Seperti yang dikatakan Hana kemarin, hari ini Kim bermaksud mencari alamat rumah Cahaya. Dia memang tidak tahu nama daerah yang tertera dalam kertas yang ditulis Cahaya tiga tahun lalu, dan atas usulan Hana juga Kim pergi dengan kerabatnya yang lain. Sandi jelas tidak bisa mengantar karena harus kerja, awalnya Kim juga berkeras dengan rencananya semula untuk pergi mencari alamat Cahaya diantar Sandi, namun setelah Hana memberikan pengertian agar Kim secepatnya membuktikan, juga menghilangkan keraguan atas semua tanya diri tentang status Cahaya, akhirnya Kim setuju untuk pergi hari ini diantar Tisna. Jalanan yang dilalui Kim pastinya sangat asing, dia yang pernah tinggal di negara sang mama beberapa tahun lamanya, tentu saja belum pernah menuju ke daerah yang kini dia datangi. Sudah dua jam mereka terjebak dalam mobil yang terus melaju membelah jalanan, menyusuri jalan yang akan membawa Kim pada satu jawaban pasti perjalanan cintanya. Bahagia atau justru terpuruk dalam duka. Matahari
"Maaf, Pak? Maksudnya gimana, ya?" Tisna kembali bertanya, hatinya mulai gelisah mendengar perkataan lelaki di depannya. "Iya, kan kemarin Cahaya menikah, pasti Aa saudara suaminya yang terlambat mengetahui tentang pernikahan mereka kan?" lelaki itu memastikan, menatap Tisna dengan curiga, takut salah dalam menyampaikan berita tepatnya. "Ah, ya … saya kerabat suami Cahaya." Tisna akhirnya memilih berbohong, untuk mengetahui kabar selanjutnya, juga mengelabui orang yang sedang dia cari informasi tentang Cahaya. "Iya, masuk saja, A. Nanti ada rumah yang pekarangannya agak luas, itu rumah Cahaya, rumah pak Hadi--ayahnya. Soalnya hanya rumah itu yang pekarangannya lebih luas, dibanding yang lain." Lelaki itu kembali menegaskan. Tisna dengan lesu mengangguk, menahan kecewa atas kebenaran yang baru didengarnya. Dia saja lemas mendengar berita itu, apalagi Kim nanti? Tak terbayangkan bagaimana hancurnya hati Kim, saat kedatangannya terlambat satu hari dengan hari pernikahan Cahaya? Apa
Rosita merasakan hatinya tidak nyaman, gelisah oleh sesuatu yang tidak dipahaminya, bahkan debaran jantungnya berdebar tak menentu, apalagi pikirannya terus terfokus pada Cahaya. Rosita mencoba abai. Menenangkan diri dan hatinya, dengan keyakinan kalau anak sulungnya itu baik-baik saja. Bukankah kini Cahaya sedang bahagia dengan Raja? Menikmati indahnya romansa pengantin baru, apa yang perlu dikhawatirkan? Walaupun dia tidak bertemu lagi dengan Cahaya sebelum gadis itu pergi, tapi Rosita mencoba mengerti keputusan yang dibuat Hadi, kalau mereka tidak sempat bertemu dulu, itu karena Hadi tak ingin dia terganggu saat tidur. Menunggu Epon yang sedang kembali ke rumahnya sebentar, sementara Hadi keluar untuk satu urusan, dan Binar dia minta pergi untuk membeli makanan untuk bekal Cahaya. Rosita duduk di sofa ruang tamu, yang bisa dengan leluasa melihat ke luar rumah. Menatap keluar kaca. Sebuah mobil berhenti di depan pekarangan rumahnya, tak lama kemudian, Rosita bisa melihat seseora
Diam, saat seseorang yang baru saja ditemuinya itu menjelaskan semua, Rosita hanya bisa menatap penuh iba pada kisah hidup yang dijalani Kim. Bahkan beberapa kali Rosita menghembuskan napas panjang, saat Kim mengungkapkan semua kerinduan juga rasa bersalahnya pada Cahaya. Bersalah karena membiarkan gadis yang sangat dicintainya itu merana menunggunya. Sampai Kim berhenti bercerita pun, Rosita tidak mengatakan status Cahaya sekarang ini. Hatinya menolak memberikan kenyataan pahit yang akan kembali membuat Kim terluka, menderita. Memilih bungkam, dengan berpikir nanti Cahaya sendiri yang mengatakan mengenai statusnya, Rosita yakin, kalau nanti di Korea mereka akan bertemu kembali. Cepat atau lambat. Kim merasa perlu mengatakan semuanya pada Rosita, dia yakin dengan diamnya Rosita, menandakan kalau kisah cintanya diketahui oleh Rosita. Rosita membiarkan Kim terus menyangka kalau anaknya itu masih menunggu kedatangannya, mengharap cinta dan juga mendamba bahagia bersama. "Maafkan saya
Kim mundur beberapa langkah, sebelum akhirnya berbalik meninggalkan Rosita yang terus mengawasinya. Meski tidak bertemu dengan orang yang dirindu, setidaknya dia tahu kemana akan mencari keberadaannya kini. Walau ternyata harus kembali berusaha dan mencari. Tisna menegakkan tubuhnya saat melihat Kim keluar dari rumah Cahaya tak lama kemudian, dia mencoba menebak apa yang terjadi pada anak saudaranya itu. Apakah Kim sudah mengetahui kebenaran tentang Cahaya? Atau justru masih belum tahu kenyataan yang ada?"Wa?!" sapa Kim begitu dia membuka pintu mobil. "Gimana, Jin? Ketemu?" tanya Tisna yang segera ingin tahu, tapi melihat wajah Kim yang tidak terlalu kecewa, Tisna menebak kalau Kim belum tahu kebenarannya. Aneh. "Cahaya tidak ada, hanya ada ibunya saja, itupun beliau sedang sakit." Kim menjawab dengan lesu. 'Pantas hanya sebentar kamu di dalam, Jin.'"Terus ibunya bilang, kalau Cahaya pergi ke Korea," sambung Kim menjelaskan hal yang membuat Tisna tidak mengerti. "Apa ke Korea?
Binar sampai di rumah Khadijah selepas sholat ashar, kedatangan adik Cahaya itu membuat Syena memekik girang, bahkan dengan tanpa malu langsung minta digendong. Binar dengan perasaan yang sama begitu bahagia bisa bertemu dengan Syena, menggendong keponakan Raja itu dengan senang hati. Celotehan Syena terus terdengar menanyakan apa saja pada Binar, bahkan saat Khadijah memintanya untuk turun dari gendongan Binar, gadis kecil itu menolak tegas. "Enna mau digendong sama om Nar, Bunda.""Tapi om Nar-nya baru sampai, Sayang, kasihan masih capek." Khadijah mencoba membujuk. "Emang Enna berat ya, Om?" Syena menatap dalam pada Binar, jemarinya mengusap kening Binar yang sedikit berkeringat. "Sedikit," ucap Binar yang merasakan hatinya terus berdebar, saat bertatapan dengan Syena. Binar tak habis pikir, bagaimana bisa dia merasa tertarik pada seorang gadis kecil? Binar yakin, kalau rasa yang kini telah bertumbuh dalam hatinya adalah cinta. Cinta seorang lelaki pada lawan jenis. Salahkah
Melihat sekeliling, pada kesibukan yang tengah dilakukan oleh temannya, Raja kemudian melangkah mendekati Indra. "Pak Indra lembur?" tanya Raja begitu sampai di dekat meja kerja Indra. Indra mengalihkan perhatiannya dari layar komputer, melihat pada Raja yang bertanya. "Iya, Pak. Bapak sendiri?" "Saya hanya menunggu waktu pelepasan karyawan yang akan pergi saja.""Oh, tidak menjemput Cahaya?" tanya Indra dengan menutupi rasa cemburu, bagaimanapun rasa yang dia simpan untuk Cahaya telah begitu kuat. Sayang dia tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaannya, dan kenyataan bahwa Raja adalah kekasih sekaligus calon suami Cahaya, mengubur dalam rasa yang tak pernah dia sampaikan. Terpendam. Dan tidak akan pernah terbongkar. "Cahaya sudah ada di rumah adik saya, nanti berangkat bareng keluarga saya."Jawaban Raja semakin membuat Indra sadar diri, kalau dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali. "Oh, seperti itu.""Saya keluar dulu, Pak. Mau ngadem, sekalian menunggu kedatan
Tak cukup waktu saat mereka bersama, bahkan Cahaya seolah enggan melepaskan belitan tangannya pada lengan Raja, sejak keluar dari ruang rapat setelah acara perpisahan yang dilepas oleh pemimpin perusahaan, Cahaya terus menempeli Raja seperti lem. Sesekali dia mengusap pipinya, menyeka basah air mata yang menetes tanpa bisa ditahan.Cahaya tidak peduli dengan tatapan beberapa orang staf, juga atasannya yang merasa heran dengan kedekatannya dengan Raja, namun tak seorangpun berani menggoda, bahkan Alya sekali pun. Dia yang biasanya bisa membuat Cahaya tertawa atau bahkan kesal dengan tingkahnya, memilih menjauh seakan mengerikan kedukaan yang tengah sahabatnya rasa itu. Jam enam, akhirnya satu persatu mobil yang akan mengantar ke bandara keluar dari perusahaan. Binar ikut dengan mobil yang dikemudikan Denni dan Mukta. Dan nanti pulang akan bersama Raja, karena Denni akan kembali ke rumahnya yang di Bandung. Sepanjang perjalanan menuju bandara, Cahaya terus memeluk Raja, tanpa sedikitp