Berbanding terbalik dengan kebahagiaan yang utuh Cahaya rasakan sekarang, Kim yang sejak tadi pagi merasa tidak enak hati, terdiam menyendiri. Tatapan matanya kosong, meski dia tengah dititipi A Ya oleh Hana yang tengah dengan antusias bermain tanah, hal yang baru pertama kali gadis kecil itu lakukan. Baju dan badan A Ya sudah kotor oleh tanah yang menempel, namun Kim sungguh tidak menyadari itu. Hatinya terasa hampa, sepi, dan juga merasa kehilangan yang tak pasti. Hingga lengkingan suara Hana memanggilnya, diikuti tepukan sedikit kuat di pundak Kim yang langsung mengerjap kaget. "Ya! Young Jin! Apa yang kamu pikirkan hingga A Ya bermain tanah kamu tidak lihat? Ya, Allah. Cucu Nenek sampe kotor gini." Hana meraup A Ya yang juga kaget dengan pekikannya, sendok yang entah dia dapat dari mana dilemparnya jauh, seakan menyadari kalau sang nenek marah karena dia bermain hal baru ditemuinya. Kim menoleh pada A Ya yang sedang ditepuk bokong dan bajunya pelan, untuk mengusir tanah yang me
Raja memasukan koper yang akan Cahaya bawa besok malam ke bagasi mobil, mengecek ulang semua persiapan istrinya itu, agar tidak ada yang tertinggal. Istri? Raja tersenyum, rasa bahagia begitu menguasai hatinya, bahagia yang dulu bahkan takut untuknya sekedar membayangkan saja, namun kini semua sudah dalam genggaman. Cahaya sudah menjadi miliknya. Istrinya. Apalagi yang dia inginkan selain itu? Seminggu, hanya dalam waktu seminggu, penantian panjangnya selama tiga tahun terbayar sudah, dibalas setimpal dengan berakhir Cahaya dalam pelukan. Meski sesaat lagi mereka harus berjauhan kembali, tak mengapa, karena ikatan suci sudah menyatukan mereka. Raja jadi tidak habis pikir, kenapa waktu itu dia terus menolak keinginan Cahaya agar mereka menikah dulu? Sedangkan kini dia bisa merasakan kenyamanan, bahagia setelah akad itu diucapkan. Bodoh memang. "Sudah siap semua, A?" tanya Binar yang baru kembali dari rumah pak RT, untuk mengantarkan bingkisan atas perintah Hadi. juga mengantar pul
Alya akhirnya berpamitan, digandeng Andri dia menuju ke mobil Adrian yang di parkir di tepi jalan. Lambaian tangan mengantarkan ketiga sahabat Cahaya pergi. "Kalian kapan akan pergi?" tanya Hadi pada anak dan menantunya, begitu mobil Adrian sudah tak terlihat. "Sore, Pak." Raja menjawab cepat. "Sekarang sudah hampir sore, pergilah sekarang. Gunakan waktu kalian sebaik mungkin, kalau menunggu sore, waktu kebersamaan kalian hanya sebentar. Pergilah.""Eh?!" Cahaya menoleh pada Raja, meminta persetujuannya. "Bagaimana, Sayang?" "Tapi--""Pergilah! Semua sudah siap kan?" kembali Hadi menegaskan. "Sudah.""Ya sudah, pergilah sekarang, nanti Bapak pamitkan sama ambu. Bersenang-senanglah, nikmati waktu kebersamaan kalian. Dan untuk besok, Bapak sama ambu tidak ikut mengantar ke bandara, hanya Binar saja. Kasihan ambu, belum pulih. Kamu paham kan, Teh?"Cahaya merasakan panas pada matanya, kalau sekarang dia pergi, dan besok Rosita tidak bisa mengantar ke bandara, berarti sekarang adala
Raja menekan pedal gas dalam, bayangan tentang indah, dan syahdunya saat penyatuan cinta juga raga, membuatnya tidak sabar untuk segera sampai di hotel. Hingga senyum itu semakin mengembang, saat mobilnya memasuki kawasan hotel. Setelah memarkirkan mobilnya, Raja menoleh pada Cahaya yang masih mengunci mulutnya, tapi Raja yakin kalau Cahaya tengah gugup sekarang. Semakin gugup pastinya. Seperti dia. "Sudah sampai, Sayang.""Aku gugup!""Tenang, aku tidak akan memakanmu." Raja membuka sabuk pengamanan, mengarahkan tubuhnya pada Cahaya yang menatap penuh khawatir, pada bangunan hotel di depannya, seakan di dalam sana adalah tempat eksekusi yang akan membuatnya … entahlah. "Sayang!" Cahaya tersentak kaget saat Raja menyentuh tangannya, menoleh dengan cepat. "Hei, rileks! Kenapa sampai segugup ini?" Raja tertawa pelan, tangannya mengusap pipi Cahaya. "Ah, maaf. Aku sungguh tidak bisa menyembunyikan rasa gugup ini, Sayang." Cahaya memegang tangan Raja yang mengusap pipinya, membawanya
Andai ada jalan untuk menghindar sekarang ini, pasti Cahaya sudah menyusup lewat sana untuk menghindari Raja. Kesiapan diri yang sedari tadi sudah yakin dimiliki, sirna sudah saat selepas sholat isya dan makan malam mereka. Walau Raja sudah berusaha mengalihkan perhatian Cahaya dengan bercerita banyak hal, tetap saja gadis itu tidak bisa menghilangkan ketakutannya. Takut? Ya, tentu saja. Malam pertama adalah malam yang membuat siapa saja, merasa penasaran sekaligus takut untuk menghadapinya. Semengerikan itukah? Ceklek! Cahaya menoleh cepat pada pintu kamar mandi yang dibuka dari dalam, Raja keluar dari sana, dengan santai berjalan mendekat. Senyum manis lelaki itu terlihat mengerikan bagi Cahaya saat ini, bahkan kerupawanan Raja hilang berganti seperti monster saja. Cahaya mengutuki dirinya yang malah membayangkan, apa yang ada dibalik sarung yang dipakai Raja sekarang. Padahal dari tadi pun Raja sudah menggunakan sarung itu, tapi kenapa baru sekarang pikirannya berubah haluan?
Raja menikmati suguhan indah di depannya, menggunakan semua naluri untuk memulai tugasnya sebagai suami. Mencium, meraba, dan merasai nikmat raga kekasih halalnya. Gadis yang sudah membuatnya menunggu selama tiga tahun lamanya untuk dapat dimiliki, hingga mereka sekarang ada di atas peraduan untuk melebur menjadi satu, menyatukan raga, menyelami indahnya rasa. Hingga sesuatu yang membuat Cahaya menjerit tak tertahan, meledak, dan dia merasa lemas. 'Apa itu tadi?' pertanyaan Cahaya hanya tercetus dalam hati, karena dia sendiri tak mengerti apa yang baru saja dialaminya. Raja tersenyum puas, saat tahu istrinya sudah mendapatkan puncak kenikmatan hanya dengan sentuhan tangannya. Hingga dia kembali mencumbu dan merayu, hingga Cahaya terus melenguh, mendesah, dan merintih saat bibir dan tangan Raja menjamah setiap inci kulitnya. Meninggalkan jejak basah, panas, dan juga merah sebagai tanda kalau dia adalah milik lelaki itu. Lelaki yang dengan gagah mulai merengkuhnya, membawa ke suatu pe
Suara alarm dari ponsel Cahaya menjerit meminta perhatian, mencoba membangunkan si pemilik yang masih lelap dalam dekap hangat sang pujaan, namun rupanya pagi ini semua menjadi pengecualian, karena Cahaya seolah tidak mendengar, dia tidak terganggu sama sekali oleh suara yang berasal dari ponsel yang biasa membangunkannya. Hingga Raja yang akhirnya terganggu dengan suara itu, perlahan terbangun menoleh pada nakas di samping ranjang. Raja tersenyum melihat seseorang yang begitu dicintainya, terlelap dalam pelukannya. Tangan gadis itu melingkari tubuhnya, memeluk erat seakan takut kehilangan. Pundak polos Cahaya berhias bekas bibirnya semalam, bahkan punggung mulusnya pun tak luput dari jejaknya. Hanya sayang, hidangan utama tidak sampai mereka nikmati bersama, bahkan janji akan melanjutkan setelah mereka istirahat dulu pun, terbawa hingga ke pagi hari tanpa bisa mereka mencoba lagi. Ini tidur ternyaman yang Raja rasakan, dia tidur dengan sangat nyenyak, hingga lupa dengan 'PR' untuk
Akhirnya Cahaya memilih ikut check out bersama Raja, karena untuk apa dia seorang diri di hotel, sedang Raja pergi bekerja, dan menunggu sampai sore di rumah Khadijah. Setelah menghubungi Denni untuk menyuruh supir menunggu di tempat yang dijanjikan, tapi ternyata Denni sendiri menjemput menantunya. Sesampainya di rumah Khadijah, Syena yang baru selesai mandi berteriak senang melihat Cahaya masuk ke rumah bersama Mukta. "Yeayy, ada Mama! Papa mana, Ma? Kata bunda nanti Mama datang sama papa?!" tanya Syena setelah mencium punggung tangan Cahaya, mendongak melihat wajah Cahaya. "Papa kerja, Sayang." Cahaya mengusap pipi Syena, meratakan bedak pada wajah cantik keponakannya. "Kok, nggak pulang dulu ke rumah?""Iya, nggak sempat. Kalau pulang dulu, nanti papa terlambat masuk kerja.""Syena, mamanya capek loh baru datang, jangan ditanya dulu. Syena sarapan dulu, yuk?!" Khadijah memotong sesi tanya jawab Syena, tersenyum penuh arti pada kakak iparnya. "Udah gol, Teh?" goda Khadijah terk