Cahaya mulai mengemas baju yang sekiranya bisa digunakan di Korea nanti. Musim gugur yang saat ini tengah terjadi di Negeri Ginseng itu, membuat Cahaya membuka tumpukan baju yang pernah dipakainya dulu saat di Korea. Jaket tebal persiapan menghadapi musim dingin, kaos tangan, kaos kaki panjang, dan semua itu … mengingatkannya pada Kim. Lelaki itu yang membelikan jaket yang kini sedang dipegangnya, saat mereka pergi mengunjungi Suwon Nammun, tempat wisata benteng bersejarah yang mengelilingi kota Suwon. Cahaya diam berpikir, apa sebaiknya jaket itu tidak dibawanya saja? Karena sedikit banyak kenangan telah terukir bersama jaket itu. Tapi kalau harus membeli lagi saat dia tiba nanti, rasanya pun terlalu boros. Buktinya jaket itu, selama ini hanya tersimpan rapih di dalam lemari, karena memang tidak cocok dipakai di Indonesia. Terlalu tebal. 'Bawa saja, toh hanya jaket.' batin Cahaya akhirnya, meletakan jaket itu di atas kasur, bersama barang lain yang akan dia masukkan ke koper. Sete
Tok … tok … tok!Suara ketukan pintu terdengar, Cahaya menoleh pada bingkai kayu yang tertutup rapat. Setelah yakin dia tidak mengunci pintu itu, dia berteriak untuk siapapun yang berdiri di baliknya untuk masuk. "Masuk saja!" serunya, "Sebentar, Sayang. Ada yang ngetuk pintu," terang Cahaya pada Raja yang ikut terdiam. "Kamu di kamar?""Iya.""Siapa yang datang?" tanya Raja bersamaan dengan pintu yang berayun terbuka, lalu Binar yang menyembulkan kepalanya di sana. "Binar, Sayang," jawab Cahaya. "Masuk, Nar!" Cahaya melambaikan tangan mengizinkan adiknya masuk, dengan panggilan yang masih terhubung dengan Raja. "Sibuk, Teh?" tanya Binar melangkah masuk setelah menutup kembali pintu, melihat pada tumpukan baju di atas kasur, dan koper yang dibiarkan terbuka di lantai. "Nggak juga, lagi pilih baju buat dibawa nanti saja," jawab Cahaya dengan tangan masih menempelkan ponsel ke telinga. "Itu telponan sama siapa? A Raja?" tunjuk Binar pada ponsel yang menempel di telinga kiri kakakn
"Assalamu'alaikum, A." beruntung Binar masih menggunakan sopan santun dalam menyapa Raja, walau dia sebenarnya ingin bertanya langsung pada calon kakak iparnya itu. "Wa-Wa'alaikumussalam, Nar."'Hei, kenapa juga jadi gugup gini? Ini baru Binar, loh. Bagaimana kalau bapaknya Cahaya yang akan menanyaimu, Raja?''Diamlah!'Raja kesal sekali dengan apa yang sisi batinnya tertawakan, dia pun mengumpulkan keberanian menunggu apa yang akan Binar katakan selanjutnya. "Maaf, A. Ada yang ingin aku tanyakan dan aku harap, Aa mau jujur menjawab. Jangan menutupi apapun. Ingat. Aa sudah berjanji padaku, tidak akan mengecewakan aku yang sudah mendukung Aa." Mata Raja memejam, kesalahannya kemarin ternyata berakibat tidak nyamannya hubungan dia dengan Binar. Padahal pemuda itulah yang menjadi sekutunya pertama kali. 'Bodoh!' Raja terus merutuki diri. "Iya, kamu mau tanya apa, Nar?" Raja merasakan tangannya mulai dingin, jantungnya berdegup kencang. Begini ternyata, saat sesuatu yang belum seharu
"Papa sedang menelpon siapa?" tanya Syena naik ke pangkuan Raja yang menjauhkan ponsel. "Enna, Enna diam dulu ya, Papa lagi teleponan sama om Binar," ujar Raja pelan. Mata bulat Syena melebar begitu mendengar nama Binar disebut Raja. "Om Nar? Mana? Enna mau bicara sama Om Nar."Syena menarik tangan Raja yang menggenggam ponsel. "Eh, sebentar … Papa belum selesai bicara ini. Nggak sopan loh, kalau Enna main rebut begitu."Dan mata Syena yang tadi berbinar bahagia, berubah dilapisi kaca-kaca kesedihan yang siap luruh begitu saja, saat keinginannya tidak dipenuhi, padahal dia sangat senang mendengar Raja tengah berbicara dengan Binar. "Papa, jahat! Enna kan cuma mau bicara sama Om Nar, sebentar saja." tangis Syena pun pecah terdengar. Binar yang tadi masih kesal pada Raja, begitu mendengar suara tangisan Syena langsung reda, suara tangis gadis kecil yang sudah mengikat janji dengannya itu, ternyata sangat menyakitkan hatinya. Dia tidak rela Syena menangis, hanya karena tidak diperbo
"Aku nggak tahu. Tapi a Raja sudah mengakui itu, dia mengakui kalau dia lah yang bertanggung jawab, dan yang harus Teteh pikirkan sekarang adalah: bagaimana cara menghilangkan atau menyamarkan tanda itu? Karena tidak akan mungkin Teteh keluar kamar, dengan bekas bibir a Raja yang terlihat jelas."Cahaya mendadak panik. Benar apa yang Binar katakan, bagaimana dia keluar kamar dengan begitu saja? "Ya Allah, Nar! Tapi tadi Teteh sudah keluar kamar, apa ada yang melihat tanda merah ini?" Cahaya menatap Binar panik, dia ketakutan sekarang. Mata Binar membesar, dia ikut merasakan kepanikan kakaknya. "Tadi waktu keluar kamar, rambut Teteh dikucir nggak?" Cahaya kembali mengingat, kemudian menggeleng sebagai jawaban. "Seingat Teteh nggak sih, Nar. Digerai gini juga.""Syukurlah, setidaknya masih belum ada yang menyadari. Yang harus dipikirkan sekarang, bagaimana cara menghilangkan tanda itu secepatnya, Teh? Karena nggak mungkin juga besok udah hilang tuh.""Kamu jangan nakutin gitu dong, N
Cahaya merasa kesal karena Raja tidak menerima panggilan videonya, apa lelaki itu tahu kalau dia akan memarahinya? "Ayolah, A … kenapa nggak diangkat, sih?" guman Cahaya pelan, antara marah dan gemas. Kembali melihat pantulan dirinya di cermin, gadis itu mendesah kesal juga menyesali kebodohan, dan kepolosannya akan adanya tanda itu. "Kenapa aku sampai tidak sadar a Raja melakukan ini? Ish!" Cahaya melihat ponselnya yang kini menampilkan Raja yang menghubungi, dengan sigap dia menerima panggilan dari itu. "Halo, assalamua'laikum, Sayang. Kenapa tadi aku VC nggak diangkat? Ini kenapa ada tanda merah di leher aku? Kapan kamu bikinnya? Ketahuan sama Binar, aku jadi ditanya-tanya, Binar jadi marah sama aku!" Cahaya terus mengeluarkan kekesalannya tanpa menunggu balasan salam untuk Raja. Ketika dia menyadari Raja tidak kunjung menjawab, Cahaya semakin kesal dibuatnya. "Sayang? Kamu kenapa diam saja? Jawab aku!" bukannya mendapat jawaban, Cahaya malah mendapati panggilan itu kembali te
Kembali Raja merutuki diri. Bagaimana Mukta tidak marah, mendapati kebenaran kalau dia sudah berbuat terlalu jauh pada Cahaya? Walau sepenuhnya hal itu tidak benar adanya. "Duduk, A. Sepertinya ada perubahan rencana untuk acara besok, dan Ummi tidak menerima apapun bentuk penolakan dari Aa," tegas suara Mukta memberi perintah, menepuk sisi lain tempat tidur Raja yang didudukinya, dengan Denni yang setia berdiri di samping istrinya, tanpa mengerti apa yang akan dikatakan oleh Mukta. "Kalau yang akan Ummi bicarakan dengan Raja soalb… yang dikatakan Aya tadi, maka jawabannya … iya. Tapi kami tidak melakukan hal lain--""Pokoknya Ummi mau kalian menikah besok. Tidak ada penolakan lagi." Bahkan Mukta memotong perkataan Raja, yang dengan jujur mengakui kesalahannya. "Ada apa ini?" Denni akhirnya bertanya, dia tak ingin menjadi seseorang yang tidak tahu apapun di sana. "Mereka … si Aa tepatnya, sudah mulai bertingkah, Pak. Dan Ummi nggak mau sampai hal yang tidak diinginkan terjadi." R
Cahaya dibuat tak percaya saat Hadi memanggilnya, dan mengatakan kalau baru saja Denni menghubungi, juga memutuskan perubahan acara untuk besok. Cahaya hanya bisa tersipu malu saat digoda oleh saudaranya sebagai calon pengantin, hatinya membuncah penuh kebahagiaan. Keinginannya untuk menikah sebelum dia pergi terlaksana. Walau tentu saja dia jadi gugup karena tidak menyangka sama sekali. Bahkan saat Raja menanyakan lewat Hadi apa mahar yang diinginkannya, Cahaya hanya memasrahkan apapun yang akan Raja berikan kepadanya sebagai tanda ikatan suci. Ya, Raja memilih mewakilkan pada Hadi untuk menanyakan, karena Denni melarang untuknya berbicara langsung dengan Cahaya. Begitu juga tentang dia mentransfer sejumlah uang ke rekening Cahaya tanpa disebutkan nominalnya. Kesibukan di rumah Hadi semakin bertambah, dengan berubahnya rencana pertunangan Cahaya besok. Dengan sekejap saja, berita pernikahan dadakan Cahaya besok menjadi buah bibir di desanya. Untunglah bukan karena alasan negatif ya