelah menerpa keramik. Aisyah membulatkan matanya dengan sempurna.
Wanita itu tak menyangka akan menimbulkan masalah di depan jemaah. Rahma yang melihat hal itu tampak murka. Acara pengajian yang seharusnya dilaksanakan dengan damai malah ditimpa kesialan yang mempermalukannya.
“Kenapa, sih, kamu buat onar di depan orang-orang? Bawa minuman aja nggak becus! Pantes aja kamu masih belum hamil, Aisyah ... bawa yang kaya gini aja kamu nggak bisa, apalagi bawa bayi di perut kamu!” hina Rahma dengan nada tinggi.
“Maaf, Umi, tadi Aisyah kurang hati-hati bawanya dan nggak sengaja tersenggol, jadi—“
“Jangan banyak alasan kamu, cepat bereskan beling dan minuman yang tumpahnya,” titah Rahma murka.
Aisyah terdiam seribu kata sembari mengumpulkan beling-beling yang berserakan di lantai. Mendapat hinaan dari sang mertua membuat hatinya begitu sakit, terlebih lagi Rahma menghinanya di depan orang-orang yang menyaksikannya. Para insan yang ada di sana seketika membicarakan ucapan Rahma yang mereka percayai bahwa Aisyah memang tidak mampu mengandung anak.
Bisikan-bisikan mereka cukup terdengar jelas oleh Aisyah. Walaupun ia pura-pura tidak mendengar, tapi hatinya tetap sakit untuk menahan hinaan-hinaan yang tertuju padanya. Perlahan-lahan air mata mulai muncul di pelupuknya saat ia mengelap minuman yang tumpah. Kumpulan beling yang berserakan sudah ia bawa dan sapu, lantai yang lengket akan minuman pun sudah bersih kembali berkatnya. Aisyah membuang pecahan gelas tersebut ke dalam tempat sampah di dapur, lalu setelahnya ia simpan lap kotor bekas mengelap minuman tadi.
Wanita bercadar itu lantas melenggang pergi ke kamar untuk menenangkan diri. Air matanya mulai membasahi cadar hitamnya, bahunya naik turun seiring air mata yang terus mengalir. Aisyah mengusap-usap lengannya, mencoba untuk menyemangati dirinya sendiri agar tetap kuat mendengar cercaan orang-orang.
“Nggak apa-apa, Aisyah ... nggak apa-apa! Kamu harus kuat, ini ujian dari Allah kepada kamu supaya menjadi seorang hamba yang bisa bertahan dalam dunia yang seperti ini. Maksud Umi nggak jahat, kok. Umi marahi aku supaya tahu kalau aku harus hati-hati saat melakukan apa pun. Semangat, Aisyah!” Aisyah menyemangati dirinya sendiri agar tak berlarut dalam kesedihan.
Bab 2Wanita berparas cantik tertutup kain hitam yang menutupi kepala serta mulut dan hidungnya itu segera menghapus jejak air matanya. Ia menghela napas panjang seraya memejamkan matanya. Aisyah lantas melihat pantulan dirinya di cermin seraya tersenyum menyemangati diri sendiri.“Semangat, Aisyah!” ucapnya.Aisyah lantas keluar dari kamar dan kembali membantu Rahma menjamu para tamu. Suasana yang tidak mengenakkan tadi kini berkurang secara berangsur-angsur berkat senyuman dan keramahan Aisyah. Dalam benak wanita bercadar itu bersyukur bahwa mereka semua tidak mengungkit lagi mengenai masalah tadi hingga waktu pengajian dimulai.Waktu demi waktu berlalu, matahari yang awalnya menyinari tepat di atas atap rumah kini menurun menghiasi langit cakrawala di sore hari itu. Acara pengajian yang diadakan oleh Rahma pun sudah selesai. Hingga akhirnya tugas Aisyah membereskan ruang tamu.Aisyah mengumpulkan piring dan gelas kotor, kemudian membawanya ke wastafel untuk dicuci olehnya. Dengan t
Bab 3Suara percikan air dari arah kamar mandi terdengar pada indera pendengaran Aisyah. Ia menatap gelapnya langit yang ditutupi oleh awan dari jendela kamarnya. Wanita itu terdiam, mencoba untuk mencari satu bintang yang terlihat. Namun, tak satu pun bintang yang menghiasi langit malam itu.“Seperti menggambarkan suasana hatiku,” ucapnya pelan.Masih memerhatikan langit, Aisyah tersentak mendengar suara pintu kamarnya diketuk diiringi dengan suara Rahma yang memanggil Wahid. Mendengar hal itu, ia segera membuka pintunya. Senyuman ramah Aisyah mengembang untuk mertuanya, walaupun tahu tak akan terbalas.“Di mana suamimu?” tanya Rahma singkat.“Mas Wahid lagi di kamar mandi. Ada apa, ya, Umi? Nanti Aisyah sampaikan pesan Umi ke Mas Wahid,” jawab Aisyah santun.“Kyai Reza dan anaknya datang bertamu. Mereka berdua ingin bertemu dengan Wahid. Sampaikan pada suamimu, ya!” Rahma melenggang pergi setelah menyampaikan kedatangan tamu di rumah mereka.Setelah mertuanya tak terlihat, Aisyah se
“Itu semua fitnah, Dek!” jawab Wahid yakin dengan nada lantang. “Kamu terus menyangkal, Mas?” celetuk Nurul dengan nada parau. Suasana makin memanas. Nurul menatap Wahid dengan tatapan nanar dan menahan emosi. Hati Aisyah terasa ditusuk ratusan duri. “Yang diucapkan Mas Wahid memang benar,” seru Aisyah lantang dan yakin, hingga seluruh mata tertuju padanya. “Kenapa kamu begitu yakin, Aisyah? Apa kamu begitu yakin kalau suamimu tidak berbuat nakal di luar rumah? Apa kamu punya bukti?” cecar Sarah, istrinya kyai Reza. Oksigen di dalam tubuh Aisyah serasa berkurang. Napasnya sesak dan tubuhnya melemas. Ia lalu menoleh pada suaminya dan meminta membantunya memberi penjelasan, tetapi Wahid hanya bisa diam. Aisyah bingung harus menjawab apa agar mereka yakin kalau suaminya infertilitas. “Karena sampai sekarang saya juga belum hamil, jadi tidak mungkin Mas Wahid menghamili wanita lain,” jawabnya dengan nada lemas. “Itu karena kamu mandul, Aisyah!” celetuk Rahma seraya menunjuk menantu
“Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu. Mohon maaf jika kedatangan saya dan keluarga mengganggu waktu istirahat Pak Ibrahim,” ucap kyai Reza seraya bangkit dari duduknya. “Ah, jangan bicara seperti itu, Kyai Reza! Justru kalau ada masalah, lebih baik dibicarakan baik-baik agar ada solusinya,” sahut Ibrahim ikut bangkit berdiri. Ibrahim bahkan terlihat memberikan senyuman ramah yang dipaksakan sebelum menjabat tangan kyai Reza. Sementara Rahma langsung memeluk Nurul. Entah apa yang sedang diperbuatnya, yang jelas ia memeluk gadis itu lembut. Kemudian ia memeluk Sarah, ibunya Nurul. “Tolong maafkan kesalahan Wahid, Bu. Saya akan pastikan anak saya bertanggung jawab atas kesalahannya,” ucap Rahma seraya melepaskan pelukannya. Kemudian ia berpindah pada Nurul dan menggenggam lembut gadis itu. “Sabar ya, Nurul. Besok umi akan datang dengan Wahid!” “Terima kasih, Umi,” sahut Nurul tersenyum tipis. Aisyah yang sedari tadi terdiam merasakan lemas pada kedua kakinya, tak kuasa mendengar p
Aisyah merasa tercekik saat mendengar ucapan ibu mertuanya. Kabar baik katanya? Wanita itu hanya bisa mengatur napasnya agar ia bisa bersuara.“Benar, itu kabar baik. Mas Wahid bisa segera punya anak,” celetuk Aisyah pelan.“Dek!” panggil Wahid seraya meraih tangannya.Jujur saja, Aisyah ingin menepis tangan suaminya. Namun, ia menahan dirinya di depan kedua orang tua suaminya. Mereka pasti akan menyerangnya jika tahu dirinya bersikap kasar pada anak mertuanya.“Aisyah, aku tahu kamu pasti sedih karena harus menerima kenyataan ini, tapi—““Aku tahu, Kak Zali! Bukankah aku tidak berkata menentangnya,” sahut Aisyah memotong ucapan Zalimar. Aisyah bahkan tersenyum kecut padanya.Wanita itu lalu memindai wajah mereka yang tiba-tiba terdiam. “Jika tidak ada yang mau dibahas lagi, aku mau istirahat?” tanya Aisyah mempertahankan nada sopannya.“Tunggu sebentar, Aisyah! Kami belum selesai,” pinta Ibrahim dengan nada canggung.Aisyah pun urung bangkit dari duduknya. Walaupun hatinya sudah berg
“Dek, kamu—““Apa? Kamu mau berkata aku keterlaluan seperti yang abi ungkapkan saat di depan tadi?” potong Aisyah dengan tatapan nanar. “Aku masih bisa menahan hinaan mandul untukmu, tetapi kamu mengkhianatiku, Mas. Entah benih siapa di dalam kandungan Nurul? Yang jelas kamu sudah menduakan aku, Mas,” ungkapnya.Air mata Aisyah yang sebelumnya mengering mendadak mengalir deras melintasi kedua pipinya. Wahid hanya bisa menundukkan wajahnya. Air mata penyesalannya pun menetes.“Maafkan aku, Dek. Mas bersalah. Tak tahu setan apa yang merasukiku, hingga aku sebodoh ini dan menyakitimu,” sesal Wahid seraya menetap penuh ampun pada istrinya. “Tolong maafkan aku, Dek!”“Aku bisa saja memaafkan kamu, Mas, te
“Insya Allah, Dek. Mas, pasti akan berlaku adil pada kalian,” ucapan Wahid terdengar meyakinkan, hingga beberapa orang yang ada di sana mengukir senyuman bangga dan dukungan.“Mbak Aisyah! A—aku ...,” kalimat Nurul terhenti dan gagap, hingga ia memilih menundukkan wajahnya tak berani membalas tatapan Aisyah.Aisyah lantas meraih tangan wanita yang sudah resmi menjadi istri suaminya tersebut. Tinggi mereka tak jauh berbeda, sehingga ia tak perlu menengadahkan pandangannya. Ia hanya pura-pura berani di hadapan semua orang.“Tak usah sungkan! Kini kamu berhak atas suamiku juga. Aku harap kita bisa akur!” ujar Aisyah sesantun mungkin.Tanpa diduga Nurul justru memeluk Aisyah erat. Ia dapat merasakan wanita itu menangis da
“Aku langsung saja, ya. Jika kamu dan suami memutuskan untuk program hamil, aku selalu menyarankan agar istri dan suaminya itu datang! Atur waktu agar selalu bisa menemuiku berdua karena untuk bisa hamil harus berjuang bersama bukan hanya istri saja,” terang Haidar mencoba menenangkan pasiennya. Dokter tampan itu dapat melihat garis kegelisahan Aisyah. Tentu saja wanita bercadar itu menyimaknya. Ia tak menyela sahabatnya yang kini tengah memberikan nasehat tentang keluhannya. “Aku tahu kegelisahan seorang istri yang sudah lama menikah dan tak kunjung hamil. Apalagi jika mereka mendapatkan tuntutan dari mertua, saudara dan keluarga untuk cepat hamil. Sayangnya mereka selalu menyudutkan seorang istri dan lebih parahnya kata keramat yang paling menyakitkan selalu terlontar pada seorang istri,” Haidar menjeda penjelasannya. Ia menatap ekspresi Aisyah yang tampak tersentak. “Mandul!” sambung Aisyah mengerti penjelasan terakhirnya Haidar. Lelaki di hadapannya mengangguk. “Perlu kamu keta
Kehidupan Aisyah benar-benar terasa tenang. Dimas Fahri yang semula mencibir karena iri padanya, mulai menerima dan memahami alasan wanita cantik tersebut. Shahira yang benar-benar memutuskan berhenti dari dunia entertainer memilih membantu Aisyah membuat rancangan berbagai pakaian muslim.Bahkan Shahira memutuskan membeli sebuah ruko untuk membuka butik pakaian muslim dan Aisyah lah yang menjadi perancang busananya. Tentu saja, wanita itu lebih bersemangat. Hingga tak terasa masa iddahnya pun selesai dan rencana pernikahannya dengan Haidar akan terlaksana.Dokter tampan itu sudah merencanakan semuanya berjalan dengan lancar. Hingga di malam sebelum acara pernikahan mereka Zalimar mendatangi Haidar. Untuk pertama kalinya lelaki itu mendekati Zalimar dengan wajah penuh penyesalan yang sungguh-sungguh.Zalimar m
“Apa kita nggak kepagian, Aisyah?” tanya Nilam dengan tatapan bingung.Aisyah dan Nilam sudah berada di lokasi persidangan untuk kasus desainnya yang dicuri. Suasana di dalam gedung itu tampak sepi sekali, bahkan hanya ditemukan beberapa orang saja yang lalu lalang. Namun, Aisyah yakin ia tak terlalu pagi. Jadwal sidangnya memang di pagi hari dan sekitar 15 menit lagi persidangan akan di mulai.“Kayaknya nggak deh, Bu. Mungkin orang-orang memilih menunggu kedatangan kak Shahira yang akan melakukan wawancara sebentar dengan para wartawan sebelum acara sidang dimulai,” jelas Aisyah santun. Kemudian ia menunjuk bangku di samping gedung yang menghadap taman kecil. “Kita tunggu di sana saja, yuk!” ajaknya.Nilam menurut. Keduanya langsung berjalan dan duduk bangku yang masih koso
Usaha Haidar tak sia-sia. Kondisi Nurul kembali stabil. Ia pun lantas segera menyelesaikan operasinya, menutup lukanya dan menjahitnya dengan hati-hati.Haidar bisa saja memberikan tugas tersebut pada dokter lainnya yang berada di sana, karena itu adalah proses terakhir dan tak terlalu berat. Namun, ia memilih menuntaskannya sendiri. Haidar ingin bertanggung jawab penuh atas permintaan Wahid.Alasan lainnya, ia perlu memastikan bahwa pasien di hadapannya baik-baik saja agar bisa menjaga perasaan Wahid sebelum dirinya resmi menjadi suami dari mantan istri lelaki itu. Mungkin bisa diartikannya sebagai ucapan terima kasih sudah melepaskan Aisyah untuknya. Akan tetapi, ia tetap memastikan semua yang dilakukannya sesuai prosedur kesehatan.“Tutup lukanya dengan hati-hati!” perintah Haidar setelah selesai dan
Setelah mendapatkan persetujuan dari Aisyah, Haidar langsung bergegas ke rumah sakit. Sejujurnya, bukan persetujuan tetapi ia ingin memastikan Aisyah tak salah paham sebab Wahid memintanya secara khusus untuk menyelamatkan Nurul. Walaupun wanita itu pasti memahami dirinya yang seorang dokter, tak berhak untuk memilih pasien.Namun, kebesaran hati Aisyah tak bisa ia sepelekan. Wanita yang akan menjadi pasiennya adalah orang yang membuat hidup wanitanya hancur. Jadi, Haidar perlu memastikan perasaan Aisyah tak akan terluka.“Aku percaya padamu, Haidar. Lakukan tugasmu dengan baik!” Kalimat tersebut mampu menguatkan keberanian Haidar. Dokter tampan itu mampu mengesampingkan perasaan dan hatinya untuk fokus pada pekerjaannya. Tak butuh waktu lama, ia langsung menuju IGD dan bertepatan dengan Wahid yang baru saja tiba membawa istrinya.“Apa yang terjadi, Pak wahid?” tanya Haidar sembari menunggu petugas medis memindahkan tubuh Nurul ke ranjang beroda.Belum sempat Wahid menjawab, dokter t
“Bagaimana kamu masuk ke rumahku?” Nurul terkejut dan hampir saja ia terjengkang ke belakang. Toni tiba-tiba muncul di dalam rumahnya saat ia baru saja memasuki rumah setelah mengantar Wahid. Untunglah lelaki itu berhasil menahan tubuh wanita yang tengah hamil besar itu. Usia kandungannya yang sudah melewati tujuh bulan membuatnya kesulitan menjaga keseimbangannya. Namun, wanita itu langsung menepis kasar tangan Toni setelah berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya. Wajah Nurul bahkan berubah panik dan cemas. “Mau apa lagi kamu menemuiku, Toni? Kita sudah tak ada hubungan apapun!” cecar Nurul cemas. Sesekali wanita itu menoleh ke arah pintu. Takut dan cemas, jika Wahid tiba-tiba kembali lalu memergoki dirinya bersama Toni. Ia sudah memutuskan untuk menuruti per
Sebuah mimpi yang begitu mengganggu Aisyah. Wanita bahkan tak bisa berpikir jernih. Takut jika mimpi itu menjadi kenyataan.Akankah kejadian yang sudah pernah ia alami akan kembali terulang? Aisyah benar-benar tak bisa tenang. Ia tak bisa berdiam diri hingga akhirnya memutuskan menemui Haidar di rumah sakit, tepat di jam istirahatnya.Tentu saja dokter tampan itu senang dikunjungi oleh Aisyah. Mereka memilih sebuah kafe di luar rumah sakit yang tak terlalu ramai. Setidaknya Aisyah perlu mengungkapkan rasa cemasnya dalam keadaan tenang.“Sepertinya ada masalah serius? Ada apa, Aisyah?” tanya Haidar yang bisa membaca jelas sorot mata wanitanya.Ya, walaupun hanya tatapannya saja, tanpa melihat wajahnya yang tertutup cadar Haidar bisa melihat tatapan gelisahnya.
“Maafkan aku, Aisyah. Aku tak bisa melanjutkan rencanaku menikahimu … Kita batalkan saja pernikahan ini!”Tubuh Aisyah terasa disambar petir di siang bolong. Kedua bola matanya yang membulat sempurna langsung tersiram air mata, banjir dan deras bak air terjun. Bibirnya bergetar, hingga ia kesulitan untuk membuka mulutnya.Aisyah sungguh tak menyangka, Haidar mengatakan hal tersebut tepat di hadapan kedua orang tuanya yang percaya sepenuhnya pada dirinya. Bukan itu saja yang membuatnya terasa terguncang, gaun putih yang menutupi tubuhnya tanpa memperlihatkan lekuk indah tubuhnya, serta rangkaian bunga melati yang menghiasi hijab lebarnya.Ya, di hari pernikahannya yang seharusnya berikrar sebuah akad, tetapi Haidar mengikrarkan kata maaf. Tak ada sirat penyesalan pada wajah lelaki itu. Hatiny
“Kak Shahira yakin?” tanya Aisyah sedikit tak percaya.Shahira yang dikenal sebagai artis yang selalu modis dan glamor, serta tak malu dengan pakaian seksi meski usianya sudah tak lagi muda. Itulah imej yang melekat pada artis cantik itu. Satu hal lagi, Shahira dikenal sebagai artis yang santun dan ramah, yang membuatnya tetap terkenal dan tak kalah dengan artis pendatang baru.Hari ini, Aisyah dan Haidar mendengar ungkapan hatinya. Artis cantik itu ternyata menyimpan beban yang berat. Shahira tak segera menjawab pertanyaan Aisyah.“Maafkan aku, Kak. Maksudku ... aku senang jika Kak Shahira ingin berubah menjadi lebih tertutup, tetapi harus dari hati agar Kakak bisa menemukan kedamaian dan ketenangan,” jelas Aisyah hati-hati, berharap kata-katanya tak menyinggung artis cantik itu. “Mm ... jika aku boleh kasih saran tentang rumah tangga Kak Shahira, sebaiknya coba jalin hubungan lebih baik lagi dengan suaminya. Menurutku dukungan dari suami adalah yang paling berharga, seberat apapun
Shahira tak segera menjawab. Artis cantik itu menurunkan tumpangan kakinya dan menegapkan wajahnya dengan ekspresi datar. Tentu saja tindakannya membuat sorot mata Aisyah cemas.“Aisyah sama sekali tak berniat untuk melanggar kontrak kerja, Kak. Dia hanya ingin mencoba desain pakaian yang tertutup tetapi tetap anggun,” seru Haidar mencoba menengahi. “Bukankah di kontrak hanya dicantumkan Aisyah membuat desain sesuai keinginan Kak Shahira, tidak dispesifikan bagaimana jenis desainnya,” imbuhnya.“Tidak spesifik? Contohnya?” selidik Shahira dengan tatapan penuh arti pada Haidar.Haidar mengulum bibir bawah dan atasnya ke dalam sembari berpikir. Jawaban apa yang bisa diterima oleh Shahira. “Maksud saya, desain pakaiannya tidak dijelaskan harus seksi dan terbuka,” jawabnya hati-hati, tetapi terdengar tegas.Asiyah sedikit bersyukur Haidar bisa membantu mengeluarkan rasa cemasnya, tetapi kini ia merasa was-was. Khawatir, jika respon Shahira justru memberikan penolakan. Terlihat jelas saat