Senyuman coba diulas Cahaya saat wajah Raja tertampang di layar ponselnya, dia mencoba bersikap kalau dia baik-baik saja, namun mata sembabnya jelas tidak bisa disembunyikan. Waktu menunjukan jam sembilan malam waktu Korea, dua jam lebih cepat dari waktu Indonesia, sengaja Raja menelepon sebelum cahaya pergi kerja shift malam. "Kamu baik-baik saja kan, Sayang? Matanya terlihat sembab gitu, kamu habis nangis, ya?" selidik Raja menatap tajam pada wajah kekasih pujaan. Cahaya tertawa pelan, mengusap matanya agar sembab imbas tangis yang cukup lama dia curahkan, tangis yang jelas ditujukan atas kekecewaan pada ketidakberuntungan yang didapatkan. Dia lupa, kalau keberuntungannya adalah orang yang kini tengah khawatir di depan matanya, meski hanya gambarnya saja. "Aku baik, Sayang. Ini itu … karena tadi aku merasa kangen saja sama ambu, jadi nangis tanpa terasa." maaf!Cahaya tahu dia sudah berbohong untuk menutupi kesedihannya, dia tak tahu apa yang akan Raja rasakan, saat dia mengata
Ketiganya berjalan menuju ke halte untuk menunggu bis jemputan, malam yang perlahan mengantarkan setiap orang ke perpaduan, tidak berlaku untuk Cahaya, Adrian, dan Andri yang malah keluar untuk tetap bekerja. Hembusan angin malam di awal musim dingin itu, membuat Cahaya semakin merapatkan jaketnya. Rambutnya dibiarkan tergerai untuk menghalau dingin yang menyapa leher, tangannya berbalut sarung tangan hadiah yang Kim berikan dulu, bahkan jaket yang erat memeluknya menghindari cuaca pun, adalah pemberian Kim. Bukan maksud Cahaya sengaja menggunakan semua pemberian Kim untuk mengulang nostalgia, hanya saja dia memanfaatkan barangnya yang dulu dan masih layak pakai. Tadinya dia bingung hendak di kemana kan jaket-jaket tebal itu. Tapi ternyata dengan menyimpannya, justru jaket itu kembali dipakainya di negara yang sama. Adrian terus memperhatikan Cahaya, sejak dia bersama Andri menunggu Cahaya keluar apartemen untuk pergi bersama, gadis itu terlihat tak ingin menatapnya, seakan dengan m
Cahaya membuktikan omongannya untuk menjadi guide bagi Andri dan Adrian. Dia berjalan paling depan, saat meniti satu persatu anak tangga menuju ke atas bukit, di mana benteng yang akan menjadi tujuan mereka berada. Matahari yang semakin naik, membuat udara tidak terlalu dingin menggigit, bahkan dari atas benteng menjadikan terasa hangat di kulit. Adrian dan Andri terlihat begitu menikmati pendakian mereka sekarang, apalagi saat mencapai puncak mereka bisa dengan jelas bisa melihat keindahan kota Suwon, yang dikelilingi oleh benteng yang sudah berusia ratusan tahun tersebut. Cahaya seakan baru tersadar, kalau di tempat yang kini kembali dia datangi, benteng ini adalah tempat pertama yang dia dan Kim kunjungi dulu. Bahkan di tempatnya berdiri sekarang ini, adalah tempat di mana dia dan Kim saling berpelukan menirukan salah satu adegan dalam film Titanic, dengan penuh pengkhayatan. Kelebat kebersamaannya dengan Kim seakan diputar ulang, senyum bahagia mereka, kecupan Kim di pipinya ya
"Deal! Pas gajian biar aku yang traktir kalian dulu, setelahnya kamu, Dri!" usul adrian yang mendapat anggukan Cahaya dan Andri. "Ok, siapa takut," jawab Andri yakin. "Nggak ganggu jatah lahiran Alya kan?!" tanya Adrian yang mengingat tentunya Andri sekarang ini sedang mengumpulkan uang, untuk biaya persalinan istrinya. "Nggak, tenang aja. Orang aku cuma mau traktir kalian seribu won doang perorangnya." Andri menjawab tanpa tahu malu, yang langsung disambut tawa juga tepukan di tangannya oleh cahaya. "Dasar pelit!" "Iya, calon bapak nggak boleh pelit, biar rezekinya banyak." Mereka tidak menyadari ada sepasang mata yang terus mengawasi. Lelaki itu terus menatap tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Walaupun sudah empat tahun berlalu, tapi dia masih dengan jelas mengingat wajah itu. Wajah yang sudah membuat anaknya tak bisa berpaling walau dia sudah menjodohkannya dengan wanita lain. Wajah yang sering dilihatnya sekarang ini, dalam photo di meja kerja anak semata wayangnya. Di
Cahaya terbangun saat dia merasakan kedinginan yang sangat. Menoleh penuh keterkejutan, saat menyadari dia tertidur di depan TV dengan pintu balkon yang terbuka, Cahaya merasakan kepalanya pusing. Tadinya dia berniat menunggu Raja membalas pesannya sambil menunggu cucian bajunya beres, tapi rasa lelah juga kantuk, ternyata membuatnya tertidur begitu saja dalam waktu yang cukup lama. Ini murni kesalahannya, membiarkan pintu balkon terbuka, dan membuat udara dingin dengan leluasa masuk, hingga dia menggigil kedinginan dalam waktu yang lama. Cahaya yakin dia sakit sekarang, tubuhnya memang sangat lemah dengan udara dingin, dan sekitar dua jam dia tertidur di ruang terbuka. Siapa yang akan merawatnya sekarang? Kemarin dia telat makan, sekarang kedinginan. Baru saja Raja mengingatkan dia agar tidak sakit, malah sekarang dia sakit beneran. Dia ingin menangis. Kalau dulu ada Kim yang rela hati menunggu dan merawatnya saat sakit, lalu kini siapa yang akan melakukannya? Memaksakan diri un
Raja dibuat panik setelah mendengar pesan suara yang dikirim istrinya, apalagi setelah itu Cahaya tidak bisa dihubungi, dia memang tidak fokus pegang ponsel karena banyaknya saudara, dan kerabat Hadi yang datang untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya Rosita. Belum lagi keluarganya juga ikut datang ke rumah Hadi, hingga saat acara selesai selepas magrib, dia baru bisa melihat lagi ponselnya. "Kenapa, A?" tanya Mukta saat melihat Raja gelisah dengan terus menatap ponsel."Cahaya sakit, Umm. Hp-nya sekarang malah tidak bisa dihubungi." Raja menjawab dengan wajah terlihat bingung. "Cahaya sakit? Sejak kapan? Bukannya tadi waktu kamu minta kita photo rame-rame, Cahaya baik-baik saja?" Mukta juga tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir, saat mendengar menantunya yang jatuh sakit. Siapa yang akan merawat Cahaya kalau benar gadis itu sakit sekarang? Apalagi di apartemen sendirian, walaupun ada teman yang berbeda unit, tetap saja tidak akan bisa merawat dengan baik, dan mereka lak
"Ummi ngomong apa, sih?" Raja memalingkan muka menghindari tatapan menyelidik Mukta. "Ya Ummi kan nanya, kalian sudah melakukan itu kan?" "Ummi …." "Ummi bukannya ingin tahu, hanya menebak saja, kalau memang yang menyebabkan Cahaya sakit karena ngidam, alasan kamu untuk membawa istri kamu pulang bisa kuat, A." Raja terdiam, tidak ada salahnya kalau dia jujur pada Mukta, kalau sampai saat ini dia belum melepas keperjakaannya. "Kami belum melakukan itu, Umm." Raja menahan rasa malu saat mengakui itu. "Hah?! Serius, A? Terus waktu itu kalian ngapain aja di hotel? Atau Cahaya tengah datang bulan?" Mukta malah semakin ingin tahu, dan Raja menyesali sudah jujur. "Kan … Ummi jadi pengen tahu rahasia ranjang anaknya." Raja tertawa pelan, rasa canggungnya berubah jadi ingin menggoda Mukta. "Ya bukan gitu juga, kalian kan saling mencintai, kenapa nggak langsung melakukan itu saat malam pertama? Apa kalian mengulang berkenalan lagi?" "Udah ah, Raja jadi malu bahas begituan sama Ummi. Do
Choi segera meluncur ke apartemen Cahaya setelah mendapatkan kabar dari Adrian dan Andri, kalau gadis yang diam-diam telah mengisi hatinya itu sakit. Dia juga sudah curiga ada yang tidak beres dengan cahaya, saat melewati tempat kerja Cahaya, gadis itu tidak ada. Kecurigaannya berubah jadi kekhawatiran, saat kedua sahabat Cahaya mengatakan tentang kondisi yang sebenarnya. Choi sesekali menggerutu, saat kepadatan lalu lintas menjelang siang itu sedikit tersendat, hingga waktu yang diharapkan bisa cepat mengantarnya sampai ditujuan, ternyata harus lebih lama di jalan. Begitu selesai memarkirkan kendaraannya, Choi setengah berlari menuju lantai dua di mana unit apartemen Cahaya berada. Dengan hati yang semakin diliputi rasa khawatir, Choi menunggu Cahaya membuka pintu setelah beberapa kali menekan bel. Dia juga kesal dan heran, kenapa karyawan lain yang katanya akan datang menyusul, belum juga bisa datang? Setidaknya saat ada teman satu apartemen, Cahaya akan ada yang menemani di saat