Kim pasrah saat Adrian memilih berkata tidak, saat dia meminta nomor ponsel Cahaya. Dia tentu tak bisa memaksa, dan untuk mengikuti Adrian untuk mengetahui di mana tempat tinggal mereka pun, jelas tidak bisa. A Ya yang kini mulai tertidur di pelukannya, harus segera dibawa pulang. Ditambah gelap mulai menjelang, dia hanya bisa memandang kepergian Adrian tanpa bisa mengejar. 'Tuhan, kami sudah Kau pertemukan, namun dengan cepat kembali Kau pisahkan. Ini semakin sulit untukku. Aku tahu dia ada, tapi tetap tak bisa berbicara. Honey, sungguh kamu tega. Tak rindukah kamu padaku sedikit saja?' Kim berbalik melawan arah dengan jalan yang Adrian ambil, mobilnya terparkir di sana, sedang jelas Adrian menuju terminal bus untuk pulang. Kim tidak bisa melupakan sorot kaget dan kecewa pada mata Cahaya tadi. Satu yang terekam dengan jelas di ingatan Kim, Cahaya-nya semakin cantik saja. Semakin dewasa, dan tentunya itu semakin membuatnya mencinta. Boleh Kim berharap Cahaya memang masih sendiri sa
Lagi Hana menggeleng, senyuman Kim yang melebar menularinya, dia semakin yakin dengan apa yang tadi sempat menjadi sangkaannya. Bahwa Kim sudah bertemu dengan Cahaya. 'Semoga.'"Aku … bertemu dengan Cahaya, Mama! Kami bertemu tadi di pusat kota Yong- In!" Kim mengatakan dengan nada suara yang begitu menunjukan kebahagiaannya kini. Mata Hana membulat, tangannya menutup mulut tak percaya. Walau tadi sudah bisa menebak, tetap saja saat berita itu sampai di rungunya, Hana kaget juga. "Sungguh? kamu tidak salah mengenali orang kan, Sayang?!" tanya Hana ingin memastikan, dia tidak ingin Kim salah lihat, bisa saja yang dilihatnya itu bukan Cahaya. "Tidak, Mama, itu beneran Cahaya. Cahaya Kamila. Gadis yang sangat aku cintai. Kekasihku, Mama!" seru Kim sambil mengguncang tangan Hana, agar ibunya itu percaya dengan apa yang dikatakannya. "Bahkan kami sempat saling bicara. Dia juga mengenali aku, dia mengenalku, Ma!" Kim semakin antusias bercerita. Hana mengangguk, kalau seperti itu pengak
Meninggalkan Kim dengan semua pemikirannya. Taksi yang ditumpangi Cahaya melaju lambat, jam pulang kerja membuat laju kendaraan itu sedikit tersendat. Gadis itu terus berusaha menenangkan diri, hatinya yang pasti. Saat ini dia ingin menumpahkan kekesalan juga kekecewaan, yang begitu menyesakan dada.Ternyata pertemuan dengan Kim sangat berpengaruh padanya, dia yang mengira akan kuat saat keadaan membawa mereka kembali temu muka, ternyata salah duga. Dia lemah, bahkan jelas luka itu terasa mengerat dalam dada. Dalam dan perih.Penantian penuh harapan yang sudah dia lakukan, ternyata berbuah kenyataan kalau dia memang tak sebesar itu diharapkan. Dia tak pernah diinginkan dengan benar, hanya sekedar kata cinta yang diucapkan berulang, tapi tak layak untuk disanding di pelaminan.Pedih. Dia merana menanti, sedang sang pujaan mereguk manis madu pernikahan, hingga lahir seorang anak yang begitu sangat menggemaskan. Lalu, kenapa juga harus nama dia yang dipakai?Apa dengan cara seperti itu
Adrian menelisik wajah Cahaya, dia sangat yakin gadis yang masih sangat dicintainya itu telah menangis. Dia sangat paham dengan apa yang Cahaya rasakan, mencintai tapi tak bisa memiliki. Karena seperti itulah perasaannya juga sampai saat ini pada Cahaya. Mencintai, tanpa bisa memiliki. "Kamu tak ingin cerita padaku, Ya?" Adrian mencoba mengorek kejujuran Cahaya, berharap gadis itu berkata jujur padanya, seperti biasa. "Aku tidak memiliki kabar apapun untuk bercerita, Yan. Aku hanya pusing dan ingin istirahat. Itu saja, Yan." Cahaya menyangkal. "Sepusing itukah hingga kamu sampai menangis?" todong Adrian tepat sasaran. Cahaya membuang pandangan, tak ingin apa yang baru saja terjadi dia bagikan pada Adrian. Tak ingin sahabatnya itu tahu, kalau dia baru saja bertemu dengan seseorang di masa lalu, seseorang yang sudah diketahui semua orang dia tunggu, namun akhirnya hanya memberinya harapan palsu. "Dengan tidur aku yakin akan segera membaik kok, Yan. Kamu jangan khawatir." Cahaya te
Senyuman coba diulas Cahaya saat wajah Raja tertampang di layar ponselnya, dia mencoba bersikap kalau dia baik-baik saja, namun mata sembabnya jelas tidak bisa disembunyikan. Waktu menunjukan jam sembilan malam waktu Korea, dua jam lebih cepat dari waktu Indonesia, sengaja Raja menelepon sebelum cahaya pergi kerja shift malam. "Kamu baik-baik saja kan, Sayang? Matanya terlihat sembab gitu, kamu habis nangis, ya?" selidik Raja menatap tajam pada wajah kekasih pujaan. Cahaya tertawa pelan, mengusap matanya agar sembab imbas tangis yang cukup lama dia curahkan, tangis yang jelas ditujukan atas kekecewaan pada ketidakberuntungan yang didapatkan. Dia lupa, kalau keberuntungannya adalah orang yang kini tengah khawatir di depan matanya, meski hanya gambarnya saja. "Aku baik, Sayang. Ini itu … karena tadi aku merasa kangen saja sama ambu, jadi nangis tanpa terasa." maaf!Cahaya tahu dia sudah berbohong untuk menutupi kesedihannya, dia tak tahu apa yang akan Raja rasakan, saat dia mengata
Ketiganya berjalan menuju ke halte untuk menunggu bis jemputan, malam yang perlahan mengantarkan setiap orang ke perpaduan, tidak berlaku untuk Cahaya, Adrian, dan Andri yang malah keluar untuk tetap bekerja. Hembusan angin malam di awal musim dingin itu, membuat Cahaya semakin merapatkan jaketnya. Rambutnya dibiarkan tergerai untuk menghalau dingin yang menyapa leher, tangannya berbalut sarung tangan hadiah yang Kim berikan dulu, bahkan jaket yang erat memeluknya menghindari cuaca pun, adalah pemberian Kim. Bukan maksud Cahaya sengaja menggunakan semua pemberian Kim untuk mengulang nostalgia, hanya saja dia memanfaatkan barangnya yang dulu dan masih layak pakai. Tadinya dia bingung hendak di kemana kan jaket-jaket tebal itu. Tapi ternyata dengan menyimpannya, justru jaket itu kembali dipakainya di negara yang sama. Adrian terus memperhatikan Cahaya, sejak dia bersama Andri menunggu Cahaya keluar apartemen untuk pergi bersama, gadis itu terlihat tak ingin menatapnya, seakan dengan m
Cahaya membuktikan omongannya untuk menjadi guide bagi Andri dan Adrian. Dia berjalan paling depan, saat meniti satu persatu anak tangga menuju ke atas bukit, di mana benteng yang akan menjadi tujuan mereka berada. Matahari yang semakin naik, membuat udara tidak terlalu dingin menggigit, bahkan dari atas benteng menjadikan terasa hangat di kulit. Adrian dan Andri terlihat begitu menikmati pendakian mereka sekarang, apalagi saat mencapai puncak mereka bisa dengan jelas bisa melihat keindahan kota Suwon, yang dikelilingi oleh benteng yang sudah berusia ratusan tahun tersebut. Cahaya seakan baru tersadar, kalau di tempat yang kini kembali dia datangi, benteng ini adalah tempat pertama yang dia dan Kim kunjungi dulu. Bahkan di tempatnya berdiri sekarang ini, adalah tempat di mana dia dan Kim saling berpelukan menirukan salah satu adegan dalam film Titanic, dengan penuh pengkhayatan. Kelebat kebersamaannya dengan Kim seakan diputar ulang, senyum bahagia mereka, kecupan Kim di pipinya ya
"Deal! Pas gajian biar aku yang traktir kalian dulu, setelahnya kamu, Dri!" usul adrian yang mendapat anggukan Cahaya dan Andri. "Ok, siapa takut," jawab Andri yakin. "Nggak ganggu jatah lahiran Alya kan?!" tanya Adrian yang mengingat tentunya Andri sekarang ini sedang mengumpulkan uang, untuk biaya persalinan istrinya. "Nggak, tenang aja. Orang aku cuma mau traktir kalian seribu won doang perorangnya." Andri menjawab tanpa tahu malu, yang langsung disambut tawa juga tepukan di tangannya oleh cahaya. "Dasar pelit!" "Iya, calon bapak nggak boleh pelit, biar rezekinya banyak." Mereka tidak menyadari ada sepasang mata yang terus mengawasi. Lelaki itu terus menatap tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Walaupun sudah empat tahun berlalu, tapi dia masih dengan jelas mengingat wajah itu. Wajah yang sudah membuat anaknya tak bisa berpaling walau dia sudah menjodohkannya dengan wanita lain. Wajah yang sering dilihatnya sekarang ini, dalam photo di meja kerja anak semata wayangnya. Di
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe