Alya terus menggerutu pada Andri, rencana untuk datang ke tempat Cahaya pagi-pagi, harus rela terlaksana menjelang siang. Dengan dalih menghabiskan waktu mereka yang tinggal sebentar lagi bersama, suaminya itu baru melepaskan dia dari kuasanya, saat jarum jam menunjuk di angka sembilan. Setelah subuh, Andri tidak mengizinkan istrinya itu untuk keluar kamar, mengulang kegiatan bernilai pahala hingga Alya kembali tertidur karena kelelahan. Dan sekarang, mereka harus kembali menunggu Adrian yang sudah janjian dengan mereka pergi bersama ke rumah Cahaya. Alya sudah mengusulkan untuk pergi lebih dulu, tapi Andri menolak dan memilih tetap menunggu Adrian. "Kita pergi saja, Yang. Keburu beres acaranya. Ini pastinya sudah mulai, kan Cahaya bilang jam sembilan. Lihat, sudah setengah sepuluh. Biarin Adrian pergi sendiri saja." Alya kembali membujuk Andri, namun Andri tetap tidak merubah keputusannya. "Tunggu saja sebentar lagi, kalau sampe jam 10 nggak datang, kita berangkat.""Iya, tapi itu
Dan memang benar, semalam Cahaya tidak mengirim pesan apapun, Alya juga seakan lupa untuk berkirim kabar pada sahabatnya itu, karena sibuk menyiapkan baju dan keperluan kepergian untuk Andri. Alya menegakkan tubuhnya saat mereka sudah sampai, melihat tenda yang terpasang di depan rumah Cahaya, ketiganya dihinggapi tanda tanya. "Sampe pasang tenda segala ya, Al?" tanya Adrian terus mengawasi rumah Cahaya, menghentikan mobil tepat di dekat rumah Cahaya, karena tidak bisa parkir di pekarangan terhalang oleh mobil Raja juga tumpukan kursi. "Kurang tahu juga, Yan. Cahaya bilangnya cuma acara keluarga, sederhana. Tapi ini sepertinya tadi banyak orang, ya?!" jawab dengan kebingungan yang sama. "Itu mobilnya pak Raja kan, ya?" tanya Andri meyakinkan, karena dia belum hafal betul dengan mobil milik Raja. "Iya, berarti a Raja belum pulang. Ya, udah, turun." Alya sedikit tergesa turun dari mobil, kalau tidak terhalang perutnya yang besar, mungkin dia sudah melompat turun dan berlari menuju
"Eh, ada tamu!" Raja muncul dengan wajah yang terlihat begitu bahagia, tanpa menyalami ketiga sahabat istrinya, dia langsung duduk di sebelah Cahaya, tangannya meraih tangan Cahaya begitu saja. Cahaya tersenyum malu-malu, menatap suaminya dengan pendar cinta yang bisa dilihat oleh semua orang yang ada di ruangan itu. Sudah tidak ada yang harus disembunyikan, mereka sudah halal. Kembali, ketiga orang yang baru datang itu dibuat kaget oleh kelakuan Cahaya dan Raja, karena ini adalah pertama kalinya Raja menunjukkan kemesraan di depan mereka. Apa karena merasa sudah tunangan, jadi mereka tidak sungkan lagi menunjukkan hal itu?'Tapi sebentar? Bukankah tadi Ambu bilang pengantin, ya?' batin Alya penasaran. "Ehem!" Alya mengusik kemesraan Raja dan Cahaya yang malah saling pandang, dengan senyuman yang tak lepas dari bibir keduanya. Mengalihkan pandangannya, Cahaya merasakan panas menjalari wajahnya, saat menyadari tatapan dari ketiga sahabatnya. "Aku tahu, Ya. Kalian baru bertunangan
Berbanding terbalik dengan kebahagiaan yang utuh Cahaya rasakan sekarang, Kim yang sejak tadi pagi merasa tidak enak hati, terdiam menyendiri. Tatapan matanya kosong, meski dia tengah dititipi A Ya oleh Hana yang tengah dengan antusias bermain tanah, hal yang baru pertama kali gadis kecil itu lakukan. Baju dan badan A Ya sudah kotor oleh tanah yang menempel, namun Kim sungguh tidak menyadari itu. Hatinya terasa hampa, sepi, dan juga merasa kehilangan yang tak pasti. Hingga lengkingan suara Hana memanggilnya, diikuti tepukan sedikit kuat di pundak Kim yang langsung mengerjap kaget. "Ya! Young Jin! Apa yang kamu pikirkan hingga A Ya bermain tanah kamu tidak lihat? Ya, Allah. Cucu Nenek sampe kotor gini." Hana meraup A Ya yang juga kaget dengan pekikannya, sendok yang entah dia dapat dari mana dilemparnya jauh, seakan menyadari kalau sang nenek marah karena dia bermain hal baru ditemuinya. Kim menoleh pada A Ya yang sedang ditepuk bokong dan bajunya pelan, untuk mengusir tanah yang me
Raja memasukan koper yang akan Cahaya bawa besok malam ke bagasi mobil, mengecek ulang semua persiapan istrinya itu, agar tidak ada yang tertinggal. Istri? Raja tersenyum, rasa bahagia begitu menguasai hatinya, bahagia yang dulu bahkan takut untuknya sekedar membayangkan saja, namun kini semua sudah dalam genggaman. Cahaya sudah menjadi miliknya. Istrinya. Apalagi yang dia inginkan selain itu? Seminggu, hanya dalam waktu seminggu, penantian panjangnya selama tiga tahun terbayar sudah, dibalas setimpal dengan berakhir Cahaya dalam pelukan. Meski sesaat lagi mereka harus berjauhan kembali, tak mengapa, karena ikatan suci sudah menyatukan mereka. Raja jadi tidak habis pikir, kenapa waktu itu dia terus menolak keinginan Cahaya agar mereka menikah dulu? Sedangkan kini dia bisa merasakan kenyamanan, bahagia setelah akad itu diucapkan. Bodoh memang. "Sudah siap semua, A?" tanya Binar yang baru kembali dari rumah pak RT, untuk mengantarkan bingkisan atas perintah Hadi. juga mengantar pul
Alya akhirnya berpamitan, digandeng Andri dia menuju ke mobil Adrian yang di parkir di tepi jalan. Lambaian tangan mengantarkan ketiga sahabat Cahaya pergi. "Kalian kapan akan pergi?" tanya Hadi pada anak dan menantunya, begitu mobil Adrian sudah tak terlihat. "Sore, Pak." Raja menjawab cepat. "Sekarang sudah hampir sore, pergilah sekarang. Gunakan waktu kalian sebaik mungkin, kalau menunggu sore, waktu kebersamaan kalian hanya sebentar. Pergilah.""Eh?!" Cahaya menoleh pada Raja, meminta persetujuannya. "Bagaimana, Sayang?" "Tapi--""Pergilah! Semua sudah siap kan?" kembali Hadi menegaskan. "Sudah.""Ya sudah, pergilah sekarang, nanti Bapak pamitkan sama ambu. Bersenang-senanglah, nikmati waktu kebersamaan kalian. Dan untuk besok, Bapak sama ambu tidak ikut mengantar ke bandara, hanya Binar saja. Kasihan ambu, belum pulih. Kamu paham kan, Teh?"Cahaya merasakan panas pada matanya, kalau sekarang dia pergi, dan besok Rosita tidak bisa mengantar ke bandara, berarti sekarang adala
Raja menekan pedal gas dalam, bayangan tentang indah, dan syahdunya saat penyatuan cinta juga raga, membuatnya tidak sabar untuk segera sampai di hotel. Hingga senyum itu semakin mengembang, saat mobilnya memasuki kawasan hotel. Setelah memarkirkan mobilnya, Raja menoleh pada Cahaya yang masih mengunci mulutnya, tapi Raja yakin kalau Cahaya tengah gugup sekarang. Semakin gugup pastinya. Seperti dia. "Sudah sampai, Sayang.""Aku gugup!""Tenang, aku tidak akan memakanmu." Raja membuka sabuk pengamanan, mengarahkan tubuhnya pada Cahaya yang menatap penuh khawatir, pada bangunan hotel di depannya, seakan di dalam sana adalah tempat eksekusi yang akan membuatnya … entahlah. "Sayang!" Cahaya tersentak kaget saat Raja menyentuh tangannya, menoleh dengan cepat. "Hei, rileks! Kenapa sampai segugup ini?" Raja tertawa pelan, tangannya mengusap pipi Cahaya. "Ah, maaf. Aku sungguh tidak bisa menyembunyikan rasa gugup ini, Sayang." Cahaya memegang tangan Raja yang mengusap pipinya, membawanya
Andai ada jalan untuk menghindar sekarang ini, pasti Cahaya sudah menyusup lewat sana untuk menghindari Raja. Kesiapan diri yang sedari tadi sudah yakin dimiliki, sirna sudah saat selepas sholat isya dan makan malam mereka. Walau Raja sudah berusaha mengalihkan perhatian Cahaya dengan bercerita banyak hal, tetap saja gadis itu tidak bisa menghilangkan ketakutannya. Takut? Ya, tentu saja. Malam pertama adalah malam yang membuat siapa saja, merasa penasaran sekaligus takut untuk menghadapinya. Semengerikan itukah? Ceklek! Cahaya menoleh cepat pada pintu kamar mandi yang dibuka dari dalam, Raja keluar dari sana, dengan santai berjalan mendekat. Senyum manis lelaki itu terlihat mengerikan bagi Cahaya saat ini, bahkan kerupawanan Raja hilang berganti seperti monster saja. Cahaya mengutuki dirinya yang malah membayangkan, apa yang ada dibalik sarung yang dipakai Raja sekarang. Padahal dari tadi pun Raja sudah menggunakan sarung itu, tapi kenapa baru sekarang pikirannya berubah haluan?