“Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu. Mohon maaf jika kedatangan saya dan keluarga mengganggu waktu istirahat Pak Ibrahim,” ucap kyai Reza seraya bangkit dari duduknya.
“Ah, jangan bicara seperti itu, Kyai Reza! Justru kalau ada masalah, lebih baik dibicarakan baik-baik agar ada solusinya,” sahut Ibrahim ikut bangkit berdiri.Ibrahim bahkan terlihat memberikan senyuman ramah yang dipaksakan sebelum menjabat tangan kyai Reza. Sementara Rahma langsung memeluk Nurul. Entah apa yang sedang diperbuatnya, yang jelas ia memeluk gadis itu lembut. Kemudian ia memeluk Sarah, ibunya Nurul.“Tolong maafkan kesalahan Wahid, Bu. Saya akan pastikan anak saya bertanggung jawab atas kesalahannya,” ucap Rahma seraya melepaskan pelukannya. Kemudian ia berpindah pada Nurul dan menggenggam lembut gadis itu. “Sabar ya, Nurul. Besok umi akan datang dengan Wahid!”“Terima kasih, Umi,” sahut Nurul tersenyum tipis.Aisyah yang sedari tadi terdiam merasakan lemas pada kedua kakinya, tak kuasa mendengar percakapan mereka. Walaupun suara mereka pelan, tetapi percakapan mertua dan tamunya berada tepat di belakang tubuhnya. Mereka semua benar-benar melupakan Aisyah.Wanita itu mendadak memiliki banyak kekuatan. Ia menghempaskan tangan suaminya yang masih memegangi tangannyaya yang terluka. Aisyah langsung bangkit dan berlari menuju kamarnya.“Dek!” panggil Wahid.“Wahid! Kyai Reza dan keluarganya mau pulang, antar mereka ke depan rumah!” perintah Ibrahim dengan suara lantang.Wahid mendadak seperti orang linglung. Ia menoleh pada Ibrahim, tetapi hatinya terus tertuju pada istrinya. “Tapi, Bi. Aisyah—““Biarkan saja istrimu itu! Kamu harus bertanggung jawab atas kesalahanmu!” sentak Ibrahim memotong kalimat anak lelakinya.Lelaki itu tak punya pilihan lain. Wahid pun memilih menuruti permintaan ayahnya mengantarkan kyai Reza. Sementara Aisyah mendadak punya kekuatan ekstra, ia berlari ke kamarnya. wanita itu langsung melepaskan cadar dan hijabnya, lalu melemparnya sembarang.Wanita itu seperti kesulitan bernapas. Ia lalu meraih tas kerja suaminya mencari ponselnya dengan tangan yang gemetar. Bahkan luka pada telapak tangannya yang masih mengeluarkan darah tak ia rasakan.Air mata Aisyah langsung banjir saat membuka ponsel suaminya. Ia bahkan membekap mulutnya agar tak mengeluarkan isak tangis. Wanita itu hanya ingin memastikan dan mencocokan isi pesan pada ponsel suaminya dengan isi pesan yang diterima Nurul.“Ternyata sama,” lirih Aisyah dengan nada lemas.Tiba-tiba perutnya terasa mual saat membaca percakapan mesra suaminya dengan Nurul. Ia lalu melempar ponsel suaminya ke atas kasur, lalu berjalan cepat menuju pintu kamar mandi yang terdapat di dalam kamar tidurnya. Isi perut Aisyah keluar tanpa ada sisa, hingga membuat tubuhnya lemas.Wanita itu lalu mendorong pintu kamar mandi, menutupnya dengan sisa tenaganya. Tubuhnya langsung ambruk di atas lantai kamar mandi. Tangannya masih bisa menjangkau keran air dan membukanya. Suara derasnya air keran menutupi isak tangisnya. Aisyah memeluk lututnya kuat. Hatinya benar-benar sakit, hancur dan kecewa. Bukan kenyataan suaminya harus menikahi gadis lain, tetapi kebodohan dirinya yang tak menyadari suaminya berkhianat.Benar. Ia menjaga kesuciannya demi suaminya, tetapi lelaki itu justru merayu gadis lain. Aisyah bahkan menurut pada suaminya menutup wajahnya dengan cadar, walaupun ia tahu itu sunah.Gadis itu rela berdiam di rumah dan mengerjakan semua pekerjaan rumah, padahal teman-temannya mengajaknya bekerja dengan gaji yang lumayan besar. Semuanya ia lakukan demi rasa taat dan patuhnya pada Wahid, suaminya.“Kenapa kamu tega, Mas?”Suara Aisyah pilu. Bahkan dirinya saja jarang bertukar kabar dengan ayah dan ibunya. Menjenguk kedua orang tuanya pun jarang. Tentu saja ia curahkan hidupnya untuk melayani suaminya dan kedua orang tua suaminya.Seingatnya, ia selalu bisa memuaskan suaminya dan tak pernah mengeluh atau pun menuntut untuk dipuaskan balik. Ia juga melayani mertuanya dengan baik, tetapi tadi Rahma bahkan membentaknya. Kalimat yang ia dengar dari mulut orang lain, ternyata keluar juga dari mulut mertuanya.Selama ini ia mengira kalau mertuanya memahami keadaan dirinya. Namun, ia lupa kalau ibu dan bapak mertuanya, serta iparnya tak tahu kalau suaminya lah yang bermasalah. Aisyah begitu rapat menutupi aib suaminya.“Dek, buka pintunya, Dek!” panggil Wahid dari luar kamar mandi diikuti suara ketukan pintu. “Kita bicarakan masalah ini, Dek! Dengarkan penjelasan aku dulu, Dek!”Air mata Aisyah makin deras. Suara suaminya membuatnya makin muak. “Pergi, Mas! Aku nggak mau diganggu! Aku mau sendiri!” teriak Aisyah dengan suara parau.“Tapi, Dek, kamu bisa sakit kalau kelamaan di dalam kamar mandi. Ayo keluar, ya!” bujuk Wahid lembut.Sakit katanya? Saat ini, dia sudah sakit. Bahkan sakit sangat parah. Entah butuh berapa lama agar bisa sembuh, yang jelas saat ini ia tak bisa menjamin akan bisa sembuh.“Aisyah Humairah! Dengerin aku suamimu, aku mohon!” bujuk Wahid seraya menguatkan ketukan pintunya dengan suara frustrasi. “Aisyah tolong maafkan, aku!”“Untuk apa kamu minta maaf, Wahid?” suara Rahma mengejutkan lelaki yang tengah tak berdaya di depan pintu kamar mandinya.Wahid menoleh dan menatap pilu pada wanita yang sudah melahirkannya. “Maksud Umi apa?” tanyanya dengan nada yang hampir tak jelas.Rahma tak segera menjawab. Wanita paruh baya itu lalu berjalan mendekati pintu kamar mandi. Tanpa izin, ia meraih handle pintunya dan mendorongnya ke dalam.Aisyah terkejut. Rahma benar-benar membuka pintu kamar mandinya tanpa meminta izin darinya. Wanita itu langsung menatap menantunya yang terlihat kacau.“Keluarlah! Kita bicara di depan!” perintah Rahma tegas.“Aku sedang ingin sendiri, Umi. Maaf,” sahut Aisyah cepat.Bukan maksudnya menolak perintah ibu mertuanya, tetapi ia benar-benar ingin sendiri. Tiba-tiba Wahid langsung menerobos masuk ke dalam kamar mandi. Lelaki itu langsung meraih tubuh istrinya dan mendekapnyalembut.“Maafkan aku, Dek!” ucapnya lirih.“Abi yang memerintahkan kamu untuk keluar bukan Umi!” tegas Rahma tanpa berniat melihat tatapan sedih dan pilunya Aisyah. Ia lalu menoleh anak lelakinya yang masih memeluk menantunya. “Sudah cukup, Wahid! Cepat ajak istrimu keluar, jangan buat abimu menunggu lama!” titahnya.Aisyah benar-benar tak berdaya. Ia seperti tak diberi kesempatan untuk menolak. Wahid membawa tubuhnya untuk bangkit dan ia hanya bisa menurut dengan tubuh lemas.Suaminya bahkan memakaikan hijab untuknya setelah keluar dari kamar mandi. Gerak tangannya tiba-tiba terhenti saat indera penglihatannya tertuju pada ponsel miliknya yang masih dalam keadaan menyala. Ia bisa melihat jelas layar ponselnya menampilkan percakapannya dengan Nurul.“Aku, benar-benar minta maaf, Dek. Aku, bersalah, khilaf,” sesal Wahid dengan suara lemas.Aisyah mendesis. Muak rasanya mendengar ucapan suaminya. Begitu mudahnya ia mengatakan maaf, mengakui bersalah dan beralasan khilaf. Sayangnya, Aisyah benar-benar tak berdaya.“Sudahlah, Mas! Sebaiknya cepat temui abi, aku ingin segera beristirahat!” seloyor Aisyah melangkah meninggalkan suaminya.Wahid pun tampak kehabisan kata-kata. Ia langsung mengekori Aisyah menemui kedua orang tuanya dan iparnya yang masih berada di ruang tengah. Ibrahim menunjuk sofa di hadapannya pada keduanya. Tentu saja, Aisyah dan Wahid hanya bisa menurut.“Aisyah, seperti yang sudah kamu ketahui. Suamimu tidak punya pilihan lain, karena dia yang bermain api jadi dia juga yang harus memadamkannya!” ucap Ibrahim mengawali penjelasannya. “Jadi, Abi dan Umi berharap, kamu bisa merelakan suamimu menikahi Nurul. Kamu tenang saja, abi tidak akan meminta Wahid untuk menceraikanmu. Abi hanya ingin kamu ridha dimadu!”Aisyah terdiam. Sakit? Memang benar, sakit sekali rasa hatinya, tetapi ia sudah menduga akan berakhir seperti ini.Wanita cantik itu menghela napas panjang, mengakhiri tetes air matanya. Kemudian ia mengusap air matanya. Aisyah lalu tersenyum kecut.“Jika itu sudah menjadi keputusan Abi dan Umi, serta Mas Wahid, aku bisa apa? Jika aku menolak pun, tetap aja Mas Wahid akan menikahi Nurul, ‘kan?” ujar Aisyah mencoba tangguh, tatapannya bahkan terasa kosong.“Aisyah, jangan seperti itu! Nurul sedang hamil anak dari suamimu. Bukankah itu kabar baik untukmu juga, kamu bisa mempunyai anak dari madumu karena kamu tidak bisa memberikan keturunan pada suamimu.”Aisyah merasa tercekik saat mendengar ucapan ibu mertuanya. Kabar baik katanya? Wanita itu hanya bisa mengatur napasnya agar ia bisa bersuara.“Benar, itu kabar baik. Mas Wahid bisa segera punya anak,” celetuk Aisyah pelan.“Dek!” panggil Wahid seraya meraih tangannya.Jujur saja, Aisyah ingin menepis tangan suaminya. Namun, ia menahan dirinya di depan kedua orang tua suaminya. Mereka pasti akan menyerangnya jika tahu dirinya bersikap kasar pada anak mertuanya.“Aisyah, aku tahu kamu pasti sedih karena harus menerima kenyataan ini, tapi—““Aku tahu, Kak Zali! Bukankah aku tidak berkata menentangnya,” sahut Aisyah memotong ucapan Zalimar. Aisyah bahkan tersenyum kecut padanya.Wanita itu lalu memindai wajah mereka yang tiba-tiba terdiam. “Jika tidak ada yang mau dibahas lagi, aku mau istirahat?” tanya Aisyah mempertahankan nada sopannya.“Tunggu sebentar, Aisyah! Kami belum selesai,” pinta Ibrahim dengan nada canggung.Aisyah pun urung bangkit dari duduknya. Walaupun hatinya sudah berg
“Dek, kamu—““Apa? Kamu mau berkata aku keterlaluan seperti yang abi ungkapkan saat di depan tadi?” potong Aisyah dengan tatapan nanar. “Aku masih bisa menahan hinaan mandul untukmu, tetapi kamu mengkhianatiku, Mas. Entah benih siapa di dalam kandungan Nurul? Yang jelas kamu sudah menduakan aku, Mas,” ungkapnya.Air mata Aisyah yang sebelumnya mengering mendadak mengalir deras melintasi kedua pipinya. Wahid hanya bisa menundukkan wajahnya. Air mata penyesalannya pun menetes.“Maafkan aku, Dek. Mas bersalah. Tak tahu setan apa yang merasukiku, hingga aku sebodoh ini dan menyakitimu,” sesal Wahid seraya menetap penuh ampun pada istrinya. “Tolong maafkan aku, Dek!”“Aku bisa saja memaafkan kamu, Mas, te
“Insya Allah, Dek. Mas, pasti akan berlaku adil pada kalian,” ucapan Wahid terdengar meyakinkan, hingga beberapa orang yang ada di sana mengukir senyuman bangga dan dukungan.“Mbak Aisyah! A—aku ...,” kalimat Nurul terhenti dan gagap, hingga ia memilih menundukkan wajahnya tak berani membalas tatapan Aisyah.Aisyah lantas meraih tangan wanita yang sudah resmi menjadi istri suaminya tersebut. Tinggi mereka tak jauh berbeda, sehingga ia tak perlu menengadahkan pandangannya. Ia hanya pura-pura berani di hadapan semua orang.“Tak usah sungkan! Kini kamu berhak atas suamiku juga. Aku harap kita bisa akur!” ujar Aisyah sesantun mungkin.Tanpa diduga Nurul justru memeluk Aisyah erat. Ia dapat merasakan wanita itu menangis da
“Aku langsung saja, ya. Jika kamu dan suami memutuskan untuk program hamil, aku selalu menyarankan agar istri dan suaminya itu datang! Atur waktu agar selalu bisa menemuiku berdua karena untuk bisa hamil harus berjuang bersama bukan hanya istri saja,” terang Haidar mencoba menenangkan pasiennya. Dokter tampan itu dapat melihat garis kegelisahan Aisyah. Tentu saja wanita bercadar itu menyimaknya. Ia tak menyela sahabatnya yang kini tengah memberikan nasehat tentang keluhannya. “Aku tahu kegelisahan seorang istri yang sudah lama menikah dan tak kunjung hamil. Apalagi jika mereka mendapatkan tuntutan dari mertua, saudara dan keluarga untuk cepat hamil. Sayangnya mereka selalu menyudutkan seorang istri dan lebih parahnya kata keramat yang paling menyakitkan selalu terlontar pada seorang istri,” Haidar menjeda penjelasannya. Ia menatap ekspresi Aisyah yang tampak tersentak. “Mandul!” sambung Aisyah mengerti penjelasan terakhirnya Haidar. Lelaki di hadapannya mengangguk. “Perlu kamu keta
“Kenapa kamu izinin Aisyah pulang?” geram Rahma pada putranya.“Biarkan Aisyah menenangkan dirinya, Umi!” jawab Wahid tanpa menoleh pada ibunya.Rahma hampir tersentak. Ia menatap wajah Wahid yang tengah menuangkan gula pada cangkir tehnya. Wanita paruh baya itu berdecak kesal pada putranya.“Menenangkan pikiran? Memangnya Anak itu punya pikiran?” celetuk Rahma sinis.Wahid refleks beristighfar. “Umi, jangan keterlaluan! Seharusnya Umi sebagai seorang istri bisa memahami perasaan Aisyah saat ini,” ucapnya menahan dirinya agar tak meninggikan suaranya pada ibunya.“Kenapa Umi yang harus memahami perasaannya, Aisyah aja nggak mau memahami perasaan Umi,” sahut Rahma tak
Aisyah tak punya pilihan selain menuruti tawaran Haidar. Ia tak ingin membuat keributan karena dokter tampan itu enggan bergerak, padahal mobil di belakangnya terus membunyikan klakson isyarat untuk maju dan keluar dari rumah sakit. Haidar tersenyum puas dan lega.“Gitu, dong!” ucap Haidar setelah memastikan Aisyah memasang sabuk pengaman pada tubuhnya.“Kamu tuh nggak berubah ya, Dar, suka maksa!” protes Aisyah setelah Haidar melajukan mobilnya.Sayangnya dokter tampan itu hanya tertawa kecil. Sungguh, ia tiba-tiba rindu dengan raut wajah sahabatnya saat merajuk ketus seperti saat ini. “Kamu itu kalau nggak dipaksa, nggak akan jalan. Padahal aku nawarin kebaikan, loh,” cicitnya.“Iya, makasih, tapi bukannya kamu sedang buru-buru?” tanya Aisyah mencoba untuk tak canggung.Haidar menoleh sebentar, kemudian ia kembali fokus pada laju mobilnya. Tiba-tiba, ia teringat akan kejadian di ruang kerjanya. Aisyah langsung berpamitan tanpa menunggu persetujuannya saat ia menerima telepon.Benar,
“Tapi, Umi—“ ucapan Aisyah terpotong seiring sambungan teleponnya yang terputus sebelah oleh Rahma.Aisyah menghela napas berat nan panjang. Ia tahu hal tersebut menandakan mertuanya marah besar. Namun, apa yang bisa dilakukan Aisyah saat ini?Sejujurnya, ia bisa saja mengabaikan kemarahan Rahma, bukankah suaminya sudah memberinya izin. Aisyah tak perlu mengabdi pada mertua, ‘kan? Tak ada kewajiban, apalagi Wahid sangat mengerti keadaannya dan tak pernah menuntut dirinya untuk memenuhi semua perintah Rahma.Akan tetapi, nalurinya sebagai istri merasa dirinya perlu membantu dan menggantikan tugas suaminya yang tetap mengabdi pada ibu mertuanya. Walaupun semua pengorbanannya tak pernah terlihat di mata Rahma. Ia masih berharap suatu hari Rahma bisa melihat ketulusannya sebagai seorang menantu yang mengabdi pada mertuanya.Sesak sekali rasanya dada Aisyah, hingga tak terasa air matanya menetes. Namun, suara dehaman kecil Haidar langsung menyadarkannya. Hampir saja Aisyah lupa di mana ia
“Umi, tolong jangan keterlaluan!” tergur Wahid hati-hati.“Maafkan Ais, Umi, jika kepergian Ais membuat Umi berpikir seperti itu,” ucap Aisyah pasrah.Wahid langsung menoleh pada istrinya yang menunduk pilu. Ia dapat melihat sorot mata Aisyah menahan sakit. Percuma saja membela diri, toh mertuanya akan semakin berprasangka buruk lebih lagi, jika ia terus menyanggah. Itulah yang ada dalam pikiran Aisyah.“Dek!” Wahid memanggilnya lirih, tetapi istrinya tak menoleh.Aisyah menegapkan wajahnya menghadap mertuanya yang masih memberikan tatapan penuh murka padanya. “Ais akan menyimpan tas dulu ke kamar, lalu akan langsung masak. Ais akan usahakan Isya sudah tersaji di meja makan,” terangnya.
Kehidupan Aisyah benar-benar terasa tenang. Dimas Fahri yang semula mencibir karena iri padanya, mulai menerima dan memahami alasan wanita cantik tersebut. Shahira yang benar-benar memutuskan berhenti dari dunia entertainer memilih membantu Aisyah membuat rancangan berbagai pakaian muslim.Bahkan Shahira memutuskan membeli sebuah ruko untuk membuka butik pakaian muslim dan Aisyah lah yang menjadi perancang busananya. Tentu saja, wanita itu lebih bersemangat. Hingga tak terasa masa iddahnya pun selesai dan rencana pernikahannya dengan Haidar akan terlaksana.Dokter tampan itu sudah merencanakan semuanya berjalan dengan lancar. Hingga di malam sebelum acara pernikahan mereka Zalimar mendatangi Haidar. Untuk pertama kalinya lelaki itu mendekati Zalimar dengan wajah penuh penyesalan yang sungguh-sungguh.Zalimar m
“Apa kita nggak kepagian, Aisyah?” tanya Nilam dengan tatapan bingung.Aisyah dan Nilam sudah berada di lokasi persidangan untuk kasus desainnya yang dicuri. Suasana di dalam gedung itu tampak sepi sekali, bahkan hanya ditemukan beberapa orang saja yang lalu lalang. Namun, Aisyah yakin ia tak terlalu pagi. Jadwal sidangnya memang di pagi hari dan sekitar 15 menit lagi persidangan akan di mulai.“Kayaknya nggak deh, Bu. Mungkin orang-orang memilih menunggu kedatangan kak Shahira yang akan melakukan wawancara sebentar dengan para wartawan sebelum acara sidang dimulai,” jelas Aisyah santun. Kemudian ia menunjuk bangku di samping gedung yang menghadap taman kecil. “Kita tunggu di sana saja, yuk!” ajaknya.Nilam menurut. Keduanya langsung berjalan dan duduk bangku yang masih koso
Usaha Haidar tak sia-sia. Kondisi Nurul kembali stabil. Ia pun lantas segera menyelesaikan operasinya, menutup lukanya dan menjahitnya dengan hati-hati.Haidar bisa saja memberikan tugas tersebut pada dokter lainnya yang berada di sana, karena itu adalah proses terakhir dan tak terlalu berat. Namun, ia memilih menuntaskannya sendiri. Haidar ingin bertanggung jawab penuh atas permintaan Wahid.Alasan lainnya, ia perlu memastikan bahwa pasien di hadapannya baik-baik saja agar bisa menjaga perasaan Wahid sebelum dirinya resmi menjadi suami dari mantan istri lelaki itu. Mungkin bisa diartikannya sebagai ucapan terima kasih sudah melepaskan Aisyah untuknya. Akan tetapi, ia tetap memastikan semua yang dilakukannya sesuai prosedur kesehatan.“Tutup lukanya dengan hati-hati!” perintah Haidar setelah selesai dan
Setelah mendapatkan persetujuan dari Aisyah, Haidar langsung bergegas ke rumah sakit. Sejujurnya, bukan persetujuan tetapi ia ingin memastikan Aisyah tak salah paham sebab Wahid memintanya secara khusus untuk menyelamatkan Nurul. Walaupun wanita itu pasti memahami dirinya yang seorang dokter, tak berhak untuk memilih pasien.Namun, kebesaran hati Aisyah tak bisa ia sepelekan. Wanita yang akan menjadi pasiennya adalah orang yang membuat hidup wanitanya hancur. Jadi, Haidar perlu memastikan perasaan Aisyah tak akan terluka.“Aku percaya padamu, Haidar. Lakukan tugasmu dengan baik!” Kalimat tersebut mampu menguatkan keberanian Haidar. Dokter tampan itu mampu mengesampingkan perasaan dan hatinya untuk fokus pada pekerjaannya. Tak butuh waktu lama, ia langsung menuju IGD dan bertepatan dengan Wahid yang baru saja tiba membawa istrinya.“Apa yang terjadi, Pak wahid?” tanya Haidar sembari menunggu petugas medis memindahkan tubuh Nurul ke ranjang beroda.Belum sempat Wahid menjawab, dokter t
“Bagaimana kamu masuk ke rumahku?” Nurul terkejut dan hampir saja ia terjengkang ke belakang. Toni tiba-tiba muncul di dalam rumahnya saat ia baru saja memasuki rumah setelah mengantar Wahid. Untunglah lelaki itu berhasil menahan tubuh wanita yang tengah hamil besar itu. Usia kandungannya yang sudah melewati tujuh bulan membuatnya kesulitan menjaga keseimbangannya. Namun, wanita itu langsung menepis kasar tangan Toni setelah berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya. Wajah Nurul bahkan berubah panik dan cemas. “Mau apa lagi kamu menemuiku, Toni? Kita sudah tak ada hubungan apapun!” cecar Nurul cemas. Sesekali wanita itu menoleh ke arah pintu. Takut dan cemas, jika Wahid tiba-tiba kembali lalu memergoki dirinya bersama Toni. Ia sudah memutuskan untuk menuruti per
Sebuah mimpi yang begitu mengganggu Aisyah. Wanita bahkan tak bisa berpikir jernih. Takut jika mimpi itu menjadi kenyataan.Akankah kejadian yang sudah pernah ia alami akan kembali terulang? Aisyah benar-benar tak bisa tenang. Ia tak bisa berdiam diri hingga akhirnya memutuskan menemui Haidar di rumah sakit, tepat di jam istirahatnya.Tentu saja dokter tampan itu senang dikunjungi oleh Aisyah. Mereka memilih sebuah kafe di luar rumah sakit yang tak terlalu ramai. Setidaknya Aisyah perlu mengungkapkan rasa cemasnya dalam keadaan tenang.“Sepertinya ada masalah serius? Ada apa, Aisyah?” tanya Haidar yang bisa membaca jelas sorot mata wanitanya.Ya, walaupun hanya tatapannya saja, tanpa melihat wajahnya yang tertutup cadar Haidar bisa melihat tatapan gelisahnya.
“Maafkan aku, Aisyah. Aku tak bisa melanjutkan rencanaku menikahimu … Kita batalkan saja pernikahan ini!”Tubuh Aisyah terasa disambar petir di siang bolong. Kedua bola matanya yang membulat sempurna langsung tersiram air mata, banjir dan deras bak air terjun. Bibirnya bergetar, hingga ia kesulitan untuk membuka mulutnya.Aisyah sungguh tak menyangka, Haidar mengatakan hal tersebut tepat di hadapan kedua orang tuanya yang percaya sepenuhnya pada dirinya. Bukan itu saja yang membuatnya terasa terguncang, gaun putih yang menutupi tubuhnya tanpa memperlihatkan lekuk indah tubuhnya, serta rangkaian bunga melati yang menghiasi hijab lebarnya.Ya, di hari pernikahannya yang seharusnya berikrar sebuah akad, tetapi Haidar mengikrarkan kata maaf. Tak ada sirat penyesalan pada wajah lelaki itu. Hatiny
“Kak Shahira yakin?” tanya Aisyah sedikit tak percaya.Shahira yang dikenal sebagai artis yang selalu modis dan glamor, serta tak malu dengan pakaian seksi meski usianya sudah tak lagi muda. Itulah imej yang melekat pada artis cantik itu. Satu hal lagi, Shahira dikenal sebagai artis yang santun dan ramah, yang membuatnya tetap terkenal dan tak kalah dengan artis pendatang baru.Hari ini, Aisyah dan Haidar mendengar ungkapan hatinya. Artis cantik itu ternyata menyimpan beban yang berat. Shahira tak segera menjawab pertanyaan Aisyah.“Maafkan aku, Kak. Maksudku ... aku senang jika Kak Shahira ingin berubah menjadi lebih tertutup, tetapi harus dari hati agar Kakak bisa menemukan kedamaian dan ketenangan,” jelas Aisyah hati-hati, berharap kata-katanya tak menyinggung artis cantik itu. “Mm ... jika aku boleh kasih saran tentang rumah tangga Kak Shahira, sebaiknya coba jalin hubungan lebih baik lagi dengan suaminya. Menurutku dukungan dari suami adalah yang paling berharga, seberat apapun
Shahira tak segera menjawab. Artis cantik itu menurunkan tumpangan kakinya dan menegapkan wajahnya dengan ekspresi datar. Tentu saja tindakannya membuat sorot mata Aisyah cemas.“Aisyah sama sekali tak berniat untuk melanggar kontrak kerja, Kak. Dia hanya ingin mencoba desain pakaian yang tertutup tetapi tetap anggun,” seru Haidar mencoba menengahi. “Bukankah di kontrak hanya dicantumkan Aisyah membuat desain sesuai keinginan Kak Shahira, tidak dispesifikan bagaimana jenis desainnya,” imbuhnya.“Tidak spesifik? Contohnya?” selidik Shahira dengan tatapan penuh arti pada Haidar.Haidar mengulum bibir bawah dan atasnya ke dalam sembari berpikir. Jawaban apa yang bisa diterima oleh Shahira. “Maksud saya, desain pakaiannya tidak dijelaskan harus seksi dan terbuka,” jawabnya hati-hati, tetapi terdengar tegas.Asiyah sedikit bersyukur Haidar bisa membantu mengeluarkan rasa cemasnya, tetapi kini ia merasa was-was. Khawatir, jika respon Shahira justru memberikan penolakan. Terlihat jelas saat