"Aku nggak tahu. Tapi a Raja sudah mengakui itu, dia mengakui kalau dia lah yang bertanggung jawab, dan yang harus Teteh pikirkan sekarang adalah: bagaimana cara menghilangkan atau menyamarkan tanda itu? Karena tidak akan mungkin Teteh keluar kamar, dengan bekas bibir a Raja yang terlihat jelas."Cahaya mendadak panik. Benar apa yang Binar katakan, bagaimana dia keluar kamar dengan begitu saja? "Ya Allah, Nar! Tapi tadi Teteh sudah keluar kamar, apa ada yang melihat tanda merah ini?" Cahaya menatap Binar panik, dia ketakutan sekarang. Mata Binar membesar, dia ikut merasakan kepanikan kakaknya. "Tadi waktu keluar kamar, rambut Teteh dikucir nggak?" Cahaya kembali mengingat, kemudian menggeleng sebagai jawaban. "Seingat Teteh nggak sih, Nar. Digerai gini juga.""Syukurlah, setidaknya masih belum ada yang menyadari. Yang harus dipikirkan sekarang, bagaimana cara menghilangkan tanda itu secepatnya, Teh? Karena nggak mungkin juga besok udah hilang tuh.""Kamu jangan nakutin gitu dong, N
Cahaya merasa kesal karena Raja tidak menerima panggilan videonya, apa lelaki itu tahu kalau dia akan memarahinya? "Ayolah, A … kenapa nggak diangkat, sih?" guman Cahaya pelan, antara marah dan gemas. Kembali melihat pantulan dirinya di cermin, gadis itu mendesah kesal juga menyesali kebodohan, dan kepolosannya akan adanya tanda itu. "Kenapa aku sampai tidak sadar a Raja melakukan ini? Ish!" Cahaya melihat ponselnya yang kini menampilkan Raja yang menghubungi, dengan sigap dia menerima panggilan dari itu. "Halo, assalamua'laikum, Sayang. Kenapa tadi aku VC nggak diangkat? Ini kenapa ada tanda merah di leher aku? Kapan kamu bikinnya? Ketahuan sama Binar, aku jadi ditanya-tanya, Binar jadi marah sama aku!" Cahaya terus mengeluarkan kekesalannya tanpa menunggu balasan salam untuk Raja. Ketika dia menyadari Raja tidak kunjung menjawab, Cahaya semakin kesal dibuatnya. "Sayang? Kamu kenapa diam saja? Jawab aku!" bukannya mendapat jawaban, Cahaya malah mendapati panggilan itu kembali te
Kembali Raja merutuki diri. Bagaimana Mukta tidak marah, mendapati kebenaran kalau dia sudah berbuat terlalu jauh pada Cahaya? Walau sepenuhnya hal itu tidak benar adanya. "Duduk, A. Sepertinya ada perubahan rencana untuk acara besok, dan Ummi tidak menerima apapun bentuk penolakan dari Aa," tegas suara Mukta memberi perintah, menepuk sisi lain tempat tidur Raja yang didudukinya, dengan Denni yang setia berdiri di samping istrinya, tanpa mengerti apa yang akan dikatakan oleh Mukta. "Kalau yang akan Ummi bicarakan dengan Raja soalb… yang dikatakan Aya tadi, maka jawabannya … iya. Tapi kami tidak melakukan hal lain--""Pokoknya Ummi mau kalian menikah besok. Tidak ada penolakan lagi." Bahkan Mukta memotong perkataan Raja, yang dengan jujur mengakui kesalahannya. "Ada apa ini?" Denni akhirnya bertanya, dia tak ingin menjadi seseorang yang tidak tahu apapun di sana. "Mereka … si Aa tepatnya, sudah mulai bertingkah, Pak. Dan Ummi nggak mau sampai hal yang tidak diinginkan terjadi." R
Cahaya dibuat tak percaya saat Hadi memanggilnya, dan mengatakan kalau baru saja Denni menghubungi, juga memutuskan perubahan acara untuk besok. Cahaya hanya bisa tersipu malu saat digoda oleh saudaranya sebagai calon pengantin, hatinya membuncah penuh kebahagiaan. Keinginannya untuk menikah sebelum dia pergi terlaksana. Walau tentu saja dia jadi gugup karena tidak menyangka sama sekali. Bahkan saat Raja menanyakan lewat Hadi apa mahar yang diinginkannya, Cahaya hanya memasrahkan apapun yang akan Raja berikan kepadanya sebagai tanda ikatan suci. Ya, Raja memilih mewakilkan pada Hadi untuk menanyakan, karena Denni melarang untuknya berbicara langsung dengan Cahaya. Begitu juga tentang dia mentransfer sejumlah uang ke rekening Cahaya tanpa disebutkan nominalnya. Kesibukan di rumah Hadi semakin bertambah, dengan berubahnya rencana pertunangan Cahaya besok. Dengan sekejap saja, berita pernikahan dadakan Cahaya besok menjadi buah bibir di desanya. Untunglah bukan karena alasan negatif ya
Malam beranjak pasti, segala hal untuk persiapan menuju pernikahan Cahaya sudah selesai disiapkan, tak ada kemeriahan untuk acara esok hari, tapi tetap saja kursi untuk menerima tamu sudah ditata sedemikian rupa. Selain kamar Cahaya yang disulap menjadi kamar pengantin, ruang tamu pun telah disiapkan untuk pelaminan sederhana. Beberapa kerabat Cahaya berdatangan, mereka kaget mendengar kabar pernikahan dadakan Cahaya. Bukan berpikir kalau sesuatu yang buruk menimpa gadis itu, hanya tidak menyangka karena rencana pertunangan sebelumnya justru berubah menjadi pernikahan. Menjadi pusat perhatian semua orang, membuat Cahaya merasa malu, apalagi dengan adanya tanda merah di leher membuat Cahaya tidak leluasa, dan harus tetap menggerai rambutnya. "Aya, coba lihat atuh calon suami kamu, penasaran aku," kata seorang kerabat Cahaya saat mereka berkumpul di ruang tengah. "Besok juga lihat, San. Tunggu aja, biar kejutan." Cahaya menjawab dengan rona merah yang menjalari pipi. "Ganteng banget
"Saya terima nikah dan kawinnya Cahaya Kamila putri Bapak dengan mas kawin tersebut tunai!""Bagaimana saksi? Sah?!""Sah!"Dengan lantang Raja melafazkan ikrar janjinya untuk Cahaya di depan wali dan saksi, janji yang diucap atas nama Tuhannya, janji untuk setia, sehidup, semati. Tangannya menggenggam erat tangan Hadi, yang baru saja mengalihkan tanggung jawab atas diri Cahaya kepadanya. Mukta dan Rosita yang duduk berdampingan saling berpelukan, air mata haru berderai mengiringi momen bersatunya cinta Raja dan Cahaya. Khadijah terus merekam menggunakan ponselnya, namun karena permintaan Raja untuk tidak mengunggahnya di media sosial, Khadijah menahan diri untuk mengumumkan hari bahagia kakaknya itu. Raja tertunduk meresapi kebahagiaan yang kini menyelimuti hati, ada haru yang menyesakkan dada, mengingat semua perjuangannya hingga di titik ini. Dia masih meyakinkan dirinya, kalau Cahaya yang begitu dia puja sudah sah menjadi miliknya, menjadi istrinya. Hadi menghembuskan napas leg
Sementara yang lain dipersilahkan mencicipi hidangan yang sudah disiapkan, Raja dan Cahaya meminta restu pada kedua orang tua masing-masing. Suasana haru semakin terasa saat Cahaya memeluk Rosita, menangis bahagia. Tak ada acara khusus dalam momen pernikahan dadakan Raja dan Cahaya, hingga menjelang dzuhur para tamu yang semuanya tetangga, sudah pamit undur diri setelah menyantap jamuan yang disediakan. Kini hanya tersisa keluarga inti dari kedua belah pihak, itu pun tanpa Cahaya yang pamit ke kamar untuk berganti pakaian. Rencananya, Raja akan membawa istrinya itu pergi berbulan madu, sebelum besok malam Cahaya harus terbang ke Korea, mereka ingin menikmati waktu berdua sebagai suami istri, sebelum harus terpisah dalam jangka waktu yang cukup lama. "Jadi besok Bapak sama ambu tidak harus mengantar Aya ke bandara, A?" tanya Hadi pada menantunya. "Nanti ada yang akan menjemput Bapak sama ambu, dan Binar juga, Pak." Raja melihat pada orang-orang yang dia sebut barusan, Binar yang su
Sepasang kekasih yang baru saja berganti status itu, saling menatap dalam. Berdua dengan Raja dalam kamarnya yang dihias seperti layaknya kamar pengantin, Cahaya terlihat sangat canggung. Bahkan Raja juga bersikap sama, hanya memandang wajah cantik istrinya yang terus menerus merona malu. Setelah melepas kepulangan Denni dan yang lain, Hadi meminta keduanya untuk beristirahat, terutama pada Cahaya. Dengan alasan serupa dengan Denni, agar bisa mempersiapkan segala sesuatu untuk terbang besok malam. Namun sejak masuk ke kamar lima menit lebih lambat dari Cahaya, Raja justru hanya memandangi gadis yang terus berpura-pura sibuk dengan koper yang akan dibawanya, gerakan Cahaya terhenti saat Raja menariknya untuk duduk disisi tempat tidur. 'Dih, berlagak malu … udah sah! Mau diapain juga boleh. Kemarin aja nyosor.' Raja menggeleng mengusir sindiran batinnya sendiri yang terngiang di kepala. Meraih tangan istrinya, tatapan Raja semakin membuat Cahaya merasakan sesak dan juga malu. "Sa