Kim mundur beberapa langkah, sebelum akhirnya berbalik meninggalkan Rosita yang terus mengawasinya. Meski tidak bertemu dengan orang yang dirindu, setidaknya dia tahu kemana akan mencari keberadaannya kini. Walau ternyata harus kembali berusaha dan mencari. Tisna menegakkan tubuhnya saat melihat Kim keluar dari rumah Cahaya tak lama kemudian, dia mencoba menebak apa yang terjadi pada anak saudaranya itu. Apakah Kim sudah mengetahui kebenaran tentang Cahaya? Atau justru masih belum tahu kenyataan yang ada?"Wa?!" sapa Kim begitu dia membuka pintu mobil. "Gimana, Jin? Ketemu?" tanya Tisna yang segera ingin tahu, tapi melihat wajah Kim yang tidak terlalu kecewa, Tisna menebak kalau Kim belum tahu kebenarannya. Aneh. "Cahaya tidak ada, hanya ada ibunya saja, itupun beliau sedang sakit." Kim menjawab dengan lesu. 'Pantas hanya sebentar kamu di dalam, Jin.'"Terus ibunya bilang, kalau Cahaya pergi ke Korea," sambung Kim menjelaskan hal yang membuat Tisna tidak mengerti. "Apa ke Korea?
Binar sampai di rumah Khadijah selepas sholat ashar, kedatangan adik Cahaya itu membuat Syena memekik girang, bahkan dengan tanpa malu langsung minta digendong. Binar dengan perasaan yang sama begitu bahagia bisa bertemu dengan Syena, menggendong keponakan Raja itu dengan senang hati. Celotehan Syena terus terdengar menanyakan apa saja pada Binar, bahkan saat Khadijah memintanya untuk turun dari gendongan Binar, gadis kecil itu menolak tegas. "Enna mau digendong sama om Nar, Bunda.""Tapi om Nar-nya baru sampai, Sayang, kasihan masih capek." Khadijah mencoba membujuk. "Emang Enna berat ya, Om?" Syena menatap dalam pada Binar, jemarinya mengusap kening Binar yang sedikit berkeringat. "Sedikit," ucap Binar yang merasakan hatinya terus berdebar, saat bertatapan dengan Syena. Binar tak habis pikir, bagaimana bisa dia merasa tertarik pada seorang gadis kecil? Binar yakin, kalau rasa yang kini telah bertumbuh dalam hatinya adalah cinta. Cinta seorang lelaki pada lawan jenis. Salahkah
Melihat sekeliling, pada kesibukan yang tengah dilakukan oleh temannya, Raja kemudian melangkah mendekati Indra. "Pak Indra lembur?" tanya Raja begitu sampai di dekat meja kerja Indra. Indra mengalihkan perhatiannya dari layar komputer, melihat pada Raja yang bertanya. "Iya, Pak. Bapak sendiri?" "Saya hanya menunggu waktu pelepasan karyawan yang akan pergi saja.""Oh, tidak menjemput Cahaya?" tanya Indra dengan menutupi rasa cemburu, bagaimanapun rasa yang dia simpan untuk Cahaya telah begitu kuat. Sayang dia tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaannya, dan kenyataan bahwa Raja adalah kekasih sekaligus calon suami Cahaya, mengubur dalam rasa yang tak pernah dia sampaikan. Terpendam. Dan tidak akan pernah terbongkar. "Cahaya sudah ada di rumah adik saya, nanti berangkat bareng keluarga saya."Jawaban Raja semakin membuat Indra sadar diri, kalau dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali. "Oh, seperti itu.""Saya keluar dulu, Pak. Mau ngadem, sekalian menunggu kedatan
Tak cukup waktu saat mereka bersama, bahkan Cahaya seolah enggan melepaskan belitan tangannya pada lengan Raja, sejak keluar dari ruang rapat setelah acara perpisahan yang dilepas oleh pemimpin perusahaan, Cahaya terus menempeli Raja seperti lem. Sesekali dia mengusap pipinya, menyeka basah air mata yang menetes tanpa bisa ditahan.Cahaya tidak peduli dengan tatapan beberapa orang staf, juga atasannya yang merasa heran dengan kedekatannya dengan Raja, namun tak seorangpun berani menggoda, bahkan Alya sekali pun. Dia yang biasanya bisa membuat Cahaya tertawa atau bahkan kesal dengan tingkahnya, memilih menjauh seakan mengerikan kedukaan yang tengah sahabatnya rasa itu. Jam enam, akhirnya satu persatu mobil yang akan mengantar ke bandara keluar dari perusahaan. Binar ikut dengan mobil yang dikemudikan Denni dan Mukta. Dan nanti pulang akan bersama Raja, karena Denni akan kembali ke rumahnya yang di Bandung. Sepanjang perjalanan menuju bandara, Cahaya terus memeluk Raja, tanpa sedikitp
Dengan gemas Cahaya memberikan capitan jarinya di perut Raja. "Ih, jahat! Kenapa juga tadi pakai alasan seperti itu? Pake nama aku lagi!" protes Cahaya dengan serangan membabi-buta. "Aduduh … sakit, Sayang! Iya, maaf. Lagian itu alasan kamu lebih lucu lagi, kenapa coba?" tanya Raja sambil menahan serangan Cahaya. "Nggak tahu, refleks aja. Udah, ayo turun! Nanti mereka menyangka yang lain-lain lagi." Cahaya menghentikan cubitannya dan bersiap keluar. "Ya, nggak pa-pa, suami istri ini," jawab Raja acuh, namun tak urung mengikuti Cahaya keluar dari mobil. Cahaya menghembuskan napas kasar, perpisahan sudah semakin dekat. Tawa bahagia, rasa nyaman, dan kebersamaannya dengan Raja, sebentar lagi akan tinggal kenangan. Setidaknya, untuk beberapa bulan kedepan, semua hanya dapat dia bayangkan. "Sayang? Ayo!" panggilan Raja mengagetkan Cahaya yang menatap malas pada bangunan yang ada di depannya, dan dengan langkah gontai, Cahaya mendekati Raja. "Semangat, ya?! Kan tadi sudah aku kasih do
Seakan tak percaya. Delapan jam mengudara, membiarkan burung besi itu membawa raganya mengarungi angkasa malam, menjauhkan dia dengan seseorang yang telah berjanji menjadi sumber bahagianya. Kini Cahaya sudah di tanah yang berbeda dengan yang di pijaknya semalam. Sungguh permainan takdir, dan perjalanan hidup yang kadang Cahaya pun serasa mimpi. Beberapa menit lalu, pilot berhasil mendaratkan pesawat dengan baik. Dari jendela Cahaya melempar pandangan. Korea. Dulu, dia pernah berharap bisa kembali menginjakkan kaki di atas tanahnya, karena dibawa seseorang sebagai istri. Pernah berharap akan kembali menetap di negara itu, sebagai seorang menantu dari keluarga barunya. Pernah bermimpi akan menjadi ibu dari anak-anak lucu berdarah campuran Korea dan Indonesia, seperti ayahnya. Namun itu dulu. Tidak, tepatnya setahun terakhir. Di saat, harapan tentang penantian yang berakhir indah masih sanggup dia rangkai. Di saat indah sebuah pernikahan antara dia dengan Kim, membingkai harap dan ke
Perjalanan dua jam tidak terasa, mereka sampai di kota yang asing untuk ketiganya, karena saat mereka bekerja di Korea dulu, tidak sempat singgah di kota yang kini akan menjadi tempat tinggal. Kota Yong- In. Tadi Han minta diturunkan di salah satu gedung apartemen, yang letaknya lumayan dekat dengan apartemen yang menjadi tempat tinggal Cahaya, Andri, dan Adrian. Ketiganya tersenyum menatap gedung apartemen yang akan menjadi rumah mereka, apartemen yang terlihat lebih bagus dari apartemen mereka dulu. Bahkan dari tempat mereka berdiri sekarang, mereka bisa langsung melihat ke tiap unit apartemen. Juga halte terletak tidak jauh dari apartemen, tidak seperti apartemen mereka dulu yang lumayan jauh. "Selamat datang di apartemen kalian. Mari, kita ke unit apartemen masing-masing di lantai dua," kata Choi, matanya masih saja tidak bisa untuk tidak melirik pada Cahaya, meski peringatan tentang status Cahaya yang mempunyai pacar, sudah dia dengar. Mengagumi tidak salah kan? "Oh, baik, H
Wila meninggalkan Raja yang kembali melihat kertas yang dipegangnya, mendesah pelan tanpa semangat melihat tulisan yang jadi penyebab dia berpisah dengan sang pujaan. Ya, karena laporan-laporan itulah Cahaya harus dijauhkan dengannya. Mencoba membangkitkan semangat dalam dirinya, Raja beranjak bangun, lalu melangkah meninggalkan kantor setelah memasukan ponselnya dalam saku celana. Wila yang diam-diam mengamati perubahan Raja, menoleh ke temannya di belakang meja kerjanya, begitu Raja sudah keluar ruangan. "Sel!""Ya?!" Selly yang dipanggil menjawab. "Pak Raja murung banget, ya?! Segitu cintanya sama Cahaya, ditinggal pergi sedih banget kayaknya." Wila menghadap ke arah Selly, yang melihat ke arah pintu yang baru saja ditutup Raja. "Ya pastilah, Wil. Ditinggal calon istri. Jauh lagi. Kalau masih di Indonesia masih bisa disusul, lah ini? Berat diongkos," ujar Selly menanggapi. "Iya juga sih," jawab Wila membenarkan ucapan Selly. "Dah, ah. Kerja, masih pagi udah gosip." Selly meng
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe