Andai ada jalan untuk menghindar sekarang ini, pasti Cahaya sudah menyusup lewat sana untuk menghindari Raja. Kesiapan diri yang sedari tadi sudah yakin dimiliki, sirna sudah saat selepas sholat isya dan makan malam mereka. Walau Raja sudah berusaha mengalihkan perhatian Cahaya dengan bercerita banyak hal, tetap saja gadis itu tidak bisa menghilangkan ketakutannya. Takut? Ya, tentu saja. Malam pertama adalah malam yang membuat siapa saja, merasa penasaran sekaligus takut untuk menghadapinya. Semengerikan itukah? Ceklek! Cahaya menoleh cepat pada pintu kamar mandi yang dibuka dari dalam, Raja keluar dari sana, dengan santai berjalan mendekat. Senyum manis lelaki itu terlihat mengerikan bagi Cahaya saat ini, bahkan kerupawanan Raja hilang berganti seperti monster saja. Cahaya mengutuki dirinya yang malah membayangkan, apa yang ada dibalik sarung yang dipakai Raja sekarang. Padahal dari tadi pun Raja sudah menggunakan sarung itu, tapi kenapa baru sekarang pikirannya berubah haluan?
Raja menikmati suguhan indah di depannya, menggunakan semua naluri untuk memulai tugasnya sebagai suami. Mencium, meraba, dan merasai nikmat raga kekasih halalnya. Gadis yang sudah membuatnya menunggu selama tiga tahun lamanya untuk dapat dimiliki, hingga mereka sekarang ada di atas peraduan untuk melebur menjadi satu, menyatukan raga, menyelami indahnya rasa. Hingga sesuatu yang membuat Cahaya menjerit tak tertahan, meledak, dan dia merasa lemas. 'Apa itu tadi?' pertanyaan Cahaya hanya tercetus dalam hati, karena dia sendiri tak mengerti apa yang baru saja dialaminya. Raja tersenyum puas, saat tahu istrinya sudah mendapatkan puncak kenikmatan hanya dengan sentuhan tangannya. Hingga dia kembali mencumbu dan merayu, hingga Cahaya terus melenguh, mendesah, dan merintih saat bibir dan tangan Raja menjamah setiap inci kulitnya. Meninggalkan jejak basah, panas, dan juga merah sebagai tanda kalau dia adalah milik lelaki itu. Lelaki yang dengan gagah mulai merengkuhnya, membawa ke suatu pe
Suara alarm dari ponsel Cahaya menjerit meminta perhatian, mencoba membangunkan si pemilik yang masih lelap dalam dekap hangat sang pujaan, namun rupanya pagi ini semua menjadi pengecualian, karena Cahaya seolah tidak mendengar, dia tidak terganggu sama sekali oleh suara yang berasal dari ponsel yang biasa membangunkannya. Hingga Raja yang akhirnya terganggu dengan suara itu, perlahan terbangun menoleh pada nakas di samping ranjang. Raja tersenyum melihat seseorang yang begitu dicintainya, terlelap dalam pelukannya. Tangan gadis itu melingkari tubuhnya, memeluk erat seakan takut kehilangan. Pundak polos Cahaya berhias bekas bibirnya semalam, bahkan punggung mulusnya pun tak luput dari jejaknya. Hanya sayang, hidangan utama tidak sampai mereka nikmati bersama, bahkan janji akan melanjutkan setelah mereka istirahat dulu pun, terbawa hingga ke pagi hari tanpa bisa mereka mencoba lagi. Ini tidur ternyaman yang Raja rasakan, dia tidur dengan sangat nyenyak, hingga lupa dengan 'PR' untuk
Akhirnya Cahaya memilih ikut check out bersama Raja, karena untuk apa dia seorang diri di hotel, sedang Raja pergi bekerja, dan menunggu sampai sore di rumah Khadijah. Setelah menghubungi Denni untuk menyuruh supir menunggu di tempat yang dijanjikan, tapi ternyata Denni sendiri menjemput menantunya. Sesampainya di rumah Khadijah, Syena yang baru selesai mandi berteriak senang melihat Cahaya masuk ke rumah bersama Mukta. "Yeayy, ada Mama! Papa mana, Ma? Kata bunda nanti Mama datang sama papa?!" tanya Syena setelah mencium punggung tangan Cahaya, mendongak melihat wajah Cahaya. "Papa kerja, Sayang." Cahaya mengusap pipi Syena, meratakan bedak pada wajah cantik keponakannya. "Kok, nggak pulang dulu ke rumah?""Iya, nggak sempat. Kalau pulang dulu, nanti papa terlambat masuk kerja.""Syena, mamanya capek loh baru datang, jangan ditanya dulu. Syena sarapan dulu, yuk?!" Khadijah memotong sesi tanya jawab Syena, tersenyum penuh arti pada kakak iparnya. "Udah gol, Teh?" goda Khadijah terk
Seperti yang dikatakan Hana kemarin, hari ini Kim bermaksud mencari alamat rumah Cahaya. Dia memang tidak tahu nama daerah yang tertera dalam kertas yang ditulis Cahaya tiga tahun lalu, dan atas usulan Hana juga Kim pergi dengan kerabatnya yang lain. Sandi jelas tidak bisa mengantar karena harus kerja, awalnya Kim juga berkeras dengan rencananya semula untuk pergi mencari alamat Cahaya diantar Sandi, namun setelah Hana memberikan pengertian agar Kim secepatnya membuktikan, juga menghilangkan keraguan atas semua tanya diri tentang status Cahaya, akhirnya Kim setuju untuk pergi hari ini diantar Tisna. Jalanan yang dilalui Kim pastinya sangat asing, dia yang pernah tinggal di negara sang mama beberapa tahun lamanya, tentu saja belum pernah menuju ke daerah yang kini dia datangi. Sudah dua jam mereka terjebak dalam mobil yang terus melaju membelah jalanan, menyusuri jalan yang akan membawa Kim pada satu jawaban pasti perjalanan cintanya. Bahagia atau justru terpuruk dalam duka. Matahari
"Maaf, Pak? Maksudnya gimana, ya?" Tisna kembali bertanya, hatinya mulai gelisah mendengar perkataan lelaki di depannya. "Iya, kan kemarin Cahaya menikah, pasti Aa saudara suaminya yang terlambat mengetahui tentang pernikahan mereka kan?" lelaki itu memastikan, menatap Tisna dengan curiga, takut salah dalam menyampaikan berita tepatnya. "Ah, ya … saya kerabat suami Cahaya." Tisna akhirnya memilih berbohong, untuk mengetahui kabar selanjutnya, juga mengelabui orang yang sedang dia cari informasi tentang Cahaya. "Iya, masuk saja, A. Nanti ada rumah yang pekarangannya agak luas, itu rumah Cahaya, rumah pak Hadi--ayahnya. Soalnya hanya rumah itu yang pekarangannya lebih luas, dibanding yang lain." Lelaki itu kembali menegaskan. Tisna dengan lesu mengangguk, menahan kecewa atas kebenaran yang baru didengarnya. Dia saja lemas mendengar berita itu, apalagi Kim nanti? Tak terbayangkan bagaimana hancurnya hati Kim, saat kedatangannya terlambat satu hari dengan hari pernikahan Cahaya? Apa
Rosita merasakan hatinya tidak nyaman, gelisah oleh sesuatu yang tidak dipahaminya, bahkan debaran jantungnya berdebar tak menentu, apalagi pikirannya terus terfokus pada Cahaya. Rosita mencoba abai. Menenangkan diri dan hatinya, dengan keyakinan kalau anak sulungnya itu baik-baik saja. Bukankah kini Cahaya sedang bahagia dengan Raja? Menikmati indahnya romansa pengantin baru, apa yang perlu dikhawatirkan? Walaupun dia tidak bertemu lagi dengan Cahaya sebelum gadis itu pergi, tapi Rosita mencoba mengerti keputusan yang dibuat Hadi, kalau mereka tidak sempat bertemu dulu, itu karena Hadi tak ingin dia terganggu saat tidur. Menunggu Epon yang sedang kembali ke rumahnya sebentar, sementara Hadi keluar untuk satu urusan, dan Binar dia minta pergi untuk membeli makanan untuk bekal Cahaya. Rosita duduk di sofa ruang tamu, yang bisa dengan leluasa melihat ke luar rumah. Menatap keluar kaca. Sebuah mobil berhenti di depan pekarangan rumahnya, tak lama kemudian, Rosita bisa melihat seseora
Diam, saat seseorang yang baru saja ditemuinya itu menjelaskan semua, Rosita hanya bisa menatap penuh iba pada kisah hidup yang dijalani Kim. Bahkan beberapa kali Rosita menghembuskan napas panjang, saat Kim mengungkapkan semua kerinduan juga rasa bersalahnya pada Cahaya. Bersalah karena membiarkan gadis yang sangat dicintainya itu merana menunggunya. Sampai Kim berhenti bercerita pun, Rosita tidak mengatakan status Cahaya sekarang ini. Hatinya menolak memberikan kenyataan pahit yang akan kembali membuat Kim terluka, menderita. Memilih bungkam, dengan berpikir nanti Cahaya sendiri yang mengatakan mengenai statusnya, Rosita yakin, kalau nanti di Korea mereka akan bertemu kembali. Cepat atau lambat. Kim merasa perlu mengatakan semuanya pada Rosita, dia yakin dengan diamnya Rosita, menandakan kalau kisah cintanya diketahui oleh Rosita. Rosita membiarkan Kim terus menyangka kalau anaknya itu masih menunggu kedatangannya, mengharap cinta dan juga mendamba bahagia bersama. "Maafkan saya
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe