Mereka menepi dari depan toko."Cahaya mana?" tanya Kim tak membuang waktu, matanya liar mencari sosok yang tadi begitu jelas di depan mata, namun sekarang entah kemana Cahaya pergi."Cahaya? Jadi kalian sudah bertemu?" tanya Adrian yang belum bisa meredakan kekagetannya, ditambah dengan berita lain kalau dua orang yang pernah punya cerita di masa lalu, ternyata sudah terlebih dulu bertemu."Iya, sudah. Mana dia, Yan? Mana Cahaya?" tanya Kim tak sabar. "Siapa dia, Hyong?" Adrian malah bertanya tentang A Ya. Dan itu membuat Kim kembali terhempas tentang kenyataan hidupnya.Melihat pada A Ya yang kini kembali mengkerut melihat orang baru, Kim mengusap sayang kepala anaknya, melabuhkan kecupan penuh cinta, juga lagi kata maaf dalam dada."Ini anakku, Yan. A Ya."Ada kebanggaan dalam hati Kim, begitu menyebut mana anaknya yang selalu mengingatkan dia pada sosok Cahaya. Dia harus berterima kasih pada almarhum istrinya yang sudah mengusulkan nama itu, karena setidaknya dia masih memiliki A
Kim pasrah saat Adrian memilih berkata tidak, saat dia meminta nomor ponsel Cahaya. Dia tentu tak bisa memaksa, dan untuk mengikuti Adrian untuk mengetahui di mana tempat tinggal mereka pun, jelas tidak bisa. A Ya yang kini mulai tertidur di pelukannya, harus segera dibawa pulang. Ditambah gelap mulai menjelang, dia hanya bisa memandang kepergian Adrian tanpa bisa mengejar. 'Tuhan, kami sudah Kau pertemukan, namun dengan cepat kembali Kau pisahkan. Ini semakin sulit untukku. Aku tahu dia ada, tapi tetap tak bisa berbicara. Honey, sungguh kamu tega. Tak rindukah kamu padaku sedikit saja?' Kim berbalik melawan arah dengan jalan yang Adrian ambil, mobilnya terparkir di sana, sedang jelas Adrian menuju terminal bus untuk pulang. Kim tidak bisa melupakan sorot kaget dan kecewa pada mata Cahaya tadi. Satu yang terekam dengan jelas di ingatan Kim, Cahaya-nya semakin cantik saja. Semakin dewasa, dan tentunya itu semakin membuatnya mencinta. Boleh Kim berharap Cahaya memang masih sendiri sa
Lagi Hana menggeleng, senyuman Kim yang melebar menularinya, dia semakin yakin dengan apa yang tadi sempat menjadi sangkaannya. Bahwa Kim sudah bertemu dengan Cahaya. 'Semoga.'"Aku … bertemu dengan Cahaya, Mama! Kami bertemu tadi di pusat kota Yong- In!" Kim mengatakan dengan nada suara yang begitu menunjukan kebahagiaannya kini. Mata Hana membulat, tangannya menutup mulut tak percaya. Walau tadi sudah bisa menebak, tetap saja saat berita itu sampai di rungunya, Hana kaget juga. "Sungguh? kamu tidak salah mengenali orang kan, Sayang?!" tanya Hana ingin memastikan, dia tidak ingin Kim salah lihat, bisa saja yang dilihatnya itu bukan Cahaya. "Tidak, Mama, itu beneran Cahaya. Cahaya Kamila. Gadis yang sangat aku cintai. Kekasihku, Mama!" seru Kim sambil mengguncang tangan Hana, agar ibunya itu percaya dengan apa yang dikatakannya. "Bahkan kami sempat saling bicara. Dia juga mengenali aku, dia mengenalku, Ma!" Kim semakin antusias bercerita. Hana mengangguk, kalau seperti itu pengak
Meninggalkan Kim dengan semua pemikirannya. Taksi yang ditumpangi Cahaya melaju lambat, jam pulang kerja membuat laju kendaraan itu sedikit tersendat. Gadis itu terus berusaha menenangkan diri, hatinya yang pasti. Saat ini dia ingin menumpahkan kekesalan juga kekecewaan, yang begitu menyesakan dada.Ternyata pertemuan dengan Kim sangat berpengaruh padanya, dia yang mengira akan kuat saat keadaan membawa mereka kembali temu muka, ternyata salah duga. Dia lemah, bahkan jelas luka itu terasa mengerat dalam dada. Dalam dan perih.Penantian penuh harapan yang sudah dia lakukan, ternyata berbuah kenyataan kalau dia memang tak sebesar itu diharapkan. Dia tak pernah diinginkan dengan benar, hanya sekedar kata cinta yang diucapkan berulang, tapi tak layak untuk disanding di pelaminan.Pedih. Dia merana menanti, sedang sang pujaan mereguk manis madu pernikahan, hingga lahir seorang anak yang begitu sangat menggemaskan. Lalu, kenapa juga harus nama dia yang dipakai?Apa dengan cara seperti itu
Adrian menelisik wajah Cahaya, dia sangat yakin gadis yang masih sangat dicintainya itu telah menangis. Dia sangat paham dengan apa yang Cahaya rasakan, mencintai tapi tak bisa memiliki. Karena seperti itulah perasaannya juga sampai saat ini pada Cahaya. Mencintai, tanpa bisa memiliki. "Kamu tak ingin cerita padaku, Ya?" Adrian mencoba mengorek kejujuran Cahaya, berharap gadis itu berkata jujur padanya, seperti biasa. "Aku tidak memiliki kabar apapun untuk bercerita, Yan. Aku hanya pusing dan ingin istirahat. Itu saja, Yan." Cahaya menyangkal. "Sepusing itukah hingga kamu sampai menangis?" todong Adrian tepat sasaran. Cahaya membuang pandangan, tak ingin apa yang baru saja terjadi dia bagikan pada Adrian. Tak ingin sahabatnya itu tahu, kalau dia baru saja bertemu dengan seseorang di masa lalu, seseorang yang sudah diketahui semua orang dia tunggu, namun akhirnya hanya memberinya harapan palsu. "Dengan tidur aku yakin akan segera membaik kok, Yan. Kamu jangan khawatir." Cahaya te
Senyuman coba diulas Cahaya saat wajah Raja tertampang di layar ponselnya, dia mencoba bersikap kalau dia baik-baik saja, namun mata sembabnya jelas tidak bisa disembunyikan. Waktu menunjukan jam sembilan malam waktu Korea, dua jam lebih cepat dari waktu Indonesia, sengaja Raja menelepon sebelum cahaya pergi kerja shift malam. "Kamu baik-baik saja kan, Sayang? Matanya terlihat sembab gitu, kamu habis nangis, ya?" selidik Raja menatap tajam pada wajah kekasih pujaan. Cahaya tertawa pelan, mengusap matanya agar sembab imbas tangis yang cukup lama dia curahkan, tangis yang jelas ditujukan atas kekecewaan pada ketidakberuntungan yang didapatkan. Dia lupa, kalau keberuntungannya adalah orang yang kini tengah khawatir di depan matanya, meski hanya gambarnya saja. "Aku baik, Sayang. Ini itu … karena tadi aku merasa kangen saja sama ambu, jadi nangis tanpa terasa." maaf!Cahaya tahu dia sudah berbohong untuk menutupi kesedihannya, dia tak tahu apa yang akan Raja rasakan, saat dia mengata
Ketiganya berjalan menuju ke halte untuk menunggu bis jemputan, malam yang perlahan mengantarkan setiap orang ke perpaduan, tidak berlaku untuk Cahaya, Adrian, dan Andri yang malah keluar untuk tetap bekerja. Hembusan angin malam di awal musim dingin itu, membuat Cahaya semakin merapatkan jaketnya. Rambutnya dibiarkan tergerai untuk menghalau dingin yang menyapa leher, tangannya berbalut sarung tangan hadiah yang Kim berikan dulu, bahkan jaket yang erat memeluknya menghindari cuaca pun, adalah pemberian Kim. Bukan maksud Cahaya sengaja menggunakan semua pemberian Kim untuk mengulang nostalgia, hanya saja dia memanfaatkan barangnya yang dulu dan masih layak pakai. Tadinya dia bingung hendak di kemana kan jaket-jaket tebal itu. Tapi ternyata dengan menyimpannya, justru jaket itu kembali dipakainya di negara yang sama. Adrian terus memperhatikan Cahaya, sejak dia bersama Andri menunggu Cahaya keluar apartemen untuk pergi bersama, gadis itu terlihat tak ingin menatapnya, seakan dengan m
Cahaya membuktikan omongannya untuk menjadi guide bagi Andri dan Adrian. Dia berjalan paling depan, saat meniti satu persatu anak tangga menuju ke atas bukit, di mana benteng yang akan menjadi tujuan mereka berada. Matahari yang semakin naik, membuat udara tidak terlalu dingin menggigit, bahkan dari atas benteng menjadikan terasa hangat di kulit. Adrian dan Andri terlihat begitu menikmati pendakian mereka sekarang, apalagi saat mencapai puncak mereka bisa dengan jelas bisa melihat keindahan kota Suwon, yang dikelilingi oleh benteng yang sudah berusia ratusan tahun tersebut. Cahaya seakan baru tersadar, kalau di tempat yang kini kembali dia datangi, benteng ini adalah tempat pertama yang dia dan Kim kunjungi dulu. Bahkan di tempatnya berdiri sekarang ini, adalah tempat di mana dia dan Kim saling berpelukan menirukan salah satu adegan dalam film Titanic, dengan penuh pengkhayatan. Kelebat kebersamaannya dengan Kim seakan diputar ulang, senyum bahagia mereka, kecupan Kim di pipinya ya