Melepaskan pelukannya, Cahaya mendekat pada Rosita yang menunggu. "Ambu sehat?" tanyanya dengan suara tersendat. Rosita menarik Cahaya dalam pelukan, dengan Epon yang mengusap punggung keponakannya. "Ambu sudah semakin sehat, kan sebentar lagi acara penting kamu, jadi Ambu harus cepat sembuh." Rosita seakan ingin meyakinkan dirinya, bahwa apapun yang menyebabkan Cahaya menangis tadi, tidak mengganggu rencana pertunangan anaknya nanti. "Syukurlah, Aya senang mendengarnya." Cahaya menoleh pada Epon dan menyapa. "Uwa." Epon mengangguk membalas sapaan Cahaya, dia memilih jadi pendengar saja. Dari jawaban Cahaya, Rosita bisa bernapas lega, karena memang tidak ada perubahan rencana. Hanya yang jadi pertanyaan, apa masalah baru yang muncul sekarang? Dan Rosita sudah tidak sabar untuk mencari tahu. Memilih duduk melantai dekat dengan Rosita, Raja berdehem sebelum menjelaskan apa yang menyebabkan kesedihan Cahaya tadi. "Begini, Pak, ambu, semuanya." Raja memulai pembicaraan, menatap ber
Bukannya menjawab pertanyaan Raja, Cahaya kembali menjadi melow. Memeluk lengan Raja erat, seraya menyadarkan kepalanya di bahu si pemilik hati. Raja yang juga merasakan sesak dalam dada, hanya melepaskan napas panjang, mengusap sayang tangan Cahaya yang menggelayut, seperti tak ingin melepasnya pergi. "Aku janji ini ujian terakhir kita, Sayang. Setelah ini, tak ada satupun yang akan memisahkan kita, aku akan menentang dunia bila perlu. Aku janji akan mengunjungimu di sana nanti, kita mengulang lagi awal pertemuan kita dulu, mengulang semua kenangan indah yang kita lalui."'Tentu saja tanpa cerita putusnya kita lagi, Sayang.' lanjut Raja dalam hati, karena bila sampai kata itu terucap, dia yakin Cahaya akan kembali marah padanya. Dengan sangat terpaksa Cahaya menjauhkan badannya, dari lengan Raja saat mereka sampai di pekarangan, berdiri berhadapan dengan Raja yang terus menatapnya sendu. Cahaya belum mau bersitatap dengan mata Raja, dia sangat takut pertahanannya jebol, dan kembali
Tadi saat Cahaya mengantar Raja, Hadi sudah membahas dengan Rosita rencana pertunangan keduanya. Dan, Hadi memutuskan hanya akan mengadakan acara sederhana, tanpa memberitahu kerabat jauh, hanya orang-orang yang dianggap perlu mengetahui status Cahaya di lingkungan tempat tinggal. "Aya." Hadi membuka percakapan. "Iya, Pak?""Kamu beneran nggak tahu soal rencana kepergian ke Korea itu?" tanya Hadi meyakinkan, karena setahunya Cahaya orang yang cukup penting di tempatnya kerja, tapi mengapa untuk berita sepenting itu Cahaya tidak tahu? Apalagi dia sendiri yang harus pergi. "Emang beneran produk perusahaan kamu tidak bekerja dengan baik?" "Iya, Pak. Aya juga tahunya pas a Raja jemput malam itu, dia mengatakannya pas perjalanan pulang. Aya juga kaget, nggak percaya dengan berita yang disampaikan. Malah … Aya menolak pergi. Aya nggak mau. Dan soal perusahaan, memang iya saat ini sedang bermasalah dengan produk yang kami produksi. Barangnya tidak berfungsi dengan baik, dan itu jelas meru
Kim menatap bangunan rumah yang dulu sering didatangi saat berkunjung ke Indonesia, rumah yang tidak sekedar menawarkan kenyamanan, tapi juga rasa kekeluargaan para penghuninya. Tidak banyak yang berubah, masih sama seperti dulu. Hanya warna cat rumah yang berbeda, selebihnya … sama. Melihat sekeliling, rumah itu tampak sepi. Pagar yang tidak terlalu tinggi yang membatasi dengan jalan, membuat siapapun bisa langsung melihat ke dalam pekarangan yang cukup luas. Kim ragu melanjutkan langkah, mobilnya yang sengaja di parkir agak jauh, membuat Kim bisa leluasa menikmati kesejukan udara di tempat itu. Seseorang muncul dari pintu samping rumah yang sejak tadi tertutup rapat, Kim mengenali orang itu, dia hapal semua penghuni rumah yang ada di depannya. Mengharap orang tersebut pun masih mengenalinya, Kim mengucap salam saat orang itu berjalan mendekat. "Assalamu'alaikum, Mang!" ucap Kim dengan suara lantang, seseorang itu segera menghampiri dengan tergesa, saat mengenali siapa orang yang
Dulu, cinta pertama Kim tertambat pada seorang mojang Bandung, wanita dengan kulit kuning langsat yang dia temui di salah satu tempat perbelanjaan, berakhir dengan saling ketertarikan di antara keduanya. Mereka lalu menjalin hubungan jarak jauh hingga tiga tahun lamanya, Kim yang harus melanjutkan kuliah di Korea, sedang kekasihnya waktu itu masih duduk di sekolah menengah atas. Lalu sebagai hadiah kelulusan Kim berikan pada sang kekasih--saat gadis itu berhasil lulus dengan nilai terbaik, Kim meminta kekasihnya untuk datang ke Korea. Namun malang tak dapat ditolak, pesawat yang membawa raga kekasihnya mendapat kecelakaan, hingga gadis itu tak pernah bertemu Kim lagi untuk selamanya. Kim membelokkan mobil ke salah satu pemakaman. Ya, Kim ingin mengunjungi makam mantan kekasihnya. Kekasih yang berpulang saat akan bertemu dengannya. Memandang ke luar, Kim menghembuskan napas lega, karena pemakaman itu tidak banyak berubah. Membuka pintu, Kim memakai kaca mata hitamnya, menambah ketam
Cahaya mulai mengemas baju yang sekiranya bisa digunakan di Korea nanti. Musim gugur yang saat ini tengah terjadi di Negeri Ginseng itu, membuat Cahaya membuka tumpukan baju yang pernah dipakainya dulu saat di Korea. Jaket tebal persiapan menghadapi musim dingin, kaos tangan, kaos kaki panjang, dan semua itu … mengingatkannya pada Kim. Lelaki itu yang membelikan jaket yang kini sedang dipegangnya, saat mereka pergi mengunjungi Suwon Nammun, tempat wisata benteng bersejarah yang mengelilingi kota Suwon. Cahaya diam berpikir, apa sebaiknya jaket itu tidak dibawanya saja? Karena sedikit banyak kenangan telah terukir bersama jaket itu. Tapi kalau harus membeli lagi saat dia tiba nanti, rasanya pun terlalu boros. Buktinya jaket itu, selama ini hanya tersimpan rapih di dalam lemari, karena memang tidak cocok dipakai di Indonesia. Terlalu tebal. 'Bawa saja, toh hanya jaket.' batin Cahaya akhirnya, meletakan jaket itu di atas kasur, bersama barang lain yang akan dia masukkan ke koper. Sete
Tok … tok … tok!Suara ketukan pintu terdengar, Cahaya menoleh pada bingkai kayu yang tertutup rapat. Setelah yakin dia tidak mengunci pintu itu, dia berteriak untuk siapapun yang berdiri di baliknya untuk masuk. "Masuk saja!" serunya, "Sebentar, Sayang. Ada yang ngetuk pintu," terang Cahaya pada Raja yang ikut terdiam. "Kamu di kamar?""Iya.""Siapa yang datang?" tanya Raja bersamaan dengan pintu yang berayun terbuka, lalu Binar yang menyembulkan kepalanya di sana. "Binar, Sayang," jawab Cahaya. "Masuk, Nar!" Cahaya melambaikan tangan mengizinkan adiknya masuk, dengan panggilan yang masih terhubung dengan Raja. "Sibuk, Teh?" tanya Binar melangkah masuk setelah menutup kembali pintu, melihat pada tumpukan baju di atas kasur, dan koper yang dibiarkan terbuka di lantai. "Nggak juga, lagi pilih baju buat dibawa nanti saja," jawab Cahaya dengan tangan masih menempelkan ponsel ke telinga. "Itu telponan sama siapa? A Raja?" tunjuk Binar pada ponsel yang menempel di telinga kiri kakakn
"Assalamu'alaikum, A." beruntung Binar masih menggunakan sopan santun dalam menyapa Raja, walau dia sebenarnya ingin bertanya langsung pada calon kakak iparnya itu. "Wa-Wa'alaikumussalam, Nar."'Hei, kenapa juga jadi gugup gini? Ini baru Binar, loh. Bagaimana kalau bapaknya Cahaya yang akan menanyaimu, Raja?''Diamlah!'Raja kesal sekali dengan apa yang sisi batinnya tertawakan, dia pun mengumpulkan keberanian menunggu apa yang akan Binar katakan selanjutnya. "Maaf, A. Ada yang ingin aku tanyakan dan aku harap, Aa mau jujur menjawab. Jangan menutupi apapun. Ingat. Aa sudah berjanji padaku, tidak akan mengecewakan aku yang sudah mendukung Aa." Mata Raja memejam, kesalahannya kemarin ternyata berakibat tidak nyamannya hubungan dia dengan Binar. Padahal pemuda itulah yang menjadi sekutunya pertama kali. 'Bodoh!' Raja terus merutuki diri. "Iya, kamu mau tanya apa, Nar?" Raja merasakan tangannya mulai dingin, jantungnya berdegup kencang. Begini ternyata, saat sesuatu yang belum seharu