Wila meninggalkan Raja yang kembali melihat kertas yang dipegangnya, mendesah pelan tanpa semangat melihat tulisan yang jadi penyebab dia berpisah dengan sang pujaan. Ya, karena laporan-laporan itulah Cahaya harus dijauhkan dengannya. Mencoba membangkitkan semangat dalam dirinya, Raja beranjak bangun, lalu melangkah meninggalkan kantor setelah memasukan ponselnya dalam saku celana. Wila yang diam-diam mengamati perubahan Raja, menoleh ke temannya di belakang meja kerjanya, begitu Raja sudah keluar ruangan. "Sel!""Ya?!" Selly yang dipanggil menjawab. "Pak Raja murung banget, ya?! Segitu cintanya sama Cahaya, ditinggal pergi sedih banget kayaknya." Wila menghadap ke arah Selly, yang melihat ke arah pintu yang baru saja ditutup Raja. "Ya pastilah, Wil. Ditinggal calon istri. Jauh lagi. Kalau masih di Indonesia masih bisa disusul, lah ini? Berat diongkos," ujar Selly menanggapi. "Iya juga sih," jawab Wila membenarkan ucapan Selly. "Dah, ah. Kerja, masih pagi udah gosip." Selly meng
Rosita terus merenungi ketidakjujurannya pada Kim tentang status Cahaya, dia semakin merasa bersalah setelah mendengar cerita Binar, tentang bagaimana sedihnya Cahaya saat harus berpisah dengan Raja. Kesempatan yang dia katakan agar Kim bercerita langsung pada Cahaya--seandainya mereka bertemu nanti, seakan memberikan harapan pada Kim untuk terus memupuk rasa cinta, juga impian tentang indah akhir kisah mereka. Sedangkan gadis yang menjadi sumber harapan Kim, jelas sudah menjadi istri orang. Jahat. Itu yang terlintas dalam pikiran Rosita sekarang. Dia merasa telah berbuat jahat, pada ketiga orang yang terlibat dalam cinta masa lalu itu. Keinginannya untuk tidak menambah luka hati Kim, justru melukai hatinya kini. Bahkan untuk bercerita pada Hadi pun, Rosita tidak sanggup mengatakannya. Bahwa kemarin, telah datang lelaki masa lalu anak mereka, dan dia dengan sengaja menutupi kebenaran. Rosita yakin, Hadi pasti akan menyalahkan keputusan yang diambilnya, namun apa hendak dikata, semu
Beda bumi yang dipijak, beda waktu yang mengiringi. Perjalanan semalam masih menyisakan lelah pada Cahaya, dia kembali terlelap setelah merapikan bajunya ke dalam lemari. Bahkan TV yang menyala untuk menemani dia beres-beres, masih menayangkan drama yang tadi sempat membuatnya ikut dalam kesedihan alur ceritanya. Sepasang kekasih yang terpaksa dipisahkan karena perbedaan kasta, hingga si lelaki terpaksa harus menikah dengan gadis pilihan orang tuanya. Mirip kisahnya. Kisah cinta dengan Yusuf, juga dengan Kim. Kasih yang tak sampai. Suara bel ditekan berulang. Disertai panggilan nama Cahaya, perlahan menarik si pemilik nama dari lelap tidurnya. Cahaya terbangun dengan degupan jantung yang kuat, kaget oleh suara bel, juga matanya yang begitu terbuka melihat ke layar TV. Melihat pada jam yang melingkar di tangan, Cahaya mengusap wajahnya, lalu beranjak bangun saat suara Andri memanggil disusul bel yang kembali ditekan. Merapikan rambutnya, Cahaya bergerak cepat menuju pintu. "Aya! Ca
Cahaya pun mengalihkan kamera, menunjukkan bagaimana keadaan apartemennya pada Raja. Raja terus tersenyum menanggapi cerita Cahaya tentang tempat tinggalnya, dia merasa senang saat mendengar kalau apartemen yang ditempati Cahaya bukanlah apartemen Daewoo, apartemen yang dulu di mana mereka bertemu empat tahun lalu. Jadi kemungkinan Cahaya bertemu dengan Kim sedikit lebih kecil dalam waktu dekat ini. Satu yang Raja lupa, kalau salah satu PC milik Kim ada di kota yang kini Cahaya tinggali. Cahaya kembali mengganti kamera, hingga Raja bisa melihat wajah cantik sang pemilik hati kembali di layar. Mereka kembali bertukar senyuman, saling menyiratkan cinta yang begitu besar. "Bagus, aku senang kamu ditempatkan di tempat yang sangat nyaman, Sayang. Ah, jangan lupa satu hal," kata Raja membuat Cahaya mengernyit heran. "Apa?""Nanti tolong lihat hotel terdekat dari apartemen kamu, ya?!" kata Raja dengan senyuman penuh arti, namun sayang Cahaya tidak memahami maksud Raja. "Hotel? Buat apa?"
Raja berlari menuju ruang UGD, setelah tadi Binar menghubunginya kalau Rosita terjatuh di depan kamar mandi, dan sekarang ada di rumah sakit, karena Puskesmas tidak sanggup menangani luka di kepala dan banyaknya darah yang keluar. Raja terus terngiang pembicaraannya dengan Rosita saat tadi siang dia menelepon, Raja takut akan pikirannya sendiri saat Rosita meminta maaf juga berkata untuk dia menjaga Cahaya. 'Jangan … jangan berpikir seperti itu, Raja. Yakinlah kalau ambu akan baik-baik saja. Ya, ambu akan baik-baik saja.' Saat sampai di ruang UGD, Raja bisa melihat Binar yang duduk bersandar di tembok, lalu Hadi yang berdiri di depan pintu yang tertutup rapat. Segera mendekat, Raja menyapa mertuanya yang terlihat sangat khawatir. "Pak!"Hadi menoleh, dan saat melihat Raja. Hadi seakan kehilangan tenaga, badannya limbung, dan dengan cepat ditahan Raja. Binar yang mendengar panggilan Raja, langsung berdiri, lalu dengan cepat mendekat saat Hadi terhuyung. "Bapak!" keduanya memanggil
Raja menghembuskan napas panjang, dia seakan baru teringat dengan istrinya itu. "Pak … apa kita perlu mengabarkan berita duka ini pada Cahaya?" tanya Raja meminta pendapat, dia bingung dengan keputusan yang harus diambil. "Jangan dulu, A. Biarkan Cahaya nyaman dulu di sana, setelah semuanya terkondisikan dengan baik, nanti baru kita kabari," kata Hadi memilih merahasiakan terlebih dulu kabar duka kehilangan Rosita dari Cahaya. "Baiklah, Raja ikut dengan keputusan Bapak. Jadi malam ini juga ambu akan langsung dimakamkan?" tanya Raja meminta kepastian. "Iya, malam ini saja. Lebih cepat lebih baik," ucap Hadi mengusap matanya, kembali menatap jasad Rosita yang terbujur kaku tertutup kain, seolah menunggu, apakah sosok itu akan bangun lagi atau tidak? Dan pasti saja jawabannya, tidak. Tidak akan pernah. Istrinya telah pergi mendahului, meninggalkan dia dan semua kenangan kebersamaan mereka bertahun-tahun lamanya. Mukta dan Denni datang hampir bersamaan dengan Khadijah, keluarga baru H
Melewati waktu sendiri, bahkan tidur seakan menjadi kegemarannya hari ini. Setelah bertukar kabar dengan Raja, Cahaya kembali tertidur lelap. Perkataannya yang mengatakan akan pergi ke unit apartemen Adrian dan Andri tidak terbukti, karena gadis itu terus terlelap sampai gelap menyelimuti. Cahaya terbangun dengan kaget dan napas terengah. Gelap yang menyambut saat kedua matanya terbuka, menambah debaran jantungnya menggila, hanya cahaya dari TV yang menyala, juga lampu dari penerangan di luar apartemen, yang menerangi karena jendela belum ditutup gordennya. Mengusap wajah, Cahaya terduduk menenangkan diri. Mimpi. Mimpi yang aneh baru saja menyambangi. Dia seakan mendengar panggilan ibunya, saat kesadaran memaksanya terbangun. Apa itu karena dia belum menghubungi keluarganya, hingga dia seakan mendengar Rosita memanggil? Setelah kesadaran sepenuhnya terkumpul, Cahaya beranjak bangun, menekan saklar lampu agar gelap itu berlalu. Menatap dari balik jendela, Cahaya bisa melihat kesib
"Ambu?!" panggil Cahaya sambil melangkah masuk, rumahnya begitu sepi, tak seperti biasanya. Lalu, kemana semua orang? Kakinya terus bergerak masuk, dengan bibirnya terus memanggil nama Rosita, dia mencari keberadaan ibunya yang belum juga nampak batang hidungnya. "Ambu?! Bapak?! Binar!"Lagi, Cahaya memanggil semua anggota keluarga. Namun tidak juga seorangpun terdengar menjawab panggilan yang Cahaya harapkan. Rumahnya sangat terasa asing. Ada kesedihan begitu kentara, perasaan khawatir mulai menyergap rasa. Cahaya bingung. Di mana semua orang yang dicarinya berada? Langkahnya kini terarah ke kamar Rosita, berharap di sanalah wanita terkasihnya berada, setelah tak ada Binar atau Hadi ditemuinya. Perlahan bingkai kayu persegi panjang itu didorongnya, hingga suara decitannya terdengar nyata. Ada. Ibunya ada di dalam sana, dia melihat Rosita duduk memunggungi memunggungi pintu kamar, di tepi tepi tempat tidur entah sedang apa. Cahaya tersenyum, namun lidahnya mendadak kelu saat akan