Cahaya dibuat tak percaya saat Hadi memanggilnya, dan mengatakan kalau baru saja Denni menghubungi, juga memutuskan perubahan acara untuk besok. Cahaya hanya bisa tersipu malu saat digoda oleh saudaranya sebagai calon pengantin, hatinya membuncah penuh kebahagiaan. Keinginannya untuk menikah sebelum dia pergi terlaksana. Walau tentu saja dia jadi gugup karena tidak menyangka sama sekali. Bahkan saat Raja menanyakan lewat Hadi apa mahar yang diinginkannya, Cahaya hanya memasrahkan apapun yang akan Raja berikan kepadanya sebagai tanda ikatan suci. Ya, Raja memilih mewakilkan pada Hadi untuk menanyakan, karena Denni melarang untuknya berbicara langsung dengan Cahaya. Begitu juga tentang dia mentransfer sejumlah uang ke rekening Cahaya tanpa disebutkan nominalnya. Kesibukan di rumah Hadi semakin bertambah, dengan berubahnya rencana pertunangan Cahaya besok. Dengan sekejap saja, berita pernikahan dadakan Cahaya besok menjadi buah bibir di desanya. Untunglah bukan karena alasan negatif ya
Malam beranjak pasti, segala hal untuk persiapan menuju pernikahan Cahaya sudah selesai disiapkan, tak ada kemeriahan untuk acara esok hari, tapi tetap saja kursi untuk menerima tamu sudah ditata sedemikian rupa. Selain kamar Cahaya yang disulap menjadi kamar pengantin, ruang tamu pun telah disiapkan untuk pelaminan sederhana. Beberapa kerabat Cahaya berdatangan, mereka kaget mendengar kabar pernikahan dadakan Cahaya. Bukan berpikir kalau sesuatu yang buruk menimpa gadis itu, hanya tidak menyangka karena rencana pertunangan sebelumnya justru berubah menjadi pernikahan. Menjadi pusat perhatian semua orang, membuat Cahaya merasa malu, apalagi dengan adanya tanda merah di leher membuat Cahaya tidak leluasa, dan harus tetap menggerai rambutnya. "Aya, coba lihat atuh calon suami kamu, penasaran aku," kata seorang kerabat Cahaya saat mereka berkumpul di ruang tengah. "Besok juga lihat, San. Tunggu aja, biar kejutan." Cahaya menjawab dengan rona merah yang menjalari pipi. "Ganteng banget
"Saya terima nikah dan kawinnya Cahaya Kamila putri Bapak dengan mas kawin tersebut tunai!""Bagaimana saksi? Sah?!""Sah!"Dengan lantang Raja melafazkan ikrar janjinya untuk Cahaya di depan wali dan saksi, janji yang diucap atas nama Tuhannya, janji untuk setia, sehidup, semati. Tangannya menggenggam erat tangan Hadi, yang baru saja mengalihkan tanggung jawab atas diri Cahaya kepadanya. Mukta dan Rosita yang duduk berdampingan saling berpelukan, air mata haru berderai mengiringi momen bersatunya cinta Raja dan Cahaya. Khadijah terus merekam menggunakan ponselnya, namun karena permintaan Raja untuk tidak mengunggahnya di media sosial, Khadijah menahan diri untuk mengumumkan hari bahagia kakaknya itu. Raja tertunduk meresapi kebahagiaan yang kini menyelimuti hati, ada haru yang menyesakkan dada, mengingat semua perjuangannya hingga di titik ini. Dia masih meyakinkan dirinya, kalau Cahaya yang begitu dia puja sudah sah menjadi miliknya, menjadi istrinya. Hadi menghembuskan napas leg
Sementara yang lain dipersilahkan mencicipi hidangan yang sudah disiapkan, Raja dan Cahaya meminta restu pada kedua orang tua masing-masing. Suasana haru semakin terasa saat Cahaya memeluk Rosita, menangis bahagia. Tak ada acara khusus dalam momen pernikahan dadakan Raja dan Cahaya, hingga menjelang dzuhur para tamu yang semuanya tetangga, sudah pamit undur diri setelah menyantap jamuan yang disediakan. Kini hanya tersisa keluarga inti dari kedua belah pihak, itu pun tanpa Cahaya yang pamit ke kamar untuk berganti pakaian. Rencananya, Raja akan membawa istrinya itu pergi berbulan madu, sebelum besok malam Cahaya harus terbang ke Korea, mereka ingin menikmati waktu berdua sebagai suami istri, sebelum harus terpisah dalam jangka waktu yang cukup lama. "Jadi besok Bapak sama ambu tidak harus mengantar Aya ke bandara, A?" tanya Hadi pada menantunya. "Nanti ada yang akan menjemput Bapak sama ambu, dan Binar juga, Pak." Raja melihat pada orang-orang yang dia sebut barusan, Binar yang su
Sepasang kekasih yang baru saja berganti status itu, saling menatap dalam. Berdua dengan Raja dalam kamarnya yang dihias seperti layaknya kamar pengantin, Cahaya terlihat sangat canggung. Bahkan Raja juga bersikap sama, hanya memandang wajah cantik istrinya yang terus menerus merona malu. Setelah melepas kepulangan Denni dan yang lain, Hadi meminta keduanya untuk beristirahat, terutama pada Cahaya. Dengan alasan serupa dengan Denni, agar bisa mempersiapkan segala sesuatu untuk terbang besok malam. Namun sejak masuk ke kamar lima menit lebih lambat dari Cahaya, Raja justru hanya memandangi gadis yang terus berpura-pura sibuk dengan koper yang akan dibawanya, gerakan Cahaya terhenti saat Raja menariknya untuk duduk disisi tempat tidur. 'Dih, berlagak malu … udah sah! Mau diapain juga boleh. Kemarin aja nyosor.' Raja menggeleng mengusir sindiran batinnya sendiri yang terngiang di kepala. Meraih tangan istrinya, tatapan Raja semakin membuat Cahaya merasakan sesak dan juga malu. "Sa
Cahaya memejamkan mata, meresap semua sentuhan Raja yang semakin membuatnya panas dingin, melayang. Bahkan saat Raja terus menurunkan kepalanya pada dadanya yang masih memakai baju, sengatan listrik seakan mengaliri tubuhnya. Darahnya berdesir. Panas. Namun penuh damba. "Ahh!" desahan itu keluar juga dari bibir Cahaya. Ternyata senikmat ini. Dan Cahaya tidak peduli dengan apapun lagi. Raja tersenyum mendengar desahan yang keluar dari bibir istrinya, benarkah momen indah penyatuan cinta mereka akan terjadi sekarang? Tidak. Raja sudah menyiapkan kejutan untuk istrinya itu di hotel yang sudah dia pesan, jadi tidak ada salahnya kalau dia menahan diri sesaat lagi bukan? "Sepertinya kita harus menahan diri dulu, Sayang," bisik Raja di telinga Cahaya, menghembuskan napasnya membuat Cahaya merinding. "Ke-kenapa?" Cahaya sedikit kecewa dengan pernyataan Raja, namun sedetik kemudian merutuki pertanyaan yang dia tanyakan. "Rupanya istriku sudah tidak sabar, ya?" goda Raja yang sudah berhasi
Alya terus menggerutu pada Andri, rencana untuk datang ke tempat Cahaya pagi-pagi, harus rela terlaksana menjelang siang. Dengan dalih menghabiskan waktu mereka yang tinggal sebentar lagi bersama, suaminya itu baru melepaskan dia dari kuasanya, saat jarum jam menunjuk di angka sembilan. Setelah subuh, Andri tidak mengizinkan istrinya itu untuk keluar kamar, mengulang kegiatan bernilai pahala hingga Alya kembali tertidur karena kelelahan. Dan sekarang, mereka harus kembali menunggu Adrian yang sudah janjian dengan mereka pergi bersama ke rumah Cahaya. Alya sudah mengusulkan untuk pergi lebih dulu, tapi Andri menolak dan memilih tetap menunggu Adrian. "Kita pergi saja, Yang. Keburu beres acaranya. Ini pastinya sudah mulai, kan Cahaya bilang jam sembilan. Lihat, sudah setengah sepuluh. Biarin Adrian pergi sendiri saja." Alya kembali membujuk Andri, namun Andri tetap tidak merubah keputusannya. "Tunggu saja sebentar lagi, kalau sampe jam 10 nggak datang, kita berangkat.""Iya, tapi itu
Dan memang benar, semalam Cahaya tidak mengirim pesan apapun, Alya juga seakan lupa untuk berkirim kabar pada sahabatnya itu, karena sibuk menyiapkan baju dan keperluan kepergian untuk Andri. Alya menegakkan tubuhnya saat mereka sudah sampai, melihat tenda yang terpasang di depan rumah Cahaya, ketiganya dihinggapi tanda tanya. "Sampe pasang tenda segala ya, Al?" tanya Adrian terus mengawasi rumah Cahaya, menghentikan mobil tepat di dekat rumah Cahaya, karena tidak bisa parkir di pekarangan terhalang oleh mobil Raja juga tumpukan kursi. "Kurang tahu juga, Yan. Cahaya bilangnya cuma acara keluarga, sederhana. Tapi ini sepertinya tadi banyak orang, ya?!" jawab dengan kebingungan yang sama. "Itu mobilnya pak Raja kan, ya?" tanya Andri meyakinkan, karena dia belum hafal betul dengan mobil milik Raja. "Iya, berarti a Raja belum pulang. Ya, udah, turun." Alya sedikit tergesa turun dari mobil, kalau tidak terhalang perutnya yang besar, mungkin dia sudah melompat turun dan berlari menuju