Kim memasukan semua bajunya ke koper, setelah mengetahui kalau gadis tercintanya kini berada di Korea, lelaki itu sudah tidak bisa menahan diri untuk segera bertemu. Beberapa tahun lalu, bahkan beberapa hari lalu, dia begitu ingin meninggalkan Korea dan pergi ke Indonesia, kini dia begitu menginginkan segera kembali ke tanah kelahirannya. Dia sudah menahan diri untuk tidak langsung kembali ke negaranya begitu mendapat kabar dari Rosita, itupun karena A Ya yang mendadak tidak mau jauh darinya. Insting gadis kecil itu seakan tahu, kalau sebentar lagi perhatian ayahnya akan terbagi dengan seseorang yang begitu ayahnya cintai. Atau mungkin, perasaan cemburu Su Ni yang terwakilkan oleh kegelisahan A Ya. Kim tersenyum pada Hana yang memasuki kamar, di gendongannya A Ya terlihat tenang, tapi begitu melihat Kim dia langsung rewel minta perhatian. Tangannya terangkat menggapai udara meminta Kim menggendongnya. "Appa!"Menghentikan aktivitasnya, Kim segera mengambil A Ya dari Hana. "Kenapa? A
"Tapi itu yang sebenarnya, Ma. Kenyataannya memang seperti itu, aku hanya boneka yang bebas dimainkan oleh appa. Mengikuti semua keinginan appa, tanpa boleh menentukan apa yang terbaik untuk hidup aku sendiri. Aku--""Young Jin! Tidak baik kamu berkata seperti itu! Apa kamu juga merasa, kalau kehadiran A Ya juga suatu kesalahan?""Iya! Jelas dia satu kesalahan, Ma! Dia tidak akan pernah ada, kalau Su Ni tidak melakukan hal gila seperti itu! A Ya tidak akan ada, kalau Su Ni tidak menjebak aku, Ma! Tidak akan!" Kim berteriak melepas kekesalan yang selama ini selalu dia tahan. Topeng kalau dia terlihat kuat dan baik-baik saja yang selama ini dipakainya, lepas sudah. Dia menunjukkan sisi rapuhnya, kekecewaannya, penyesalan, dan juga sakit hati atas tindakan Young Nam yang sangat egois atas hidupnya. Dia diperlakukan ayahnya seperti tidak memiliki perasaan saja, harus patuh, dan menuruti apapun yang diputuskan, tanpa sedikit pun boleh mengungkapkan pendapat. Apalagi menentukan apa yang b
Cahaya hanya bisa menangis tersedu, beberapa saat lalu Hadi menghubungi, dan menyampaikan berita yang langsung menyesakan dada. Seseorang yang bahkan tidak sempat Cahaya temui lagi, telah pergi untuk selamanya. Seseorang yang begitu dia sayang, telah berpulang tanpa sempat dia pandang. Kejam. Cahaya merasa semua orang sudah berbuat kejam padanya. Semua. Tidak ayahnya, Binar, bahkan Raja sekalipun. Kenapa semua orang tega, bahkan dengan sengaja menyembunyikan kebenaran itu darinya? Apa dia tidak memiliki hak untuk melihat wajah sang ibu untuk terakhir kalinya? Meski itu hanya lewat sambungan telepon? Bahkan suaminya, dia bertindak seakan tidak ada kejadian luar biasa menyedihkan yang sedang terjadi, dengan mengirim pesan seperti biasa tanpa mengungkit sedikitpun tentang kepergian Rosita. Lirih, Cahaya terus memanggil nama sang ibu. Merasakan penyesalan yang begitu besar, karena tidak menemui Rosita terlebih dahulu, saat dia akan pergi ke hotel hari Minggu lalu. Andai saja dia meno
Adrian mengangguk, mengingat lagi kedekatannya dengan Cahaya di awal mereka berjumpa. Tempat kerja yang sama, seringnya menghabiskan waktu bersama, sehingga menumbuhkan perasaan berbeda di hatinya, pada sosok gadis yang kini telah menjadi milik seseorang. Namun jelas hanya dia saja yang memiliki rasa, karena bagi Cahaya hanya ada Kim saat itu yang bertahta saat itu, bahkan Raja pun jelas tak bisa memilikinya. Adrian menjadi saksi bagaimana cinta bersemi di antara Raja dan Cahaya, berganti dengan terungkapnya cinta terpendam antara Kim dan Cahaya, perselingkuhan, hingga kandasnya kisah cinta Raja karena tidak mampu menggeser pesona Kim dalam pandangan Cahaya, yang memang sudah mencintai Kim lebih dulu. Lalu apa artinya perasaan yang tumbuh dalam hati Adrian kala itu untuk Cahaya? Tak ada sama sekali. Karena Adrian pun sadar diri, tak mungkin dia bersaing dengan kedua lelaki yang jauh di atasnya. Bukan hanya pesona, tapi dalam segalanya. Dia hanya desauan angin yang berhembus untuk s
Sementara itu, dari jarak yang tidak terlalu jauh dari apartemen Cahaya, lelaki itu baru saja keluar dari PC miliknya, waktu yang dihabiskan untuk memeriksa semua hasil kerja karyawan selama dia pergi, membuatnya lelah.Memasuki mobilnya, dia menghempaskan punggung di kursi belakang kemudi. Tubuhnya lelah, namun ada harapan yang sejak kembali dari negeri kelahiran sang mama, membuatnya harus tetap semangat mencari. Iya, mencari keberadaan sang pujaan hati yang ada di bumi yang sama dengannya kini. Tapi kemana dia harus mencari? Dia sudah kehilangan kontak dengan temannya dulu saat bekerja, dan tidak mungkin juga dia mendatangi perusahaannya dulu, untuk sekedar menanyakan tentang karyawan dari Indonesia, yang tentunya belum tentu ada di sana. Karena perusahaan itu jelas sudah pindah ke Indonesia, yang artinya semua yang di kantor pusat bukan temannya yang dulu. Menghembuskan napas panjang, Kim menatap photo Cahaya yang dia gantung di spion tengah. Sejak restu dari Young Nam dia kanto
Hadi menghampiri Raja yang datang untuk ikut tahlilan 7 hari meninggalnya Rosita, dia sengaja melarang Raja untuk terus pulang pergi agar selalu bisa mengikuti tahlilan untuk istrinya itu. Jarak yang lumayan jauh antara tempat kerja dan rumahnya, membuat Hadi kasihan dan tidak mau menantunya kecapean. Apalagi mendengar kalau anaknya sengaja mendiamkan Raja, karena marah dia meminta Raja tidak memberi tahu tentang kematian Rosita pada Cahaya. Raja tersenyum menghampiri, mengambil tangan Hadi menyalaminya penuh rasa hormat. "Sehat, Pak? Kemana Binar?" "Alhamdulillah, sehat. Binar ke masjid, untuk tahlilan hari ini dialihkan ke masjid saja, biar tidak begitu capek beberesnya. Masuk, A." "Maaf, Khadi tidak bisa ke sini, Farhat ada acara yang mengharuskan Khadi ikut.""Tidak apa. Lagi pula kasian, neng Khadi sedang hamil besar."Hadi mengajak Raja masuk, rumahnya yang semakin sepi setelah kepergian kedua perempuan penghuninya, terasa sangat menyedihkan untuk Hadi. Photo keluarga baru s
Waktu berjalan cepat. Tak terasa sebulan sudah dilewati tanpa ada kendala yang berarti. Selain perasaan rindu yang membelenggu, pada sosok yang setiap malam menemaninya, walau hanya lewat layar semata. Puas dengan saling bertukar kabar dan canda mesra, mengungkap tentang perasaan yang harus rela dipisah keadaan yang memaksa. Choi yang sesekali masih saja mencoba tebar pesona, walau jelas ditanggapi biasa oleh Cahaya. Juga Adrian yang mendadak sangat possesif, menjaga dan melindungi Cahaya dari jerat lelaki, yang selalu saja mengingatkan gadis itu pada sosok masa lalunya. Iya, kadang terbersit dalam benak Cahaya tentang bagaimana sikapnya saat bertemu Kim satu hari nanti. Harus marah? Bahagia? Atau mengabaikan begitu saja seolah tidak mengenalnya? Entahlah, Cahaya hanya berharap andai saat itu benar terjadi, dia sanggup mengangkat kepala, dan tersenyum saja pada lelaki masa lalunya itu. Tak ingin menyimpan dendam atau sesal, atas kandas Cinta yang tak menemukan akhir kata bahagia.
Gadis kecil itu terus berlarian. Sesekali dia bersembunyi di balik etalase toko. Terkikik sendiri, membayangkan seseorang yang kini tengah gelisah mencari. Sayup rungunya masih mendengar suara sang ayah memanggil namanya, namun dengan gemas sendiri, dia semakin menyembunyikan tubuhnya di sana."A Ya?! Kamu di mana?"Si kecil kembali terkikik, menutup mulutnya sendiri seakan takut kalau yang memanggilnya, akan segera menemukan dia.Selama ini dia jarang bisa bersama dengan sang ayah, saat waktu itu tiba dia tak ingin membuang percuma. Ayahnya harus mau bermain sampai dia puas.Kim mengedarkan pandangan, mencari A Ya yang dia yakin bersembunyi di balik etalase. Senyuman menghias bibirnya, saat dia melihat sosok mungil yang tengah menjadi sasaran bidiknya.Dia biarkan anaknya itu terus menyusup di antara etalase, memanggil namanya tanpa berniat untuk mendekat. Biarkan saja. Toh, dia sudah tau di mana anaknya itu berada."A Ya!" lagi Kim memanggil, dan dia semak gemas saat tubuh mungil A