"Cahaya ada nelpon, Pak." Raja memperlihatkan ponselnya pada Hadi. Mereka kini tengah berkumpul di ruang tengah, setelah para pelayat juga kerabat mereka kembali ke rumah masing-masing. Rumah Hadi kembali sepi, hanya keluarga Raja yang bertahan di sana, mereka memutuskan untuk menginap, menemani Hadi dan Binar yang tengah berduka. Mukta dan Khadijah sudah beristirahat di kamar Cahaya, si kecil Syena terlihat sudah mengantuk di pangkuan Binar, yang terus mengusap keningnya agar bocah cantik nan menggemaskan itu segera tidur, tangannya memegang ujung kaos yang dipakai Binar, seakan takut kalau terlepas, seperti tadi saat Farhat mencoba memindahkannya ke kamar. Hadi menatap tanpa ekspresi layar ponsel Raja, dia sungguh kehilangan sandaran hidupnya. Hatinya begitu hampa. "Iya, A." Hadi menjawab singkat, lalu kembali diam. "Apa perlu ditelpon balik?" Raja mencoba membuka percakapan, dia sedih melihat keadaannya Hadi yang terpukul sekali, dengan kepergian Rosita yang begitu tiba-tiba. D
Kim memasukan semua bajunya ke koper, setelah mengetahui kalau gadis tercintanya kini berada di Korea, lelaki itu sudah tidak bisa menahan diri untuk segera bertemu. Beberapa tahun lalu, bahkan beberapa hari lalu, dia begitu ingin meninggalkan Korea dan pergi ke Indonesia, kini dia begitu menginginkan segera kembali ke tanah kelahirannya. Dia sudah menahan diri untuk tidak langsung kembali ke negaranya begitu mendapat kabar dari Rosita, itupun karena A Ya yang mendadak tidak mau jauh darinya. Insting gadis kecil itu seakan tahu, kalau sebentar lagi perhatian ayahnya akan terbagi dengan seseorang yang begitu ayahnya cintai. Atau mungkin, perasaan cemburu Su Ni yang terwakilkan oleh kegelisahan A Ya. Kim tersenyum pada Hana yang memasuki kamar, di gendongannya A Ya terlihat tenang, tapi begitu melihat Kim dia langsung rewel minta perhatian. Tangannya terangkat menggapai udara meminta Kim menggendongnya. "Appa!"Menghentikan aktivitasnya, Kim segera mengambil A Ya dari Hana. "Kenapa? A
"Tapi itu yang sebenarnya, Ma. Kenyataannya memang seperti itu, aku hanya boneka yang bebas dimainkan oleh appa. Mengikuti semua keinginan appa, tanpa boleh menentukan apa yang terbaik untuk hidup aku sendiri. Aku--""Young Jin! Tidak baik kamu berkata seperti itu! Apa kamu juga merasa, kalau kehadiran A Ya juga suatu kesalahan?""Iya! Jelas dia satu kesalahan, Ma! Dia tidak akan pernah ada, kalau Su Ni tidak melakukan hal gila seperti itu! A Ya tidak akan ada, kalau Su Ni tidak menjebak aku, Ma! Tidak akan!" Kim berteriak melepas kekesalan yang selama ini selalu dia tahan. Topeng kalau dia terlihat kuat dan baik-baik saja yang selama ini dipakainya, lepas sudah. Dia menunjukkan sisi rapuhnya, kekecewaannya, penyesalan, dan juga sakit hati atas tindakan Young Nam yang sangat egois atas hidupnya. Dia diperlakukan ayahnya seperti tidak memiliki perasaan saja, harus patuh, dan menuruti apapun yang diputuskan, tanpa sedikit pun boleh mengungkapkan pendapat. Apalagi menentukan apa yang b
Cahaya hanya bisa menangis tersedu, beberapa saat lalu Hadi menghubungi, dan menyampaikan berita yang langsung menyesakan dada. Seseorang yang bahkan tidak sempat Cahaya temui lagi, telah pergi untuk selamanya. Seseorang yang begitu dia sayang, telah berpulang tanpa sempat dia pandang. Kejam. Cahaya merasa semua orang sudah berbuat kejam padanya. Semua. Tidak ayahnya, Binar, bahkan Raja sekalipun. Kenapa semua orang tega, bahkan dengan sengaja menyembunyikan kebenaran itu darinya? Apa dia tidak memiliki hak untuk melihat wajah sang ibu untuk terakhir kalinya? Meski itu hanya lewat sambungan telepon? Bahkan suaminya, dia bertindak seakan tidak ada kejadian luar biasa menyedihkan yang sedang terjadi, dengan mengirim pesan seperti biasa tanpa mengungkit sedikitpun tentang kepergian Rosita. Lirih, Cahaya terus memanggil nama sang ibu. Merasakan penyesalan yang begitu besar, karena tidak menemui Rosita terlebih dahulu, saat dia akan pergi ke hotel hari Minggu lalu. Andai saja dia meno
Adrian mengangguk, mengingat lagi kedekatannya dengan Cahaya di awal mereka berjumpa. Tempat kerja yang sama, seringnya menghabiskan waktu bersama, sehingga menumbuhkan perasaan berbeda di hatinya, pada sosok gadis yang kini telah menjadi milik seseorang. Namun jelas hanya dia saja yang memiliki rasa, karena bagi Cahaya hanya ada Kim saat itu yang bertahta saat itu, bahkan Raja pun jelas tak bisa memilikinya. Adrian menjadi saksi bagaimana cinta bersemi di antara Raja dan Cahaya, berganti dengan terungkapnya cinta terpendam antara Kim dan Cahaya, perselingkuhan, hingga kandasnya kisah cinta Raja karena tidak mampu menggeser pesona Kim dalam pandangan Cahaya, yang memang sudah mencintai Kim lebih dulu. Lalu apa artinya perasaan yang tumbuh dalam hati Adrian kala itu untuk Cahaya? Tak ada sama sekali. Karena Adrian pun sadar diri, tak mungkin dia bersaing dengan kedua lelaki yang jauh di atasnya. Bukan hanya pesona, tapi dalam segalanya. Dia hanya desauan angin yang berhembus untuk s
Sementara itu, dari jarak yang tidak terlalu jauh dari apartemen Cahaya, lelaki itu baru saja keluar dari PC miliknya, waktu yang dihabiskan untuk memeriksa semua hasil kerja karyawan selama dia pergi, membuatnya lelah.Memasuki mobilnya, dia menghempaskan punggung di kursi belakang kemudi. Tubuhnya lelah, namun ada harapan yang sejak kembali dari negeri kelahiran sang mama, membuatnya harus tetap semangat mencari. Iya, mencari keberadaan sang pujaan hati yang ada di bumi yang sama dengannya kini. Tapi kemana dia harus mencari? Dia sudah kehilangan kontak dengan temannya dulu saat bekerja, dan tidak mungkin juga dia mendatangi perusahaannya dulu, untuk sekedar menanyakan tentang karyawan dari Indonesia, yang tentunya belum tentu ada di sana. Karena perusahaan itu jelas sudah pindah ke Indonesia, yang artinya semua yang di kantor pusat bukan temannya yang dulu. Menghembuskan napas panjang, Kim menatap photo Cahaya yang dia gantung di spion tengah. Sejak restu dari Young Nam dia kanto
Hadi menghampiri Raja yang datang untuk ikut tahlilan 7 hari meninggalnya Rosita, dia sengaja melarang Raja untuk terus pulang pergi agar selalu bisa mengikuti tahlilan untuk istrinya itu. Jarak yang lumayan jauh antara tempat kerja dan rumahnya, membuat Hadi kasihan dan tidak mau menantunya kecapean. Apalagi mendengar kalau anaknya sengaja mendiamkan Raja, karena marah dia meminta Raja tidak memberi tahu tentang kematian Rosita pada Cahaya. Raja tersenyum menghampiri, mengambil tangan Hadi menyalaminya penuh rasa hormat. "Sehat, Pak? Kemana Binar?" "Alhamdulillah, sehat. Binar ke masjid, untuk tahlilan hari ini dialihkan ke masjid saja, biar tidak begitu capek beberesnya. Masuk, A." "Maaf, Khadi tidak bisa ke sini, Farhat ada acara yang mengharuskan Khadi ikut.""Tidak apa. Lagi pula kasian, neng Khadi sedang hamil besar."Hadi mengajak Raja masuk, rumahnya yang semakin sepi setelah kepergian kedua perempuan penghuninya, terasa sangat menyedihkan untuk Hadi. Photo keluarga baru s
Waktu berjalan cepat. Tak terasa sebulan sudah dilewati tanpa ada kendala yang berarti. Selain perasaan rindu yang membelenggu, pada sosok yang setiap malam menemaninya, walau hanya lewat layar semata. Puas dengan saling bertukar kabar dan canda mesra, mengungkap tentang perasaan yang harus rela dipisah keadaan yang memaksa. Choi yang sesekali masih saja mencoba tebar pesona, walau jelas ditanggapi biasa oleh Cahaya. Juga Adrian yang mendadak sangat possesif, menjaga dan melindungi Cahaya dari jerat lelaki, yang selalu saja mengingatkan gadis itu pada sosok masa lalunya. Iya, kadang terbersit dalam benak Cahaya tentang bagaimana sikapnya saat bertemu Kim satu hari nanti. Harus marah? Bahagia? Atau mengabaikan begitu saja seolah tidak mengenalnya? Entahlah, Cahaya hanya berharap andai saat itu benar terjadi, dia sanggup mengangkat kepala, dan tersenyum saja pada lelaki masa lalunya itu. Tak ingin menyimpan dendam atau sesal, atas kandas Cinta yang tak menemukan akhir kata bahagia.
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe