"Assalamu'alaikum, A." beruntung Binar masih menggunakan sopan santun dalam menyapa Raja, walau dia sebenarnya ingin bertanya langsung pada calon kakak iparnya itu. "Wa-Wa'alaikumussalam, Nar."'Hei, kenapa juga jadi gugup gini? Ini baru Binar, loh. Bagaimana kalau bapaknya Cahaya yang akan menanyaimu, Raja?''Diamlah!'Raja kesal sekali dengan apa yang sisi batinnya tertawakan, dia pun mengumpulkan keberanian menunggu apa yang akan Binar katakan selanjutnya. "Maaf, A. Ada yang ingin aku tanyakan dan aku harap, Aa mau jujur menjawab. Jangan menutupi apapun. Ingat. Aa sudah berjanji padaku, tidak akan mengecewakan aku yang sudah mendukung Aa." Mata Raja memejam, kesalahannya kemarin ternyata berakibat tidak nyamannya hubungan dia dengan Binar. Padahal pemuda itulah yang menjadi sekutunya pertama kali. 'Bodoh!' Raja terus merutuki diri. "Iya, kamu mau tanya apa, Nar?" Raja merasakan tangannya mulai dingin, jantungnya berdegup kencang. Begini ternyata, saat sesuatu yang belum seharu
"Papa sedang menelpon siapa?" tanya Syena naik ke pangkuan Raja yang menjauhkan ponsel. "Enna, Enna diam dulu ya, Papa lagi teleponan sama om Binar," ujar Raja pelan. Mata bulat Syena melebar begitu mendengar nama Binar disebut Raja. "Om Nar? Mana? Enna mau bicara sama Om Nar."Syena menarik tangan Raja yang menggenggam ponsel. "Eh, sebentar … Papa belum selesai bicara ini. Nggak sopan loh, kalau Enna main rebut begitu."Dan mata Syena yang tadi berbinar bahagia, berubah dilapisi kaca-kaca kesedihan yang siap luruh begitu saja, saat keinginannya tidak dipenuhi, padahal dia sangat senang mendengar Raja tengah berbicara dengan Binar. "Papa, jahat! Enna kan cuma mau bicara sama Om Nar, sebentar saja." tangis Syena pun pecah terdengar. Binar yang tadi masih kesal pada Raja, begitu mendengar suara tangisan Syena langsung reda, suara tangis gadis kecil yang sudah mengikat janji dengannya itu, ternyata sangat menyakitkan hatinya. Dia tidak rela Syena menangis, hanya karena tidak diperbo
"Aku nggak tahu. Tapi a Raja sudah mengakui itu, dia mengakui kalau dia lah yang bertanggung jawab, dan yang harus Teteh pikirkan sekarang adalah: bagaimana cara menghilangkan atau menyamarkan tanda itu? Karena tidak akan mungkin Teteh keluar kamar, dengan bekas bibir a Raja yang terlihat jelas."Cahaya mendadak panik. Benar apa yang Binar katakan, bagaimana dia keluar kamar dengan begitu saja? "Ya Allah, Nar! Tapi tadi Teteh sudah keluar kamar, apa ada yang melihat tanda merah ini?" Cahaya menatap Binar panik, dia ketakutan sekarang. Mata Binar membesar, dia ikut merasakan kepanikan kakaknya. "Tadi waktu keluar kamar, rambut Teteh dikucir nggak?" Cahaya kembali mengingat, kemudian menggeleng sebagai jawaban. "Seingat Teteh nggak sih, Nar. Digerai gini juga.""Syukurlah, setidaknya masih belum ada yang menyadari. Yang harus dipikirkan sekarang, bagaimana cara menghilangkan tanda itu secepatnya, Teh? Karena nggak mungkin juga besok udah hilang tuh.""Kamu jangan nakutin gitu dong, N
Cahaya merasa kesal karena Raja tidak menerima panggilan videonya, apa lelaki itu tahu kalau dia akan memarahinya? "Ayolah, A … kenapa nggak diangkat, sih?" guman Cahaya pelan, antara marah dan gemas. Kembali melihat pantulan dirinya di cermin, gadis itu mendesah kesal juga menyesali kebodohan, dan kepolosannya akan adanya tanda itu. "Kenapa aku sampai tidak sadar a Raja melakukan ini? Ish!" Cahaya melihat ponselnya yang kini menampilkan Raja yang menghubungi, dengan sigap dia menerima panggilan dari itu. "Halo, assalamua'laikum, Sayang. Kenapa tadi aku VC nggak diangkat? Ini kenapa ada tanda merah di leher aku? Kapan kamu bikinnya? Ketahuan sama Binar, aku jadi ditanya-tanya, Binar jadi marah sama aku!" Cahaya terus mengeluarkan kekesalannya tanpa menunggu balasan salam untuk Raja. Ketika dia menyadari Raja tidak kunjung menjawab, Cahaya semakin kesal dibuatnya. "Sayang? Kamu kenapa diam saja? Jawab aku!" bukannya mendapat jawaban, Cahaya malah mendapati panggilan itu kembali te
Kembali Raja merutuki diri. Bagaimana Mukta tidak marah, mendapati kebenaran kalau dia sudah berbuat terlalu jauh pada Cahaya? Walau sepenuhnya hal itu tidak benar adanya. "Duduk, A. Sepertinya ada perubahan rencana untuk acara besok, dan Ummi tidak menerima apapun bentuk penolakan dari Aa," tegas suara Mukta memberi perintah, menepuk sisi lain tempat tidur Raja yang didudukinya, dengan Denni yang setia berdiri di samping istrinya, tanpa mengerti apa yang akan dikatakan oleh Mukta. "Kalau yang akan Ummi bicarakan dengan Raja soalb… yang dikatakan Aya tadi, maka jawabannya … iya. Tapi kami tidak melakukan hal lain--""Pokoknya Ummi mau kalian menikah besok. Tidak ada penolakan lagi." Bahkan Mukta memotong perkataan Raja, yang dengan jujur mengakui kesalahannya. "Ada apa ini?" Denni akhirnya bertanya, dia tak ingin menjadi seseorang yang tidak tahu apapun di sana. "Mereka … si Aa tepatnya, sudah mulai bertingkah, Pak. Dan Ummi nggak mau sampai hal yang tidak diinginkan terjadi." R
Cahaya dibuat tak percaya saat Hadi memanggilnya, dan mengatakan kalau baru saja Denni menghubungi, juga memutuskan perubahan acara untuk besok. Cahaya hanya bisa tersipu malu saat digoda oleh saudaranya sebagai calon pengantin, hatinya membuncah penuh kebahagiaan. Keinginannya untuk menikah sebelum dia pergi terlaksana. Walau tentu saja dia jadi gugup karena tidak menyangka sama sekali. Bahkan saat Raja menanyakan lewat Hadi apa mahar yang diinginkannya, Cahaya hanya memasrahkan apapun yang akan Raja berikan kepadanya sebagai tanda ikatan suci. Ya, Raja memilih mewakilkan pada Hadi untuk menanyakan, karena Denni melarang untuknya berbicara langsung dengan Cahaya. Begitu juga tentang dia mentransfer sejumlah uang ke rekening Cahaya tanpa disebutkan nominalnya. Kesibukan di rumah Hadi semakin bertambah, dengan berubahnya rencana pertunangan Cahaya besok. Dengan sekejap saja, berita pernikahan dadakan Cahaya besok menjadi buah bibir di desanya. Untunglah bukan karena alasan negatif ya
Malam beranjak pasti, segala hal untuk persiapan menuju pernikahan Cahaya sudah selesai disiapkan, tak ada kemeriahan untuk acara esok hari, tapi tetap saja kursi untuk menerima tamu sudah ditata sedemikian rupa. Selain kamar Cahaya yang disulap menjadi kamar pengantin, ruang tamu pun telah disiapkan untuk pelaminan sederhana. Beberapa kerabat Cahaya berdatangan, mereka kaget mendengar kabar pernikahan dadakan Cahaya. Bukan berpikir kalau sesuatu yang buruk menimpa gadis itu, hanya tidak menyangka karena rencana pertunangan sebelumnya justru berubah menjadi pernikahan. Menjadi pusat perhatian semua orang, membuat Cahaya merasa malu, apalagi dengan adanya tanda merah di leher membuat Cahaya tidak leluasa, dan harus tetap menggerai rambutnya. "Aya, coba lihat atuh calon suami kamu, penasaran aku," kata seorang kerabat Cahaya saat mereka berkumpul di ruang tengah. "Besok juga lihat, San. Tunggu aja, biar kejutan." Cahaya menjawab dengan rona merah yang menjalari pipi. "Ganteng banget
"Saya terima nikah dan kawinnya Cahaya Kamila putri Bapak dengan mas kawin tersebut tunai!""Bagaimana saksi? Sah?!""Sah!"Dengan lantang Raja melafazkan ikrar janjinya untuk Cahaya di depan wali dan saksi, janji yang diucap atas nama Tuhannya, janji untuk setia, sehidup, semati. Tangannya menggenggam erat tangan Hadi, yang baru saja mengalihkan tanggung jawab atas diri Cahaya kepadanya. Mukta dan Rosita yang duduk berdampingan saling berpelukan, air mata haru berderai mengiringi momen bersatunya cinta Raja dan Cahaya. Khadijah terus merekam menggunakan ponselnya, namun karena permintaan Raja untuk tidak mengunggahnya di media sosial, Khadijah menahan diri untuk mengumumkan hari bahagia kakaknya itu. Raja tertunduk meresapi kebahagiaan yang kini menyelimuti hati, ada haru yang menyesakkan dada, mengingat semua perjuangannya hingga di titik ini. Dia masih meyakinkan dirinya, kalau Cahaya yang begitu dia puja sudah sah menjadi miliknya, menjadi istrinya. Hadi menghembuskan napas leg
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe