Hadi menghampiri Raja yang datang untuk ikut tahlilan 7 hari meninggalnya Rosita, dia sengaja melarang Raja untuk terus pulang pergi agar selalu bisa mengikuti tahlilan untuk istrinya itu. Jarak yang lumayan jauh antara tempat kerja dan rumahnya, membuat Hadi kasihan dan tidak mau menantunya kecapean. Apalagi mendengar kalau anaknya sengaja mendiamkan Raja, karena marah dia meminta Raja tidak memberi tahu tentang kematian Rosita pada Cahaya. Raja tersenyum menghampiri, mengambil tangan Hadi menyalaminya penuh rasa hormat. "Sehat, Pak? Kemana Binar?" "Alhamdulillah, sehat. Binar ke masjid, untuk tahlilan hari ini dialihkan ke masjid saja, biar tidak begitu capek beberesnya. Masuk, A." "Maaf, Khadi tidak bisa ke sini, Farhat ada acara yang mengharuskan Khadi ikut.""Tidak apa. Lagi pula kasian, neng Khadi sedang hamil besar."Hadi mengajak Raja masuk, rumahnya yang semakin sepi setelah kepergian kedua perempuan penghuninya, terasa sangat menyedihkan untuk Hadi. Photo keluarga baru s
Waktu berjalan cepat. Tak terasa sebulan sudah dilewati tanpa ada kendala yang berarti. Selain perasaan rindu yang membelenggu, pada sosok yang setiap malam menemaninya, walau hanya lewat layar semata. Puas dengan saling bertukar kabar dan canda mesra, mengungkap tentang perasaan yang harus rela dipisah keadaan yang memaksa. Choi yang sesekali masih saja mencoba tebar pesona, walau jelas ditanggapi biasa oleh Cahaya. Juga Adrian yang mendadak sangat possesif, menjaga dan melindungi Cahaya dari jerat lelaki, yang selalu saja mengingatkan gadis itu pada sosok masa lalunya. Iya, kadang terbersit dalam benak Cahaya tentang bagaimana sikapnya saat bertemu Kim satu hari nanti. Harus marah? Bahagia? Atau mengabaikan begitu saja seolah tidak mengenalnya? Entahlah, Cahaya hanya berharap andai saat itu benar terjadi, dia sanggup mengangkat kepala, dan tersenyum saja pada lelaki masa lalunya itu. Tak ingin menyimpan dendam atau sesal, atas kandas Cinta yang tak menemukan akhir kata bahagia.
Gadis kecil itu terus berlarian. Sesekali dia bersembunyi di balik etalase toko. Terkikik sendiri, membayangkan seseorang yang kini tengah gelisah mencari. Sayup rungunya masih mendengar suara sang ayah memanggil namanya, namun dengan gemas sendiri, dia semakin menyembunyikan tubuhnya di sana."A Ya?! Kamu di mana?"Si kecil kembali terkikik, menutup mulutnya sendiri seakan takut kalau yang memanggilnya, akan segera menemukan dia.Selama ini dia jarang bisa bersama dengan sang ayah, saat waktu itu tiba dia tak ingin membuang percuma. Ayahnya harus mau bermain sampai dia puas.Kim mengedarkan pandangan, mencari A Ya yang dia yakin bersembunyi di balik etalase. Senyuman menghias bibirnya, saat dia melihat sosok mungil yang tengah menjadi sasaran bidiknya.Dia biarkan anaknya itu terus menyusup di antara etalase, memanggil namanya tanpa berniat untuk mendekat. Biarkan saja. Toh, dia sudah tau di mana anaknya itu berada."A Ya!" lagi Kim memanggil, dan dia semak gemas saat tubuh mungil A
"A Ya!"Lagi suara itu terdengar, ini tempat ramai, bahkan suara musik yang disetel terdengar mendayu di telinga, tapi dia bisa dengan jelas mendengar namanya dipanggil."A Ya, Sayang? Jangan terlalu jauh sembunyi!"Cahaya semakin jelas mendengar seseorang berbicara dengan menyebut namanya. Namun kalimat lain yang menyertai, menyatakan kalau bukan dia yang dimaksudkan oleh orang tersebut.Cahaya mencoba abai, saat dia yakin bukan dia yang dipanggil. Hingga dia melihat ada yang mengendap ke dekatnya.Cahaya tersenyum saat melihat seorang anak kecil berjalan perlahan, lalu sembunyi di balik tempatnya berdiri kini. Gadis kecil itu tak mengindahkan keberadaannya sma sekali, bahkan saat mata mereka bersirobok, gadis kecil yang menggunakan jaket berwarna pink itu, hanya menempelkan telunjuknya pada bibir, sebagai tanda memintanya untuk diam.Cahaya tertawa pelan, merasa lucu dengan tingkah menggemaskan anak itu. Dia mengangguk tanda setuju dengan keinginan gadis kecil itu. Bahkan, dengan ta
Cahaya mencoba tenang. Walau gemuruh dalam dadanya, seakan meruntuhkan ketenangan yang coba dia bangun perlahan. Ternyata dia tidak bisa sekuat dugaannya, saat sosok itu ada nyata di depan mata.Ada rindu yang ingin dia lepaskan, namun banyak rasa kecewa yang bertambah, dengan adanya pertemuan di antara mereka. Rupanya dia telah salah dalam menilai arti cinta Kim untuknya dulu. Kenyataan kalau Kim telah mempunyai seorang putri, menghempaskan segala cerita cinta mereka dulu.Kim yang dengan lantang mengatakan betapa dia mencintai, ternyata telah menikah, dan bahagia dengan seorang anak bukti nyata.Dia yang menunggu kabar dari lelaki yang tadi kembali memanggilnya penuh rindu, ternyata hanya seorang yang tak pantas untuk dia kenang sekali pun.Kecewa? Tentu!Lalu, apakah memang dia berharap kalau Kim juga masih sendiri saat mereka bertemu lagi? Sedang pada kenyataannya, dia juga telah menikah dengan Raja. Walau begitu, bukti cinta sudah jelas Cahaya lakukan, menunggu lelaki itu sampai
Mereka menepi dari depan toko."Cahaya mana?" tanya Kim tak membuang waktu, matanya liar mencari sosok yang tadi begitu jelas di depan mata, namun sekarang entah kemana Cahaya pergi."Cahaya? Jadi kalian sudah bertemu?" tanya Adrian yang belum bisa meredakan kekagetannya, ditambah dengan berita lain kalau dua orang yang pernah punya cerita di masa lalu, ternyata sudah terlebih dulu bertemu."Iya, sudah. Mana dia, Yan? Mana Cahaya?" tanya Kim tak sabar. "Siapa dia, Hyong?" Adrian malah bertanya tentang A Ya. Dan itu membuat Kim kembali terhempas tentang kenyataan hidupnya.Melihat pada A Ya yang kini kembali mengkerut melihat orang baru, Kim mengusap sayang kepala anaknya, melabuhkan kecupan penuh cinta, juga lagi kata maaf dalam dada."Ini anakku, Yan. A Ya."Ada kebanggaan dalam hati Kim, begitu menyebut mana anaknya yang selalu mengingatkan dia pada sosok Cahaya. Dia harus berterima kasih pada almarhum istrinya yang sudah mengusulkan nama itu, karena setidaknya dia masih memiliki A
Kim pasrah saat Adrian memilih berkata tidak, saat dia meminta nomor ponsel Cahaya. Dia tentu tak bisa memaksa, dan untuk mengikuti Adrian untuk mengetahui di mana tempat tinggal mereka pun, jelas tidak bisa. A Ya yang kini mulai tertidur di pelukannya, harus segera dibawa pulang. Ditambah gelap mulai menjelang, dia hanya bisa memandang kepergian Adrian tanpa bisa mengejar. 'Tuhan, kami sudah Kau pertemukan, namun dengan cepat kembali Kau pisahkan. Ini semakin sulit untukku. Aku tahu dia ada, tapi tetap tak bisa berbicara. Honey, sungguh kamu tega. Tak rindukah kamu padaku sedikit saja?' Kim berbalik melawan arah dengan jalan yang Adrian ambil, mobilnya terparkir di sana, sedang jelas Adrian menuju terminal bus untuk pulang. Kim tidak bisa melupakan sorot kaget dan kecewa pada mata Cahaya tadi. Satu yang terekam dengan jelas di ingatan Kim, Cahaya-nya semakin cantik saja. Semakin dewasa, dan tentunya itu semakin membuatnya mencinta. Boleh Kim berharap Cahaya memang masih sendiri sa
Lagi Hana menggeleng, senyuman Kim yang melebar menularinya, dia semakin yakin dengan apa yang tadi sempat menjadi sangkaannya. Bahwa Kim sudah bertemu dengan Cahaya. 'Semoga.'"Aku … bertemu dengan Cahaya, Mama! Kami bertemu tadi di pusat kota Yong- In!" Kim mengatakan dengan nada suara yang begitu menunjukan kebahagiaannya kini. Mata Hana membulat, tangannya menutup mulut tak percaya. Walau tadi sudah bisa menebak, tetap saja saat berita itu sampai di rungunya, Hana kaget juga. "Sungguh? kamu tidak salah mengenali orang kan, Sayang?!" tanya Hana ingin memastikan, dia tidak ingin Kim salah lihat, bisa saja yang dilihatnya itu bukan Cahaya. "Tidak, Mama, itu beneran Cahaya. Cahaya Kamila. Gadis yang sangat aku cintai. Kekasihku, Mama!" seru Kim sambil mengguncang tangan Hana, agar ibunya itu percaya dengan apa yang dikatakannya. "Bahkan kami sempat saling bicara. Dia juga mengenali aku, dia mengenalku, Ma!" Kim semakin antusias bercerita. Hana mengangguk, kalau seperti itu pengak