Raja menikmati suguhan indah di depannya, menggunakan semua naluri untuk memulai tugasnya sebagai suami. Mencium, meraba, dan merasai nikmat raga kekasih halalnya. Gadis yang sudah membuatnya menunggu selama tiga tahun lamanya untuk dapat dimiliki, hingga mereka sekarang ada di atas peraduan untuk melebur menjadi satu, menyatukan raga, menyelami indahnya rasa. Hingga sesuatu yang membuat Cahaya menjerit tak tertahan, meledak, dan dia merasa lemas. 'Apa itu tadi?' pertanyaan Cahaya hanya tercetus dalam hati, karena dia sendiri tak mengerti apa yang baru saja dialaminya. Raja tersenyum puas, saat tahu istrinya sudah mendapatkan puncak kenikmatan hanya dengan sentuhan tangannya. Hingga dia kembali mencumbu dan merayu, hingga Cahaya terus melenguh, mendesah, dan merintih saat bibir dan tangan Raja menjamah setiap inci kulitnya. Meninggalkan jejak basah, panas, dan juga merah sebagai tanda kalau dia adalah milik lelaki itu. Lelaki yang dengan gagah mulai merengkuhnya, membawa ke suatu pe
Suara alarm dari ponsel Cahaya menjerit meminta perhatian, mencoba membangunkan si pemilik yang masih lelap dalam dekap hangat sang pujaan, namun rupanya pagi ini semua menjadi pengecualian, karena Cahaya seolah tidak mendengar, dia tidak terganggu sama sekali oleh suara yang berasal dari ponsel yang biasa membangunkannya. Hingga Raja yang akhirnya terganggu dengan suara itu, perlahan terbangun menoleh pada nakas di samping ranjang. Raja tersenyum melihat seseorang yang begitu dicintainya, terlelap dalam pelukannya. Tangan gadis itu melingkari tubuhnya, memeluk erat seakan takut kehilangan. Pundak polos Cahaya berhias bekas bibirnya semalam, bahkan punggung mulusnya pun tak luput dari jejaknya. Hanya sayang, hidangan utama tidak sampai mereka nikmati bersama, bahkan janji akan melanjutkan setelah mereka istirahat dulu pun, terbawa hingga ke pagi hari tanpa bisa mereka mencoba lagi. Ini tidur ternyaman yang Raja rasakan, dia tidur dengan sangat nyenyak, hingga lupa dengan 'PR' untuk
Akhirnya Cahaya memilih ikut check out bersama Raja, karena untuk apa dia seorang diri di hotel, sedang Raja pergi bekerja, dan menunggu sampai sore di rumah Khadijah. Setelah menghubungi Denni untuk menyuruh supir menunggu di tempat yang dijanjikan, tapi ternyata Denni sendiri menjemput menantunya. Sesampainya di rumah Khadijah, Syena yang baru selesai mandi berteriak senang melihat Cahaya masuk ke rumah bersama Mukta. "Yeayy, ada Mama! Papa mana, Ma? Kata bunda nanti Mama datang sama papa?!" tanya Syena setelah mencium punggung tangan Cahaya, mendongak melihat wajah Cahaya. "Papa kerja, Sayang." Cahaya mengusap pipi Syena, meratakan bedak pada wajah cantik keponakannya. "Kok, nggak pulang dulu ke rumah?""Iya, nggak sempat. Kalau pulang dulu, nanti papa terlambat masuk kerja.""Syena, mamanya capek loh baru datang, jangan ditanya dulu. Syena sarapan dulu, yuk?!" Khadijah memotong sesi tanya jawab Syena, tersenyum penuh arti pada kakak iparnya. "Udah gol, Teh?" goda Khadijah terk
Seperti yang dikatakan Hana kemarin, hari ini Kim bermaksud mencari alamat rumah Cahaya. Dia memang tidak tahu nama daerah yang tertera dalam kertas yang ditulis Cahaya tiga tahun lalu, dan atas usulan Hana juga Kim pergi dengan kerabatnya yang lain. Sandi jelas tidak bisa mengantar karena harus kerja, awalnya Kim juga berkeras dengan rencananya semula untuk pergi mencari alamat Cahaya diantar Sandi, namun setelah Hana memberikan pengertian agar Kim secepatnya membuktikan, juga menghilangkan keraguan atas semua tanya diri tentang status Cahaya, akhirnya Kim setuju untuk pergi hari ini diantar Tisna. Jalanan yang dilalui Kim pastinya sangat asing, dia yang pernah tinggal di negara sang mama beberapa tahun lamanya, tentu saja belum pernah menuju ke daerah yang kini dia datangi. Sudah dua jam mereka terjebak dalam mobil yang terus melaju membelah jalanan, menyusuri jalan yang akan membawa Kim pada satu jawaban pasti perjalanan cintanya. Bahagia atau justru terpuruk dalam duka. Matahari
"Maaf, Pak? Maksudnya gimana, ya?" Tisna kembali bertanya, hatinya mulai gelisah mendengar perkataan lelaki di depannya. "Iya, kan kemarin Cahaya menikah, pasti Aa saudara suaminya yang terlambat mengetahui tentang pernikahan mereka kan?" lelaki itu memastikan, menatap Tisna dengan curiga, takut salah dalam menyampaikan berita tepatnya. "Ah, ya … saya kerabat suami Cahaya." Tisna akhirnya memilih berbohong, untuk mengetahui kabar selanjutnya, juga mengelabui orang yang sedang dia cari informasi tentang Cahaya. "Iya, masuk saja, A. Nanti ada rumah yang pekarangannya agak luas, itu rumah Cahaya, rumah pak Hadi--ayahnya. Soalnya hanya rumah itu yang pekarangannya lebih luas, dibanding yang lain." Lelaki itu kembali menegaskan. Tisna dengan lesu mengangguk, menahan kecewa atas kebenaran yang baru didengarnya. Dia saja lemas mendengar berita itu, apalagi Kim nanti? Tak terbayangkan bagaimana hancurnya hati Kim, saat kedatangannya terlambat satu hari dengan hari pernikahan Cahaya? Apa
Rosita merasakan hatinya tidak nyaman, gelisah oleh sesuatu yang tidak dipahaminya, bahkan debaran jantungnya berdebar tak menentu, apalagi pikirannya terus terfokus pada Cahaya. Rosita mencoba abai. Menenangkan diri dan hatinya, dengan keyakinan kalau anak sulungnya itu baik-baik saja. Bukankah kini Cahaya sedang bahagia dengan Raja? Menikmati indahnya romansa pengantin baru, apa yang perlu dikhawatirkan? Walaupun dia tidak bertemu lagi dengan Cahaya sebelum gadis itu pergi, tapi Rosita mencoba mengerti keputusan yang dibuat Hadi, kalau mereka tidak sempat bertemu dulu, itu karena Hadi tak ingin dia terganggu saat tidur. Menunggu Epon yang sedang kembali ke rumahnya sebentar, sementara Hadi keluar untuk satu urusan, dan Binar dia minta pergi untuk membeli makanan untuk bekal Cahaya. Rosita duduk di sofa ruang tamu, yang bisa dengan leluasa melihat ke luar rumah. Menatap keluar kaca. Sebuah mobil berhenti di depan pekarangan rumahnya, tak lama kemudian, Rosita bisa melihat seseora
Diam, saat seseorang yang baru saja ditemuinya itu menjelaskan semua, Rosita hanya bisa menatap penuh iba pada kisah hidup yang dijalani Kim. Bahkan beberapa kali Rosita menghembuskan napas panjang, saat Kim mengungkapkan semua kerinduan juga rasa bersalahnya pada Cahaya. Bersalah karena membiarkan gadis yang sangat dicintainya itu merana menunggunya. Sampai Kim berhenti bercerita pun, Rosita tidak mengatakan status Cahaya sekarang ini. Hatinya menolak memberikan kenyataan pahit yang akan kembali membuat Kim terluka, menderita. Memilih bungkam, dengan berpikir nanti Cahaya sendiri yang mengatakan mengenai statusnya, Rosita yakin, kalau nanti di Korea mereka akan bertemu kembali. Cepat atau lambat. Kim merasa perlu mengatakan semuanya pada Rosita, dia yakin dengan diamnya Rosita, menandakan kalau kisah cintanya diketahui oleh Rosita. Rosita membiarkan Kim terus menyangka kalau anaknya itu masih menunggu kedatangannya, mengharap cinta dan juga mendamba bahagia bersama. "Maafkan saya
Kim mundur beberapa langkah, sebelum akhirnya berbalik meninggalkan Rosita yang terus mengawasinya. Meski tidak bertemu dengan orang yang dirindu, setidaknya dia tahu kemana akan mencari keberadaannya kini. Walau ternyata harus kembali berusaha dan mencari. Tisna menegakkan tubuhnya saat melihat Kim keluar dari rumah Cahaya tak lama kemudian, dia mencoba menebak apa yang terjadi pada anak saudaranya itu. Apakah Kim sudah mengetahui kebenaran tentang Cahaya? Atau justru masih belum tahu kenyataan yang ada?"Wa?!" sapa Kim begitu dia membuka pintu mobil. "Gimana, Jin? Ketemu?" tanya Tisna yang segera ingin tahu, tapi melihat wajah Kim yang tidak terlalu kecewa, Tisna menebak kalau Kim belum tahu kebenarannya. Aneh. "Cahaya tidak ada, hanya ada ibunya saja, itupun beliau sedang sakit." Kim menjawab dengan lesu. 'Pantas hanya sebentar kamu di dalam, Jin.'"Terus ibunya bilang, kalau Cahaya pergi ke Korea," sambung Kim menjelaskan hal yang membuat Tisna tidak mengerti. "Apa ke Korea?